UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Identitas pasien nama, jenis kelamin, umur . c. Diagnosa penyakit, riwayat penyakit pasien dan keluhan pasien.
d. Penggunaan obat jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan. e. Outcomes pasien kadar GDP dan GDS.
4. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian
4.5.3 Pengolahan Data Notoatmodjo, 2012
1. Editing data. Sebelum melakukan penilaian pada data mentah, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.
2. Coding data. Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik angka terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Penelitian melakukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah
analisis di program Microsoft Excel. 3. Entry data.
Setelah dilakukan coding lalu data dimasukan ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk tabel.
4. Cleaning data. Data yang sudah dimasukan diperiksa kembali sebelum dilakukan
analisis lebih lanjut, untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.
4.5.4 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan program SPSS Statistical Package for the Social Sciences.
Variabel dianalisis dengan menggunakananalisa univariat dan bivariat. 1. Analisis univariat.
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel terikat maupun bebas yang akan diteliti secara
deskriptif. Tujuannya adalah untuk melihat sebaran data setiap variabel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat adalah karakteristik pasien, yang meliputi:
a. Usia b. Jenis kelamin
c. Penggunaan obat DM tipe 2 d. Outcomes pasien kadar GDP dan GDS.
2. Analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel. Adapun pengolahan data dengan menggunaan analisis
bivariat ialah : Karakteristik pasien usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penggunaan
obat DM tipe 2 terhadap DRP yang meliputi interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Demografi pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, jenis penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien DM tipe 2 di RS X
di Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 adalah 147 pasien dan kemudian dipilih 90 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Tabel 5.1 Karakteristik Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Jenis kelamin, Usia, Jumlah Penyakit
Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Karakteristik Subjek
Jumlah Rekam Medik n=90 Presentase
1 Jenis Kelamin
a. Laki-laki b. Perempuan
18 72
20,0 80,0
2 Usia
a. 45 tahun b. ≥45 tahun
17 73
18,8 81,1
3 Jumlah Penyakit Penyerta
a. 5 Penyakit Penyerta b. ≥ 5 Penyakit Penyerta
69 21
76,6 23,3
4 Jumlah Penggunaan Obat
a. 5 Obat b. ≥ 5 Obat
34 56
37,7 62,2
Berdasarkan Tabel 5.1, diperoleh gambaran mengenai karakteristik umum subjek penelitian. Gambaran umum karakteristik subjek yang dominan antara lain
80 perempuan; 81,11 usia pasien berusia ≥45 tahun; 76,6 pasien menderita
5 penyakit penyerta; serta 62,2 pasien menerima ≥5 obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 5.2
Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014
– Juni 2015 No Penyakit Penyerta
Frekuensi Presentase
1 Hipertensi
17 14,1
2 Dispepsia
12 10,0
3 CHF
10 8,3
4 Ulkus
10 8,3
5 CKD
10 8,3
6 Anemia
9 7,5
7 Stroke, Infark, Hemiprasedektra
7 5,8
8 DKA
6 5,0
9 TB Paru
6 5,0
10 AKI
5 4,1
11 Febris
5 4,1
12 Gastropati diabetikum
4 3,3
13 Hiperglikemia
4 3,3
14 CAD
3 2,5
15 Hepatitis
3 2,5
16 DHF
2 1,6
17 Nefropati
2 1,6
18 Sirosis
2 1,6
19 ISK
2 1,6
20 Hiponatremia
1 0,8
Keterangan: AKI = Acute Kidney Injury; CAD = Coronary Arteri Disease; CHF = Chronic Heart Failure; CKD = Chronic Kidney Disease; DAK = Diabetic Ketoacidosis; DHF= Dengue
Haemorrhagic Fever; ISK = Infeksi Saluran Kemih; TB Paru = Tubercolosis Paru
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis penyakit penyerta yang paling banyak terjadi pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan adalah hipertensi
sebanyak 17 pasien 14,16; diikuti dispepsia sebanyak 12 pasien 10; CHF, ulkus, dan CKD sebanyak 10 pasien 8,33; anemia sebanyak 9 pasien 7,5,
serta penyakit lainnya yang berada dibawah 7. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.2
5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Persentase penggunaan obat antidiabetes di RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 - Juni 2015 yang diambil dari 90 rekam medik. Terdapat 115
penggunaan obat antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 5.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 5.3
Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Pasien Rawat Inap DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 - Juni 2015
No. Nama Obat
Jumlah Penggunaan n=115
Presentase
1 Insulin Aspart Novorapid
47 40,8
2 Insulin Glargline Lantus
34 29,5
3 Metformin
23 20,0
4 Glimepirid
11 9,5
5 Acarbosa
1 0,8
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa persentase tertinggi penggunaan obat antidiabetes yakni insulin aspart 40,8; insulin glargline 29,5; metformin
20,0; glimepirid 9,5; dan acarbosa 0,8.
