Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan

(1)

POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN GAMBUT BEKAS TEBANGAN

DI MERANG SUMATERA SELATAN

NISA NOVITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Nisa Novita


(3)

ABSTRACT

NISA NOVITA. Above Ground Fixed Carbon Content in Logged-Over Peatswamp Forest in Merang South Sumatra. Under direction of BAMBANG HERO SAHARJO and CECEP KUSMANA.

Forest ecosystem plays very important role in the global carbon cycle. Forest is an emitter and sinker carbondioxide (CO2) from and to atmosphere. Fixed carbon study was conducted in the peatswamp forest of Merang, Musi Banyuasin district, South Sumatera. This study was aimed to observe the above ground biomass and fixed carbon content in the logged over peatswamp forest. The components of above ground biomass considered in this study were under storeys, litters, necromass and living trees with diameter at breast height (dbh) greater than 5 cm. The number of trees sampled in this research was 30 trees, with diameters ranging from 5,3 to 64 cm. Destructive sampling was used to collect the samples where diameter at breast height (DBH), height (H), and wood density were used as predictors for dry weight of total above-ground biomass. Allometric equations can be used to estimate the biomass and carbon stock of forests. The result showed that the assessment model could be built following the formula W = aDb for biomass and C = aDb for fixed carbon content. The peatswamp forest of Merang contained 287,13 ton/ha biomass (were 96,45% from living trees) and 44,08 ton/ha fixed carbon content. The other side, tree fixed carbon content can be also predicted from biomass that 15,78% of tree biomass is fixed carbon content.


(4)

RINGKASAN

Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir merupakan salah satu pemicu terjadinya pemanasan global yang berpengaruh terhadap kelangsungan semua makhluk hidup di muka bumi. Siklus karbon global berkaitan erat dengan ekosistem hutan yang berfungsi ganda yakni sebagai sinker dan emitter karbon dari dan ke atmosfir. Melalui proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi yang terjadi secara alami menyebabkan terjadinya transfer karbon antara hutan dan atmosfir. Akan tetapi akibat pengeksploitasian hutan di tangan manusia telah menjadikan siklus karbon global daratan menjadi terganggu. Penggerusan hutan gambut baik dari segi luas dan komposisinya akibat penebangan merupakan salah satu faktor penyebab utama yang membuat kondisi hutan semakin mengkhawatirkan , dimana hal ini berbanding lurus dengan pertambahan waktu. Penebangan yang telah memiliki izin maupun illegal telah menyulap hutan gambut di kawasan Merang menjadi lahan kritis yang berdampak pada penurunan luasan dan kemampuan dalam penyerapan karbon. Berpijak dari alasan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah melakukan observasi dan estimasi terhadap kandungan biomassa yang berkaitan erat dengan potensi karbon terikat melalui pembuatan model allometrik yang dihasilkan dari metode destruktif di lapangan.

Penelitian ini dilakukan pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan. Analisis data lapangan dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Metode yang digunakan adalah secara destruktif pada 4 plot yang masing-masing berukuran 35 x 35 m. Setelah dilakukan analisis vegetasi, pohon sampel yang ditebang sebanyak 30 buah, dimana kelas diameter digunakan sebagai dasar dalam penentuan sampel. Sedangkan untuk estimasi biomassa dan karbon terikat tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa dibangun subplot dengan ukuran 2 x 2 m yang diletakkan secara nested sampling pada plot 35 x 35 m. Masing-masing bagian pohon (batang, cabang, ranting, daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa diukur berat basahnya dan kemudian diambil sampel untuk dianalisis di laboratorium.

Berdasarkan analisis vegetasi, dapat diketahui potensi hutan gambut bekas tebangan di Merang, dimana 40 jenis pohon menyusun hutan pada petak ukur 0,49 Ha dan didominasi Lauraceae Myrtaceae, Annonaceae dan Euphorbiaceae . Total luas bidang dasar untuk semua jenis pohon adalah 28,36 m2/ha, dimana sebagian besar terdapat pada tingkat tiang (50,87% atau 14,43 m2/ha), kemudian diikuti tingkat pohon 33,27% (9,44 m2/ha) dan tingkat pancang 15,86% (15,86 m2/ha). Untuk kerapatan pohon tertinggi terdapat pada tiang (48,8% atau 918 individu/ha). Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kerapatan yang ditunjukkan pada pancang sebesar 46,09% (867 individu/ha). Kerapatan terendah terdapat pada tingkat pohon (96 individu/ha atau 5,11%). INP tertinggi pada tingkat pohon adalah Polyalthia sumatrana (makai) sebesar 49,98%, yang diikuti oleh jenis Prunus arborea (25.73%) dan Dacryodes rostrata (24.55%). Sedangkan untuk tingkat tiang dan pancang jenis dengan INP tertinggi adalah Dacryodes rostrata (uyah-uyah) dengan masing-masing nilai INP 52,25% dan 35,36%.

Hasil analsis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air baik berdasarkan kelas diameter maupun berdasarkan bagian anatomi pohon. Bagian anatomi pohon yang paling tinggi kadar airnya untuk setiap kelas diameter adalah ranting yang berkisar antara 37,10 % - 63,58%. Kadar air untuk


(5)

daun dan cabang berturut-turut adalah 23,30% - 49,55% dan 29,12% - 42,30%. Kadar air terendah terdapat di bagian batang dengan kisaran 6,65% - 8,35%. Untuk analisis berat jenis diketahui terdapat variasi untuk 30 pohon yang ditebang. Jenis pohon yang memiliki berat jenis terbesar adalah Syzygium bankense, Palaquium ridleyi dan Tetramerista glabra. Dyera lowii dan Shorea uliginosa adalah jenis pohon yang memiliki berat jenis paling kecil. Berat jenis pohon contoh berkisar dari 0,30 - 0,94 gcc-1. Untuk hasil analisis kadar zat terbang memiliki kisaran rata-rata 72,23% - 85,37% yang diikuti oleh kadar karbon terikat rata-rata antara 14,12% - 23,22%. Hasil analisis kadar abu menunjukkan persentase paling kecil untuk setiap anatomi pohon yakni berkisar 0,51% - 4,55%. Persen kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada daun (23,22%) dan terendah terdapat pada batang (14,12%).

Untuk analisis data, model pendugaan biomassa dan karbon terikat dibangun melalui analisis regresi dengan menggunakan 6 persamaan dasar. W = aDb untuk biomassa dan C = aDb menjadi model terpilih untuk estimasi biomassa/ha dan karbon/ha (dimana W = biomassa, C = karbon terikat, D = diameter setinggi dada dan a, b = konstanta). Biomassa terbesar terdapat pada batang yakni 79,47% (210,10 ton/ha), kemudian cabang, ranting dan daun mengandung biomassa ± 20% dari total biomassa pohon. Biomassa terendah terdapat pada daun yaitu 12,05 ton/ha atau 4,35%. Total biomassa pohon pada hutan bekas tebangan daerah Merang adalah 276,95 ton/ha. Sedangkan, total biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 10,19 ton/ha. Nilai yang ditunjukkan karbon terikat linear positif dengan nilai kandungan biomassa. Total karbon terikat pohon adalah 41,82 ton/ha, dimana batang memiliki kandungan biomassa sebesar 30,16 ton/ha atau 72,11% dari karbon terikat pohon total. Kandungan karbon terendah terdapat pada bagian daun yakni 6,62% atau 2,77 ton/ha. Total potensi kandungan karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 2,28 ton/ha. Dacryodes rostrata, Polyalthia sumatrana, Crytocarya crassinervia merupakan jenis yang memiliki kontribusi karbon terikat tertinggi diantara jenis lainnya pada lokasi studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biomassa di tegakan hutan bekas tebangan adalah 287,13 ton/ha dengan kandungan karbon 44,09 ton/ha atau setara dengan 161,81 ton CO2.

Secara keseluruhan pada penelitian ini biomassa mengandung 15,78% karbon terikat dari total tegakan. Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Brown (1997) yang menyatakan bahwa setengah dari biomassa adalah karbon. Begitu juga dengan teori yang dikemukan oleh Mudiyarso et al. (2004) dimana 45% biomassa adalah karbon. Kandungan karbon rata-rata pada hutan bekas tebangan Merang Musi Banyuasin berkisar dari 14,03% – 23,60%.

Kata kunci : karbon terikat, hutan bekas tebangan, rawa gambut dan persamaan alometrik


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN GAMBUT BEKAS TEBANGAN DI

MERANG SUMATERA SELATAN

NISA NOVITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan

Nama : Nisa Novita

NRP : P052080131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Magister (S2)

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana, Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

Sebuah Tulisan Akhir Mahasiswa Atas Beasiswa Ayah Bunda

Untuk kedua orang tua tercinta atas pengorbanan yang tak pernah tergantikan

Dan untuk seorang Profesor* , atas kemuliaan hati dan segala kebaikannya ....


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr yang memberikan pelajaran hidup dan dukungan yang sangat berarti.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana selaku anggota komisi pembimbing. 3. Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc sebagai penguji luar komisi.

4. Bapak Solichin, S. Hut, MSc dan segenap staff Merang REDD Pilot Project GTZ di Palembang yang banyak membantu penulis selama penelitian. 5. GTZ Palembang atas dana penelitian yang telah diberikan.

6. Sebelas orang masyarakat Bina Desa dan Kepahyang yang telah membantu penelitian di lapangan.

7. Dosen statistika Laode Rahman, MS dan

8. Teman-teman mahasiswa PSL 2008 dan N. A. Eka Widyasari.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada orang tua (Enimar dan Syaiful) tercinta atas doa, dukungan dan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Kepada Albert Syaiful dan Deasy Fitria yang telah memberikan semangat dan dukungan selama ini. Dan untuk yang setia menemani dan menyayangi, Dede Hendry.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 23 November 1986 sebagai

anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syaiful dan Ibu Enimar. Jenjang pendidikan formal pertama yang ditempuh di SDN 37 PGRM Bukittinggi (1992 – 1998), SLTPN 3 Tilatang Kamang (1998 – 2001), SMU I Tilatang Kamang Bukittinggi (2001 – 2004), kemudian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Jurusan Budidaya Hutan (2004 – 2008). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Penulis menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dengan judul ” Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero Saharjo, M.Agr sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai anggota komisi pembimbing.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Tujuan ... 6

1.5 Manfaat ... 6

1.6 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tanah Gambut ... 7

2.2 Siklus Karbon... 10

2.3 Fotosintesis dan Respirasi ... 12

2.4 Biomassa dan Karbon ... 14

2.5 Pemodelan Biomassa dan Karbon ... 15

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

3.1 Luas dan Lokasi ... 19

3.2 Aksesibilitas ... 21

3.3 Iklim dan Hidrologi ... 21

3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon ... 23

3.5 Kondisi Sosial Ekonomi ... 24

3.6 Sejarah Areal ... 25

IV. METODE PENELITIAN ... 27

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2 Peubah yang Diamati ... 28

4.4.1 Peubah Vegetasi ... 28

4.4.2 Peubah Serasah dan Nekromassa... 28

4.3 Alat dan Bahan ... 29

4.4 Prosedur Penelitian di Lapangan ... 29

4.4.1 Analisis vegetasi ... 29

4.4.2 Pengambilan dan Penebangan Pohon Terpilih ... 31

4.4.3 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa ... 35

4.5 Prosedur di Laboratorium ... 35

4.5.1 Pengukuran Kadar Air ... 35

4.5.2 Pengukuran Biomassa ... 36

4.5.3 Pengukuran Berat jenis ... 36

4.5.3 Pengukuran Kadar Karbon Terikat ... 37

4.6 Analisis Data ... 38

4.6.1 Komposisi Jenis ... 38

4.6.2 Model Penduga Biomassa ... 38

4.6.3 Model Penduga Karbon Terikat ... 39


(13)

4.6.5 Pemilihan model ... 41

4.6.6 Penentuan total Biomassa dan Karbon ... 42

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

5.1 Hasil ... 43

5.1.1 Komposisi Jenis dan Struktur Hutan ... 43

5.1.2 Sifat Fisik ... 46

5.1.2.1 Kadar Air ... 46

5.1.2.2 Berat Jenis ... 46

5.1.2.3 Kadar Zat Terbang, Kadar Abu dan Kadar Karbon Terikat ... 49

5.1.3 Biomassa di Atas Tanah ... 49

5.1.3.1 Biomassa Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa . 49 5.1.3.2 Biomassa Pohon ... 50

5.1.4 Karbon Terikat di Atas Tanah... 56

5.1.4.1 Karbon Terikat Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa ... 56

5.1.4.2 Karbon Terikat Pohon ... 56

5.1.5 Model Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa ... 59

5.2 Pembahasan... 63

5.2.1 Komposisi dan Struktur Hutan ... 63

5.2.2 Sifat Fisik ... 64

5.2.3 Kandungan Biomassa ... 66

5.2.4 Karbon Terikat ... 68

5.2.5 Model Penduga Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa .. 70

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1 Kesimpulan ... 71

6.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 78


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas lahan gambut di Indonesia ... 8

2. Jumlah C tersimpan di vegetasi dan tanah kedalaman 1 m ... 11

3. Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dalam berbagai periode waktu... 12

4. Persamaan alometrik pada berbagai tipe hutan ... 17

5. Curah hujan bulanan tahun 1999 - 2008 di Merang ... 21

6. Titik koordinat dan kedalaman gambut lokasi penelitian ... 27

7. Pembagian subplot penelitian ... 30

8. Pohon terpilih untuk ditebang berdasarkan kelas diameter ... 32

9. Dominansi pohon pada setiap tingkat pertumbuhan ... ….. 43

10. Kerapatan pohon pada setiap tingkat pertumbuhan ... 44

11. Kerapatan pohon pada setiap kelas diameter ... 44

12. Indeks Nilai Penting pohon pada setiap tingkat pertumbuhan ... 46

13. Variasi kadar air pohon contoh pada setiap kelas diameter ... 46

14. Hasil pengujian berat jenis pohon yang ditebang ... 47

15. Variasi kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat pohon contoh pada setiap anatomi pohon ... 49

16

. Biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa ... 50

17. Rekapitulasi biomassa pada tiap bagian pohon terpilih ... 50

18. Rekapitulasi model pendugaan biomassa ... 53

19. Kandungan biomassa pohon di atas tanah ... 55

20. Biomassa pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan ... 55

21. Potensi karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa ... 56

22. Rekapitulasi model pendugaan karbon terikat ... 57

23. Potensi karbon terikat pohon di atas tanah ... 58

24. Potensi karbon terikat pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan ... 59

25. Koefisien korelasi antara variabel potensi karbon pada tiap anatomi ... 59

26. Hubungan karbon terikat dengan biomassa ... 60

27. Kontribusi tiap jenis terhadap biomassa dan karbon terikat total ... 61

28. Persentase potensi karbon terikat pada setiap bagian pohon per kelas diameter ... 62


(15)

29. Nilai hasil dugaan biomassa total dan potensi

karbon terikat total ... 63 30. Hasil penelitian karbon terikat terdahulu di


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 4

2. Penyebaran gambut di Sumatera Selatan ... 9

3. Siklus karbon global ... 10

4. Deskripsi hutan bekas tebangan di Merang ... 19

5. Peta lokasi hutan gambut Merang ... 20

6. Sungai sebagai akses utama masyarakat desa dengan menggunakan perahu motor ... 21

7. Deskripsi hidrologi daerah Merang ... 22

8. Kayu hasil penebangan liar yang dilewatkan melalui sungai Buring ... 24

9. Peta ex HPH KPHP Lalan ... 25

10. Peta lokasi penelitian ... 27

11. a Timbangan dengan berbagai kapasitas ... 29

11. b alat dalam kegiatan analisis vegetasi ... 29

11. c katrol membantu dalam penimbangan kayu ... 29

11. d chainsaw dan beberapa alat untuk penebangan dan pembagian anatomi pohon ... 29

12. Desain plot penelitian untuk analisis vegetasi ... 30

13

. a Pengeboran tanah gambut ... 3

1

13. b pembuatan subplot 2 x 2 m ... 31

13. c pengukuran diameter setinggi dada ... 31

14. Penebangan pohon ... 33

15. Pembagian segmen batang yang akan ditimbang... 33

16. Penimbangan batang ... 34

17. Pengumpulan dan penimbangan daun ... 34

18. Penimbangan ranting ... 34

19. Pemisahan dan penimbangan serasah ... 35

20. Diagram alir pembuatan model penduga biomassa ... 39

21. Diagram alir pembuatan model penduga karbon terikat ... 40

22. Sebaran data berat jenis pohon yang ditebang ... 47


(17)

24. Bentuk hubungan antara biomassa tiap bagian

pohon dengan Dbh ... 52 25. Karakteristik masing-masing penduga biomassa ... 52


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Daftar jenis yang dijumpai dalam plot 0,49 Ha ... 79 2.

