Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah Desa dapat Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintaha

27 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut juga mengatur tentang Desa, yaitu pada Bab XI Pasal 200 s.d. Pasal 216. Kemudian, sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 216 tersebut, maka Pemerintah menetapkan sebuah peraturan yang disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan ini diharapkan akan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa di seluruh wilayah Republik Indonesia. Menurut Bambang Trisantono Soemantri 2011 :3 bahwa ada beberapa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa yang temaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yaitu :

1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah Desa dapat

disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelengaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyararakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.

3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa

dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarkat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.

4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan

dan pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomondasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa;

5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan

pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditunjukkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. 28 Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, pada pasal 1,ayat 6 menyebutkan bahwa : Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa menurut Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, pada pasal 7 meliputi : a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang diserahkan pngaturannya kepada desa. c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota, dan d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan pada Pasal 7, khususnya huruf “b” tersebut diatas, maka terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata cara Penyerahan Urusan Pemerintahan KabuapatenKota Kepada Desa. Dalam pada pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tersebut di nyatakan bahwa BupatiWalikota melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap jenis urusan yang akan diserahkan kepada desa dengan mempertimbangan aspek letak geografis, kemampuan personil, kemampuan keuangan, efisiensi dan efektivitas. Selain dari pada itu, pada pasal 4 ayat 1,2 dan 3 dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tersebut juga dikatakan bahwa : ayat 1. Urusan pemerintahan yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan Daerah KabupatenKota, ayat 2. Setelah Peraturan Daerah KabupatenKota tentang penetapan jenis urusan yang dapat diserahkan kepada Desa diundangkan maka Pemerintah Desa bersama BPD melakukan evaluasi untuk menetapkan 29 urusan pemerintahan yan dapat dilaksanakan di Desa yang bersangkuatan ayat3 Kesiapan Pemerintahan Desa untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan KabupatenKota ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa atas persetujuan pimpinan BPD.Badan Perwakilan Desa. Selanjutnya pada pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5 disebutkan : ayat 2 Pemerintah KabupatenKota dapat menambah penyerahan urusan pemerintahan KabupatenKota kepada Desa atas permintaan Pemerintah Desa. ayat 3 Apabila pelaksanaan urusan pemerintahan KabupatenKota yang telah diserahkan kepada Desa dalam kurun waktu 2 dua tahun tidak berjalan secara efektif. Pemerintah KabupatenKota dapat menarik sebagian atau seluruh urusan pemerintahan yang telah diserahkan. ayat 4 Tata cara penambahan atau penarikan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah KabupatenKota, ayat 5 Peraturan Daerah KabupatenKota tentang tata cara penambahan atau penarikan urusan pemerintahan sekurang-kurangnya memuat : a kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan, b mekanisme penambahan urusan pemerintahan, dan c mekanisme penarikan urusan pemerintahan. Selanjutnya,untuk pelaksanaan urusan Pemerintahan Kabupatenkota yang diserahkan kepada Desa dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD KabupetenKota. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006,Bab V, pasal 7.

2.1.2. Pengertian Desa.

Dalam pengertian tentang Desa ini, penulis mengutip dari 3 tiga jenis Undang-undang yang berlaku sejak penulis mengenal sistem pemerintahan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,tentang Pemerintahan Desa , Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , tentang Pemerintahan Daerah. Defenisi desa secara formal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa ,pada Bab 1,pasal 1,huruf a, adalah : 30 Desa adalah suatu wilayah yang di tempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya setelah zaman reformasi muncullah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah , dimana pada Bab I, pasal 1,ayat huruf “O” disebutkan bahwa : Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pemerintah di zaman reformasi merasa bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, masih kurang sempurnanya. Oleh karena itu Pemerintah kembali membuat Undang-Undang yang disebut dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Dimana pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pada Bab I, Pasal 1,ayat 12 tersebut dinyatakan d bahwa : Desa atau yang disebut dengan nama lain,selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah,yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain defenisi menurut Undang-Undangm tersebut diatas,penulis juga mengutip beberapa nara sumber yeng memberikan pengertian tentang desa. Tujuan adalah untuk sebagai pembanding didalam pendefenisian tentang desa dan sekaligus menambah khasanah tentang desa demi kesempurnaan tulisan ini. Desa memiliki beberapa pengertian, hal ini dikarenakan karena ilmuan medefinisikan desa dari berbagai sudut pandang sesuai dengan disiplin ilmunya 31 masing-masing. Guna mendapatkan batasan pengertian tentang desa yang lebih lengkap maka perlu dikemukakan beberapa defenisi dari berbagai sudut pandang, sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini. Pengertian desa berdasarkan adat dikemukakan oleh Unang Sunardjo 1984 : 11 sebagai berikut : Desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Mengingat bahwa negara Indonesia memiliki suku bangsa dan adat istiadat yang beragam, maka tiap daerah memiliki nama yang berbeda untuk menyebutkan desa, yaitu seperti yang diungkapkan oleh Undang Sunardjo 1984 :10 sebagai berikut: 1. Desa dengan Kampung,Kapunduhan, Kamandoran, Ampian, Cantilan, Dukuh, Banjar untuk desa di Jawa dan Bali. 2. Dhisa dengan Kampong-Kampong di Madura. 3. Marga dengan Kampung, Dusun, Tiuh, di Sumatera Selatan Palembang, Jambi, Lampung, dan Bengkulu. 4. Nagari dengan Kampuang dan Jorong di Sumatera Barat. 5. Mukim dengan Gampong atau Meunasah di Aceh. 6. Kuria dengan Huta dan Kesain di Tanah Batak. 7. Tumenggungan atau kampung di Kalimantan. 8. Nagore dengan Soa dan Romanto di Maluku. 9. Wanua atau Nagori di Minahasa. 10. Manoa, Laraingu , Kenaikan, Kafetoran, dan Kedatoan di Nusa Tenggara Timur. 11. Banjar dan Lombilan di Nusa Tenggara Barat. 12. Penanian atau Buah di Tana Toraja. Sekalipun bermacam-macam nama dan sebutan serta asal mula terbentuknya desa, akan tetapi desa-desa di Indonesia pada umumnya memiiki asas atau landasan hukum yang hampir sama, yaitu berlandaskan kepada adat, kebiasaan dan hukum adat. 32 Jika ditinjau dari segi Geografis R. Bintarto yang dikutip oleh Beratha 1982: 26 berpendapat bahwa : Desa adalah sebagai “suatu unsur perwujudan geografi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial ekonomis, politis dan kultural yang terdapat di situ dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain” Selanjutnya, jika ditinjau dari segi Pengertian Administrasi Desa, Soetardjo Kartohadikusumo yang dikutip oleh Daldjoeni 1987 : 45 memberikan batasan tentang Desa adalah sebagai “suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri”. Sedangkan DR. P. J. Bouman yang dikutip oleh Beratha, 1982 : 27 memberikan definisi Desa dari segi pergaulan hidup adalah sebagai berikut : Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal kebanyakanyang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya. usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah sosial. Selanjutnya DR. P. J. Bouman yang dikutip oleh Beratha 1982 : 27 juga menyatakan bahwa jika ditinjau dari segi Hubungan dan Penempatannya dalam susunan Tata Tertib Pemerintahan, maka desa diberi batasan sebagai berikut: Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “Badan Hukum” dan adalah pula “Badan pemerintahan” yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkunginya. Kemudian Beratha, 1982 : 27 menyatakan bahwa desa-desa atau setingkat nama desa memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: a. Berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya, menurut adat kebiasaan setempat, menurut peraturan negara atau peraturan daerah yang berlaku. 33 b. Desa wajib melaksanakan tugas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dan daerah. c. Untuk melaksanakan tugas kewenangan tersebut, kepala desa diberikan sumbangan atau bantuan. Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab XI yang mengatur tentang desamarga, dimana dalam penjelasan umum angka 9 1 disebutkan bahwa: Desa atau nama lain adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. HAW.Widjaja 2001:69 membahas UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa desa memiliki ciri khas sebagai berikut: a. Desa memiliki kewenangan sempit. b. Desa merupakan persekutuan lokal localegemeenschap yang terdiri dari desadusun. c. Jumlah penduduk dan potensi tenaga pemipin relatif lebih sedikit. d. Desa memiliki kewenangan pemerintahan, pembinaan adat istiadat terpisah, tidak berada dalam 1 satu tangan. e. Desa tidak memiliki hak asal usul. f. Pembangunan desa dibiayai oleh Pemerintah berdasarkan subsidi bantuan, melalui berbagai proyek dan lainnya kurang efektif dan efisien. g. Pemerintahan Desa masih tetap di bawah Camat.