5.1.3
Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien
Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 - Juni 2015, diperoleh jumlah interaksi obat sebanyak 57,7 dengan karakteristik
kelompok usia ≥45 tahun 48,8; pasien dengan 5 penyakit penyerta 51,1;
dan mendapat terapi ≥5 obat 50. Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan
periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Karakteristik Subjek
Berinteraksi Tidak berinteraksi
Frekuensi n=52
n=57,7 Frekuensi
n=38 n=42,2
1 Usia
a. 45 tahun b. ≥ 45 tahun
8 44
8,8 48,9
10 28
11,1 31,1
2 Jumlah Penyakit Penyerta
a. 5 penyakit penyerta b. ≥ 5 penyakit penyerta
46 6
51,1 6,6
18 20
20,0 22,2
3 Jumlah Penggunaan Obat
a. 5obat b. ≥ 5 obat
7 45
7,7 50,0
27 11
30,0 12,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1.4
Gambaran Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan
Analisis terhadap 90 rekam medik menunjukkan hasil persentase potensi interaksi obat antidiabetes yaitu 57,7, dari 165 resep ditemukan 115 resep
memiliki potensi interaksi obat, yang terdiri dari 20 jenis kasus interaksi obat yang berpotensi menyebabkan hipoglikemia dan 6 jenis kasus interaksi yang berpotensi
menyebabkan hiperglikemia Tabel 5.5 dan Tabel 5.6. Obat yang paling sering mengalami potensi interaksi adalah metformin 38,6, glimepirid 33,3, insulin
aspart 20, dan insulin glargline 8 Tabel 5.7, dengan mekanisme interaksi farmakokinetik 48, farmakodinamik 38,6, dan unknown 13,3 Tabel 5.8.
Tingkat keparahan potensi interaksi obat antara lain minor 13,9, moderate 86, dan major 0 Tabel 5.9.
Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi HipoglikemiaMenurunkan Kadar Gula Darah pada
Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Nama Obat Pola Mekanisme
Interaksi Tingkat
Keparahan Interaksi
Mekanisme Interaksi Jumlah
Kejadian n=64
1 Glimepirid +
asam mefenamat
unknown Moderate
Asam mefenamat meningkatkan efek
glimepirid melalui mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko hipoglikemia.
1 1,3
2 Glimepirid +
aspirin farmakokinetik
Moderate Aspirin dapat
menstimulasi sekresi insulin atau
meningkatkan konsentrasi plasma dari
glimepirid dengan menggantinya dari situs
pengikatan protein danatau menginhibisi
metabolismenya . beresiko hipoglikemia
1 1,3
3 Glimepirid +
captopril farmakodinamik
Moderate Captopril meningkatkan
efek glimepirid oral melalui sinergisme
farmakodinamik 1
1,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan sensitivitas insulin
4 Glimepirid +
ciprofloxacin farmakodinamik
Moderate Ciprofloxacin
meningkatkan efek glimepirid melalui
sinergisme farmakodinamik.
1 1,3
5 Glimepirid +
insulin aspart Novorapid
farmakodinamik Moderate
Glimepirid, insulin aspart. Salah satunya
meningkatkan efek yang lain melalui sinergisme
farmakodinamik 4
5,3
6 Glimepirid +
ketorolak unknown
Moderate Ketorolac meningkatkan
efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko hipoglikemia.
