UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b.  Identitas pasien nama, jenis kelamin, umur . c.  Diagnosa penyakit, riwayat penyakit pasien dan keluhan pasien.
d.  Penggunaan obat jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan. e.  Outcomes pasien kadar GDP dan GDS.
4.  Menganalisis  data  dan  informasi  yang  diperoleh  sehingga  didapatkan kesimpulan dari penelitian
4.5.3  Pengolahan Data Notoatmodjo, 2012
1.  Editing data. Sebelum  melakukan  penilaian  pada  data  mentah,  terlebih  dahulu
dilakukan  pemeriksaan  kembali  kebenaran  data  yang  diperoleh  dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.
2.  Coding data. Coding  berupa  kegiatan  pemberian  kode numerik  angka  terhadap  data
yang  terdiri  atas  beberapa  kategori.  Penelitian  melakukan  coding terhadap  data  yang  terpilih  dari  proses  seleksi  untuk  mempermudah
analisis di program Microsoft Excel. 3.  Entry data.
Setelah  dilakukan  coding  lalu  data  dimasukan  ke  dalam  program Microsoft Excel dalam bentuk tabel.
4.  Cleaning data. Data  yang  sudah  dimasukan  diperiksa  kembali  sebelum  dilakukan
analisis lebih lanjut, untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.
4.5.4  Analisis Data
Analisis  data  yang  dilakukan  menggunakan  program  Microsoft  Excel 2010  dan  program  SPSS  Statistical  Package  for  the  Social  Sciences.
Variabel dianalisis dengan menggunakananalisa univariat dan bivariat. 1.  Analisis univariat.
Analisis  univariat  adalah  analisis  yang  digunakan  untuk  menganalisis setiap  variabel  terikat  maupun  bebas  yang  akan  diteliti  secara
deskriptif. Tujuannya adalah untuk melihat sebaran data setiap variabel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adapun  pengolahan  data  dengan  menggunakan  analisis  univariat  adalah karakteristik pasien, yang meliputi:
a.  Usia b.  Jenis kelamin
c.  Penggunaan obat DM tipe 2 d.  Outcomes pasien kadar GDP dan GDS.
2.  Analisis bivariat. Analisis  bivariat  adalah  analisa  yang  dilakukan  terhadap  dua  variabel
yang  diduga  berhubungan    berkorelasi  dan  untuk  melihat  kemaknaan antara  variabel.  Adapun  pengolahan  data  dengan  menggunaan  analisis
bivariat ialah : Karakteristik pasien usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penggunaan
obat DM tipe 2 terhadap DRP yang meliputi interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1  Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Demografi  pasien  dalam  penelitian  ini  meliputi  jenis  kelamin,  usia,  jenis penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien DM tipe 2 di  RS X
di Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 adalah 147 pasien  dan kemudian dipilih 90 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Tabel  5.1 Karakteristik  Pasien  DM  Tipe  2  Berdasarkan  Jenis  kelamin,  Usia,  Jumlah  Penyakit
Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Karakteristik Subjek
Jumlah Rekam Medik n=90 Presentase
1 Jenis Kelamin
a. Laki-laki b. Perempuan
18 72
20,0 80,0
2 Usia
a.  45 tahun b. ≥45 tahun
17 73
18,8 81,1
3 Jumlah Penyakit Penyerta
a.  5 Penyakit Penyerta b. ≥ 5 Penyakit Penyerta
69 21
76,6 23,3
4 Jumlah Penggunaan Obat
a.  5 Obat b. ≥ 5 Obat
34 56
37,7 62,2
Berdasarkan  Tabel  5.1,  diperoleh  gambaran  mengenai  karakteristik  umum subjek  penelitian.  Gambaran  umum  karakteristik  subjek  yang  dominan  antara  lain
80  perempuan;  81,11  usia  pasien  berusia ≥45  tahun;  76,6  pasien menderita
5 penyakit penyerta; serta 62,2 pasien menerima ≥5 obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 5.2
Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM  Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014
– Juni 2015 No  Penyakit Penyerta
Frekuensi Presentase
1 Hipertensi
17 14,1
2 Dispepsia
12 10,0
3 CHF
10 8,3
4 Ulkus
10 8,3
5 CKD
10 8,3
6 Anemia
9 7,5
7 Stroke, Infark, Hemiprasedektra
7 5,8
8 DKA
6 5,0
9 TB Paru
6 5,0
10 AKI
5 4,1
11 Febris
5 4,1
12 Gastropati diabetikum
4 3,3
13 Hiperglikemia
4 3,3
14 CAD
3 2,5
15 Hepatitis
3 2,5
16 DHF
2 1,6
17 Nefropati
2 1,6
18 Sirosis
2 1,6
19 ISK
2 1,6
20 Hiponatremia
1 0,8
Keterangan:  AKI =  Acute Kidney Injury;  CAD =  Coronary Arteri Disease; CHF =  Chronic Heart Failure;  CKD  =  Chronic  Kidney  Disease;  DAK  =  Diabetic Ketoacidosis;  DHF=  Dengue
Haemorrhagic Fever; ISK = Infeksi Saluran Kemih; TB Paru = Tubercolosis Paru
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis penyakit penyerta  yang paling banyak terjadi  pada  pasien  DM  tipe  2  di  RS  X  di  Tangerang  Selatan  adalah  hipertensi
sebanyak  17  pasien  14,16;  diikuti  dispepsia  sebanyak  12  pasien  10;  CHF, ulkus,  dan  CKD  sebanyak  10  pasien  8,33;  anemia  sebanyak  9  pasien  7,5,
serta  penyakit  lainnya  yang  berada  dibawah  7.  Selengkapnya  dapat  dilihat  pada Tabel 5.2
5.1.2  Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Persentase  penggunaan  obat  antidiabetes  di  RS  X  di  Tangerang  Selatan periode  Juli  2014  -  Juni  2015  yang  diambil  dari  90  rekam  medik.  Terdapat  115
penggunaan obat antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 5.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel  5.3
Persentase  Penggunaan  Obat  Antidiabetes  Pasien  Rawat  Inap  DM  Tipe  2  di  RS  X  di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 - Juni 2015
No. Nama Obat
Jumlah Penggunaan n=115
Presentase
1 Insulin Aspart Novorapid
47 40,8
2 Insulin Glargline Lantus
34 29,5
3 Metformin
23 20,0
4 Glimepirid
11 9,5
5 Acarbosa
1 0,8
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa persentase tertinggi penggunaan obat  antidiabetes  yakni  insulin  aspart  40,8;  insulin  glargline  29,5;  metformin
20,0; glimepirid 9,5; dan acarbosa 0,8.