2.2. Tinjauan tentang Perlombaan Desa.

Dalam pengertian Perlombaan Desa ini, Penulis hanya mengutip defenisi yang terdapat di dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri INMENDAGRI No. 11 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perlombaan Desa. Adapun alasan yang mendasar adalah agar pendefenisian Perlombaan Desa itu tidaklah mengambang maupun rancu. Menurut INMENDAGRI Nomor 11 Tahun 1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perlombaan Desa, pada Bab II butir 4, bahwa: 34 Perlombaan Desa adalah suatu metoda dan gerakan pembangunan Desa secara obyektif, edukatif, maupun psikologis untuk mendorong dan merangsang pertumbuhan, perkembangan, dan percepatan pembangunan, serta meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab masyarakat desa dalam pembangunan menuju tatanan desa yang tertib, aman dan dinamis atau Desa Pancasila. Dari pendefenisian Perlombaan Desa tersebut, dapatlah ditarik pikiran yang mendasar tentang perpaduan antara pengertian “Perlombaan” dan pengertian “Desa”. sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Di mana Perlombaan Desa tersebut mencakup unsur : Metoda dan gerakan pembangunan desa adanya kegiatan, serta mendorong dan merangsang pertumbuhan memanfaatkan partisipasi masyarakat, perkembangan dan percepatan pembangunan memanfaatkan hak otonomi desa yang dimilikinya. Kegiatan, partisipasi masyarakat dan hak otonomi desa yang dimilikinya di “adu” atau diperlombakan dengan desa-desa lainnya. Selanjutnya pada bagian ini juga akan dibahas tentang tujuan, sasaran dan fungsi Perlombaan Desa yang dikutip dari INMENDAGRI Nomor 11 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perlombaan Desa, Bab III butir a, b, dan c. Adapun kutipan tersebut adalah:

a. Tujuan Perlombaan Desa

1 Mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan percepatan laju pembangunan desa, dengan merangsang dan menggalakkan peran serta masyarakat secara aktif, serta menumbuhkan rasa kesadaran dan tanggung jawab dalam pembangunan. 2 Mendorong peningkatan dan keberhasilan program pembangunan sektoral, regional, dan Impres yang masuk desa. 3 Memantapkan koordinasi dan keterpaduan dalam pelaksanaan berbagai jenis perlombaan yang berkaitan langsung dengan peran serta masyarakat desa yang dilaksanakan oleh berbagai Departemen dan Lembaga Non Departemen.

b. Sasaran Perlombaan Desa

1 Sasaran Perlombaan Desa adalah seluruh desa di Indonesia. 2 Sasaran Penilaian Perlombaan Desa adalah seluruh hasil pembangunan di desa selama satu tahun. 35

c. Fungsi Perlombaan Desa

1 Forum koordinasi, konsultansi dan komunikasi timbal balik dalam rangka pembinaan pembangunan desa secara terpadu. 2 Sarana evaluasi secara terpadu dan objektif terhadap seluruh kegiatan pembangunan desa dan kepemimpinan Kepala Desa. 3 Upaya mendidik masyarakat untuk menggerakan dan menggalakan peran serta masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong peningkatan pemanfaatan potensi desa, penertiban administrasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang kreatif dan dinamis. 4 Perangsang bagi masyarakat, agar secara psikologis menyadari dan bertanggung jawab terhadap pembangunan desa dan hasil- hasilnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Permendangri Nomor: 13 tahun 2005, tentang pedoman penyelenggaraan perlombaan desa dan kelurahan tidak berbeda jauh maksud dan tujuannya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Permendangri Nomor: 13 tahun 2007, tentang penyelenggaraan perlombaan desa dan kelurahan. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri PERMENDAGRI Nomor: 13 tahun 2007, tentang penyelenggaraan perlombaan desa dan kelurahan, pada pasal 1 sampai pasal 10 disebutkan bahwa :

a. Perlombaan Desa

Pasal 14: Pelombaan desa dan kelurahan adalah evaluasi dan penilaian perkembangan pembangunan atas usaha pemerintah dan pemerintahan daerah, bersama masyarakat desa dan kelurahan yang bersangkutan. b. Penyelenggaraan Perlombaan Desa Pasal 2:1 Penyelenggaraan perlombaan desa adalah perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan diselenggarakan oleh camat 2 Perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabupatankota diselenggarakan oleh bupatiwalikota 3 Perlombaan desa dan kelurahan provinsi diselenggarakan oleh Gubernur 4 Perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 3:1 Peserta perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan adalah seluruh desa dan kelurahan dari setiap kecamatan. 2 Peserta perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabupatenkota adalah juara perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan. 36 3 Peserta perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi adalah juara perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabupatenkota. 4 Peserta perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional adalah juara pertama perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi. Pasal 4:1 Perlombaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan setiap tahun. 2 Perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat 1 dilaksanakan pada Bulan Februari samapai dengan Bulan Maret. 3 Pelombaan desa dan kelurahan tingkat kabupatenkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 dilaksanakan pada bulan April samapai dengan bulan Mei 4 Perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat 3 dilaksanakan pada bulan Juni 5 Perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4 dilaksanakan pada bulan Juli.