1 1,3
7 Glimepirid +
natrium diklofenak
farmakokinetik Moderate
Na Diclofenac dapat menstimulasi sekresi
insulin atau meningkatkan
konsentrasi plasma dari glimepirid dengan
menggantinya dari situs pengikatan protein
danatau menginhibisi metabolismenya .
beresiko hipoglikemia 1
1,3
8 Glimepirid +
omeprazole farmakokinetik
Moderate Penghambatan
metabolisme CYP2C9 sulfonilurea. Konsentrasi
sulfonilurea serum dapat meningkat,
meningkatkan efek hipoglikemia
5 6,7
9 Glimepirid +
ranitidin farmakokinetik
Moderate Antagonis reseptor H2
seperti simetidin dan ranitidin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik.
Mekanismenya diduga berhubungan dengan
inhibisi metabolisme 9
12,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sulfonilurea di hati oleh simetidin sehingga
meningkatkan efeknya. 10
Glimepirid + simvastatin
unknown Minor
Konsentrasi sulfonilurea meningkat,
meningkatkan efek hipoglikemia
1 1,3
11 Insulin aspart
Novorapid + aspirin
farmakodinamik Moderate
Aspirin meningkatkan efek insulin aspart
dengan sinergisme farmakodinamik
peningkatan sekresi insulin
1 1,3
12 Insulin aspart
Novorapid + captopril
farmakodinamik Moderate
Captopril meningkatkan efek insulin aspart oral
melalui sinergisme farmakodinamik
peningkatan sensitivitas insulin
5 6,6
13 Insulin aspart
Novorapid + ciprofloxacin
farmakodinamik Moderate
Ciprofloxacin meningkatkan efek
insulin aspart melalui sinergisme
farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia
3 4,0
14 Insulin
glargline Lantus +
metformin farmakodinamik
Moderate Metformin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik insulin
glargine dengan meningkatkan
mekanisme kontrol selular oleh insulin atau
efek pada reaksi biokimia komplementer.
5 6,6
15 Metformin +
asam folat unknown
Minor Metformin menurunkan
level asam folat melalui mekanisme interaksi
yang tidak diketahui 2
2,6
16 Metformin +
ciprofloxacin farmakodinamik
Moderate Ciprofloxacin
meningkatkan efek metformin melalui
sinergisme farmakodinamik.
Beresiko hiperglikemia 1
1,3
17 Metformin +
digoxin farmakokinetik
Moderate Digoxin akan
meningkatkan levelefek 2
2,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metformin dengan kompetisi pembasaan
obat untuk kliren tubular renal. Beresiko asidosis
laktat.
18 Metformin +
diltiazem farmakokinetik
Minor Diltiazem akan
meningkatkan levelefek metformin dengan
kompetisi pembasaan kationik obat untuk
klirens renal tubular. 1
1,3
19 Metformin +
furosemid unknown
Moderate Furosemid meningkatkan
level metformin, beresiko hipoglikemia
2 2,6
20 Metformin +
ranitidin farmakokinetik
Moderate Ranitidin akan
meningktkan levelefek metformin melalui
penurunan klirens ginjalkompetisi
transport tubular renal. 17
22,6
Tabel 5.6 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi HiperglikemiaMeningkatkan Kadar Gula Darah
pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni
2015 No Nama Obat
Pola Mekanisme Interaksi
Tingkat Keparahan
Interaksi Mekanisme Interaksi
Jumlah Kejadian
n=11 1
Insulin aspart Novorapid +
dexamethasone farmakodinamik
Moderate Dexamethasone
menurunkan efek insulin aspart melalui
antagonism farmakodinamik. Dapat
menyebabkan hiperglikemia dan
intoleransi glukosa. 2
2,6
2 Insulin aspart
Novorapid + levofloxacin
farmakodinamik Moderate
Levofloxacin menurunkan efek insulin
aspart melalui antagonism
farmakodinamik. Beresiko hiperglikemia.