Hasil analisis vegetasi pada hutan bekas tebangan

di Merang ...

80 3.

Analisis vegetasi tumbuhan bawah berkayu ...

82 4.

Analisis vegetasi untuk tumbuhan bawah tidak berkayu ...

83 5.

Kerapatan setiap jenis pohon (ind/ha) berdasarkan

kelas diameter ...

84 6.

Hasil analisis kadar zat terbang (KZT),

kadar abu (K. Abu), kadar karbon terikat (KKT)

setiap anatomi pohon ...

85 7.

Rekapitulasi hasil analisis tiap fraksi batang pada

hutan bekas tebangan di Merang ...

86 8.

Contoh pengolahan data untuk model pendugaan

kandungan biomassa ...

91 9.

Contoh pengolahan data untuk model pendugaan


(19)

I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan untuk memberikan servis kepada bumi demi pemenuhan kebutuhan yang tak berbatas. Fenomena pemanasan global yang diduga oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama CO2, CH4 dan N2O telah membuat suhu permukaan bumi diperkirakan naik sebesar 1,4 - 5,8°C selama periode 1990 sampai 2100 (NASA 1998; IPCC 2007). BMG melaporkan bahwa di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 - 1,0°C, yang terjadi antara tahun 1970 hingga 2000 s ehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan rata-rata curah hujan bulanan sekitar 12 - 18% dari jumlah hujan sebelumnya (Santoso dan Forner 2007). Tak hanya berdampak terhadap curah hujan, berbagai kejadian ekstrim seperti banjir atau longsor yang frekuensinya makin tak teratur telah menyisakan bencana-bencana yang tak terduga dan memakan korban jiwa.

Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia. Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon (IPCC 2000). Sektor kehutanan telah menyumbangkan emisi CO2 sebesar 17,3% dari total emisi gas rumah kaca lainnya ke atmosfer (IPCC 2007). Akan tetapi, ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui proses fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam nekromasa secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara. Menurut Kyrklund (1990), secara umum hutan dengan net growth (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra. Selanjutnya Hairiah (2007) menjelaskan bahwa hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2 karena


(20)

telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang.

Ironisnya, hutan yang semestinya diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalah global ini, semakin lama semakin berkurang keberadaannya. Fakta kerusakan hutan sebagai sumber tanaman kayu dan keanekaragaman hayati telah berada dalam fase yang sangat mengkhawatirkan. Peace (2007) menyatakan sekitar 8 juta sampai 16 juta hektar hutan tropis dirusak setiap tahunnya antara tahun 1980an dan 1990an. Perusakan ini melepaskan 0,8 milyar sampai 2,4 milyar ton karbon ke atmosfer. Deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah mengantarkan Indonesia ke posisi ke-3 negara penghasil gas rumah kaca di dunia.

Hutan gambut merupakan produk dari hutan masa lalu yang tersusun dari bahan organik hasil dekomposisi vegetasi secara anaerobik dan termasuk kedalam ekosistem lahan basah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Merujuk dari proses pembentukannya yang didominasi oleh bahan organik, hutan gambut memiliki keistimewaan dibandingkan tipe hutan lainnya karena menyimpan lebih banyak bahan organik yang dinyatakan dalam karbon 12 - 18% atau lebih (SSFFMP 2005). Di wilayah Asia Tenggara, luas areal gambut mencapai lebih dari 25 juta ha atau 69 % dari lahan gambut tropis di dunia. Luas penyebaran lahan gambut di Indonesia seluruhnya diperkirakan 7% dari luas dataran Indonesia (Puslitbangtanak 2001). Sumatera Selatan merupakan salah satu kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur Sumatera. Secara keseluruhan luas hutan gambut di Sumsel mencapai 271 ribu hektar namun yang masih berfungsi dengan baik tinggal 210 ribu hektar yang terdapat di kawasan Merang dan Kepahyang Kabupaten Musi Banyuasin (Walhi 2009). Hutan gambut di Merang Kepahyang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang harus dilindungi menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.


(21)

Perusakan hutan gambut yang disebabkan oleh penebangan liar akan mempengaruhi unit hidrologi karena pada saat penebangan pohon, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air. Keadaan subsidensi merangsang pertumbuhan bakteri pembusuk di tanah gambut. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi tanah gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon yang tersisa, CO2 yang terkandung didalam bagian pohon tersebut akan teremisi ke udara dan menutupi lapisan ozon. Akibat penebangan hutan menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon menurun dimana biomassa dan senyawa organik yang tersimpan di dalam hutan akan terlepas ke udara menjadi gas rumah kaca. Selain itu, penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan. Dengan kata lain, penebangan hutan tak terkendali merupakan faktor yang menyebabkan penurunan luasan areal penyerap dan penyimpan karbon yang mempengaruhi perubahan iklim akibat peningkatan suhu bumi.

Estimasi biomassa yang tepat sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan siklus global karbon. Basuki et al. (2009) menyatakan stok karbon dapat diperoleh dari biomassa atas permukaan dengan mengasumsikan 50% dari biomassa tersusun dari karbon. Penelitian ini sekaligus akan menelaah kandungan karbon dalam biomassa hutan bekas tebangan Merang. IPCC (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur biomassa di atas permukaan tanah yaitu pendekatan langsung dengan menggunakan persamaan allometrik dan tidak langsung menggunakan biomass expansion forest. Persamaan alometrik berupa fungsi matematika yang didasarkan pada hubungan berat kering biomassa per pohon contoh dengan satu atau lebih kombinasi dari dimensi pohon contoh (diameter, tinggi dan berat jenis) yang dapat dikembangkan/dihasilkan dari metode destructive sampling. Pada penelitian ini persamaan alometrik dibangun hubungan antara biomassa atas permukaan dengan tiga parameter pohon yakni Dbh (diameter at breast height), tinggi dan berat jenis. Berbagai persamaan alometrik telah dibangun untuk menduga biomassa di hutan hujan tropis dengan


(22)

berbagai tipe hutan (Hiratsuka 2003; Brown 1997; Chambers et al. 2001; Chave et al. 2001, Kiyono et al. 2007; Komiyama 2008; Ketterings et al. 2001; Samalca 2007; Ismail 2005; Limbong 2009; Onrizal 2004; Salim 2005; Basuki et al. 2009; Hilmi 2003). Untuk mengetahui besarnya simpanan karbon dari hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan maka diperlukan suatu kajian tentang pendugaan potensi biomassa sebagai sumber estimasi karbon pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin.

1. 2 Kerangka Pemikiran

Berikut bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini :

Gambar 1 Kerangka pemikiran Penyerapan karbon

hutan bekas tebangan

Biomassa tegakan hutan bekas tebangan

Potensi karbon terikat atas permukaan tanah

Hutan gambut

Penebangan Aktivitas manusia

Fungsi gambut terganggu Peningkatan

CO2 di atmosfer

Perubahan iklim global

Konsesi HPH

Ilegal logging

Fungsi hutan sebagai sinker karbon


(23)

1. 3 Perumusan Masalah

Emisi karbondioksida terbesar dari Indonesia disumbangkan oleh sektor kehutanan. Peace (2007) menjelaskan deforestasi yang diperkirakan mencapai 2 juta hektar telah menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam jumlah besar dan menyumbang sekitar 83% dari emisi tahunan gas rumah kaca Indonesia dan 34% terhadap emisi sektor kehutanan. Dalam hal ini hutan telah menjadi sumber bagi karbon atmosferik akibat ulah manusia. Selain fungsi hutan sebagai sumber karbon, hutan mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat di komponen vegetasi/ekosistem hutan. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0 - 5,4 ton CO2 ha-1 tahun-1 (Agus 2009). Lahan gambut menyimpan karbon (C) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Agus (2009) menyatakan di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Apabila hutan gambut ditebang, maka karbon yang tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Karena pentingnya peran lahan gambut sebagai penyimpan karbon dan sumber emisi CO2, maka pengukuran karbon tersimpan pada lahan gambut menjadi sangat penting. Data hasil pengukuran dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberlanjutan hutan rawa gambut. Selain itu perhitungan neraca karbon penting dalam menghadapi sistem baru perdagangan karbon pasca Kyoto Protocol (tahun 2012) yang dikenal dengan mekanisme REDD (Reducing Emissions from Degradation and Deforestation).

Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran biomasa untuk estimasi penyerapan karbon dapat menggunakan persamaan alometrik yang dibangun berdasarkan dimensi pohon. Persamaan alometrik untuk estimasi biomasa pohon di hutan tropika alam dengan berbagai kondisi iklim dan berbagai jenis hutan telah lama dikembangkan (Brown 1997). Namun masih ada ketidakpastian bahwa persamaan alometrik untuk pohon hutan yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) tidak dapat dipergunakan di lokasi baru,


(24)

karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya (Ketterings et al. 2001). Berdasarkan hal tersebut diperlukan pengukuran biomassa yang akurat untuk membangun model persamaan alometrik di hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan.

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana model penduga biomassa dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan ?

b. Bagaimana profil serapan karbon dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon pada setiap kelas diameter ?

1. 4 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Memformulasikan model penduga biomassa dan mengetahui kandungan karbon terikat di hutan bekas tebangan Merang di Kabupaten Musi Banyuasin propinsi Sumatera Selatan.

b. Menganalisis profil serapan karbon terikat dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) pada setiap kelas diameter.

1. 5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai pendugaan potensi biomassa tegakan dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan hutan dengan memperhatikan fungsi hutan sebagai solusi pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

1. 6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon di areal bekas tebangan berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi positif dan signifikan dengan diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter.


(25)

II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tanah gambut

Istilah tanah gambut berasal dari salah satu kecamatan (Kecamatan Gambut) di Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar di daerah ini. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa 2008).

Tanah gambut di Indonesia terbentuk sejak periode Holosen (4200 - 6800 tahun yang lalu) di saat terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub (Agus dan Subiksa 2008). Karena naiknya permukaan air laut, maka daerah-daerah dataran di sekitar pantai Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain-lain tergenang menjadi rawa-rawa atau naik permukaan air tanahnya (Hardjowigeno 1996). Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0 - 3 mm tahun.

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff 2003).

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.

2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 - 75%.


(26)

3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas > 75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan kondisi pembentukannya Polak (1975) membedakan gambut menjadi (1) gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan, bersifat oligotropik dengan kemasaman yang tinggi dan kandungan hara yang rendah. (2) gambut topogen yang terbentuk karena adanya depresi lokal, dipengaruhi air bawah tanah yang dangkal, bersifat eutropik dengan kemasaman sedang hingga netral dan mengandung unsur hara sedang sampai tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa bahan asal dari tanah gambut yang ditemukan di kawasan Malaysian Tropics termasuk yang ada di Sumatera banyak didominasi oleh kayu-kayuan. Oleh sebab itu komposisi bahan organiknya lebih banyak lignin yang mencapai lebih dari 60% bahan kering, sedangkan yang lainnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa serta protein masing-masing tidak lebih dari 11%.

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang disajikan pada Tabel 1 (BB Litbang SDLP 2008). Sumatera Selatan merupakan propinsi kedua di pulau Sumatera yang memiliki luasan areal gambut setelah Riau yang penyebarannya disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka dan mampu menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar.

Tabel 1 Luas lahan gambut di Indonesia

Pulau/Propinsi Luas total (ha)

Sumatera 6 224 101

Riau 4 043 600

Jambi 716 839

Sumatera Selatan 1 483 662

Kalimantan 5 072 249

Kalimantan Tengah 3 010 640

Kalimantan Barat 1 729 980

Kalimantan Selatan 331 629

Papua dan Papua Barat 7 001 239

Total 18 317 589

Catatan: Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha. Sumber: BB Litbang SDLP 2008


(27)

(28)

2. 2 Siklus Karbon

Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan CO2 di lautan kedalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000)

Gambar 3 Siklus karbon global (Sumber: Hairiah 2007)

Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya tedapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau sekitar 5 % dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4x lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomasa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer


(29)

menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt (ICRAF 2001).

Kinderman et al. (1993) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara, dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan yang tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah).

Jumlah C yang disimpan di hutan sangat bervariasi antar sistem penggunaan lahan, antar tempat dan antar pengelolaan lahan (Tabel 2). Jumlah C yang tersimpan di daratan khususnya dalam vegetasi dan tanah sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah C yang ada di atmosfer dan pertukaran C di daratan dikontrol oleh proses fotosintesis dan respirasi. Pada skala global C tersimpan dalam tanah jauh lebih besar dari pada yang tersimpan di vegetasi. Tanah merupakan penyimpan C terbesar pada semua regional ekosistem (biome), sedang vegetasi penyimpan C terbesar adalah pada biome hutan.

Tabel 2 Jumlah C tersimpan di vegetasi dan tanah kedalaman 1 m

Ekosistem Luas 106 km2 Cadangan C , Gt C Total

Vegetasi Tanah

Hutan tropis 17,6 212 216 428

Hutan subtropis 10,4 59 100 159

Hutan daerah dingin 13,7 88 471 559

Savana tropis 22,5 66 264 330

Padang rumput subtropis 12,5 9 295 304

Padang pasir 45,5 8 191 199

Tundra 9,5 6 121 127

Rawa 3,5 15 225 240

Lahan pertanian 16,0 3 128 131

Total 151,2 466 2011 2477

Sumber : IPCC 2000

ICRAF (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfir dari 285 ppmv (parts per million on a volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis.


(30)

Tabel 3 Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dalam berbagai periode waktu

GRK CO2 CH4 N2O

Konsentrasi sebelum revolusi industri 280 ppm 700 ppb 270 ppb

Konsentrasi pada 1998 365 ppm 1745 ppb 314 ppb

Rata-rata kenaikan konsentrasi 1,5 ppm/th 7,0 ppb/th 0,8 ppb/th

Atmospheric lifetime 5-200 th 12 th 114 th

Sumber : IPCC 2007

2. 3 Fotosintesis dan Respirasi

Fotosintesis merupakan satu-satunya proses alam yang dapat memanfaatkan energi dari cahaya matahari menjadi energi kimia dari senyawa sederhana (CO2 dan air) yang tersedia di alam untuk membentuk senyawa karbohidrat dan oksigen. Hairiah (2007) menyatakan proses fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan fungsi dari berbagai variabel lingkungan dan tanaman, termasuk diantaranya adalah radiasi matahari, temperatur dan kelembaban udara dan tanah, ketersediaan air dan hara, luas daun, lapisan ozon di udara dan polutan lainnya. Dengan demikian perubahan iklim akan berpengaruh kepada tanaman melalui berbagai jalan. Laju fotosintesis mungkin akan berkurang karena matahari tertutup awan tebal, tetapi ada kemungkinan juga akan meningkat karena konsentrasi CO2 di udara meningkat. Semua proses yang berhubungan dengan respirasi umumnya sensitif terhadap peningkatan suhu, terutama akar-akar halus dan organisme heterotropik dalam tanah. Meningkatnya temperatur tanah maka dalam waktu singkat akan diikuti oleh meningkatnya laju mineralisasi bahan organik tanah dan pelepasan hara ke dalam tanah. Hal tersebut mendorong terjadinya kembali proses fotosintesis, meningkatnya luas permukaan daun, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun untuk jangka panjang, respirasi tanah akan menyesuaikan dengan kenaikan suhu tanah, dan kembali menjadi normal.