5.1.3
Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien
Berdasarkan  penelitian  terhadap  90  rekam  medik  pada  periode  Juli  2014  - Juni  2015,  diperoleh  jumlah  interaksi  obat  sebanyak  57,7  dengan  karakteristik
kelompok usia  ≥45 tahun  48,8;  pasien  dengan  5  penyakit  penyerta  51,1;
dan mendapat terapi ≥5 obat 50. Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan
periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Karakteristik Subjek
Berinteraksi Tidak berinteraksi
Frekuensi n=52
n=57,7 Frekuensi
n=38 n=42,2
1 Usia
a.  45 tahun b. ≥ 45 tahun
8 44
8,8 48,9
10 28
11,1 31,1
2 Jumlah Penyakit Penyerta
a.  5 penyakit penyerta b. ≥ 5 penyakit penyerta
46 6
51,1 6,6
18 20
20,0 22,2
3 Jumlah Penggunaan Obat
a.  5obat b. ≥ 5 obat
7 45
7,7 50,0
27 11
30,0 12,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1.4
Gambaran  Interaksi  Obat  pada  Pasien  Berdasarkan  Mekanisme  dan Tingkat Keparahan
Analisis  terhadap  90  rekam  medik  menunjukkan  hasil  persentase  potensi interaksi  obat  antidiabetes  yaitu  57,7,  dari  165  resep  ditemukan  115  resep
memiliki potensi interaksi obat, yang terdiri dari 20 jenis kasus interaksi obat yang berpotensi menyebabkan hipoglikemia dan 6 jenis kasus interaksi  yang berpotensi
menyebabkan  hiperglikemia  Tabel  5.5  dan  Tabel  5.6.  Obat  yang  paling  sering mengalami  potensi  interaksi  adalah  metformin  38,6,  glimepirid  33,3,  insulin
aspart  20,  dan  insulin  glargline  8  Tabel  5.7,  dengan  mekanisme  interaksi farmakokinetik  48,  farmakodinamik  38,6,  dan  unknown  13,3  Tabel  5.8.
Tingkat keparahan potensi interaksi obat antara lain  minor 13,9, moderate 86, dan major 0 Tabel 5.9.
Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi HipoglikemiaMenurunkan Kadar Gula Darah pada
Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No   Nama Obat Pola Mekanisme
Interaksi Tingkat
Keparahan Interaksi
Mekanisme Interaksi Jumlah
Kejadian n=64
1 Glimepirid +
asam mefenamat
unknown Moderate
Asam mefenamat meningkatkan efek
glimepirid melalui mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko hipoglikemia.
1 1,3
2 Glimepirid +
aspirin farmakokinetik
Moderate Aspirin dapat
menstimulasi sekresi insulin atau
meningkatkan konsentrasi plasma dari
glimepirid dengan menggantinya dari situs
pengikatan protein danatau menginhibisi
metabolismenya . beresiko hipoglikemia
1 1,3
3 Glimepirid +
captopril farmakodinamik
Moderate Captopril meningkatkan
efek glimepirid oral melalui sinergisme
farmakodinamik 1
1,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan sensitivitas insulin
4 Glimepirid +
ciprofloxacin farmakodinamik
Moderate Ciprofloxacin
meningkatkan efek glimepirid melalui
sinergisme farmakodinamik.
1 1,3
5 Glimepirid +
insulin aspart Novorapid
farmakodinamik Moderate
Glimepirid, insulin aspart. Salah satunya
meningkatkan efek yang lain melalui sinergisme
farmakodinamik 4
5,3
6 Glimepirid +
ketorolak unknown
Moderate Ketorolac meningkatkan
efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko hipoglikemia.
1 1,3
7 Glimepirid +
natrium diklofenak
farmakokinetik Moderate
Na Diclofenac dapat menstimulasi sekresi
insulin atau meningkatkan
konsentrasi plasma dari glimepirid dengan
menggantinya dari situs pengikatan protein
danatau menginhibisi metabolismenya .
beresiko hipoglikemia 1
1,3
8 Glimepirid +
omeprazole farmakokinetik
Moderate Penghambatan
metabolisme CYP2C9 sulfonilurea. Konsentrasi
sulfonilurea serum dapat meningkat,
meningkatkan efek hipoglikemia
5 6,7
9 Glimepirid +
ranitidin farmakokinetik
Moderate Antagonis reseptor H2
seperti simetidin dan ranitidin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik.
Mekanismenya diduga berhubungan dengan
inhibisi metabolisme 9
12,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga
meningkatkan efeknya. 10
Glimepirid + simvastatin
unknown Minor
Konsentrasi sulfonilurea meningkat,
meningkatkan efek hipoglikemia
1 1,3
11 Insulin aspart
Novorapid + aspirin
farmakodinamik Moderate
Aspirin meningkatkan efek insulin aspart
dengan sinergisme farmakodinamik
peningkatan sekresi insulin
1 1,3
12 Insulin aspart
Novorapid + captopril
farmakodinamik Moderate
Captopril meningkatkan efek insulin aspart oral
melalui sinergisme farmakodinamik
peningkatan sensitivitas insulin
5 6,6
13 Insulin aspart
Novorapid + ciprofloxacin
farmakodinamik Moderate
Ciprofloxacin meningkatkan efek
insulin aspart melalui sinergisme
farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia
3 4,0
14 Insulin
glargline Lantus +
metformin farmakodinamik
Moderate Metformin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik insulin
glargine dengan meningkatkan
mekanisme kontrol selular oleh insulin atau
efek pada reaksi biokimia komplementer.
5 6,6
15 Metformin +
asam folat unknown
Minor Metformin menurunkan
level asam folat melalui mekanisme interaksi
yang tidak diketahui 2
2,6
16 Metformin +
ciprofloxacin farmakodinamik
Moderate Ciprofloxacin
meningkatkan efek metformin melalui
sinergisme farmakodinamik.
Beresiko hiperglikemia 1
1,3
17 Metformin +
digoxin farmakokinetik
Moderate Digoxin akan
meningkatkan levelefek 2
2,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metformin dengan kompetisi pembasaan
obat untuk kliren tubular renal. Beresiko asidosis
laktat.
18 Metformin +
diltiazem farmakokinetik
Minor Diltiazem akan
meningkatkan levelefek metformin dengan
kompetisi pembasaan kationik obat untuk
klirens renal tubular. 1
1,3
19 Metformin +
furosemid unknown
Moderate Furosemid meningkatkan
level metformin, beresiko hipoglikemia
2 2,6
20 Metformin +
ranitidin farmakokinetik
Moderate Ranitidin akan
meningktkan levelefek metformin melalui
penurunan klirens ginjalkompetisi
transport tubular renal. 17
22,6
Tabel  5.6 Interaksi  Obat-Obat  yang  Berpotensi  HiperglikemiaMeningkatkan  Kadar  Gula  Darah
pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni
2015 No   Nama Obat
Pola Mekanisme Interaksi
Tingkat Keparahan
Interaksi Mekanisme Interaksi
Jumlah Kejadian
n=11 1
Insulin aspart Novorapid +
dexamethasone farmakodinamik
Moderate Dexamethasone
menurunkan efek insulin aspart melalui
antagonism farmakodinamik. Dapat
menyebabkan hiperglikemia dan
intoleransi glukosa. 2
2,6
2 Insulin aspart
Novorapid + levofloxacin
farmakodinamik Moderate
Levofloxacin menurunkan efek insulin
aspart melalui antagonism
farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia.
1 1,3
3 Insulin aspart
Novorapid + metil
farmakodinamik Moderate
Metilprednisolon menurunkan efek insulin
aspart melalui 3
4,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prednisolon antagonisme
farmakodinamik 4
Insulin glargline
Lantus + metil
prednisolon farmakodinamik
Moderate Metilprednisolon
menurunkan efek insulin glargline melalui
antagonisme farmakodinamik
1 1,3
5 Metformin +
dexamethasone farmakodinamik
Moderate Dexamethasone
menurunkan efek metformin melalui
antagonism farmakodinamik. Dapat
menyebabkan hiperglikemia dan
intoleransi glukosa. 1
1,3
6 Metformin +
ISDN unknown
Minor ISDN menurunkan level
metformin mekanisme interaksi tidak diketahui.
3 4,0
Tabel 5.7 Distribusi pasien DM tipe 2 yang memiliki potensi interaksi obat berdasarkan jenis obat di
RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Nama obat
Jumlah n=75
1 Metformin
29 38,6
2 Glimepirid
25 33,3
3 Insulin aspart
15 20,0
4 Insulin glarlgine
6 8,0
Berdasarkan  hasil  penelitian  diperoleh  obat  antidiabetes  yang  sering memiliki  potensi  interaksi  obat  adalah    metformin
38,6,  dan  glimepirid  33,3 Tabel  5.7.  Hasil  yang  diperoleh  dipengaruhi  dari  tingginya  peresepan  obat  yang
melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan.
Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe 2 di RS
X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Jenis interaksi
Jumlah n=75
1 Farmakokinetik
36 48,0
2 Farmakodinamik
29 38,6
3 Unknown
10 13,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan  hasil  penelitian  diperoleh  jenis  interaksi  yang  paling  banyak terjadi  adalah  interaksi  farmakokinetik  sebesar  48,  diikuti  interaksi
farmakodinamik sebesar 38,6, serta interaksi unknown sebesar 13,3.
Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe
2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Jenis interaksi
Jumlah n=75 1
Moderate 68
86 2
Minor 7
13,9
Berdasarkan  tingkat  keparahan,  interaksi  obat  yang  terjadi  mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate 86, dan tingkat keparahan minor 13,9.
Data ditunjukkan pada Tabel 5.9.
5.1.5  Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus
Berdasarkan  penelitian  terhadap  90  rekam  medik  pada  periode  Juli  2014  - Juni  2015,  diketahui  terdapat  42  pasien  46,6  yang  memiliki  potensi  interaksi
obat,  yang  mengakibatkan  tidak  tercapainya  outcomes  klinik  pasien  kontrol  gula darah.
Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik Pasien DM tipe 2 di RS X
di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Interaksi Obat
Outcomes Klinik Jumlah
n= 90 Berinteraksi
Tidak berinteraksi
Outcomes tercapai
Outcomes tidak tercapai
1 √
√ 10
11,1 2
√ √
42 46,6
3 √
√ 37
41,1 4
√ √
1 1,1
5.1.6  Hubungan  Subjek  Penelitian  dengan  Potensi  Interaksi  Obat Antidiabetes
Peneliti melihat dari hasil analisa data  crosstabs, apakah nilai p 0,05 atau nilai p 0,05. Jika nilai p 0,05 maka uji dapat dikatakan tidak memiliki hubungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang  signifikan.  Jika  nilai  p  0,05  maka  uji  dapat  dikatakan  memiliki  hubungan yang signifikan pada kedua variabel.
5.1.6.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan  analisis  hubungan  antara  usia  dengan  interaksi  obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel  5.11 Analisis  Hubungan  Antara  Usia  dengan  Interaksi  Obat  Antidiabetes  pada  Pasien  DM
Tipe2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
Usia Intekasi Obat
Nilai P Berinteraksi
Tidak Berinteraksi Jumlah
Jumlah 0,200
45 tahun 8
8,8 10
11,1 ≥ 45 tahun
44 48,8
28 31,1
Total 52
57,7 38
42,2
Hasil analisis  Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan interaksi obat antidiabetes,
dimana nilai p=0,200 p0,05.
5.1.6.2 Hubungan  Jumlah  Penyakit  Penyerta  dengan  Potensi  Interaksi  Obat Antidiabetes
Berdasarkan  analisis  hubungan  antara  jumlah  penyakit  penyerta  dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Penyakit penyerta
Interaksi Obat Nilai P
Berinteraksi Tidak berinteraksi
Jumlah Jumlah
0,000 5 penyakit
penyerta 46
52,2 18
20,0 ≥ 5 penyakit
penyerta 6
6,6 20
22,2 Total
52 57,7
38 42,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil  analisis  chi  square  dengan  program  IMB  SPSS  16  diperoleh  adanya hubungan  yang  bermakna  antara  variabel  jumlah  penyakit  penyerta  dan  kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 p0,05.
5.1.6.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan  analisis  hubungan  antara  jumlah  penyakit  penyerta  dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Jumlah obat Interaksi Obat
Nilai P Berinteraksi
Tidak berinteraksi Jumlah
Jumlah 0,000
5 obat 7
7,7 27
30,0 ≥ 5obat
45 50,0
11 12,2
Total 52
57,7 38
42,2
Hasil analisis  Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan  yang  bermakna  antara  variabel  jumlah  penggunaan  obat  dan  kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 p0,05.
5.1.7  Pengaruh  Kejadian  Interaksi  Obat  terhadap Outcomes  pada  Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan analisis hubungan antara interaksi obat dengan outcomes klinik menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.14
Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik Pasien DM Tipe 2 interaksi
Outcomes klinik Nilai P
Tercapai Tidak tercapai
Jumlah Jumlah
0,000 Interaksi
10 11,1
42 46,6
Tidak berinteraksi
37 41,1
1 1,1
Total 47
52,2 43
47,7
Hasil analisis  Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel interaksi obat dan outcomes klinik pasien
DM tipe 2 dimana nilai p=0,000 p0,05.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.2 Pembahasan
5.2.1  Karakteristik Pasien 5.2.1.1 Karakteristik Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien DM perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan data RISKESDAS tahun 2013 yang
menyatakan bahwa pasien DM pada wanita lebih banyak 1,7 dibandingkan pada laki-laki  1,4.  Pernyataan  tersebut  juga  didukung  dengan  penelitian  lainnya,
dimana  setelah  usia  30  tahun,  wanita  memiliki  risiko  terkena  DM  lebih  tinggi dibandingkan pria  Ramaiah, 2007. Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh  Tigauw,  et  al.,  2014  menunjukkan  pasien  DM  perempuan  lebih  banyak 66,7  daripada  laki-laki  33,3.
Namun,  penelitian  yang  dilakukan  oleh ilmuwan dari  University of Glasgow, Skotlandia  menunjukkan jenis kelamin laki-
laki menderita DM lebih tinggi daripada perempuan Pramudiarja, 2011. Penyakit DM lebih banyak terjadi pada perempuan disebabkan karena pada
perempuan  memiliki  peluang  peningkatan  indeks  masa  tubuh  yang  lebih  besar. Sindroma  siklus  bulanan  premenstrual  syndrome,  pasca-menopouse  yang
membuat  distribusi  lemak  tubuh  menjadi  mudah  terakumulasi  akibat  proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM  tipe 2 Sustrani, 2006.
5.2.1.2 Karakteristik Umum Berdasarkan Usia
Berdasarkan  hasil  penelitian,  penderita  DM  tipe  2  di  RS  X  di  Tangerang Selatan usia pasien yang paling muda adalah 23 tahun, dan yang paling tua adalah
89  tahun.  Dari  hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  kelompok  usia  penderita  DM paling banyak terjadi pada usia ≥ 45 tahun.
Riskesdas  2013  melaporkan  bahwa  usia  penyakit  DM  dominan  terjadi pada  usia  55-
64 tahun dan cenderung menurun setelah usia ≥65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Kekenusa, et al. 2006 juga menunjukkan bahwa pasien  DM
tipe 2 didominasi kelompok usia ≥45 tahun. Usia ≥45 tahun memiliki resiko 8 kali lebih besar terkena penyakit DM tipe 2 dibandingkan usia 45 tahun. Hal ini dapat
terjadi karena pada lansia terjadi perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi  kemampuan  fisik  dan  menurunkan  kekebalan  tubuh,  serta  proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metabolisme  yang  menurun  yang  tidak  diimbangi  dengan  peningkatan  aktivitas fisik Maryam, et al., 2008.
Umumnya  manusia  mengalami  perubahan  fisiologis  yang  secara  drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.  DM sering muncul setelah seseorang
memasuki  usia  rawan  tersebut,  terutama  setelah  usia  45  tahun  Irawan,  2010. Menurut  Waspadji  2008,  usia  lanjut  mengalami  peningkatkan  produksi  insulin
glukosa  dari  hati  hepatic  glucose  production,  cenderung  mengalami  resistensi insulin,  dan  gangguan  sekresi  insulin  akibat  penuaan  dan  apoptosis  sel  beta
pankreas.  Pada  usia  lanjut  dengan  indeks  tubuh  normal,  gangguan  lebih  banyak pada  sekresi  insulin  di  sel  beta  pankreas,  sementara  pada  usia  lanjut  dengan
obesitas,  gangguan  lebih  banyak  pada  resistensi  insulin  di  jaringan  perifer  seperti sel otot, sel hati, dan sel lemak adiposit Pramono, 2010.
5.2.1.3 Karakteristik Umum Berdasarkan Penyakit Penyerta
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita DM paling banyak memiliki  ≤5  penyakit  penyerta.  Menurut  literatur,  dikatakan  bahwa  pasien  DM
mengalami  rata-rata  5  penyakit  penyerta  Cipolle,  et  al.,  2013.  Jenis  penyakit penyerta yang dialami pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di RS X di Tangerang
Selatan yang paling banyak adalah hipertensi dan dispepsia. Penyakit  Hipertensi  pada  pasien  DM  adalah  komplikasi  makroangiopati
kelainan pada pembuluh darah besar Carlisle,2005. Tingginya penyakit penyerta hipertensi yang dialami pasien DM tipe 2 dikarenakan terjadinya peningkatan kadar
gula  darah  pada  pasien  DM  yang  dapat  menyebabkan  hiperfiltrasi  glomeruler  dan albuminuria.  Hiperglimia  dapat  menyebabkan  perubahan  jalur  metabolisme  dan
feedback  tubuloglomeruler  akibat  stres  oksidatif  dan  agregasi  AGE  Advance Glycosolation  End  Product.  Perubahan  feedback  tubuloglomeruler  dapat
menyebabkan  perubahan  hemodinamik  dalam  ginjal,  termasuk  hiperfiltrasi, vasodilatasi renal, dan peningkatan aliran darah ginjal. Adanya tekanan glomeruler
dapat  meningkatkan  aktivasi  sistem  renin-angiotensin  dan  endotelin  yang  dapat meningkatkan tekanan darah sistemik Schutta, 2007.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyakit hipertensi juga dapat disebabkan karena pasien DM tipe 2 umumnya memiliki usia ≥ 45 tahun, dimana dengan bertambahnya usia maka tekanan darah
juga  akan  meningkat.  Setelah  usia  45  tahun  dinding  arteri  akan  mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot sehingga
pembuluh darah berangsur angsur akan mengalami penyempitan dan menjadi kaku Anggraini, dkk., 2009; Manroe, 2007; Yusnidar, 2007.