1 1,3
3 Insulin aspart
Novorapid + metil
farmakodinamik Moderate
Metilprednisolon menurunkan efek insulin
aspart melalui 3
4,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prednisolon antagonisme
farmakodinamik 4
Insulin glargline
Lantus + metil
prednisolon farmakodinamik
Moderate Metilprednisolon
menurunkan efek insulin glargline melalui
antagonisme farmakodinamik
1 1,3
5 Metformin +
dexamethasone farmakodinamik
Moderate Dexamethasone
menurunkan efek metformin melalui
antagonism farmakodinamik. Dapat
menyebabkan hiperglikemia dan
intoleransi glukosa. 1
1,3
6 Metformin +
ISDN unknown
Minor ISDN menurunkan level
metformin mekanisme interaksi tidak diketahui.
3 4,0
Tabel 5.7 Distribusi pasien DM tipe 2 yang memiliki potensi interaksi obat berdasarkan jenis obat di
RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Nama obat
Jumlah n=75
1 Metformin
29 38,6
2 Glimepirid
25 33,3
3 Insulin aspart
15 20,0
4 Insulin glarlgine
6 8,0
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering memiliki potensi interaksi obat adalah metformin
38,6, dan glimepirid 33,3 Tabel 5.7. Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang
melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan.
Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe 2 di RS
X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Jenis interaksi
Jumlah n=75
1 Farmakokinetik
36 48,0
2 Farmakodinamik
29 38,6
3 Unknown
10 13,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang paling banyak terjadi adalah interaksi farmakokinetik sebesar 48, diikuti interaksi
farmakodinamik sebesar 38,6, serta interaksi unknown sebesar 13,3.
Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe
2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Jenis interaksi
Jumlah n=75 1
Moderate 68
86 2
Minor 7
13,9
Berdasarkan tingkat keparahan, interaksi obat yang terjadi mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate 86, dan tingkat keparahan minor 13,9.
Data ditunjukkan pada Tabel 5.9.
5.1.5 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus
Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 - Juni 2015, diketahui terdapat 42 pasien 46,6 yang memiliki potensi interaksi
obat, yang mengakibatkan tidak tercapainya outcomes klinik pasien kontrol gula darah.
Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik Pasien DM tipe 2 di RS X
di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No. Interaksi Obat
Outcomes Klinik Jumlah
n= 90 Berinteraksi
Tidak berinteraksi
Outcomes tercapai
Outcomes tidak tercapai
1 √
√ 10
11,1 2
√ √
42 46,6
3 √
√ 37
41,1 4
√ √
1 1,1
5.1.6 Hubungan Subjek Penelitian dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Peneliti melihat dari hasil analisa data crosstabs, apakah nilai p 0,05 atau nilai p 0,05. Jika nilai p 0,05 maka uji dapat dikatakan tidak memiliki hubungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang signifikan. Jika nilai p 0,05 maka uji dapat dikatakan memiliki hubungan yang signifikan pada kedua variabel.
5.1.6.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara usia dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM
Tipe2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
Usia Intekasi Obat
Nilai P Berinteraksi
Tidak Berinteraksi Jumlah
Jumlah 0,200
45 tahun 8
8,8 10
11,1 ≥ 45 tahun
44 48,8
28 31,1
Total 52
57,7 38
42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan interaksi obat antidiabetes,
dimana nilai p=0,200 p0,05.
5.1.6.2 Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Penyakit penyerta
Interaksi Obat Nilai P
Berinteraksi Tidak berinteraksi
Jumlah Jumlah
0,000 5 penyakit
penyerta 46
52,2 18
20,0 ≥ 5 penyakit
penyerta 6
6,6 20
22,2 Total
52 57,7
38 42,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penyakit penyerta dan kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 p0,05.
5.1.6.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Jumlah obat Interaksi Obat
Nilai P Berinteraksi
Tidak berinteraksi Jumlah
Jumlah 0,000
5 obat 7
7,7 27
30,0 ≥ 5obat
45 50,0
11 12,2
Total 52
57,7 38
42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penggunaan obat dan kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 p0,05.