c. Penilaian Perlombaan Desa Pasal 5:1 Penilaian perlombaan desa dan kelurahan dilakukan dengan

membandingkan data tingkat pengembangan desa dan kelurahan 2 dua tahun terakhir berdasarkan data profil desa dan kelurahan sesuai dengan indikator penilaian. 2 Penilaian perlombaaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1satu dilakukan dengan klarifikasi data di desa dan kelurahan calon Juara. 3 Penilaian perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional dilakukan selain dengan klarifikasi data tingkat pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 juga dilakukan klarifikasi indicator penilaian tingkat nasional. Pasal 6: Penilaian perlombaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dilaksanakan secara berjenjang dan berkelanjutan mulai dari tingkat kecamatan, kabupatenkota, provinsi dan tingkat nasional. Pasal 7 : 1 Juara Pertama perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan adalah desa dan kelurahan yang memperoleh skor tertinggi berdasarkan indikator penilaian pada perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan. 2 Juara Pertama perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabupatenkota adalah desa dan kelurahan yang memperoleh skor tertinggi berdasarkan indikator penilaian pada perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabipatenkota. 3 Juara Pertama perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi adalah desa dan kelurahan yang memperoleh skor tertinggi berdasarkan indikator penilaian pada perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi. 4 Juara perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional adalah desa dan kelurahan yang memperoleh nilai tertinggi berdasarkan indikator penilaian perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional. 37 Pasal 8: Juara Pertama perlombaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 3 dan ayat 4 menjadi peserta dalam pertemuan para Juara Pertama perlombaan desa dan kelurahan tingkta provinsi dan tingkat nasional pada bulan Agustus di Jakarta. Pasal 9: Indikator penilaian perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan kabupatenkota, dan provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1, meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan masyarakat; c. ekonomi masyarakat; d. keamanan dan ketertiban; e. partisipasi masyarakat; f. pemerintahan; g. lembaga kemasyarakatan; dan h. pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga. Pasal10: 1 Indikator penilaian perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 3, meliputi: a. keberhasilan pelaksanakan program pemberdayaan masyarakat dan desakelurahan; b. inisiatif dan kreativitas daerah dalam pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa dan kelurahan; c. tingkat kepatuhan terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintah; dan d. kinerja camat, kepala desa dan lurah beserta perangkatnya dalam pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dan kelurahan. 2 Indikator penilaian perlombaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, merupakan hasil olahan data tingkat perkembangan desa dan kelurahan 2 dua tahun terakhir berdasarkan indikator penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa perlombaan desa memiliki indikator tertentu dalam pelaksanaannya.. Indikator tersebut diperbuat sebagai rambu-rambu yang bersifat permanent dalam menilai keberhasilan pembangunan pada setiap desa yang akan diperlombakan Berikut ini adalah cakupan skor penilaian dari setiap indikator yang terdapat di dalam perlombaan desa, yang tertuang di dalam lampiran II kedua pada Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan perlombaan desa dan kelurahan, yaitu : 38 TABEL 1: SKOR PENILAIAN PERLOMBAAN DESA DAN KELURAHAN. NO. INDIKATOR PENILAIAN SKOR

I. Pendidikan Masyarakat 5 -100

1. Presentase Penduduk Tamat SMP Bila meningkat kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≥ 2 4 2 - ≥ 4 6 4 - ≥ 6 12 6 - ≥ 8 18 8 20 2. Presentase Penduduk Buta Huruf Bila menurun kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≥ 2 4 2 - ≥ 4 6 4 - ≥ 6 12 6 - ≥ 8 18 8 20 3. Realisasi Wajar 9 Tahun Bila meningkat kurang dari 5 1 ≥ 5 - ≥ 6 4 6 - ≥ 8 6 8 - ≥ 10 12 10 - ≥ 12 18 12 20 4. Angka Putus Sekolah Bila menurun kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≥ 2 4 2 - ≥ 4 8 4 - ≥ 6 16 6 20 5. Sarana Pendidikan Tidak Ada Peningkatan 1 Ada Peningkatan 20

II. Kesehatan Masyarakat 9 - 150

1. Kematian Bayi Bila menurun kurang dari 10 1 ≥ 10 - ≤ 15 4 ≥ 15 - ≤ 20 6 ≥ 20 - ≤ 25 12 ≥ 25 - ≤ 30 18 30 20 2. Kematian Balita Bila menurun kurang dari 10 1 ≥ 10 - ≤ 15 4 ≥ 15 - ≤ 20 6 ≥ 20 - ≤ 25 12 ≥ 25 - ≤ 30 18 30 20 3. Gizi Balita Bila Balita Bergizi buruk menurun kurang dari 5 1 ≥ 5 - ≤ 10 4 ≥ 10 - ≤ 15 6 ≥ 15 - ≤ 20 12 ≥ 20 - ≤ 25 18 39 25 20 4. Cakupan Imunisasi Polio-3 Bila meningkat kurang dari 5 1 ≥ 5 - ≤ 10 2 ≥ 10 - ≤ 15 4 ≥ 15 - ≤ 20 6 ≥ 20 - ≤ 25 8 25 10 DPT-1 Bila menigkat kurang dari 5 1 ≥ 5 - ≤ 10 2 ≥ 10 - ≤ 15 4 ≥ 15 - ≤ 20 6 ≥ 20 - ≤ 25 8 25 10 BCG Bila meningkat kurang dari 5 1 ≥ 5 - ≤ 10 2 ≥ 10 - ≤ 15 4 ≥ 15 - ≤ 20 6 ≥ 20 - ≤ 25 8 25 10 5. Angka Harapan Hidup Bila meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≤ 2 4 ≥ 2 - ≤ 4 8 ≥ 4 - ≤ 6 12 ≥ 6 - ≤ 8 16 8 20 6. Cakupan Pemenuhan Air Bersih Bila meningkat kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≤ 2 4 ≥ 2 - ≤ 4 8 ≥ 4 - ≤ 6 12 ≥ 6 - ≤ 8 16 8 20 7. Pemilikan Jamban Bila Pemilikkan Jamban Kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≤ 2 4 ≥ 2 - ≤ 4 8 ≥ 4 - ≤ 6 12 ≥ 6 - ≤ 8 16 8 20