Penyakit  penyerta  dispepsia  juga  termasuk  penyakit  penyerta  terbanyak setelah  hipertensi,  yang  diderita  oleh  pasien  DM  tipe  2.  Gangguan  fungsi  saluran
cerna merupakan masalah yang  sering ditemui pada penderita DM, dimana hal ini berkaitan  dengan  terjadinya  disfungsi  neurogenik    dari  saluran cerna  tersebut  atau
kelainan motilitas lambung  yang memicu terjadinya dispepsia Sutadi, 2003. DM juga  dapat  menyebabkan  gastroparesis  yang  hebat  sehingga  muncul  keluhan  rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah Hadi, 2002.
5.2.1.4 Karakteristik Umum Berdasarkan Jumlah Obat
Berdasarkan  jumlah  obat  yang  digunakan,  diperoleh  data  yang menunjukkan  bahwa  peresepan  ≥5  obat  memiliki  persentase  yang  lebih  tinggi
dibandingkan peresepan 5 obat. Hal ini sejalan dengan penelitian  yang dilakukan oleh  Mayasari  2013,  menunjukkan  bahwa  pada  pasien  DM  lebih  dari  50
menerima  obat  ≥5.  Hal  ini  dapat  terjadi  karena  pada  penderita  DM  tipe  2  terjadi resistensi  insulin  dan  sekresi  insulin  yang  semakin  rendah  dari  waktu  ke  waktu.
Kebanyakan  individu  dengan  DM  tipe  2  menunjukkan  sindrom  resistensi  insulin atau  sindrom  metabolik.  Karena  kelainan  ini,  pasien  dengan  DM  tipe  2  beresiko
mengalami  komplikasi  Triplitt,  et  al.,  2008.  Hal  tersebut  menyebabkan  pasien membutuhkan terapi lebih dari satu obat atau memerlukan terapi kombinasi untuk
mendapatkan kontrol yang baik Shastry, et al., 2015.
5.2.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Profil  penggunaan  obat  bertujuan  untuk  mengetahui  obat  apa  saja  yang digunakan oleh pasien  DM di RS X di Tangerang Selatan. Berdasarkan penelitian
ini,  obat  antidiabetes  yang  paling  banyak  digunakan  adalah  insulin  aspart.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penggunaan  insulin  ini  diberikan  pada  kondisi  pasien  DM  telah  mengalami ketidaksadaran  atau  memiliki  kadar  glukosa  darah  yang  sangat  tinggi.  Pasien
dengan  kadar  glukosa  yang  tinggi  menunjukkan  bahwa  pasien  telah  mengalami komplikasi  lainnya.  Banyaknya  penggunaan  insulin  aspart  disebabkan  karena
memiliki  kerja  yang  cepat  rapid  acting  serta  memiliki  keunggulan  dalam  hal penyuntikannya.  Insulin  dapat  disuntikkan  15  menit  sebelum  makan  dan  insulin
regular dapat disuntikkan 30 menit sebelum makan.
Penelitian  yang  dilakukan  oleh  Istiqomatunnisa  2014  juga  menunjukkan bahwa  insulin  merupakan  salah  satu  obat  antidiabetes  injeksi  yang  banyak
digunakan  pada  pasien  rawat  inap  DM.  Penggunaan  insulin  diberikan  jika  kondisi pasien memiliki kadar glukosa yang sangat tinggi dan mengalami komplikasi. Jika
kadar  glukosa  darah  sudah  relatif  stabil  maka  dapat  dilakukan  evaluasi  terhadap penyakit  komplikasi  yang  diderita  oleh  pasien.  Insulin  aspart  banyak  digunakan
karena memiliki kerja onset kerja cepat dan menurunan kadar glukosa postprandial lebih  cepat  dibandingkan  insulin  regular.  Penderita  DM  Tipe  2  tertentu
kemungkinan  juga  membutuhkan  terapi  insulin  apabila  terapi  lain  yang  diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah, seperti ketika penderita mengalami
stress  berat,  seperti  pada  infeksi  berat,  tindakan  pembedahan,  infark  miokard  akut atau  stroke,  ketoasidosis  diabetik.  Penderita  DM  yang  mendapat  nutrisi  parenteral
atau  yang  memerlukan  suplemen  tinggi  kalori  untuk  memenuhi  kebutuhan  energi yang  meningkat,  secara  bertahap  memerlukan  insulin  eksogen  untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin Depkes RI, 2005.
Penggunaan  obat  diabetes  oral  yang  paling  banyak  digunakan  adalah metformin,  yang  termasuk  dalam  golongan  biguanida,  sedangkan  sisanya  berasal
golongan  sulfonilurea  yaitu  glimepirid.  Pemilihan  obat  yang  digunakan  dalam terapi sudah sesuai dengan tatalaksana pengobatan  DM dimana lini pertama terapi
menggunakan  obat  golongan  biguanida,  dan  lini  kedua  menggunakan  golongan sulfonilurea Mclntosh, et al 2001.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metformin  dapat  meningkatkan  kepekaan  reseptor  insulin,  sehingga absorbsi  glukosa  di  jaringan  perifer  meningkat  dan  menghambat  glukoneogenesis
dalam  hati  dan  meningkatan  penyerapan  glukosa  di  jaringan  perifer  Tjay  dan Rahardja,  2007.  Metformin  tidak  meningkatkan  berat  badan  seperti  insulin
sehingga  biasa  digunakan,  khususnya  pada  pasien  dengan  obesitas  Schteingart, 2005.  Metformin  juga  dapat  menurunkan  kadar  trigliserida  hingga  16,  LDL
kolesterol hingga 8 dan total kolesterol hingga 5, dan juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2 Soegondo, 2004. Pada pemakaian tunggal, metformin
dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20 Waspadji, 2004.