5.1.7 Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan analisis hubungan antara interaksi obat dengan outcomes klinik menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.14
Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik Pasien DM Tipe 2 interaksi
Outcomes klinik Nilai P
Tercapai Tidak tercapai
Jumlah Jumlah
0,000 Interaksi
10 11,1
42 46,6
Tidak berinteraksi
37 41,1
1 1,1
Total 47
52,2 43
47,7
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara variabel interaksi obat dan outcomes klinik pasien
DM tipe 2 dimana nilai p=0,000 p0,05.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Pasien 5.2.1.1 Karakteristik Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien DM perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan data RISKESDAS tahun 2013 yang
menyatakan bahwa pasien DM pada wanita lebih banyak 1,7 dibandingkan pada laki-laki 1,4. Pernyataan tersebut juga didukung dengan penelitian lainnya,
dimana setelah usia 30 tahun, wanita memiliki risiko terkena DM lebih tinggi dibandingkan pria Ramaiah, 2007. Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tigauw, et al., 2014 menunjukkan pasien DM perempuan lebih banyak 66,7 daripada laki-laki 33,3.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia menunjukkan jenis kelamin laki-
laki menderita DM lebih tinggi daripada perempuan Pramudiarja, 2011. Penyakit DM lebih banyak terjadi pada perempuan disebabkan karena pada
perempuan memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan premenstrual syndrome, pasca-menopouse yang
membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2 Sustrani, 2006.
5.2.1.2 Karakteristik Umum Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian, penderita DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan usia pasien yang paling muda adalah 23 tahun, dan yang paling tua adalah
89 tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia penderita DM paling banyak terjadi pada usia ≥ 45 tahun.
Riskesdas 2013 melaporkan bahwa usia penyakit DM dominan terjadi pada usia 55-
64 tahun dan cenderung menurun setelah usia ≥65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Kekenusa, et al. 2006 juga menunjukkan bahwa pasien DM
tipe 2 didominasi kelompok usia ≥45 tahun. Usia ≥45 tahun memiliki resiko 8 kali lebih besar terkena penyakit DM tipe 2 dibandingkan usia 45 tahun. Hal ini dapat
terjadi karena pada lansia terjadi perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh, serta proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metabolisme yang menurun yang tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik Maryam, et al., 2008.
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. DM sering muncul setelah seseorang
memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun Irawan, 2010. Menurut Waspadji 2008, usia lanjut mengalami peningkatkan produksi insulin
glukosa dari hati hepatic glucose production, cenderung mengalami resistensi insulin, dan gangguan sekresi insulin akibat penuaan dan apoptosis sel beta
pankreas. Pada usia lanjut dengan indeks tubuh normal, gangguan lebih banyak pada sekresi insulin di sel beta pankreas, sementara pada usia lanjut dengan
obesitas, gangguan lebih banyak pada resistensi insulin di jaringan perifer seperti sel otot, sel hati, dan sel lemak adiposit Pramono, 2010.