Gadner et al. (1991) menyatakan bahwa fotosintesis merupakan proses penangkapan energi yang berasal dari matahari oleh chlorophyll untuk pembentukan gula dengan bahan baku CO2 dan H2O seperti terlihat pada proses terjadinya fotosintesis berikut ini :


(31)

Adapun tiga tahap dalam fotosintesis adalah : 1. Absorbsi cahaya dan retensi energi cahaya 2. Konversi energi cahaya ke energi kimia 3. Stabilisasi dan penyimpanan potensi kimia

Proses fotosintesis terjadi dalam dua fase yakni terang dan gelap. Reaksi terang disebut juga reaksi fotokimia dimana terjadi penangkapan energi cahaya oleh klorofil dan pengubahan ADP menjadi ATP pada proses fotofosforilasi. Pada reaksi ini terjadi pemecahan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen. Oksigen dilepaskan sebagai molekul oksigen bentuk bebas dan hidrogen ditangkap oleh NADP. Hasil reaksi terang berupa ATP dan NADPH dimanfaatkan dalam reaksi gelap. Reaksi gelap terjadi penangkapan CO2 dari udara dan mengalami reduksi menjadi CH2O yang berlangsung tanpa ada hubungannya dengan cahaya langsung dan tidak dipengaruhi oleh suhu. Reaksi gelap terjadi di dalam stroma dari kloroplas dimana pada reaksi ini terdapat rangkaian proses yang membentuk Photosynthetic Carbon Reduction Cycle yang biasa disebut dengan siklus Calvin. Siklus Calvin merupakan lintasan pembentukan gula yang utama dalam tumbuhan. Dalam siklus Calvin terdapat 3 tahapan yang penting yaitu karboksilasi, reduksi dan regenerasi (Miftahudin 2008).

Jika fotosintesis menyediakan molekul organik yang dibutuhkan tumbuhan, respirasi melepas energi yang tersimpan di dalam senyawa karbon untuk digunakan oleh sel. Dalam tumbuhan substrat respirasi berasal dari sukrosa, heksosa fosfat dan triosa fosfat yang berasal dari fotosintesis dan perombakan pati. Respirasi merupakan kebalikan dari fotosintesis. Respirasi pada tanaman berupa oksidasi molekul organik (C6H12O6) oleh oksigen sehingga menghasilkan CO2 danH2O. Proses respirasi merupakan proses penggunaan cadangan makanan yang merubah ATP menjadi ADP dan menghasilkan energi. Adapun persamaan reaksi proses respirasi adalah :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6 H2O + energi

Miftahudin (2008) menyatakan bahwa tahapan reaksi pada proses respirasi meliputi tahapan glikolisis, siklus asam sitrat/siklus Krebs, reaksi dari lintasan pentosa fosfat dan fosforilasi oksidatif. Pada proses glikolisis terjadi pemecahan glukosa melalui oksidasi menjadi asam piruvat dengan menghasilkan sejumlah energi dalam bentuk ATP dan NADH. Pada siklus Krebs, asam piruvat dioksidasi secara sempurna menjadi CO2.


(32)

2. 4 Biomassa dan Karbon

Biomasssa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) yang terutama tersusun dari senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Biomassa tumbuhan adalah jumlah berat kering dari seluruh bagian yang hidup dari tumbuhan dan untuk memudahkannya dibagi menjadi biomassa di atas permukaan tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang) dan biomassa di bawah permukaan tanah (Chapman (1976); Whitten dan Plaskett (1981); Anwar et al. 1984).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih (Whitmore 1985). Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon. Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup, semak dan serasah (Brown dan Gaston 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi biomasaa tegakan hutan antara lain adalah: umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan strukur tegakan hutan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti suhu dan curah hujan.

Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2, dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al. 2004).


(33)

2. 5 Pemodelan Biomassa dan Karbon

Berdasarkan cara memperoleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.

Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam 2 golongan, yaitu :

1. Metode pemanenan

a. Metode pemanenan individu tanaman

Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan pohon cukup rendah dengan komunitas jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh.

b. Metode pemanenan kuadrat

Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen di dalam suatu unit area tertentu

c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini cocok diterapkan pada tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan kemudian ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh.

2. Metode pendugaan tidak langsung a. Metode hubungan allometrik

Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan ini, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter


(34)

ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area contoh tertentu.

b. Crop meter

Pendugaan biomssa dengan metode ini dilakukan dengan cara menggunakan seperangkat elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan.

Pemodelan adalah pengembangan analisis ilmiah yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Onrizal 2004). Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan tinggi dan diameter pohon (Jhonsen et al. 2001).

Untuk menduga biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur seperti diameter batang sangat diperlukan. Niklas (1994) menyebutkan alometrik berasal dari bahasa Yunani dari allos (other, lain) dan metron (measure, pengukuran). Persamaan alometrik biasa digunakan dalam ilmu biologi untuk menggambarkan perubahan sistematis dari morfogenesis, fisiologi, adaptasi dan evolusi (Huxley 1993). Persamaan ini biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon (destructive sampling).

Persamaan umum yang biasa digunakan untuk menduga biomassa (JICA dan FORDA 2005) adalah :

Y = bxa dimana:

Y = biomassa kering pohon (kg) x = diameter pohon setinggi dada (cm) a = eksponen allometrik


(35)

Model Y = bxa merupakan model yang paling banyak digunakan peneliti, meskipun terdapat variasi bentuk persamaan lainnya. Pada tabel berikut disajikan persamaan alometrik yang telah dipublikasikan pada berbagai tipe hutan di daerah tropis dan subtropis.

Tabel 4 Persamaan alometrik pada berbagai tipe hutan Klasifikasi

umum

Kelompok jenis

Persamaan Peneliti Max

Dbh

Daerah Tropis

Kering Campuran W = 0,2035 x Dbh 2,3196 Brown (unpublished) 63 cm Kering Campuran W =10 (-0,535+log10

basal area) Brown (1997) 30 cm

Lembab Campuran W =exp(-2,289 + 2,649x lnDbh- 0,021xlnDbh2)

Brown (1997) 148 cm Basah Campuran W =21,297-6,953xDbh+0,740 x

Dbh2

Brown (1997) 112 cm Cecropia Cecropia W =12,764 +0,25588xDbh 2,0515 Winrock 40 cm

Palma Palma(asai & pataju)

W=6,666+12,826xtinggi0,5x ln(tinggi)

Winrock Tinggi

33 m Palma Palma W= 23,487+41,851x[ln(tinggi)]2 Winrock Tinggi

11 m Liana Liana W=exp(0,12+0,91xlog(BA Dbh) Putz (1983) 12 cm

Daerah Subtropis

Hardwood Campuran W = 0,5 + (25000 x Dbh2,5)/ (Dbh 2,5 + 246872)

Schroeder et al.

(1997)

85 cm Hardwood Campuran W =exp(-2,48 + 2,4835) x lnDbh Jenkins et al. (2003) 70 cm Hardwood Campuran W=exp(-2,9132+0,9232xln

(Dbh2 x tinggi)

Winrock 85 cm

Softwood Pinus W=0,887+[(10486xDbh2,48)/ (Dbh2,84 + 376907)]

Brown dan

Schroeder (1999)

56 cm Hardwood Soft

maple/birch

W=exp(-1,9123+2,3867x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 66 cm Softwood Cedar/larch W=exp(-2,0336+2,2592x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 250 cm Softwood Pinus W=exp(-2,5356+2,4349x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 180 cm Softwood Spruce W=exp(-2,0773+2,3323 x lnDbh Jenkins et al. (2003) 250 cm Softwood Douglas-fir W=exp(-2,2304+2,4435xln Dbh) Jenkins et al. (2003) 210 cm Sumber : Pearson et al. (2008)


(36)

Chave et al. (2005) telah merangkum beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa diatas permukaan tanah, yaitu :

W = F x ρ x (πD2/4) x H W = F x (ρ x (πD2/4) x H)β W = c ρD2+B

ln W= α+ β1 ln (D)+ β2 ln (H)+ β3 ln (ρ) ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 ln W = α+ β2 ln (D2H ρ)

ln W = α+ ln (D2H ρ)

ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 +

ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 +β3 [ln (ρ)] ln W = a + b ln(D) + ln (ρ)


(37)

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3. 1 Luas dan Lokasi

Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan luasan areal sekitar 150 000 ha. Hutan gambut Merang merupakan bagian dari area gambut yang lebih luas dan berhubungan dengan Taman Nasional Sembilang sebelah Timur, hutan gambut Muaro Jambi di utara dan Taman Nasional Berbak di bagian barat daya. Kubah gambut terletak tepat diantara sungai Medak dan Kepahyang. Peta Lokasi dari citra satelit dapat dilihat pada Gambar 5 pada halaman berikut.


(38)

Gambar 5 Peta lokasi hutan gambut Merang (Sumber: MRPP 2009)

Merang

TN.Sembilang

PT. RHM PT.Pakerin

PTPN VII

Sungai


(39)

3. 2 Aksesibilitas

Desa yang terdekat dengan lokasi penelitian adalah Muara Merang. Jarak dari Palembang ke desa ini sekitar 225 km yang dapat ditempuh dengan akses darat atau sungai selama 4 - 5 jam. Sungai merupakan sarana transportasi penting bagi penduduk desa dalam bermobilitas. Kota terdekat adalah Bayung Lencir yang dapat ditempuh selama 2 jam dengan menggunakan perahu.

