Masyarakat Batak Toba Persepsi Pasangan Suami-Istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik Yang Diberikan Kepada Pengantin Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Kualitatif Terhadap Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Medan Tenggara Keca

41 Menurut Antonius 2006 : 18 suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan di antara masing-masing sub suku, yaitu 1 Batak Karo di bagian utara Danau Toba, 2 Batak Pakpak atau Dairi di bagian barat Tapanuli, 3 Batak Toba di tanah batak pusat dan di utara Padang Lawas, 4 Batak Simalungun di timur Danau Toba, 5 Batak Angkola Mandailing di Angkola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolga bagian selatan. Sianipar 1991 : 12 menyatakan bahwa masyarakat Batak adalah masyarakat marga, sehingga dalam kegiatannya tidak dapat meninggalkan keterlibatan marga. Dalam masyarakat Batak norma umum dipakai untuk keperluan umum, namun untuk keperluan adat masyarakat Batak menggunakan norma dan adat istiadat orang Batak. Dalam masyarakat Batak terdapat marga yang diikuti susunan silsilah orang Batak yang disebut Tarombo silsilah. Hubungan sosial kemasyarakatan orang Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo silsilah. Marga dan tarombo silsilah memudahkan hubungan sosial antar orang Batak dimanapun berada.

c. Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa di bumi Indonesia memiliki tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut Dalihan Na Tolu. Pengaruh dan cengkeramannya sudah sedemikian mendalam sehingga tidak salah menyebutkan orang Batak sebagai masyarakat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu sudah menjadi warisan orang Batak. 42 Dalihan Na Tolu artinya tungku berkaki tiga, ketiga kaki tungku melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama. Pembagian inilah yang menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang-orang Batak Toba. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari Dongan Sabutuha, yaitu orang-orang yang berasal dari satu marga. Misalnya situmeang, Lumban Tobing, Sinaga, Situmorang, Siregar, dan sebagainya. Karena pernikahan diantara sesama Marga dilarang dan dianggap tabu incest, maka pernikahan antar Marga merupakan perilaku yang diterima atau kelaziman. Sebagai akibat pernikahan tersebut, maka timbullah secara bersamaan kelompok Hula-hula, yaitu marga asal istri dan Boru marga asal suami. Tanpa pernikahan antar marga maka Hula-hula dan Boru tidak akan timbul. Dengan timbulnya kelompok tersebut, terciptalah struktur sosial masyarakat yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bgergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. Dengan kata lain ketiga kelompokm tersebut selalu berinteraksi anta kelompok yang satu dengan kelompok yanmg lain. Antara pribadi dari kelkompok yang satu dengan kelompok lainnya dan juga diantara pribadi dengan pribadi di dalam kelompok sendiri. Selain struktur sosial, pengelompokan tersebut juga menetapkan fungsi sosial dari setiap kelompok. Dengan demikian akan ditemukan tiga fungsi sosial, yaitu fungsi sosial sebagai Dongan Sabutuha, fungsi sosial sebagai Hula-hula, dan fungsi sosial sebagai Boru. Ketiga fungsi tersebut terus berinter relasi dan berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga Dalihan Na Tolu tersebut dikategorikan sebagai sistem yang sempurna. 43 Ada kalanya ketiga kelompok tersebut menemui konflik tertentu sehingga memerlukan orang ketiga sebagai juru damai atau mediator. Umumnya mereka dipilih dari tua-tua marga tetangga dari luar kelompok yang bersangkutan. Mediator inilah yang disebut dengan Sihal-sihal atau batu penyela. Dengan demikian batu penyela akan berfungsi jika dibutuhkan. Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktu sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak tetyapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok. Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap Dongan Sabutuha. Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Hula-hula dan Elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Boru. Penjabaran dan pelaksanaan ketiga ketiga sikap tersebut telah dituangkan dalam Partuturan atau Sistem kekerabatan orang Batak. Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga menetapkan jenjang dan tata sopan santun didalam kekerabatan dalam masyarakat Batak. Demikianlah garis besar asal mula timbulnya inspirasi pembentukan tatanan sosial masyarakat Batak Toba yang bertumpu diatas tiga kelompok Daalihan Na Tolu. Tua-tua generasi pendahulu telah menjadikan Dalihan Na Tolu tersebut sebagai kerangka dasar acuan dan pijakan tatanan sosial bagi keturunannya. Mereka telah berhasil melakukan sebuah tatanan sosial yang diterima dan dipedomani dengan sadar oleh masyarakat Batak Toba dari generasi ke generasi hingga sekarang. Hal itu membuktikan bahwa tatanan sosial Dalihan Na Tolu masih tetap dianggap layak dan berguna untuk diberlakukan atau relevan 44 sebagai panduan dan pedoman pergaulan hidup Masyarakat Batak. Adat untuk perkawinan, kelahiran dan kematian.

d. Masyarakat Batak di Perantauan