5.2.2.1 Profil Obat
Profil  obat  merupakan  seluruh  kelompok  obat  yang  digunakan  oleh  pasien DM tipe 2 yang terdiri dari beberapa golongan obat dan mempunyai masing-masing
tujuan pengobatan yang sama yang diberikan kepada pasien, yang digunakan untuk mengobati  penyakit  komplikasi  dan  penyerta  yang  diderita  pasien.  Penggolongan
obat ini dilakukan berdasarkan formularium RS X di Tangerang Selatan. Dari hasil penelitian  di  atas  dapat  diketahui  bahwa  obat  antidiabetes  digunakan  oleh  semua
pasien.  Obat  yang  paling  banyak  digunakan  pertama  yaitu  obat  gastrointestinal, sedangkan  obat  kardiovaskular  diurutan  kedua.  Hal  ini  tidak  sejalan  dengan
penelitian  yang  dilakukan  oleh  Maria  Fea  Fessy  tahun  2010,  dimana  frekuensi penggunaan obat terbanyak setelah obat antidiabetes yaitu obat kardiovaskular.
Penggolongan  obat  pada  pasien  geriatri  penderita  DM  tipe  2    yang mendapat  obat  hipoglikemia  kombinasi  ini  terdiri  dari  10  kelas  terapi  yang
meliputi:
a. Obat Susunan Saraf
Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat SSP merupakan obat yang hampir  semua  obat  SSP  bekerja  pada  reseptor  khusus  yang  mengatur  transmisi
sinaps.  Obat  susunan  saraf  terdiri  dari  beberapa  golongan  yaitu  analgesik- antipiretik,  antiinflamasi  nonsteroid  dan  anti  reumatik,  preparat  gout,
antisiolitikantiansietas,  antipsikosis,  hipnotik-sedatif,  nootropik  dan  neurotonik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antiepilepsi-antikonvulsi,  antidepresi,  anti  emetik,  dan  relaksan  otot.  Namun terdapat golongan yang tidak terdapat pada penelitian yaitu golongan antidepresi.
Obat  analgesik  antipiretik  serta  obat  NSAID    merupakan  salah  obat  yang banyak  diresepkan  dan  juga  digunakan  tanpa  resep  dokter.  Salah  satu  fungsi  dari
golongan  seperti  golongan  antiinflamasi  nonsteroid-antipiratik  untuk  penyakit artritis rheumatoid, osteoatrhtritis, dan spondilitis. Tetapi harus diingat bahwa obat
ini  hanya  meringankan  gejala  nyeri  dan  inflamasi  yang  berkaitan  dengan penyakitnya  secara  simtomatik,  tidak  menghentikan,  memperbaiki  atau  mencegah
jaringan  pada  kelainan  muskoskeletal  Gunawan,  dkk.,  2009.  Contoh  obat  yang digunakan  adalah  meloksikam  yang  diindikasikan  untuk  menangani  penyakit
penyerta  yang  diderita  oleh  pasien  geriatri  penderita  DM  tipe  2,  seperti  nyeri  dan radang,  gangguan  skelet  dan  osteoatritis.  Pasien  usia  lanjut  memiliki  kerentanan
terhadap efek samping obat golongan  NSAID yaitu gangguan saluran cerna, untuk itu diperlukan pemantauan yang lebih.
b. Obat Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular merupakan masalah yang sangat penting pada usia lanjut.  Karena  hal  ini  dapat  mempunyai  pengaruh  yang  besar  terhadap  penyakit-
penyakit  lainnya  sehingga  harus  cepat  ditangani.  Penggunaan  obat  kardiovaskular oleh pasien berada diurutan nomor dua terbanyak yang digunakan oleh pasien. Hal
ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Maria  Fea  Fessy  tahun  2010, dimana penggunaan obat kardiovaskular pada pasien geriatri dengan DM terbanyak
yaitu  golongan  Angiotensin  Receptor  Blockers  ARBs.  Golongan  ini  bekerja dengan cara menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT
1
dan tidak di reseptor  AT
2
.  AT
1
bloker  juga  tidak  menimbulkan  efek  samping  batuk  kering Gunawan,  dkk.,  2009.  Obat-obat  golongan  ini  tidak  memiliki  efek  terhadap
metabolisme  bradikinin  sehingga  merupakan  penghambat  yang  lebih  selektif terhadap  efek  angiotensin  dibandingkan  dengan  penghambat  ACE.  Mereka  juga
memiliki  potensi  untuk  menghambat  kerja  angiotensin  secara  lebih  menyeluruh dibandingkan  dnegan  penghambat  ACE  sebab  terdapat  enzim-enzim  lain  selain
ACE  yang  dapat  menghasilkan  angiotensin  II.  Obat  golongan  ini  mempunyai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keuntungan  sama  seperti  obat  golongan  penghambat  golongan  ACE.  Dan  efek samping  keduanya  pun  mirip  yaitu  tidak  boleh  digunakan  selama  kehamilan
Katzung, 2010. Penggunaan obat golongan obat anti hipertensi cukup banyak, hal ini  sesuai  seperti  yang  digambarkan  pada  karakteristik  subjek  penelitian
berdasarkan  penyakit  komplikasi  yang  paling  banyak  diderita  yaitu  hipertensi Gunawan, dkk., 2009.