Gambar 6 Sungai sebagai akses utama masyarakat desa dengan menggunakan perahu motor

3. 3 Iklim dan Hidrologi

Area ini memiliki curah hujan rata-rata tahunan 2 304 mm yang termasuk ke dalam zona B1 menurut klasifikasi iklim Oldeman, artinya areal ini memiliki intensitas curah hujan yang cukup (BMG Kenten Palembang 2008). Curah hujan memiliki keterkaitan yang erat dengan perhitungan biomassa suatu tegakan. Berikut data curah hujan bulanan tahun 1999-2008 pada daerah penelitian :

Tabel 5 Curah hujan bulanan tahun 1999 - 2008 di Merang Tahun Curah hujan Bulan ke- (mm)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total

1999 249 205 314 206 73 172 153 81 37 230 459 205 2384 2000 234 238 93 240 277 177 77 56 150 250 442 249 2483 2001 254 256 324 328 87 237 74 259 170 368 283 243 2883 2002 281 47 268 279 103 38 124 19 79 71 310 324 1943 2003 169 285 247 350 80 44 177 33 85 208 171 307 2156 2004 301 195 313 396 169 114 81 17 48 232 203 302 2371 2005 134 239 361 192 210 111 205 149 180 291 302 197 2571 2006 339 285 319 142 144 84 125 0 15 74 233 121 1881 2007 297 141 220 257 96 104 77 5 156 156 200 327 2036 2008 257 143 250 399 96 53 89 146 151 202 333 209 2328 Rataan 252 203 271 279 134 113 118 77 107 208 294 248 2303,6 Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang


(40)

Kondisi hidrologi areal ini dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Lalan dan anak-anaknya, yaitu Sungai Merang, Sungai Kepahyang dan Sungai Medak yang termasuk kedalam DAS Lalan dan bermuara di Selat Bangka. Sungai-sungai ini memberikan sumbangan air cukup besar terhadap kondisi hidrologi dan proses pembentukan gambut serta berpengaruh terhadap fluktuasi genangan air.

Sungai Merang mengalir ditengah kubah gambut yang terletak tepat diantara Sungai Kepahyang dan Medak. Sungai Merang memiliki banyak anak sungai diantaranya Sungai Cangkak, Sungai Buring, Sungai Beruhun dan Sungai Bawo. Sungai Merang mengalir dari daerah Petaling (perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi) sampai ke Sungai Lalan di desa Bakung, Kecamatan Bayung Lencir. Di areal ini terdapat lebih dari 100 parit atau kanal-kanal kecil dengan lebar 1,7 - 2 meter dan dalam 0,5 meter yang dibuat oleh penebang liar untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan dari hutan. Panjang kanal yang dibuat bervariasi, bahkan sampai 5 km tergantung pada potensi ketersediaan kayu. Dampak dari adanya parit-parit tersebut adalah penurunan air tanah terutama pada musim kemarau sehingga menyebabkan penurunan permukaan gambut.


(41)

3. 4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon

Berdasarkan penelitian yang dilakukan SSFFMP (2005) gambut yang berada di sekitar lokasi penelitian tergolong pada gambut dangkal, sedang dan gambut dalam. Berdasarkan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata kematangan gambut pada tingkat hemik-safrik, sedangkan pada kedalaman > 1 m pada tingkat kematangan safrik. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses dekomposisi bahan organik berjalan baik, dikarenakan area tidak selalu tergenang air dan terdapat periode kering sehingga dapat membantu proses dekomposisi bahan organik.

Jika dilihat dari karakteristik kimia gambut, reaksi tanah (pH) pada Hutan Gambut Merang tergolong masam. Nilai kemasaman gambut dihasilkan dari sumbangan ion H+ dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan gambut. Kandungan C di lahan gambut ini dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5% sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah C dan N tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan. Jika ditinjau dari kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) daerah ini dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tandah dalam menyerap unsur-unsur hara (SSFFMP 2005).

Hutan Gambut Merang adalah salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Walhi Sumatera Selatan (2009) menyatakan luas hutan gambut di propinsi sekitar 750 000 hektar. Namun, sekitar 500 000 hektar hutan gambut sudah dialihfungsikan, sehingga hutan gambut yang belum dialihfungsikan tinggal seluas 230 000 hektar di Merang Kepahyang. SSFFMP (2005) menyatakan bahwa hutan rawa gambut Merang and Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Tahun 2006, SSFFMP membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut peat dan DEM SRTM dan menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan kedalaman rata-rata gambut 208 cm


(42)

(Mott 2006). Ballhorn (2007) menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meters, hutan gambut Merang mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO2.

3. 5 Kondisi Sosial Ekonomi

Hutan gambut Merang secara administratif hampir sama dengan desa Muara Merang. Muara Merang terdiri dari 3 dusun yaitu Kepahyang, Bakung dan Bina Desa yang berlokasi di pinggir sungai. Penduduk yang mendiami desa ini berjumlah 1 240 jiwa dengan 273 kepala keluarga. Mata pencarian utama penduduk desa adalah penebang kayu (pembalok), petani, buruh di perusahaan sawit, dan nelayan.

Gambar 8 Kayu hasil penebangan liar yang dilewatkan melalui sungai Buring

Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung, yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayu-kayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.


(43)

3. 6 Sejarah Areal

Hutan gambut Merang merupakan bekas Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang ditetapkan sejak tahun 1976 oleh Departemen Kehutanan. Beberapa HPH telah memanfaatkan areal ini seperti PT. Bumi Raya Utama Wood Industries, PT Riwayat Musi Timber dan PT Bumi Usaha Pratama Jaya. Sistem yang digunakan oleh HPH ini adalah sistem tebang pilih/TPI yang diatur pada PP 21 Tahun 1970 dengan menebang kayu-kayu komersial seperti : meranti (Shorea spp), mersawa (Anisoptera spp) dan ramin (Gonystylus bancanus), dengan limit diameter 60 cm. Akses utama pada areal ini adalah sungai dan ongkak/rel kayu yang panjangnya bisa mencapai 20 km (terbukti dengan ditemukannya jalur ongkak pada keempat plot penelitian yang berukuran 35 x 35 m2). Pada bulan Desember 2000, semua perusahaan yang beroperasi di hutan gambut Merang menghentikan kegiatannya dan menyisakan area bekas eksploitasinya begitu saja.

Gambar 9 Peta ex HPH KPHP Lalan (Sumber: MRPP 2009)

Penutupan HPH, menyisakan unmanaged forest yang memicu timbulnya ilegal logging. Baik masyarakat lokal ataupun masyarakat pendatang dari kabupaten lain melakukan penebangan liar yang difasilitasi oleh para cukong kayu di area hutan Merang. Hasil survey Wetland International di hutan gambut


(44)

Merang menyatakan bahwa kayu yang diambil penebang liar memiliki diameter 30 - 60 cm, sedangkan untuk 60 cm keatas sangat jarang ditemukan. Jenis-jenis yang ditebang adalah kayu-kayu yang terapung di perairan seperti meranti, ramin dan lain-lain. Sedangkan untuk kempas (Koompassia malaccensis) dan punak (Tetramelistra glabra) tidak diambil karena berat jenisnya yang sangat besar sehingga tenggelam di sungai. Selain kayu-kayu terapung, kayu lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah Gelam (Melaleuca sp.) yang menjadi spesies dominan pada hutan yang terdegradasi akibat pembakaran/kebakaran hutan. Meskipun tidak komersil, kayu ini dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan arang bagi masyarakat.


(45)

IV METODE PENELITIAN

4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Kabupaten Musi Banyuasin selama bulan Juli tahun 2008. Untuk identifikasi spesies tumbuhan yang tidak diketahui dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Analisis kimia berupa kadar air dan kadar karbon dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Gunung Batu Bogor dari bulan Agustus sampai dengan November 2009.

Tabel 6 Titik koordinat dan kedalaman gambut lokasi penelitian

UTMx UTMy Kedalaman gambut (cm)

391789,98 9780818,71 80

391789,97 9781218,85 175

391786,30 9781615,31 530

391792,43 9782001,96 457

Lokasi penelitian


(46)

4. 2 Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kelompok peubah vegetasi dan serasah.