III. Ekonomi Masyarakat 4 - 40

1. Presentase Penangguran Bila menurun kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 2. Pendapatan Per Kapita Bila meningkat kurang dari 1 1 40 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 3. Lembaga Ekonomi Bila menurun 1 Bila tetap 5 Bila meningkat 10 4. Tingkat Keseahteraan Bila KK prasejahtera menurut kurang dari 1 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10

IV. Keamanan dan Ketertiban 11 - 55

1. Konflik Sara Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 2. Perkelahian Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 3. PencurianPerampokan Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 4. Perjudian Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 5. Kasus Narkoba Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 6. Prostitusi Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 7. Pembunuhan Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 8. Kejahatan Seksual Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 9. Kekerasan dalam Rumah Tangga Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 10. Penculikan Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5 11. Partisipasi Masyarakat dalam Keamanan Bila meningkat 1 Bila menuruntidak ada 5

V. Partisipasi Masyarakat 44 -70

1. Pemilihan Umum Bila 75 8 Bila ≥ 75 10 Pemilihan Presiden Bila 75 8 Bila ≥ 75 10 Pemilihan Legislatif Bila 75 8 Bila ≥ 75 10 2. Pemilihan GubernurWakil Gubernur Bila 75 8 Bila ≥ 75 10 3. Pemilihan BupatiWakil Bupati Bila 75 8 Bila ≥ 75 10 4. Pemilihan Kepala Desa Bila 75 8 41 Bila ≥ 75 10 5. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Musrenbag Bila Partisipasi masyarakat menurun 1 Bila Partisipasi masyarakat meningkat 5 6. Gotong Royong Bila kegiatan Gotong Royong menurun 1 Bila kegiatan Gotong Royong meningkat 5

VI. Pemerintahan 6 - 70

A. Peningkatan Desa

1. Badan Permusyawaratan Daerah BPD Bila kurang dari 3 sarana 1 Bila ada 3-5 sarana 5 Bila ada 6-7 sarana 10 2. Pemerintah Desa Bila kurang dari 2 1 Bila ada 2 atau 3 5 Bila sarana dan prasarana lengkap 10 3. Administrasi Desa Bila kurang dari 4 1 Bila ada 2-7 5 Bila lengkap 10 4. Keuangan Desa Bila APBD meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 Bila PAD meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 Bila hibah meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 5. Akuntabilitas Bila tidak ada Bila ada 1 2 Bila ada 2 5 Bila semua ada 10

B. Pemerintah Kelurahan

1. Badan Permusyawaratan Daerah BPD Bila kurang dari 3 sarana 1 Bila ada 3-5 sarana 5 Bila ada 6-7 sarana 10 2. Pemerintah Desa Bila kurang dari 2 1 42 Bila ada 2 atau 3 5 Bila sarana dan prasarana lengkap 10 3. Administrasi Desa Bila kurang dari 4 1 Bila ada 2-7 5 Bila lengkap 10 4. Keuangan Desa Bila APBD meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 Bila belanja pembangunan meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 Bila hibah meningkat kurang dari 1 tahun 1 ≥ 1 - ≥ 2 2 2 - ≥ 4 4 4 - ≥ 6 6 6 - ≥ 8 8 8 10 5. Akuntabilitasi Bila tidak ada Bila ada 1 sd 2 2 Bila ada 3 sd 5 5 Bila semua ada 10 VII Lembaga Kemasyarakatan 0 - 45 1. Organisasi Perempuan Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 2. Organisasi Pemuda Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 3. Organisasi Profesi Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 4. Organisasi Bapak Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 5. LKMD atau sebutan lain Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 6. Kelompok Gotong Royong Tidak ada Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 5 7. Karang Taruna Tidak ada 43 Ada dan tidak aktif 2 Bila ada dan aktif 4 8. Lembaga Adat Bila tidak ada Bila hanya ada 1 2 Bila hanya ada 2 4 Bila ada 3 lembaga 6 Bila ada 4 lembaga 8 Bila ada ≥ 4 lembaga 10

VIII. Kesejahteraan KeluargaPKK 1 - 25

1. Realisasi Program Pokok PKK Terealisasi 2 kegiatan 1 Terealisasi 3-4 kegiatan 5 Terealisasi 5-6 kegiatan 10 Terealisasi 7-8 kegiatan 15 Terealisasi 9-10 kegiatan 20 2. Kelengkapan Organisasi Tidak Ada Ada 1 kelengkapan 3 Ada 2 kelengkapan 5 Berdasarkan pengertian dan penjelasan tentang ruang lingkup perlombaan desa tersebut diatas maka penulis menetapkan bahwa teori Perlombaan Desa yang digunakan dalam tulisan ini adalah berdasarkan INMENDAGRI Nomor 11 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perlombaan Desa. Hal ini didasarkan analisa penulis, bahwa INMENDAGRI Nomor 11 Tahun 1984 memiliki pengertian dan penjelasan yang lebih terperinci tentang perlombaan desa dan mudah dipahami.