5.2.1.3 Karakteristik Umum Berdasarkan Penyakit Penyerta
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita DM paling banyak memiliki ≤5 penyakit penyerta. Menurut literatur, dikatakan bahwa pasien DM
mengalami rata-rata 5 penyakit penyerta Cipolle, et al., 2013. Jenis penyakit penyerta yang dialami pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di RS X di Tangerang
Selatan yang paling banyak adalah hipertensi dan dispepsia. Penyakit Hipertensi pada pasien DM adalah komplikasi makroangiopati
kelainan pada pembuluh darah besar Carlisle,2005. Tingginya penyakit penyerta hipertensi yang dialami pasien DM tipe 2 dikarenakan terjadinya peningkatan kadar
gula darah pada pasien DM yang dapat menyebabkan hiperfiltrasi glomeruler dan albuminuria. Hiperglimia dapat menyebabkan perubahan jalur metabolisme dan
feedback tubuloglomeruler akibat stres oksidatif dan agregasi AGE Advance Glycosolation End Product. Perubahan feedback tubuloglomeruler dapat
menyebabkan perubahan hemodinamik dalam ginjal, termasuk hiperfiltrasi, vasodilatasi renal, dan peningkatan aliran darah ginjal. Adanya tekanan glomeruler
dapat meningkatkan aktivasi sistem renin-angiotensin dan endotelin yang dapat meningkatkan tekanan darah sistemik Schutta, 2007.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyakit hipertensi juga dapat disebabkan karena pasien DM tipe 2 umumnya memiliki usia ≥ 45 tahun, dimana dengan bertambahnya usia maka tekanan darah
juga akan meningkat. Setelah usia 45 tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot sehingga
pembuluh darah berangsur angsur akan mengalami penyempitan dan menjadi kaku Anggraini, dkk., 2009; Manroe, 2007; Yusnidar, 2007.
Penyakit penyerta dispepsia juga termasuk penyakit penyerta terbanyak setelah hipertensi, yang diderita oleh pasien DM tipe 2. Gangguan fungsi saluran
cerna merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita DM, dimana hal ini berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut atau
kelainan motilitas lambung yang memicu terjadinya dispepsia Sutadi, 2003. DM juga dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah Hadi, 2002.
5.2.1.4 Karakteristik Umum Berdasarkan Jumlah Obat
Berdasarkan jumlah obat yang digunakan, diperoleh data yang menunjukkan bahwa peresepan ≥5 obat memiliki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan peresepan 5 obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari 2013, menunjukkan bahwa pada pasien DM lebih dari 50
menerima obat ≥5. Hal ini dapat terjadi karena pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin dan sekresi insulin yang semakin rendah dari waktu ke waktu.
Kebanyakan individu dengan DM tipe 2 menunjukkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien dengan DM tipe 2 beresiko
mengalami komplikasi Triplitt, et al., 2008. Hal tersebut menyebabkan pasien membutuhkan terapi lebih dari satu obat atau memerlukan terapi kombinasi untuk
mendapatkan kontrol yang baik Shastry, et al., 2015.
5.2.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Profil penggunaan obat bertujuan untuk mengetahui obat apa saja yang digunakan oleh pasien DM di RS X di Tangerang Selatan. Berdasarkan penelitian
ini, obat antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah insulin aspart.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penggunaan insulin ini diberikan pada kondisi pasien DM telah mengalami ketidaksadaran atau memiliki kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Pasien
dengan kadar glukosa yang tinggi menunjukkan bahwa pasien telah mengalami komplikasi lainnya. Banyaknya penggunaan insulin aspart disebabkan karena
memiliki kerja yang cepat rapid acting serta memiliki keunggulan dalam hal penyuntikannya. Insulin dapat disuntikkan 15 menit sebelum makan dan insulin
regular dapat disuntikkan 30 menit sebelum makan.
Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomatunnisa 2014 juga menunjukkan bahwa insulin merupakan salah satu obat antidiabetes injeksi yang banyak
digunakan pada pasien rawat inap DM. Penggunaan insulin diberikan jika kondisi pasien memiliki kadar glukosa yang sangat tinggi dan mengalami komplikasi. Jika
kadar glukosa darah sudah relatif stabil maka dapat dilakukan evaluasi terhadap penyakit komplikasi yang diderita oleh pasien. Insulin aspart banyak digunakan
karena memiliki kerja onset kerja cepat dan menurunan kadar glukosa postprandial lebih cepat dibandingkan insulin regular. Penderita DM Tipe 2 tertentu
kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah, seperti ketika penderita mengalami
stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke, ketoasidosis diabetik. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral
atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin Depkes RI, 2005.