c. Obat Saluran Pernapasan
Terdapat 2 golongan obat yang digunakan pada obat saluran pernapasan ini yaitu  antitusif  mukolitik  dan  anti  asma.  Obat-obat  saluran  penapasan  khususnya
untuk  asma,  memiliki  efek  farmakologi  penting  dalam  pengobatannya  yaitu melemaskan  otot  polos  saluran  napas  dan  menghambat  pelepasan  mediator
bronkokonstriksi  dari  sel-sel  mast.  Salbutamol  dapat  menyebabkan  bronkodilatasi yang  setara  dengan  yang  dihasilkan  isoproterenol.  Salbutamol  mengandung
albuterol  yang  juga  merupakan  golongan  obat  selektif  β
2
yang  paling  banyak digunakan dalam pengobatan asma Katzung, 2010.
Sedangkan  obat  mikolitik  ialah  obat  yang  dapat  mengencerkan  sekret saluran  napas  dengan  jalan  memecah  benang-benang  mukoprtein  dan
mukopolisakarida  dari  sputum  Gunawan,  dkk.,  2009.  Contoh  obat  yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 pada penelitian adalah ambroksol.
d. Obat Saluran Cerna
Obat  saluran  cerna  merupakan  obat  yang  paling  banyak  digunakan  oleh pasien  rawat  inap  geriatri  DM  tipe  2  di  RS  X  di  Tangerang  Selatan.  Obat  saluran
cerna  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  obat  golongan  antiulkus peptikum,  anti  spasmodik,  laksatif,  antasida,  anti  diare,  pencahar,  serta  enzim
pencernaan.  Obat-obat  tersebut  digunakan  untuk  mengatasi  efek  samping  yang timbul  dari  penggunaan  obat  antidiabetik,  serta  obat  lainnya  yang  digunakan  oleh
pasien untuk mengatasi keluhan lainnya. Salah  satunya,  obat  kelompok  antagonis  histamin  H
2
yaitu  ranitidin digunakan  oleh  banyak  pasien.  Mekanisme  kerja  ranitidin  yaitu  dengan  cepat
menyerap di usus, ranitidin mengalami metanolisme lintas-pertama di hati sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membuat  biovailabilitasnya  manjadi  sekitar  50.Antagonis  H
2
menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H
2
sel parietal dan menean sekresi asam, baik eksresi asam basal maupun  yang di rangsang oleh makanan, secara linear dan bergantung
pada  dosis.  Obat  ini  sangat  selektif  dan  tidak  mempengaruhi  reseptor  H
1
dan  H
2
volume sekresi lambung dan kadar pepsin berkurang Katzung, 2010.
e. Cairan Untuk Keseimbangan Air, Elektrolit, Dialisis dan Nutrisi
Obat  yang  digunakan  pada  golongan  obat  ini  yaitu  KSR  yang  diberikan dalam  bentuk  sediaan  tablet.  Kedua  obat  ini  digunakan  untuk  membantu
meningkatkan kadar ion kalium dalam darah yang kurang.
f. Anti Infeksi
Penggunaan  antiinfeksi  sebagai  agen  antibakteri  pada  pasien  DM  sangat penting  karena  jika  terjadi  luka  akan  lebih  sukar  sembuh.  Hal  ini  karena  pada
lingkungan  yang  mengandung  kadar  glukosa  yang  tinggi  merupakan  tempat perkembangan  bakteri  yang  baik.  Obat  yang  digunakan  pada  penelitian  terdapat
beberapa  golongan  yaitu  golongan  penicillin,  sefalosforin,  antifungi  dan  golongan lain. Salah satu yang banyak digunakan adalah siprofloksasin yang termasuk dalam
kelompok kuinolon. Siprofloksasin dapat melawan bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik  ini  diindikasikan  untuk  mengobati  pneumonia  dan  beberapa  beberapa
stafilokokus.  Mekanisme  aksi  obat  siprofloksasin  ini  dengan  menyekat  sintesis DNA  bakteri  dengan  menghambat  topoisomerase  II  DNA  girase  dan
topoisomerase IV bateri. DNA girase mencegah relaksasi DNA  supercoiled positif yang  diperlukan  untuk  trasnkripsi  dan  replikasi  normal  sehingga  sintesis  DNA
terganggu katzung, 2010.
g. Vitamin dan Mineral
Vitamin  dan  beberapa  mineral  penting  untuk  metabolisme.  Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk
mempertahankan kesehatan dan sering kali bekerja sebagai kofaktor untuk enzim metabolisme. Sedangkan mineral merupakan senyawa anorganik yang merupakan
bagian  penting  dari  enzim,  mengatur  berbagai  fungsi  fisiologis,  dan  dibutuhkan