D. Dinamika Repurchase Online Shopper yang Mengalami Post Purchase
Dissonance
Penelitian Wolfinbarger Gilly dalam Broekhuizen 2006 mengenai Understanding Channel Purchase Intentions: Measuring Online and Offline
Shopping Value Perceptions menyatakan bahwa setiap konsumen akan berbelanja sesuai dengan motivasinya masing-masing baik itu mengutamakan pengalaman
experiential ataupun tujuan goal-oriented. Namun Wolfinbarger Gilly berpendapat bahwa berbelanja secara online lebih menekankan pada tujuan goal-
oriented daripada pengalaman experiential yaitu sekitar 66 hingga 80 pembelian online lebih berpusat pada tujuan goal-oriented. Persentase yang
cukup tinggi itu dikarenakan setiap pebelanja online cenderung ingin menghemat waktu dan efisien dalam berbelanja. Bahkan bagi seorang pebelanja online sejati,
ia akan memiliki kepribadian internal locus of control yang cukup kuat dan berpusat pada goal-oriented. Konsumen yang memiliki kepribadian goal-oriented
memiliki kebebasan yang besar untuk mengontrol lingkungannya, artinya mereka tidak memiliki banyak tekanan untuk melakukan suatu pembelian online, mereka
juga kurang berkomitmen karena keterbatasan akses terhadap penjualnya sendiri dan mereka juga tidak merasa tertekan atas kehadiran agen pemasaran seperti
berbelanja di toko offline. Penentuan keputusan untuk melakukan pembelian secara online
melibatkan pencarian infomasi, perbandingan sejumlah alternatif dan penetapan keputusan. Hasil dari tahap tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi
perilaku pembelian konsumen dan kepuasan konsumen tersendiri Li Zhang,
Universitas Sumatera Utara
2002. Setelah konsumen yakin terhadap keputusan yang diambilnya, maka transaksi pembayaran pun akan dilakukan. Namun, ada suatu tahap dari perilaku
setelah pembelian yang akan dialami oleh setiap konsumen yaitu postpurchase dissonance atau disonansi setelah pembelian Ginting, 2009. Penelitian mengenai
perbedaan tingkat postpurchase dissonance antara pembelian secara offline dan online menunjukkan hasil bahwa konsumen yang melakukan pembelian secara
online memiliki tingkat postpurchase dissonance lebih tinggi daripada konsumen yang berbelanja secara offline Tarigan, 2012. Pemikirannya adalah konsumen
mendapatkan infomasi dan produk secara langsung sehingga kemungkinan konsumen akan mengalami post purchase dissonance menjadi lebih rendah
Loundon Bitta, 1993. Berbeda halnya dengan konsumen yang berbelanja secara online, mereka mempunyai keterbatasan bertatap langsung dengan produk
dan penjual Hawkins, Mothersbaugh Best, 2007. Salah satu indikator yang turut menentukan seseorang mengalami post purchase dissonance adalah
karakteristik kepribadian yaitu keberanian menghadapi resiko dalam melakukan pembelian secara online Tarigan, 2012.