Penggunaan obat diabetes oral yang paling banyak digunakan adalah metformin, yang termasuk dalam golongan biguanida, sedangkan sisanya berasal
golongan sulfonilurea yaitu glimepirid. Pemilihan obat yang digunakan dalam terapi sudah sesuai dengan tatalaksana pengobatan DM dimana lini pertama terapi
menggunakan obat golongan biguanida, dan lini kedua menggunakan golongan sulfonilurea Mclntosh, et al 2001.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metformin dapat meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis
dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer Tjay dan Rahardja, 2007. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas Schteingart, 2005. Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16, LDL
kolesterol hingga 8 dan total kolesterol hingga 5, dan juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2 Soegondo, 2004. Pada pemakaian tunggal, metformin
dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20 Waspadji, 2004.
5.2.2.1 Profil Obat
Profil obat merupakan seluruh kelompok obat yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 yang terdiri dari beberapa golongan obat dan mempunyai masing-masing
tujuan pengobatan yang sama yang diberikan kepada pasien, yang digunakan untuk mengobati penyakit komplikasi dan penyerta yang diderita pasien. Penggolongan
obat ini dilakukan berdasarkan formularium RS X di Tangerang Selatan. Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa obat antidiabetes digunakan oleh semua
pasien. Obat yang paling banyak digunakan pertama yaitu obat gastrointestinal, sedangkan obat kardiovaskular diurutan kedua. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010, dimana frekuensi penggunaan obat terbanyak setelah obat antidiabetes yaitu obat kardiovaskular.
Penggolongan obat pada pasien geriatri penderita DM tipe 2 yang mendapat obat hipoglikemia kombinasi ini terdiri dari 10 kelas terapi yang
meliputi:
a. Obat Susunan Saraf
Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat SSP merupakan obat yang hampir semua obat SSP bekerja pada reseptor khusus yang mengatur transmisi
sinaps. Obat susunan saraf terdiri dari beberapa golongan yaitu analgesik- antipiretik, antiinflamasi nonsteroid dan anti reumatik, preparat gout,
antisiolitikantiansietas, antipsikosis, hipnotik-sedatif, nootropik dan neurotonik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antiepilepsi-antikonvulsi, antidepresi, anti emetik, dan relaksan otot. Namun terdapat golongan yang tidak terdapat pada penelitian yaitu golongan antidepresi.
Obat analgesik antipiretik serta obat NSAID merupakan salah obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Salah satu fungsi dari
golongan seperti golongan antiinflamasi nonsteroid-antipiratik untuk penyakit artritis rheumatoid, osteoatrhtritis, dan spondilitis. Tetapi harus diingat bahwa obat
ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah
jaringan pada kelainan muskoskeletal Gunawan, dkk., 2009. Contoh obat yang digunakan adalah meloksikam yang diindikasikan untuk menangani penyakit
penyerta yang diderita oleh pasien geriatri penderita DM tipe 2, seperti nyeri dan radang, gangguan skelet dan osteoatritis. Pasien usia lanjut memiliki kerentanan
terhadap efek samping obat golongan NSAID yaitu gangguan saluran cerna, untuk itu diperlukan pemantauan yang lebih.
b. Obat Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular merupakan masalah yang sangat penting pada usia lanjut. Karena hal ini dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyakit-
penyakit lainnya sehingga harus cepat ditangani. Penggunaan obat kardiovaskular oleh pasien berada diurutan nomor dua terbanyak yang digunakan oleh pasien. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010, dimana penggunaan obat kardiovaskular pada pasien geriatri dengan DM terbanyak
yaitu golongan Angiotensin Receptor Blockers ARBs. Golongan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT
1
dan tidak di reseptor AT
2
. AT
1
bloker juga tidak menimbulkan efek samping batuk kering Gunawan, dkk., 2009. Obat-obat golongan ini tidak memiliki efek terhadap
metabolisme bradikinin sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin dibandingkan dengan penghambat ACE. Mereka juga
memiliki potensi untuk menghambat kerja angiotensin secara lebih menyeluruh dibandingkan dnegan penghambat ACE sebab terdapat enzim-enzim lain selain
ACE yang dapat menghasilkan angiotensin II. Obat golongan ini mempunyai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
keuntungan sama seperti obat golongan penghambat golongan ACE. Dan efek samping keduanya pun mirip yaitu tidak boleh digunakan selama kehamilan
Katzung, 2010. Penggunaan obat golongan obat anti hipertensi cukup banyak, hal ini sesuai seperti yang digambarkan pada karakteristik subjek penelitian
berdasarkan penyakit komplikasi yang paling banyak diderita yaitu hipertensi Gunawan, dkk., 2009.