2.3. Tinjauan tentang Pendidikan pada daerah pedesaan.

Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan 44 sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pada saat ini Pemerintah Negara Republik Indonenesia sangat serius menangani pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan disyahkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan perubahan dan penggantian dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya untuk mempermudah pelaksanaan dan penjabarannya, maka Pemerintah juga pemerintah juga telah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang pada akhirnya direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan nasional mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut : Visi Pendidikan Nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut: 1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; 2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; 3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 45 4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan 5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Sedangkan Strategi pembangunan pendidikan nasional meliputi : 1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. penyediaan sarana belajar yang mendidik; 7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. pelaksanaan wajib belajar; 10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. pemberdayaan peran masyarakat; 12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 13, pasal 14 dan pasal 26 menyebutkan bahwa : Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya pasal13 sedangkan Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pasal 14 dan Jenjang Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, danatau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat pasal 26 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga memberikan pengertian Pendidikan Formal,Pendidikan nonformal dan Pendidikan Informal sebagai berikut : Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang jenis pendidikannya mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus pasal 15. Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama danatau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.Pendidikan nonformal juga berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional pasal 26 Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.pasal 27 47 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 117 dinyatakan bahwa : Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan nonformal dan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui: a. Uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Pasal 115; dan b. Uji kesetaraan yang diatur dengan Peraturan Menteri untuk hasil pendidikan informal lain yang berada di luar lingkup ketentuan dalam Pasal 115. Pada Pasal 115 didalam Peraturan Pemerintah 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan bahwa : 1 Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing- masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C, dan Program Paket C Kejuruan dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. 3 Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk program kecakapan hidup dapat dilaksanakan untuk: a. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata pelajaran vokasi pada jenjang pendidikan menengah; atau b. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata kuliah vokasi pada jenjang pendidikan tinggi. Menurut Drs. B. Simanjuntak, SH dan Dra. I.L. Pasaribu 1986 : 87 dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Desa menyatakan bahwa didesa diperlukan sekolah yang bersifat formal dan nonformal. Sekolah dimaksud di sebut juga dengan istilah sekolah desa. Selanjunya sekolah tersebut didefenisikan sebagai berikut : Sekolah Desa ialah lembaga pendidikan dan pembinaan dalam persekutuan desa yang dengan pendidikan dan pembinaannya membawa rakyat desa ke taraf sosio-ekonomis dan kultural rohaniah tertentu, dengan 48 tujuan agar tiap pribadi dengan penuh tanggung dakwa dan tanggungjawab, dapat menyelesaikan tugas hidupnya dalam tiap situasi hidup yang melingkunginya. Selanjutnya Drs. B. Simanjuntak, SH dan Dra. I.L. Pasaribu 1986 : 79 juga menyebutkan bahwa sekolah desa mempunyai juga karakteristik umum sebagai berikut: a. Sekolah Desa pada taraf permulaan lebih banyak memberikan pembentukan, yang ditujukan kepada kemampuan manusia untuk dapat memenuhi hajat primer, baru setelah itu kepada hal-hal yang sekunder; mula-mula ditujukan kepada keperluan-keperluan ekonomis, baru sesudah itu kepada hal-hal yang lebih bersifat kultural rohaniah. Pelajaran- pelajaran dan tindakan-tindakan pendidikan lain mula-mula ditujukan kepada produktivitas dan efisiensi ekonomis. Untuk itu diberikan keterampilan-keterampilan dan ilmu-ilmu yang perlu dalam kehidupan desa yang ekonomis mau maju. b. Sekolah Desa langsung menghadapi soal kemajuan hidup dalam semua persekutuan hidup yang melingkungi sekolah tersebut. Usaha Sekolah Desa itu mula mula ditujukan kepada masalah-masalah lokal. Kemudian baru mengenai masalah-asalah daerah yang luas. Usaha tidak terbatas pada mengetahui soal dan ilmu, tetapi terutama mengenai kemampuan bertindak dalam mengatasi masalah desa itu. Para guru, pegawai administrasi dan murid merupakan warga desa yang aktif dalam persekutuan hidup itu. Mereka bekerjasama dengan jawatan-jawatan dan lembaga lain di desa dalam upaya upaya memecahkan dan mengatasi persoalan dengan yang dihadapi. Sering guru-guru sekolah Desa mesti berlaku sebagai pemimpin, sebagai pembina pemuda desa dan orang dewasa. c. Sekolah dewasa dipakai sebagai alat pendorong kemajuan dan alat perangsang pembangunan serta lembaga yang menjelaskan motif-motif usaha perbaikan. Untuk itu lembaga tersebut perlu sedapat mungkin menjadi pusat ilmu dan keahlian tertentu yang boleh dicontoh oleh orang desa. Kecakapan dan kesungguhan dalam usaha membangun desa mesti