4. 2. 1 Peubah Vegetasi

Vegetasi hutan yang akan diukur dan diamati adalah pohon dan tumbuhan bawah. Peubah vegetasi berupa pohon yang diamati terdiri dari :

1. Nama jenis, jumlah individu, diameter dan tinggi total

2. Pohon yang terpilih sebagai contoh uji untuk penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pohon, ditimbang berat basahnya berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting, dan daun). Sedangkan di laboratorium peubah yang diukur adalah kadar air, kadar karbon, kadar zat terbang arang, dan kadar abu dari pohon berdasarkan bagian-bagiannya

Untuk pohon diklasifikasikan atas 7 kelas berdasarkan Dbh (diameter at breast height), dimana tiap kelas memiliki selang 10, kecuali pada kelas pertama. Pohon yang diukur dimulai dari pohon dengan Dbh > 5 cm karena pengukuran pada pohon dengan Dbh < 5 cm, biasanya dilakukan pada hutan yang sangat muda (Pearson et al. 2008). Penelitian dengan diameter > 5 cm sebagai diameter minimum pohon telah dilakukan oleh peneliti terdahulu (Ketterings et al. 2001; ICRAF 2001; Brown 1997; Tresnawan dan Rosalina 2002; Limbong 2009). Tumbuhan bawah meliputi tumbuhan berkayu (pohon berdiameter batang < 5 cm) dan tumbuhan tidak berkayu meliputi semak belukar, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma (ICRAF 2001). Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil total bagian tanaman. Peubah yang diukur di lapangan adalah berat basah. Sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, berat jenis, kadar karbon, kadar zat terbang arang, dan kadar abu.

4. 2. 2 Peubah Serasah dan Nekromassa

Serasah diklasifikasikan menjadi serasah cabang, ranting, daun dan nekromassa. Peubah serasah yang diukur di lapangan adalah berat basah dan yang diukur di laboratorium adalah kadar air, kadar zat terbang arang, kadar abu dan kadar karbon terikat.


(47)

4. 3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah : GPS (Global Positioning System) Garmin 60CSx, phi band, meteran, terpal 4 x 6 m dan 2 x 3 m, timbangan berskala 100 kg, 50 kg, 25 kg dan 5 kg (timbangan digital), kompas, katrol besi, paralon (untuk patok), chainsaw ukuran besar dan kecil, parang/golok, bor gambut, gunting daun, kaliper, tali rafia, amplop, alkohol 70%, kontainer, karabiner dan webing, tas alat, kertas label, cat semprot merah, kertas koran, sealed plastic, plastik ukuran 2 kg, cawan porselen, tanur, eksikator, kamera dan alat tulis.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 11 (a) Timbangan dengan berbagai kapasitas, (b) alat dalam kegiatan analisis vegetasi, (c) katrol membantu dalam penimbangan kayu, (d) chainsaw dan beberapa alat untuk penebangan dan pembagian anatomi pohon

4. 4 Prosedur Penelitian di Lapangan 4. 4. 1 Analisis Vegetasi

Jumlah plot yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 4 buah yang masing-masing berukuran 35 x 35 m. Penentuan plot di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start. Penentuan luas plot dengan


(48)

memperhatikan pohon tertinggi yang berada di plot contoh yakni 30 ± 2 m. Morikawa (2001) menyatakan sisi terpendek dari plot contoh harus lebih panjang dari tinggi pohon tertinggi (maksimum) yang terdapat di dalam plot

.

Plot ditentukan dengan mempertimbangkan kedalaman gambut dan jarak tiap plot masing-masing 200 m dimana plot pertama ditentukan secara acak. Desain plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Plot yang dibuat dibagi atas subplot dengan rincian sebagai berikut (Pearson et al. 2008) :

Tabel 7 Pembagian subplot penelitian

Vegetasi Square plot

Tumbuhan bawah dan serasah 2 x 2 m

Pohon dengan Dbh 5-20 cm 7 x 7 m

Pohon dengan Dbh 20-50 cm 25 x 25 m

Pohon dengan Dbh >50 cm 35 x 35 m

35x35m

25x25m 7x7m

2x2m

Subplot tumbuhan bawah dan serasah

Gambar 12 Desain plot penelitian untuk analisis vegetasi

Pada setiap plot, semua pohon > 5 cm diidentifikasi, diukur diameternya. Diameter yang diukur pada ketinggian 1,3 m di atas tanah. Pada beberapa hasil penelitian untuk pendugaan biomassa dan karbon berbagai tipe hutan menyarankan hanya menggunakan Dbh sebagai parameternya untuk kepraktisan dan efisiensi serta tanpa mengurangi tingkat akurasi hasil dugaan.


(49)

Hal ini dikemukan antara lain oleh Onrizal (2004), Limbong (2009), Ismail (2005), Salim (2005), Chave et al. (2005).

(a) (b) (c)

Gambar 13 (a) Pengeboran tanah gambut, (b) pembuatan subplot 2 x 2 m, (c) pengukuran diameter setinggi dada

Semua tumbuhan bawah dan serasah yang terdapat di lantai hutan di dalam subplot ukuran 2 m x 2 m yang diletakkan secara nested sampling. Tumbuhan bawah dipisahkan atas tumbuhan berkayu dan tidak berkayu yang diidentifikasi jenis dan jumlahnya.

4. 4. 2 Pengambilan dan penebangan pohon terpilih

Jumlah pohon contoh ditentukan dengan metode acak berlapis berdasarkan kelas diameter pohon. Untuk menentukan kelas diameter tebangan dilihat dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan. Interval masing-masing kelas dibuat 10 cm, kecuali pada kelas pertama yang hanya berinterval 5 (karena pengukuran pohon berawal dari pohon dengan Dbh > 5 cm). Untuk menentukan unit contoh pohon yang ditebang pada setiap kelas diameter digunakan rumus sebagai berikut :

n N

Nh nh

× =

dimana nh adalah pohon contoh terpilih dalam kelas diameter h, Nh adalah jumlah pohon dalam lapisan ke-h, n adalah jumlah pohon contoh, N adalah jumlah pohon dalam populasi. Dengan menggunakan metode tersebut terpilih 30 pohon contoh dengan rincian sebagai berikut :


(50)

Tabel 8 Pohon terpilih untuk ditebang berdasarkan kelas diameter

Kelas Dbh Jenis Dbh (cm) Tinggi (m)

5 – 10 cm Syzygium sp. (2) 5,3 10,6

Syzygium sp. (1) 7,5 13,5

Dyera lowii 7,5 7,9

Shorea uliginosa 8,3 10,2

Syzygium bankense 8,7 12,5

Horsfieldia sp. 8,8 8,4

Dacryodes cf.rostrata 9,0 9,3

Syzygium sp. (1) 9,4 12,0

Dyera lowii 9,9 14,3

10 - 20 cm Shorea uliginosa 10,2 10,5

Lithocarpus sundaicus 10,5 11,7

Shorea dasyphylla 11,5 9,8

Dacryodes rostrata 12,8 11,4

Elaeocarpus griffithii 13,6 6,6

Shorea uliginosa 14,0 14,5

Crytocarya crassinervia 14,5 15,4

Gonystylus bancanus 16,0 14,3

Crytocarya crassinervia 16,2 14,0

20 - 30 cm Litsea noronhae 21,0 16,5

Polyalthia sumatrana 21,5 18,3

Macaranga maingayi 24,9 17,0

Mezzetia parviflora 27,0 21,2

Dacryodes rostrata 28,0 22,0

Alseodaphne insignis 29,5 22,8

30 - 40 cm Mezzetia parviflora 31,0 19,5

Polyalthia sumatrana 36,0 29,7

Dacryodes rostrata 39,8 26,9

40 - 50 cm Polyalthia sumatrana 46,8 26,1

50 - 60 cm Palaquium ridleyi King 51,4 29,3

60 - 70 cm Tetramerista glabra 64,0 31,2

Pohon contoh yang terpilih kemudian ditebang dan dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon yaitu batang, cabang, ranting, dan daun. Batang pohon ditebang sedapat mungkin rata dengan tanah, dan dibagi-bagi atas segmen-segmen untuk memudahkan dalam penimbangan. Adapun panjang segmen tergantung dari berat pohon yang disesuaikan dengan kapasitas timbangan. Daun, cabang dan ranting dikumpulkan untuk diketahui fresh weight masing-masing bagian pohon tersebut. Selanjutnya dilakukan pengukuran tebal kulit pohon dengan caliper. Untuk pengambilan contoh uji, batang dapat dibagi atas 2 - 7 fraksi yang dapat mewakili kondisi pohon. Selain perubahan diameter,


(51)

bentuk permukaan pohon misalnya: terdapat benjolan atau gerowong kecil pada batang menjadi pertimbangan pembagian fraksi. Dari tiap fraksi batang diambil contoh uji ± dengan ukuran 8 x 5 cm yang selanjutnya dianalisa di laboratorium. Untuk contoh uji daun, cabang dan ranting diambil minimal 50 gram.

