32 banyak. Namun kenyataannya responden memilih budidaya perikanan sebagai
usahanya karena mayoritas responden sudah berkeluarga. Mayoritas responden bermatapencaharian utama sebagai nelayan, sedangkan pembudidaya merupakan
matapencaharian sampingan. Jenis pekerjaan budidaya yang bersifat sampingan ini berpengaruh terhadap manajemen budidaya yang dilakukan oleh responden.
Pembagian jam kerja sebagai nelayan dan sebagai pembudidaya terlihat kurang seimbang atau dapat dikatakan jam kerja untuk kegiatan budidaya masih kurang.
Responden masih berpikiran tradisional bahwa matapencaharian sebagai nelayan tetap yang utama, dan jika tidak melaut mereka tidak akan bisa memberi makan
untuk keluarga mereka. Peran serta keluarga dalam kegiatan budidaya pun kurang, padahal hal ini akan sangat membantu untuk melaksanakan suatu manajemen
budidaya yang baik dan sesuai dengan yang diajarkan dalam pelatihan berbudidaya yang diselenggarakan oleh kelompok Seafarming, misalnya dalam
hal pemantauan biota, pemberian pakan dan pembersihan KJA. Seharusnya jika responden tidak dapat mengontrol keadaan KJA karena pergi melaut, keluarga
dapat membantu menggantikan responden melakukan hal tersebut agar kegiatan budidaya lebih terkontrol sehingga hasil dari usaha budidaya bisa lebih meningkat
dari sebelumnya. Karakteristik pembudidaya ikan kerapu di Pulau Panggang yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 5.
4.2 Analisis Teknis Budidaya
Perolehan hasil analisis teknis budidaya digunakan sebagai acuan dalam analisis finansial usaha pembesaran kerapu.
4.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup tertinggi kerapu bebek berada pada kelas bobot 200-300 gram sebesar 51,57, sedangkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi
kerapu macan berada pada kelas bobot 100-200 gram sebesar 60,55. Tingkat kelangsungan hidup terendah kerapu macan berada pada kelas bobot 300-400
gram sebesar 37,11 , demikian pula untuk kerapu bebek sebesar 35. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup kerapu macan sebesar 36 dan rata-rata tingkat
kelangsungan hidup kerapu bebek sebesar 59. Tingkat kelangsungan hidup kerapu macan dan kerapu bebek mengalami ketidakstabilan pada tiap kelas
33 bobotnya. Pada kelas bobot diatas 500 gram disebutkan bahwa tingkat
kelangsungan hidup kerapu macan dibawah sebesar 51,75, jika dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia No 01-6488.4-2000 maka tingkat
kelangsungan hidup kerapu macan pada bobot diatas 500 gram dibawah standar yang telah ditetapkan yaitu 95. Jika dibandingkan pula dengan hasil penelitian
Minjoyo,dkk 2004 di Lampung, tingkat kelangsungan hidup kerapu macan di Pulau Panggang pun di bawah nilai tingkat kelangsungan hidup yang pernah ada
yaitu 80. Grafik tingkat kelangsungan hidup kerapu macan dan kerapu bebek di Pulau Panggang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tingkat Kelangsungan Hidup Kerapu Macan dan Kerapu Bebek Periode April – Juli 2011 di Pulau Panggang
Dalam kegiatan budidaya, nilai tingkat kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan kelas bobot. Semakin besar kelas bobot maka tingkat
kelangsungan hidupnya akan semakin menurun. Secara keseluruhan tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu di Pulau Panggang sesuai dengan kaidah tingkat
kelangsungan hidup ikan budidaya, namun pada kelas bobot tertinggi yaitu up 500 gram, tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu justru naik atau lebih tinggi dari
nilai tingkat kelangsungan hidup dikelas bobot yang lebih kecil. Hal ini diduga, kematian lebih banyak terjadi pada kelas bobot 300-500 gram untuk kedua jenis
ikan kerapu yang disebabkan oleh pengaruh musim, kualitas air dan pakan. Kualitas air mempengaruhi pertumbuhan ikan berkaitan dengan habitat tinggal
ikan tersebut. Jika kondisi habitat tidak sesuai dengan kondisi normal, maka berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan dapat menyebabkan kematian.
Parameter yang lebih berpengaruh terhadap nilai tingkat kelangsungan hidup yang
60,55 43,93
37,11 36,22
47,14 98,5
35,00 51,75
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
120.00
100 ‐200 200‐300 300‐400 400‐500
up 500
Tingkat Kelangsungan
Hidup Kelas
Bobot g
kerapu macan
kerapu bebek
34 rendah pada masa pemeliharaan ikan kelas bobot 300-500 gram ialah DO dan
TAN. Nilai DO yang rendah 4,04 mgl dan dibawah baku mutu yang ditetapkan MENLH untuk biota laut 5mgl yang mengakibatkan ikan kekurangan oksigen
dan menyebabkan kematian. Nilai TAN lingkungan sekitar KJA pembudidaya 0,03-1,18 mgl juga tidak berada pada nilai baku mutu yang ditetapkan MENLH
0,3 mgl, hal ini menunjukan perairan di sekitar lokasi budidaya sudah tercemar oleh limbah sehingga berpengaruh terhadap kemampuan ikan untuk bertahan
hidup selama masa pemeliharaan. Musim berpengaruh terhadap ketersediaan pakan yang diberikan pada ikan mengingat pakan yang diberikan berupa ikan
rucah dan diperoleh dari hasil tangkapan. Saat ikan kerapu berada pada kelas bobot 300-500 gram, masa pemeliharaan terjadi pada bulan Mei-Juni 2011 yang
dipengaruhi oleh angin barat. Angin barat membawa air dingin dari samudra pasifik sehingga perairan yang dilewati arus tersebut suhunya menjadi turun, pH
menjadi turun dan salinitas naik. Angin barat juga berpengaruh terhadap gelombang tinggi yang menyebabkan nelayan sulit untuk melaut sehingga hasil
tangkapan ikan rucah sedikit. Diduga pula ikan-ikan rucah relatif berenang ke perairan yang lebih dalam untuk menghindari pengaruh gelombang tinggi
sehingga lebih sulit pula untuk ditangkap dan menyebabkan kuantitas pakan yang diberikan menjadi lebih sedikit. Selain itu terjadi serangan bakteri pada beberapa
ikan, sehingga ikan mengalami kerusakan sirip dan tubuh serta menyebabkan kematian. Tindakan pencegahan yang dilakukan dengan perendaman rutin
terhadap ikan yang dipelihara dalam air tawar ataupun ait laut yang diberi elbaju telah dilakukan namun tidak banyak ikan yang tertolong.
4.2.2 Laju Pertumbuhan Spesifik