dicerminkan dalam aktivitas sekolah itu pada waktu menghadapi persoalan desa, terutama dalam menggunakan tiap-tiap bahan yang ada di desa sendiri sesuai dengan kenyataan hidup. Sekolah desa boleh juga dijadikan persekutuan model yaitu suatu “Model Community” yang akan memancarkan sinyal kemajuannya kesegenap penjuru desa yang memerlukan kemajuan. Kalau tiap pembangunan meminta sikap hidup “Planning minded”, real ecomomis, demokratis, cermat, giat, bertanggung jawab dan lain lain, maka sekolah desalah yang mesti lebih dahulu meralisasikan nilai-nila yang mesti berlaku dalam desa yang mesti maju itu. Apabila pembangunan desa meminta cara kerja yang lebih efisien, praktis, modern dan lain lain, maka cara-cara itu sebarnya mesti lebih dahulu nampak di sekolah desa 49 d. Rencana Pelajaran Sekolah Desa dirancangkan untuk turut memenuhi keperluan desa, hajat kehidupan rakyat desa, dengan memperhatikan segenap aspek-aspeknya; sangat flexible dan sewaktu-waktu dapat berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam desa dengan keperluan-keperluan yang turut ditimbulkan oleh perubahan- perubahan itu. Realitas social dan masalah-masalahnya serta cita-cita dari pembangunan desa merupakan beberapa dari factor-faktor yang banyak, yang turut memberikan dasar kepada penyusunan rencana pelajaran.Mata pelajaran dan bahan-bahan pelajaran juga disesuaikan dengan keperluan lokal kebutuhan negara dan hazat umat manusia. Walaupun rencana pelajaran akan berubah ubah, sesuai dengan perubahan perubahan di desa, tetapi dalam tiap perubahan akan selau tercantum uraian yang maksud dan isinya bahwa murid-murid akan belajar memperoleh pengalaman-pengalaman sebagai berikut: 1. Mengumpulkan fakta fakta mengenai masalah dan sumber sumber desanya; 2. Melakukan percobaan percobaan serta bukti-bukti dalam mencari pemecahan masalah-masalah tersebut. 3. Mengambil bagian dalam ativitas-aktivitas rombongan dalam menyelidiki, meaporkan, dan planning. 4. Mengobservasi situasi desa untuk dihubungkan dengan masalah- masalahnya serta memikirkan metode-metode mengenai pemecahan masalah semacam itu di desanya atau di desa lain. 5. Bekerja pada proyek-proyek individual dan proyek-proyek kelompok untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. 6. Memakai unsur-unsur ilmiah dari pengajaran dalam memecahkan soal-soal desa. e. Sekolah Desa merupakan tempat dimana anak-anak, pemuda dan orang dewasa bekerjasama untuk menemukan, menganalisa, dan mengajukan penyelesaian soal-soal desa. Soal yang mula-mula diajukan ialah soal yang urgen dan dekat dulu, setelah itu baru kepada masalah-masalah yang lebih jauh lihat juga b. Tugas Sekolah Desa, pada soal-soal tertentu yang tidak dapat dipecahkannya, ada kalanya cukup dengan mengajukan soal-soal itu kepada instansi lain yang lebih kompeten. Konsepsi penyelesaian soal desa merupakan hasil diskusi dan percobaan bersama. Akhirnya tiap warga desa oleh usaha Sekolah Desa mesti merupakan anggota-anggota pembangun.Sekolah desa juga akhirnya mesti mengambil manfaat dari pemecahan masalah itu yang dihasilkan oleh instansi lain, dengan demikian Sekolah Desa boleh menerima “service” dari instansi-instansi lain dalam desa. pada d. sekolah yang memberikan service. f. Selain dari menemukan dan menganalisa masalah-masalah persekutuan hidup, Sekolah Desa dapat juga diminta oleh persekutuan desa rencana yang akan dicobakan dengan maksud memenuhi keperluan mereka, akan kecakapan menggunakan hasil-hasil diskusi. Begitupun Sekolah Desa dapat meminta soal-soal yang perlu didiskusikan kepada tiap warga desa. Dengan demkian Sekolah Desa menjadi partner pergaulan hidup desa yang lebih luas dan begitupun desa adalah partner 50 dari Sekolah Desa.Hal ini menimbulkan terjadinya relasi yang simbiotik mutualistis antara sekolah dan kehidupan di desa. g. Sekolah Desa diregulasikan dengan cara yang memungkinkan usaha yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang mesti berlaku dalam pergaulan hidup dimana sekolah itu berdiri. Begitulah dalam lingkungan hidup yang demokratis cara demokratis dan semangat koperatif yang menghargai nilai pribadi manusia, merupakan nilai yang akan turut mendorong suburnya pertumbuhan sekolah desa. Sikap hidup tertentu yang akan merupakan syarat bagi usaha pembangunan desa mesti turut mengisi suasana kehidupan dalam sekolah desa lihat d. h. Para petugas dalam Sekolah Desa dan pergaulan hidup desa sedapat mungkin bersama-sama, sampai batas-batas tertentu, turut memberikan corak kepada peranan sekolah tersebut dalam menghadapi masalah kesejahteraan desa dan turut memberikan suara dalam merancangkan rencana pelajaran. i. Pegawai Sekolah Desa dan tenaga-tenaga fungsional dalam desa bersama- sama mencari masalah-masalah desa untuk diajukan kepada sekolah agar didiskusikan untuk mencari penyelesaiannya guna kemudian disumbangkan kepada usaha-usaha pembangunan desa. Sekolah dan warga-warga desa tidak usah saling menunggu dalam mencari masalah desa untuk disawalakan bersama-sama, dalam rangka usaha mereka belajar dengan inisiatif sendiri, dengan motif-motif kepentingan bersama turut menyumbangkan tenaga mereka dalam gerakan pembangunan desa, sesuai dengan kemampuan yang sudah ada padanya. j. Sekolah Desa selain dari suatu lembaga yang dengan otonom dapat mencoba mengatasi soal desa, dapat juga bekerja sebagai coordinator dalam situasi-situasi tertentu, dan mungkin juga berlaku sebagai anggota dari gabungan yang lebih luas yang bergerak dalam pembangunan desa. Sekolah Desa sebenarnya bukan satu-satunya lembaga yang akan mengolah masalah-masalah desa tetapi disampingnya masih ada lembaga- lembaga lain.Jikalau suatu pembangunan desa pada taraf tertentu sedang memusatkan perhatiannya kepada masalah pendidikan, maka lembaga- lembaga lain harus tersangkut ke dalamnya.sehingga pada saat itulah Sekolah Desa bertindak sebagai koordinator. k. Dalam rangka pembangunan desa, Sekolah Desa hanya