Gambar 14 Penebangan pohon


(52)

Gambar 16 Penimbangan batang

Gambar 17 Pengumpulan dan penimbangan daun


(53)

4. 4. 3 Pengambilan contoh tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa Semua tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa di atas permukaan tanah yang terletak di dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m terpilih diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya. Sebelum penimbangan berat basah di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan tumbuhan bawah yang terdiri dari tumbuhan bawah berkayu dan tidak berkayu. Untuk serasah dibagi serasah cabang, serasah ranting, serasah daun dan serasah buah dan nekromass. Selanjutnya diambil contoh uji sebanyak ± 200 gram dari masing-masing tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa tersebut untuk dianalisis di laboratorium.

Gambar 19 Pemisahan dan penimbangan serasah

4. 5 Prosedur Penelitian di Laboratorium 4. 5. 1 Pengukuran Kadar Air

Pengukuran kadar air contoh uji dari beberapa bagian pohon dilakukan berdasarkan standar TAPPI T268 OM 88 dengan tahapan sebagai berikut:

a. Sebelum pengujian dimulai, cawan aluminium yang akan digunakan dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu 105ºC selama 1 jam. Setelah 1 jam, cawan aluminium didinginkan ke dalam eksikator, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat cawan.

b. Selanjutnya contoh uji sebanyak 1 – 2 gram ditimbang (Bo), kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 105ºC.


(54)

c. Setelah 3 jam, cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut dikeluarkan dari oven, kemudian dimasukkan kedalam eksikator, selanjutnya ditimbang sebagai berat contoh uji dalam cawan aluminium. Berat contoh uji dalam cawan aluminum dikurangi berat cawan aluminium dinyatakan sebagai berat kering oven dari contoh uji (BKc)

Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

x100%

BKc BKc Bo

KA= −

dimana:

KA = kadar air contoh uji (%) Bo = berat basah contoh uji (gram) BKc = berat kering contoh uji (gram)

4. 5. 2 Pengukuran Biomassa

Setelah diperoleh berat kering sampel pengukuran kadar air pada masing-masing bagian anatomi pohon, maka dapat dihitung nilai berat total kering sampel atau biomassa dari masing-masing bagian anatomi pohon dengan menggunakan persamaan :

      + = 100 KA 1 BBT BKT

Dimana : BKT = Berat Kering Total (kg) BBT = Berat Basah Total (kg) KA = Kadar Air

Setelah diketahui berat kering total (biomassa) bagian anatomi pohon maka dapat diperoleh biomassa total per pohon dengan menjumlahkan biomassa bagian-bagian pohon tersebut.

4. 5. 3 Pengukuran Berat Jenis

Sampel berukuran 2 × 2 x 2 cm, yang telah kering oven konstan pada suhu 103 ± 20C, dicelupkan kedalam parafin cair hingga merata seluruh bagiannya, kemudian ditimbang pada air aquadest dalam gelas piala diatas timbangan analitis.


(1)

daun dan cabang berturut-turut adalah 23,30% - 49,55% dan 29,12% - 42,30%. Kadar air terendah terdapat di bagian batang dengan kisaran 6,65% - 8,35%. Untuk analisis berat jenis diketahui terdapat variasi untuk 30 pohon yang ditebang. Jenis pohon yang memiliki berat jenis terbesar adalah Syzygium bankense, Palaquium ridleyi dan Tetramerista glabra. Dyera lowii dan Shorea uliginosa adalah jenis pohon yang memiliki berat jenis paling kecil. Berat jenis pohon contoh berkisar dari 0,30 - 0,94 gcc-1. Untuk hasil analisis kadar zat terbang memiliki kisaran rata-rata 72,23% - 85,37% yang diikuti oleh kadar karbon terikat rata-rata antara 14,12% - 23,22%. Hasil analisis kadar abu menunjukkan persentase paling kecil untuk setiap anatomi pohon yakni berkisar 0,51% - 4,55%. Persen kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada daun (23,22%) dan terendah terdapat pada batang (14,12%).

Untuk analisis data, model pendugaan biomassa dan karbon terikat dibangun melalui analisis regresi dengan menggunakan 6 persamaan dasar. W = aDb untuk biomassa dan C = aDb menjadi model terpilih untuk estimasi biomassa/ha dan karbon/ha (dimana W = biomassa, C = karbon terikat, D = diameter setinggi dada dan a, b = konstanta). Biomassa terbesar terdapat pada batang yakni 79,47% (210,10 ton/ha), kemudian cabang, ranting dan daun mengandung biomassa ± 20% dari total biomassa pohon. Biomassa terendah terdapat pada daun yaitu 12,05 ton/ha atau 4,35%. Total biomassa pohon pada hutan bekas tebangan daerah Merang adalah 276,95 ton/ha. Sedangkan, total biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 10,19 ton/ha. Nilai yang ditunjukkan karbon terikat linear positif dengan nilai kandungan biomassa. Total karbon terikat pohon adalah 41,82 ton/ha, dimana batang memiliki kandungan biomassa sebesar 30,16 ton/ha atau 72,11% dari karbon terikat pohon total. Kandungan karbon terendah terdapat pada bagian daun yakni 6,62% atau 2,77 ton/ha. Total potensi kandungan karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 2,28 ton/ha. Dacryodes rostrata, Polyalthia sumatrana, Crytocarya crassinervia merupakan jenis yang memiliki kontribusi karbon terikat tertinggi diantara jenis lainnya pada lokasi studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biomassa di tegakan hutan bekas tebangan adalah 287,13 ton/ha dengan kandungan karbon 44,09 ton/ha atau setara dengan 161,81 ton CO2.

Secara keseluruhan pada penelitian ini biomassa mengandung 15,78% karbon terikat dari total tegakan. Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Brown (1997) yang menyatakan bahwa setengah dari biomassa adalah karbon. Begitu juga dengan teori yang dikemukan oleh Mudiyarso et al. (2004) dimana 45% biomassa adalah karbon. Kandungan karbon rata-rata pada hutan bekas tebangan Merang Musi Banyuasin berkisar dari 14,03% – 23,60%.

Kata kunci : karbon terikat, hutan bekas tebangan, rawa gambut dan persamaan alometrik


(2)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(3)

POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA HUTAN GAMBUT BEKAS TEBANGAN DI

MERANG SUMATERA SELATAN

NISA NOVITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

Judul Tesis : Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan

Nama : Nisa Novita

NRP : P052080131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Magister (S2)

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana, Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(5)

Sebuah Tulisan Akhir Mahasiswa Atas Beasiswa Ayah Bunda

Untuk kedua orang tua tercinta atas pengorbanan yang tak pernah tergantikan

Dan untuk seorang Profesor* , atas kemuliaan hati dan segala kebaikannya ....


(6)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr yang memberikan pelajaran hidup dan dukungan yang sangat berarti.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana selaku anggota komisi pembimbing. 3. Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc sebagai penguji luar komisi.

4. Bapak Solichin, S. Hut, MSc dan segenap staff Merang REDD Pilot Project GTZ di Palembang yang banyak membantu penulis selama penelitian. 5. GTZ Palembang atas dana penelitian yang telah diberikan.

6. Sebelas orang masyarakat Bina Desa dan Kepahyang yang telah membantu penelitian di lapangan.

7. Dosen statistika Laode Rahman, MS dan

8. Teman-teman mahasiswa PSL 2008 dan N. A. Eka Widyasari.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada orang tua (Enimar dan Syaiful) tercinta atas doa, dukungan dan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Kepada Albert Syaiful dan Deasy Fitria yang telah memberikan semangat dan dukungan selama ini. Dan untuk yang setia menemani dan menyayangi, Dede Hendry.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2010