karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya Ketterings
et al . 2001. Berdasarkan hal tersebut diperlukan
pengukuran biomassa yang akurat untuk membangun model persamaan alometrik di hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan.
Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana model penduga biomassa dan potensi karbon terikat pada
hutan bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan ? b. Bagaimana profil serapan karbon dengan penyebarannya pada setiap
bagian pohon pada setiap kelas diameter ?
1. 4 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Memformulasikan model penduga biomassa dan mengetahui kandungan
karbon terikat di hutan bekas tebangan Merang di Kabupaten Musi Banyuasin propinsi Sumatera Selatan.
b. Menganalisis profil serapan karbon terikat dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon batang, cabang, ranting dan daun pada setiap
kelas diameter.
1. 5 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai pendugaan potensi biomassa tegakan dan
potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan hutan
dengan memperhatikan fungsi hutan sebagai solusi pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
1. 6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon di areal bekas tebangan berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi
positif dan signifikan dengan diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter.
II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tanah gambut
Istilah tanah gambut berasal dari salah satu kecamatan Kecamatan Gambut di Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik
banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar di daerah ini. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik C-organik
18 dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena
kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang
back swamp atau daerah cekungan
yang drainasenya buruk Agus dan Subiksa 2008. Tanah gambut di Indonesia terbentuk sejak periode Holosen 4200 - 6800
tahun yang lalu di saat terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub Agus dan Subiksa 2008. Karena naiknya permukaan air laut, maka
daerah-daerah dataran di sekitar pantai Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain- lain tergenang menjadi rawa-rawa atau naik permukaan air tanahnya
Hardjowigeno 1996. Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Agus dan
Subiksa 2008 menyatakan bahwa gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0 - 3 mm tahun.
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik
dengan berat jenis dalam keadaan lembab 0,1 g cm
-3
dengan tebal 60 cm atau lapisan organik dengan BD 0,1 g cm
-3
dengan tebal 40 cm Soil Survey Staff 2003.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: 1. Gambut saprik matang adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya 15.
2. Gambut hemik setengah matang adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 - 75.
3. Gambut fibrik mentah adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas 75
seratnya masih tersisa. Berdasarkan kondisi pembentukannya Polak 1975 membedakan
gambut menjadi 1 gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan, bersifat oligotropik dengan
kemasaman yang tinggi dan kandungan hara yang rendah. 2 gambut topogen yang terbentuk karena adanya depresi lokal, dipengaruhi air bawah tanah yang
dangkal, bersifat eutropik dengan kemasaman sedang hingga netral dan mengandung unsur hara sedang sampai tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa
bahan asal dari tanah gambut yang ditemukan di kawasan Malaysian Tropics
termasuk yang ada di Sumatera banyak didominasi oleh kayu-kayuan. Oleh sebab itu komposisi bahan organiknya lebih banyak lignin yang mencapai lebih
dari 60 bahan kering, sedangkan yang lainnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa serta protein masing-masing tidak lebih dari 11.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua
yang disajikan pada Tabel 1 BB Litbang SDLP 2008. Sumatera Selatan merupakan propinsi kedua di pulau Sumatera yang memiliki luasan areal gambut
setelah Riau yang penyebarannya disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai
spesies fauna dan tanaman langka dan mampu menyimpan karbon C dalam jumlah besar.
Tabel 1 Luas lahan gambut di Indonesia
PulauPropinsi Luas total ha
Sumatera 6 224 101
Riau 4 043 600
Jambi 716 839
Sumatera Selatan 1 483 662
Kalimantan 5 072 249
Kalimantan Tengah 3 010 640
Kalimantan Barat 1 729 980
Kalimantan Selatan 331 629
Papua dan Papua Barat 7 001 239
Total 18 317 589
Catatan: Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia
adalah sekitar 21 juta ha. Sumber: BB Litbang SDLP 2008
Gambar 2 Penyebaran gambut di Sumatera Selatan Sumber: SSFFMP 2006
2. 2 Siklus Karbon