merupakan penampung sumbangan-sumbangan dari lembaga-lembaga lain di desa yang juga memerlukan pertolongan Sekolah Desa pada saat saat tertentu. Petugas-petugas Sekolah Desa tidak selamanya memiliki keahlian khusus dalam ilmu tertentu dan sekolah ini tidak selalu memiliki benda-benda tertentu yang dipunyai oleh jawatan-jawatan lain. Pada saat sekolah desa sedang memusatkan usahanya kepada proyek-proyek pertanian, maka akhirnya ia harus meminta pertolongan dari jawatan pertanian yang mempunyai keahlian yang lebih khusus dan memiliki lebih banyak contoh dalam lapangan ini. Tetapi dengan jalan demikian juga jawatan pertanian akan turut tertolong oleh Sekolah Desa dalam popularisasi ilmu pertanian yang elementer yang sesungguhnya menjadi tugasnya. Begitu juga halnya dengan jawatan kehewanan, kehutanan, perikanan dan lain-lain. 51 l. Sekolah Desa mengarahkan juga minatnya kepada kerukunan tetanggaan dan persekutuan rumah; begitu juga dalam mencari pemecahan masalah- masalah lokal, sebenarnya bukan saja untuk memenuhi tujuan-tujuan lokal, tetapi juga dalam rangka keinginan mencapai tujuan persekutuan yang lebih luas. Sesuai dengan sifat manusia pada umumnya, maka segenap usaha ditujukan dahulu kepada masalah-masalah yang paling dekat dan paling urgen dalam lingkungan yang paling langsung berhubungan; kemudian perkembangan usaha itu makin lama makin luas dan makin dalam, jadi dengan pertambahan radius yang kian lama kian besar. Perkembangan ini disejalankan dengan perkembangan orang-orang desa. m. Sekolah Desa yang membawa nilai baru ke desa akan mendatangkan “cultural synthesis” yang mesti terjadi dalam tiap pembangunan desa. Sekolah Desa yang implisit merupakan juga lembaga kebudayaan akan membawakan “alternatives” kepala desa yang sudah mempunyai susunan “universals”. Karena itu akan terjadi dalam desa gejala sosio-kultural, dimana alternatives yang dibawakan sekolah itu diakui oleh pergaulan hidup desa sebagai “universals” mungkin dengan corak baru karena pengaruh pola dasar yang sudah dimiliki desa itu. Inilah gejala akulturasi atau transkulturasi yang mungkin saja terjadi. Dalam rangka pembangunan desa, Sekolah Desa akhirnya akan menimbulkan akulturasi tadi. Ini memang konsekuensi yang wajar dari fungsi lembaga tersebut yang mesti mengadakan modernisasi dan dinamik dalam desa yang sebelumnya biasa bersifat statis. Dari hal tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa Sekolah Desa merupakan sumber tenaga pembangkit yang amat vital dalam mencari penyelesaian masalah pembangunan desa dan memperbaiki kehidupan manusia dalam tiap persekutuan hidup. Maksudnya adalah bahwa sekolah desa bukan saja untuk memperbaiki segolongan manusia tetapi kehidupan segenap manusia yang terkurung dalam batas kemungkinan yang dimiliki sekolah itu. Juga bukan hanya untuk generasi sekarang melainkan juga bagi generasi yang akan datang. Sekolah Desa harus berdasarkan situasi yang faktis riel dan tujuan sosial lingkungannya yang mungkin tercapai. Hal ini mengingat kondisi-kondisi yang telah ada di desa. Pada dasarnya sekolah ini bersifat praktis, serasi hidup dan bercorak sosial inklusif. 52 Pendidikan dan pembinaan dalam sekolah desa mula-mula berupa latihan keterampilan dan ilmu-ilmu yang memungkinkan orang desa dengan berdiri sendiri akan cakap mencapai taraf sosio-ekonomis yang sesuai dengan martabat manusia dan kemanusiaan. Kemudian usaha Sekolah Desa ditunjukkan kepada pengangkatan taraf kultural rohaniah masyarakat desa, dengan tujuan terakhir dari pendidikan dan pembinaan yaitu: agar setiap pribadi yang hidup di desa dengan penuh tanggung dakwa dan tanggungjawab dapat menyelesaikan tugas hidupnya, pertama-tama dalam situasi hidup di desanya, dan pada akhirnya dalam setiap situasi hidup yang dimasukinya. Menurut Philip H. Combs Manzoor Ahmed 1986 dalam bukunya yang berjudul Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui Pendidikan Non- Formal menyatakan bahwa: Banyak sekali dan bercorak ragam kebutuhan akan pendidikan untuk usaha pembangunan pedesaan, namun untuk keperluan praktis seluruh kebutuhan itu dapat dibagi dalam 4 empat kelompok: 1. Pendidikan Umum dan Dasar: melek-aksara, melek angka, pengertian dasar mengenai ilmu pengetahuan dan lingkungan, dan sebagainya yang pada umumnya diusahakan oleh sekolah dasar dan sekolah lanjutan umum. 2. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga: terutama dirancangkan untuk menyebarkan pengetahuan, keterampilan, dan watak yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, mencakup mata pelajaran seperti ilmu kesehatan, ilmu gizi, kepandaian rumah tangga dan pengasuhan kanak-kanak, pemeliharaan dan penyempurnaan perumahan, keluarga berencana, dan sebagainya. 3. Pendidikan Kemasyarakatan: yang bertujuan mengokohkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga pada proses-proses daerah dan nasional melalui pengajaran tentang soal-soal pemerintah daerah dan negara, gerakan koperasi, proyek pembangunan masyarakat dan sebagainya. 4. Pendidikan Kejuruan: dirancangkan untuk membina kepandaian atau keterampilan tertentu, yang berkaitan dengan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi, dan yang berfaedah untuk mencari nafkah. 53 Ketersedian jalur Pendidikan Umum dan Dasar berupa pendidikan formal, pendidikan non formal dan Pendidikan Kejuruan berupa pendidikan informal yang dilakukan oleh pemerintah, ditambah dengan program wajib belajar 9 sembilan tahun diharapkan nantinya akan menjadi wahana pemacu semangat belajar masyarakat desa. Akan tetapi jalur pendidikan dimaksud juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengentaskan kebodohan yang terdapat di daerahnya. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan Kemasyarakatan adalah merupakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat kepada dirinya dan atau lingkungannya. Pendidikan ini pada umumnya berupa pembinaan desa dan pembinaan kepemudaan di desa.

