Pemeriksaan Pendengaran 1. Audiometri TINJAUAN PUSTAKA
riwayat pembedahan telinga, riwayat pemakaian obat-obatan, dan penyakit penyerta lainnya Arts, 2005.
b. Pemeriksaan fisik Pasien dengan gangguan pendengaran harus mendapat evaluasi berupa
inspeksi ada tidaknya kelainan telinga luar yang dapat mengganggu konduksi gelombang suara, obstruksi liang teling oleh benda asing maupun serumen,
perforasi membran timpani, kolesteatoma, maupun cairan di telinga tengah Shah, 2011.
c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan dengan menggunakan CT scan dan MRI untuk menemukan
penyebab retrokoklea, pemeriksaan genetik juga dapat dilakukan untuk mentukan defek genetik terutama pada tuli sensorineural. Salah satunya dalah Connexin-26
yang merupakan marker untuk tuli genetik. BERA Brainstem Evoked Response Audiometry, OAE Otoacoustic Emission, dan Audiometri dapat digunakan
untuk menentukan derajat ketulian Kemperman et al., 2002; Shah, 2011.
2.4. Pemeriksaan Pendengaran 2.4.1. Audiometri
Sistem pendengaran dapat terstimulasi oleh gelombang suara melalui dua cara. Pertama, gelombang suara yang berasal dari udara kemudian ditransmisikan
ke telinga luar, telinga tengah hingga akhirnya mencapai telinga dalam, proses ini disebut hantaran udara. Kedua, melalui gelombang suara yang menyebabkan
vibrasi tulang tengkorak, vibrasi kemudian ditransmisikan secara langsung menuju telinga dalam, proses ini disebut dengan hantaran tulang. Audiometer
adalah alat pemeriksaan pendengaran yang bekerja berdasarkan prinsip ini. Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronika yang menghasilkan
bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, oleh karenanya disebut nada “murni”. Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari
skala oktaf C : 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 hertz. Tersedia pula
nada dengan interval setengah oktaf : 750, 1500, 3000, dan 6000 hertz. Rentang intensitas yang dapat dihasilkan alat ini adalah -10 dB hingga 110 dB Martin dan
Greer, 2009. Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing telinga secara terpisah.
Pemeriksaan hantaran udara menggunakan earphone, sementara pemeriksaan hantaran tulang menggunakan vibrator yang ditempelkan pada mastoid atau dahi
melalui suatu head band, vibrator ini akan menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklea.
Hasil pemeriksaan audiometri dipresentasikan ke dalam audiogram. Audiogram berbentuk suatu grafik yang menunjukkan ambang pendengaran
sebagai suatu fungsi frekuensi. Simbol hantaran udara dihubungkan dengan menggunakan garis penuh, sementara simbol hantara tulang dihubungkan dengan
menggunakan garis putus-putus. Terdapat 3 variabel yang perlu diketahui dalam audiogram. Frekuensi suara yang dipajankan Hz, intensitas suara yang
dipajankan dB HL, dan metode presentasi suara udara atau tulang. Skala dB HL Decibels Hearing Loss digunakan dalam klinis. Skala 0 menunjukkan
frekuensi suara pada intensitas terendah yang masih dapat didengar oleh individu normal yang berusia 18 tahun. Ambang 30 dB HL menunjukkan suara baru dapat
didengar setelah intensitasnya ditingkatkan 30 dB diatas ambang batas normal. Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam desibel
dari tiap frekuensi yang masih dapat didengar ambang dengar Bess dan Humes, 2008.
Prosedur untuk menentukan ambang pendengaran dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Persiapan pasien : 1. Diawali dengan melakukan pemeriksaan otoskop untuk melihat kondisi liang
telinga agar tidak terjadi kesalahan interpretasi beda hantaran tulang-udara Air- Bone Gap.
2. Pasien duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat panel kontrol maupun pemeriksanya.
3. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone, seperti anting- anting, kacamata, wig, topi, permen karet harus disingkirkan.
4. Instruksi harus jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang didengar dan apa yang diharapkan sebagai jawabannya. Pasien harus didorong untuk memberi
jawaban terhadap bunyi terlemah yang masih dapat didengarnya. 5. Lubang earphone harus tepat menempel pada lubang telinga.
b. Penentuan ambang pendengaran Periksalah telinga yang lebih baik terlebih dahulu menggunakan rangkaian
frekuensi berikut : 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz diulang, 500 Hz, 250 Hz.
1. Mulailah dengan intensitas 0 dB, kemudian intensitas dinaikkan selama 1-2 detik supaya jelas didengar oleh pasien.
2. Sesudah itu kembali ke 0 dB atau paling sedikit sampai pasien tidak dapat mendengar lagi.
3. Intensitas dinaikkan lagi sampai penderita dapat mendengar lagi. 4. Dengan perlahan-lahan intensitas diturunkan 5 dB kembali sampai penderita
tidak dapat mendengar lagi. 5. Kemudian dinaikkan 10 dB kembali hingga penderita mendengar.
6. Setelah menentukan ambang pendengaran untuk frekuensi pengujian awal, cantumkan simbol yang sesuai pada audiogram.
7. Lanjutkan dengan frekuensi berikutnya dalam rangkaian. Mulailah nada tersebut pada tingkatan yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang frekuensi
sebelumnya Humes dan Bess, 2003. Ketika suara dipajankan ke satu telinga, maka gelombang suara tersebut
juga akan mencapai telinga kontralateral. Hal ini tentunya harus dihindari dengan menggunakan masking. Masking adalah mengaburkan suatu bunyi dengan
menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua. Bising frekuensi sempit
narrowband noise merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada-nada murni Martin dan Greer, 2009.
Peranan terpenting dalam interpretasi audiogram terdapat pada hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang, yaitu ada tidaknya beda udara-
tulang Air-Bone Gap. Secara garis besar hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.
• Bila ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural.
• Bila ambang hantaran tulang berkurang, namun masih lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, maka tuli bersifat campuran.
Lassman, 1997.
Gambar 2.9. Audiogram Tuli Konduktif Onerci, 2009
Gambar 2.10. Audiogram Tuli Sensorineural Onerci, 2009
Gambar 2.11. Audiogram Tuli Campuran Onerci, 2009