UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan termasuk tulang Gunawan, dkk., 2009.
h. Obat Penyakit Kulit
Obat yang digunakan untuk penyakit kulit yaitu fluconazol golongan imidazol. Obat fluconazol digunakan secara topikal seperti kulit, atau pada
membran mukosa untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh fungi. Fluconazol terutama efektif untuk histoplasmolisis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak.
Mekanisme kerjanya dengan cara fluconazol masuk kedalam sel jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap zat intrasel
meningkat. Sedangkan obat kemisetin umumnya bersifat bakteriostatik. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman, mekanisme ini juga diduga dapat menyebabkan efek toksik pada obat ini
Gunawan, dkk., 2009.
5.2.3
Karakteristik Potensi Interaksi Obat pada Pasien Diabetes Melitus
5.2.3.1 Karakteristik Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh potensi interaksi obat paling tinggi terjadi pada pasien dengan usia ≥ 45 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang, pasien DM yang berusia ≥ 45
tahun lebih berisiko mengalami interaksi obat dibandingkan dengan pasien yang berusia 45 tahun Putro, 2011. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivva, et al.
2015 juga menunjukkan hal serupa, kelompok usia lansia adalah usia yang terbanyak mengalami interaksi obat, secara umum pasien lansia memiliki resiko
terjadinya interaksi obat karena mereka kebanyakan memiliki banyak penyakit dan polifarmasi yang biasanya muncul dengan meningkatnya durasi dari kondisi
penyakit dan perubahan fisiologi Aravind, et al., 2011.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.2.3.2 Karakteristik Berdasarkan Jumlah Penyakit Penyerta dan Jumlah Penggunaan Obat
Berdasarkan jumlah penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat, potensi interaksi obat lebih tinggi pada pasien yang mengalami ≤ 5 Penyakit Penyerta dan
pasien yang menerima ≥ 5 obat. Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin
besar dengan adanya penyakit penyerta dan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan praktik polifarmasi
Tatro, 2009. Suatu survey yang dilaporkan pada tahun 1977 pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita
yang mendapat 0-5 jumlah obat adalah 3,5, sedangkan yang mendapat 16-20 jumlah obat adalah 54. Peningkatan efek samping obat ini diperkirakan akibat
terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat Setiawati, 2007. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan meningkatnya penyakit
penyerta, sehingga juga meningkatkan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami
penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum. Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien
rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan Tatro, 2009.
5.2.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering memiliki potensi interaksi obat adalah metformin, kemudian diikuti oleh
glimepirid. Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan.
Dari data penelitian, dapat dilihat pula bahwa potensi interaksi yang paling banyak adalah interaksi metformin dengan ranitidin.
Mekanisme interaksi metformin dan ranitidin adalah farmakokinetik dimana ranitidin merupakan obat
bersifat kationik dan secara teori dapat menurunkan ekskresi metformin dengan berkompetisi pada transport tubular ginjal drugs.com, 2016