2.4. Tinjauan tentang Partisipasi Masyarakat

Pemerintah dalam melaksanakan Pembangunan di daerah pedesaan menghadapi hambatan dan kendala yang cukup besar. Hambatan dan kendala tersebut pada umumnya diakibatkan oleh aspek Geografis, aspek Topologis, aspek Demografis, ketersediaan prasarana dan sarana, kelemahan akses terhadap modal dan informasi pasar, kemampuan sumber daya manusia SDM yang lemah, kemampuan kelembagaan pedesaan masih lemah, serta masih banyaknya kelemahan operasional dan fungsional lainnya. Memperhatikan berbagai hambatan,kendala dan kelemahan tersebut diatas, maka salah satu upaya yang dianggap sangat penting dan harus dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah mendorong, meningkatkan, mengembangkan dan mengaktualisasikan kekuatan dan kemampuan yang 54 bersumber dan berada di dalam masyarakat pedesaan itu sendiri. Kekuatan dan Kemampuan yang bersumber dan berada di dalam masyarakat pedesaan tersebut di defenisikan sebagai “partisipasi masyarakat” Secara umum, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan , keterlibatan dan kebersamaan anggota mayarakat dalam sesuatu kegiatan tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari gagasan, perumusan kebijaksanaan, hingga pelaksanaan program. Partisipasi dapat dibagi dalam dua 2 jenis kegiatan,yaitu Partisipasi secara langsung dan Partisisipasi secara tidak langsung. Partisipasi secara langusng berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga kerja dalam kegiatan yang dilaksanaakan . Parisipasi tidak langung berupa bantuan keuangan, pemikiran, dan materi yang dibutuhkan. Rahardjo Adisasmita 2006 : 2 memberikan pendapat tentang partisipasi adalah sebagai berikut : Partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan termasuk penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Prakarsa dan peran serta secara aktif anggota masyarakat berarti pelibatan anggota masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat. Lebih lanjut Rahardjo Adisasmita 2006 : 2 juga menyatakan pendapatnya bahwa : Kegiatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan meliputi identifikasi potensi, Identifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakat, penyusunan program-program pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat lokal, implementasi program pembangunan dan pengawasannya. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang diarahkan dan dilakukan dalam lingkungan masyarakat pedesaan setempat yang berarti orientasi pada pembangunan ke dalam inward looking 55 strategy, hal ini dikarenakan anggota masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui potensi dan kondisi masyarakatnya. Menurut Midgley yang dikutip oleh Wibisana 1989 bahwa partisipasi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : Partisipasi penduduk popular participation dan partisipasi masyarakat comuniti partipupation. Partisipasi penduduk diartikan dengan pembangunan sosial dalam lingkup yang luas serta menciptakan kesempatan bagi keterlibatan masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi dan kehidupan sosial bangsa; sedangkan Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat langsung dalam peristiwa lokal. Kemudian, Bachtiar Hassan Miraza,et al. 2010:13 menyatakan pendapatnya bahwa: Partisipasi harus melibatkan semua unsur yakni antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan dengan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron atau antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan Pemerintah dengan partisipasi vertikal. Keterlibatan dalam berbagai kegiatan politik seperti pemberian suara dalam pemilihan, kampanye, dan lain sebagainya, disebut partisipasi dalam proses politik, sedangkan keterlibatan dalam kegiatan seperti perencanaan dan pelaksanaan pembangunan disebut partisipasi dalam proses administratif. Sementara itu keterlibatan masyarakat sebagai suatu kesatuan, disebut dengan partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok disebut partisipasi individual. Lain lagi halnya dengan Rahardjo Adisasmita 2006 : 34 yang membedakan Partisipasi anggota masyarakat dengan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan sebagai berikut : Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan implementasi programproyek pembangunan yang dikerjakan di dalam ,asyarakat lokal. Sedangkan Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan pedesaan merupakan aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam imlementasi programproyek yang dilaksanakan. Kuswartojo 1993 juga memberikan pendapat tentang partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut: 56 Bahwa secara Umum, Partisipasi masyarakat ini dapat diartikan sebagai keikut sertaan, keterlibatan, dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegitan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari gagasan, perumusan kebijaksanaan, hingga pelaksanaan program. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan keuangan, pemikiran, dan materi yang di butuhkan.Partisipasi juga sering diartikan sebagai sumbangan dana, material, tanah atau tenaga pada suatu program atau kegiatan pembangunan yang belum tentu dikehendaki atau menjadi prioritas masyarakat , karena prakarsa dan rencana datang dari luar atau dari atas. Partisipasi semacam ini dapat diterima masyarakat sebagai suatu beban Selanjutnya Kuswartojo 1993 juga berpendapat bahwa : Meningkatkan partisipasi masyarakat tidaklah semata-mata berarti melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi program belaka . Dalam partisipasi tersirat makna dan integrasi keseluruhan program itu. Partisipasi merupakan sifat keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; partisipasi berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu program sehubungan dengan kehidupan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kancah politik,sering sekali ditakuti sebagai suatu pengaruh yang memecah belah. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap bahaya-bahaya partisipasi seperti itu searah dengan defenisi pembangunan sebagai sesuatu yang padat modal dan berorientasi pada pertumbuhan growth oriented, dan konsisten pula dengan defenisi administrasi sebagai suatu struktur hirarki dari atas ke bawah top down. Dari sudut pandang politik, menurut Hutington yang dikutip oleh Kuswartojo 1993 bahwa : Partisipasi dibedakan atas dua macam, yaitu partisipasi otonomik dan partisipasi mobilisasi.Partisipasi otonomik muncul dari kesadaran, kemauan sendiri dan suka rela, sedangkan Partisipasi mobilitasi digerakkan bahkan kadang-kadang dipaksakan. Penganut partisipasi ini menganggap bahwa partisipasi adalah sebagai hak demokrasi dan memberi nilai tingi pada partisipasi otonomik, tetapi pada kenyataan banyak partisipasi otonomik yang dimulai dengan mobilitasi. 57 Partisipasi menurut pemerintah yang dalam hal ini disampaikan Direktur Jendral Pembangunan Desa 1996 adalah : Partisipasi agak gampang diucapakan dan sering ditawarkan sebagai penerapan konsep pembangunan dari bawah, tetapi partisipasi ini terkait dengan berbagai segi dan pelik. Parisipasi menyangkut ideologi, sistem politik dan juga kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan juga harus dilaksanakan sebagai bagian dari pranata pembangunan itu sendiri, jika tidak yang terjadi hanyalah partisipasi semu tanpa ada kelanjutan dan hasil yang memuaskan Selanjutnya Direktur Jendral Pembangunan Desa 1996 menyatakan bahwa : Partisipasi ataupun partisipasi masyarakat dianggap dapat menjadi kunci keberhasilan pembangunan sampai pada tingkat bawah. Partisipasi dalam, perencanaan dan pelaksanaan program-program dapat mengembangkan kemandirian self-reliance yang dibutuhkan oleh para anggota masyarakat perdesaan demi akselerasi pembangunan. Keberhasilan program itu diukur dengan rasio biaya manfaat, dengan banyaknya praktek baru di bidang pertanian, berapa jauh program meningkatkan kemampuan petani untuk menolong dirinya sendiri, dan kemampuan program untuk melestarikan diri self-sustaining Direktur Jenderal Pembangun Desa, 1996 juga menyatakan bahwa : Menentukan jenis-jenis partisipasi yang tepat untuk suatu tugas tertentu dan keadaan tertentu merupakan hal yang lebih penting daripada sekedar penilaian mengenai ada tidaknya partisipasi. Partisipasi yang lebih banyak tidak selalu lebih baik, karena nilainya bergantung pada jenis partisipasi, keadaan dan lingkungan, pelaku partisipasi, dan kepentingan yang dilayani oleh patisipasi itu Di dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat Korten 1998 mengemukakan bahwa : Beberapa kendala dalam peningkatan partisipasi masyarakat yaitu kendala-kendala dalam agen-agen pelaksana implementing agency dalam masyarakatnya sendiri,serta dalam kelembagaan masyarakat yang lebih luas the broader institutions of the society. Kendala dalam agen- agen pelaksana meliputi pihak yang membuat keputusan; sikap, nilai, dan keterampilan; serta sistem evakuasi. Kendala dalam masyarakatnya sendiri mencakup kekurang sesuaian organisasi lokal; kurangnya kemampuan organisasional; kurangnya fasilitas komunikasi; serta perbedaan kepentingan ekonomi yang terjadi antar golongan masyarakat; serta adanya korupsi. Kendala-kendala lainnya yang ditemui dalam 58 peningkatan partisipasi masyarakat adalah berkaitan dengan unsur politik dan birokrasi. Sementara itu menurut Bryant dan White 1989 bahwa dalam penanganan program-program partisipasif sering pula ditemui beberapa dilema khas, yaitu:

1. Akses. Kelompok-kelompok atau anggota-anggota masyarakat manakah

yang harus dicakup..? 2. Daya tangkap. Terhadap siapakah para administrator harus tanggap? Terhadap masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang tak terorganisasi dan lebih sulit diamati..?

3. Profesionalisme. Cara apakah yang terbaik untuk mengevaluasi

preferensi warga masyarakat bila hal itu berlawanan dengan pertimbangan, penilaian, dan disiplin professional..?

4. Keefektifan. Apa yang dapat dikerjakan seorang adminststor jika

Dokumen yang terkait

Konflik Pemekaran Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus:Konflik Horisontal yang Bersifat Laten di Desa Pagar Manik, Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai)

8 84 101

Kajian Potensi Ekowisata Mangrove di Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

4 64 78

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

3 48 88

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 12

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 2

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 5

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 12

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 4

Pengaruh Aktivitas Masyarakat Pesisir Terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove di Pantai Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 17

Analisis Pengaruh Fungsi Perlombaan Desa Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa di Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 9