c. Obat Saluran Pernapasan
Terdapat 2 golongan obat yang digunakan pada obat saluran pernapasan ini yaitu antitusif mukolitik dan anti asma. Obat-obat saluran penapasan khususnya
untuk asma, memiliki efek farmakologi penting dalam pengobatannya yaitu melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pelepasan mediator
bronkokonstriksi dari sel-sel mast. Salbutamol dapat menyebabkan bronkodilatasi yang setara dengan yang dihasilkan isoproterenol. Salbutamol mengandung
albuterol yang juga merupakan golongan obat selektif β
2
yang paling banyak digunakan dalam pengobatan asma Katzung, 2010.
Sedangkan obat mikolitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang mukoprtein dan
mukopolisakarida dari sputum Gunawan, dkk., 2009. Contoh obat yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 pada penelitian adalah ambroksol.
d. Obat Saluran Cerna
Obat saluran cerna merupakan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap geriatri DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan. Obat saluran
cerna yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat golongan antiulkus peptikum, anti spasmodik, laksatif, antasida, anti diare, pencahar, serta enzim
pencernaan. Obat-obat tersebut digunakan untuk mengatasi efek samping yang timbul dari penggunaan obat antidiabetik, serta obat lainnya yang digunakan oleh
pasien untuk mengatasi keluhan lainnya. Salah satunya, obat kelompok antagonis histamin H
2
yaitu ranitidin digunakan oleh banyak pasien. Mekanisme kerja ranitidin yaitu dengan cepat
menyerap di usus, ranitidin mengalami metanolisme lintas-pertama di hati sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membuat biovailabilitasnya manjadi sekitar 50.Antagonis H
2
menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H
2
sel parietal dan menean sekresi asam, baik eksresi asam basal maupun yang di rangsang oleh makanan, secara linear dan bergantung
pada dosis. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H
1
dan H
2
volume sekresi lambung dan kadar pepsin berkurang Katzung, 2010.
e. Cairan Untuk Keseimbangan Air, Elektrolit, Dialisis dan Nutrisi
Obat yang digunakan pada golongan obat ini yaitu KSR yang diberikan dalam bentuk sediaan tablet. Kedua obat ini digunakan untuk membantu
meningkatkan kadar ion kalium dalam darah yang kurang.
f. Anti Infeksi
Penggunaan antiinfeksi sebagai agen antibakteri pada pasien DM sangat penting karena jika terjadi luka akan lebih sukar sembuh. Hal ini karena pada
lingkungan yang mengandung kadar glukosa yang tinggi merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik. Obat yang digunakan pada penelitian terdapat
beberapa golongan yaitu golongan penicillin, sefalosforin, antifungi dan golongan lain. Salah satu yang banyak digunakan adalah siprofloksasin yang termasuk dalam
kelompok kuinolon. Siprofloksasin dapat melawan bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik ini diindikasikan untuk mengobati pneumonia dan beberapa beberapa
stafilokokus. Mekanisme aksi obat siprofloksasin ini dengan menyekat sintesis DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II DNA girase dan
topoisomerase IV bateri. DNA girase mencegah relaksasi DNA supercoiled positif yang diperlukan untuk trasnkripsi dan replikasi normal sehingga sintesis DNA
terganggu katzung, 2010.
g. Vitamin dan Mineral
Vitamin dan beberapa mineral penting untuk metabolisme. Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk
mempertahankan kesehatan dan sering kali bekerja sebagai kofaktor untuk enzim metabolisme. Sedangkan mineral merupakan senyawa anorganik yang merupakan
bagian penting dari enzim, mengatur berbagai fungsi fisiologis, dan dibutuhkan