Postpurchase dissonance yang terjadi ketika melakukan pembelian secara online akan memunculkan berbagai emosi atau perasaan seperti ragu, kecewa,
marah, kesal, complain dan biasanya perilaku-perilaku tersebut bertujuan untuk menyesuaikan dan meyakinkan diri bahwa pilihan yang telah dilakukannya adalah
yang terbaik. Tingkat disonansi yang terjadi bisa berbeda-beda tiap individu. Indikasi tinggi rendahnya post purchase dissonance disonansi setelah pembelian
ini dilihat dari seberapa lama konsumen mengalami dissonance tersebut, artinya
Universitas Sumatera Utara
dikatakan tinggi atau sedang ketika post purchase dissonance yang dialami menetap hingga pengambilan data berlangsung dan dikatakan rendah ketika post
purchase dissonance yang dialami kurang dari waktu satu bulan Ginting, 2009. Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 mengungkapkan adanya tiga
dimensi besar yang dapat dijadikan landasan untuk melihat sejauh mana seorang konsumen mengalami postpurchase dissonance. Pertama adalah emotional atau
kondisi emosi yaitu ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan pembelian yang dilakukan. Kondisi ini dapat melibatkan seluruh
aspek psikologis seseorang dari perasaan sedih, kecewa hingga marah. Sebagai wujud dari hasil pembelian yang dilakukan sebelumnya, setiap konsumen
mempunyai pandangan dan cara tersendiri dalam mengungkapkan kepuasan maupun ketidakpuasan mereka. Kedua yaitu wisdom of purchase atau
kebijaksanaan dalam pembelian dimana adanya fungsi dan nilai guna dari setiap pembelian yang dilakukan. Pemilihan terhadap barang atau produk yang dibeli
dan perhatian terhadap setiap transaksi yang dilakukan tidak memberikan penyesalan kemudian. Terakhir yaitu concern over deal atau kesadaran atas
pembelian yang dilakukan dimana pembelian yang dilakukan memang atas dasar keputusan sendiri dan bukan karena pengaruh dari agen penjual atau
pemasarannya. Resiko pun menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Segala faktor yang turut mempengaruhi pembelian akan menjadi ultimatum sendiri jika
pembelian tersebut ternyata akan bermasalah. Ketiga hal tersebut diatas akan dialami oleh setiap konsumen dengan taraf
yang berbeda-beda tergantung pada kondisi dan situasi pembelian yang mereka
Universitas Sumatera Utara
lakukan. Jika ternyata konsumen merasakan adanya ketidaknyamanan psikologis, fungsi dan daya guna barang ternyata tidak memberikan kepuasan yang efektif
dan ternyata pembelian yang dilakukan bukan atas dasar diri sendiri maka kemungkinan besar konsumen mengalami postpurchase dissonance.
Pembelian tentu saja tidak hanya berlangsung sekali tetapi akan berulang. Pembelian ulang atau kembali biasanya tergantung pada pengalaman pembelian
sebelumnya Wen, Prybutok, Xu, 2011. Pembelian kembali repurchase bisa saja terjadi pada toko online yang berbeda ataupun sama dengan pembelian
barang yang sama ataupun berbeda. Ketersediaan toko online yang banyak dan penawaran produk atau barang yang semakin beragam membuat konsumen tidak
akan pernah terlepas dari proses pembelian. Beranjak dari proses itulah akan terlahir konsumen-konsumen yang menjadi online shopper atau pebelanja online
sejati commited customers dan konsumen yang selalu berpindah-pindah untuk mencari keekonomisan dalam belanja.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah melihat proses dinamika yang terjadi pada konsumen yang berbelanja secara online mengalami postpurchase
dissonance dan melakukan repurchase pembelian kembali dimana secara teori
dijelaskan bahwa tidak mungkin konsumen yang telah mengalami disonansi setelah pembelian akan melakukan pembelian ulang. Penelitian Keng Liao
2009 mengenai konsekuensi dari post purchase dissonance juga menguatkan bahwa ternyata post purchase dissonance memiliki hubungan yang negatif dengan
kepuasan setelah pembelian dan intensi repurchase intention intensi pembelian kembali namun bersifat positif terhadap perilaku komplain.
Universitas Sumatera Utara
Adanya anomali-anomali yang muncul sebagai satu fenomena unik seolah-olah tidak sejalan dengan penelitian dan teori sebelumnya yang didukung
dengan data-data yang ditemukan di lapangan dimana beberapa responden yang menunjukkan dinamika yang berbeda satu sama lain yaitu ada responden yang
telah mengalami postpurchase dissonance pada satu toko online namun kemudian kembali berbelanja repurchase pada toko online tersebut dan ada yang bahkan
sampai beberapa toko online secara berturut-turut dengan toko online yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa fenomena ini ada dan muncul diluar dari
teori atau penelitian-penelitian sebelumnya mengenai post purchase dissonance. Berbagai alasan pun muncul untuk memperkuat perilaku repurchase mereka.
Alasan-alasan yang diungkap oleh konsumen dan bagaimana proses tersebut dapat terjadi sehingga akan didapati suatu dinamika atas fenomena tersebut dan kondisi
psikologis yang dialami oleh konsumen ketika post purchase dissonance muncul sehingga mengarahkan konsumen untuk melakukan repurchase pembelian
kembali.
Universitas Sumatera Utara
E. Kerangka Pemikiran