UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atau kadar glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan HbA1c bertujuan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu pengobatan. Pemeriksaan HbA1c
merupakan tes hemoglobin terglikosilasi atau disebut juga glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi Perkeni, 2011.
Frekuensi pemeriksaan nilai HbA1c tergantung pada kondisi klinis, regimen terapi yang digunakan, dan diagnosis dokter
ADA, 2014.
4. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri PGDM
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan bervariasi tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan, menjelang waktu tidur, dan di antara siklus tidur.
PDGM terutama dianjurkan pada : a.
Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin b.
Pasien DM dengan terapi insulin berikut yaitu pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah terapi, wanita yang
merencanakan hamil, wanita hamil dengan hiperglikemia, dan kejadian hipoglikemia berulang.
5. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pemeriksaan ini hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi
glukosa renal rata-rata sekitar 180 mgdL. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk
menilai keberhasilan terapi.
6. Pemantauan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada pasien DM tipe 2 yang terkendali buruk kadar
glukosa darah 300mgdL. Tes benda keton urin mengukur kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
asetoasetat, sedangkan benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam
darah dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah 0,6 mmoll normal,
di atas 1,0 mmoll ketosis, dan melebihi 3,0 mmoll indikasi diabetik ketoasidosis.
2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa peran Apoteker di
Rumah Sakit salah satunya adalah melakukan Pelayanan Farmasi Klinik. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
patient safety sehingga kualitas hidup pasien quality of life terjamin PMK Nomor 58, 2014.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
A. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap
tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat medication error.
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: