1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab satu peneliti akan memaparkan beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan
masalah, dan sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia senantiasa hidup dan berkembang sesuai dengan pengalaman yang diperoleh melalui proses belajar dalam hidupnya. Manusia tercipta sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membutuhkan orang lain, selalu berinteraksi, saling bersosialisasi
maupun bertukar pengalaman serta membentuk hubungan untuk meneruskan keturunan. Meneruskan keturunan dapat ditempuh melalui proses pernikahan,
yang kemudian terbentuklah sebuah keluarga. Pada dasarnya manusia terpanggil untuk hidup berpasang-pasangan dan dapat menemukan makna hidupnya dalam
pernikahan. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral serta menjadi dambaan
hampir setiap orang yang berkeinginan untuk membentuk sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia dengan orang yang dicintainya. Menurut UU
Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
2
Pada kenyantaanya, dewasa ini semakin banyak pasangan suami istri yang gagal dengan pernikahannya. Hal ini dapat dilihat dari data faktual tentang Jumlah
perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan perceraian. Meski angka
perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris yang mencapai 66,6 dan 50 dari jumlah total perkawinan, namun angka perceraian
di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik Julianto, 2008.
Sedangkan data terbaru Angka perceraian di Jakarta pada awal tahun 2011 mengalami peningkatan. Pada rentang bulan Januari-Februari tahun 2011, jumlah
angka perceraian sebanyak 883, lebih banyak dibanding tahun 2010, yang tercatat 823 perkara, jumlah tersebut didominasi gugatan cerai dari pihak perempuan atau
disebut cerai gugat yang mencapai 561 perkara selama dua bulan terakhir 2011
Effendi, 2011.
Dalam pernikahan, seseorang membutuhkan aspek-aspek penting agar pernikahannya harmonis. Salah satu aspek yang sangat penting ialah perasaan
puas akan pernikahannya, yang biasa disebut dengan kepuasan pernikahan. Hal ini juga dijelaskan oleh Veroff dan kawan-kawan dalam Atwater, 1983 yang
berpendapat bahwa bagaimanapun kebahagiaan dan keharmonisan pasangan secara langsung bergantung pada kepuasan pasangan dalam aspek-aspek
pernikahan. Misalnya, studi penting mengenai kesehatan mental orang Amerika menunjukan bahwa pasangan yang sangat puasa terhadap pernikahannya adalah
mereka yang lebih menekankan pada aspek hubungan dari pernikahan mereka,
3
sementara pasangan yang kurang bahagia lebih menyandarkan diri pada peran hubungan. Jadi, ketika seseorang puas dengan pernikahannya maka ia akan tetap
akan bahagia meskipun ada beberapa hal yang membuat ia kecewa dengan keadaan sekitarnya. Bahkan seseorang yang tidak puas dengan pernikahannya, ia
akan cenderung mencari kepuasan yang lebih pada anak, pekerjaan atau sesuatu yang materiil.
Hal ini menunjukan betapa pentingnya kepuasan dalam pernikahan untuk menciptakan kebahagiaan secara keseluruhan dalam kehidupan rumah tangga.
Lavenson dan kawan-kawan 1985 dalam penelitiannya menunjukan bahwa kepuasan pernikahan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Membicarakan kepuasan pernikahan, Holahan dan Levenson dalam Lemme, 1995 menyatakan bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada
wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Bahkan dalam penelitian menemukan
bahwa suami menunjukkan kepuasaan pernikahan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.
Berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Agama PA Jakarta Selatan, istri lebih banyak yang meminta cerai cerai gugat dibanding suami
mencerai istri cerai talak. Tahun 2008, jumlah perkara yang diterima PA Jakarta Selatan untuk cerai gugat mencapai 1.324, sementara cerai talak hanya 638.
Sampai Maret 2009, perbandingan antara cerai gugat dan cerai talak semakin melebar dibanding tahun 2008, yaitu untuk cerai gugat 435 perkara, sedangkan
4
cerai talak hanya 165 perkara. Walaupun tidak semua perkara yang diterima PA tersebut dikabulkan Pelita, 2011.
Mengamati media massa yang marak dewasa ini, terlihat banyak suami istri yang tidak merasakan keharmonisan dalam kehidupan bersama pasangannya.
Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak rubrik konseling pernikahan dan keluarga dan artikel-artikel mengenai pernikahan pada media massa, termasuk
majalah, koran, televisi dan radio, bahkan semakin maraknya pembicaraan dan konseling terbuka mengenai pernikahan dan permasalahannya melalui media
internet. Media-media yang menyediakan layanan konseling mengenai pernikahan tersebut bahakan tidak pernah sepi dari pertanyaan-pertanyaan yang
mengharapkan problem solving melalui jawaban atau pengalaman pribadi pada rubrik tersebut. Selain itu, sebagian besar orang yang melakukan konsultasi pada
rubrik-rubrik tersebut didominasi oleh istri. Fenomena ini menandakan semakin banyak pasangan suami istri yang memiliki masalah dan tidak merasakan
kepuasan pada pernikahannya, terutama para istri. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa
untuk membangun suatu rumah tangga atau kehidupan pernikahan yang harmonis tidaklah
mudah. Ketidakharmonisan
dalam pernikahan
disebabkan ketidakcocokan atau ketidakserasian pasangan. Perasaan seperti ini merupakan
tanda-tanda bahwa
adanya ketidakpuasan
seseorang dalam
hubungan pernikahannya.
5
Menurut Atwater 2005 kepuasan pernikahan yaitu perasaan senang dan bahagia terhadap suatu pernikahan. Sedangkan menurut Fizpatrick dalam Bird
Melville, 1994. kepuasan pernikahan berkaitan dengan bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi kualitas pernikahan mereka. Kepuasan pernikahan
merupakan gambaran yang subjektif yang dirasakan oleh pasangan tersebut, apakah merasa baik, bahagia ataupun puas dengan pernikahan yang dijalaninya.
Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Duvall dan Miller 1985 menyebutkan
dua faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor sebelum menikah dan faktor setelah menikah. Faktor sebelum menikah Premarital
faktors adalah hal-hal yang dimiliki setiap individu sebelum menikah, seperti kebahagiaan masa kanak-kanak, ketegasan dalam disiplin, pendidikan seks,
tingkat pendidikan, dan lamanya waktu berkenalan dengan pasangan sebelum menikah, sedangkan faktor setelah menikah postmarital faktors merupakan
berbagai interaksi aktual yang berkembang diantara pasangan selama pernikahan berlangsung, seperti adanya saling keterbukaan dalam mengekspresikan perasaan
cinta, rasa saling percaya, tidak saling mendominasi dalam mengambil keputusan, adanya keterbukaan dalam berkomunikasi, perasaan senang keduannya dalam
hubungan seks, penghasilan yang cukup, serta saling berpartisipasai dalam kehidupan sosial pasangan.
Menurut Duvall dan Miller 1985 faktor setelah menikah lebih besar pengaruhnya dibanding faktor sebelum menikah, karena apapun yang sudah
terjadi di masa lalu tidak mungkin dapat dirubah kecuali memahami dan
6
menerima karakterisik masa lalu pasangannya masing-masing. Lalu Duvall dan Miller 1985 juga menambahkan faktor yang mempengaruhi pernikahan yaitu
cara menghadapi konflik resolusi konflik. Faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya ialah hal-hal yang berkaitan erat dengan proses terjadinya kepuasan
pernikahan. Lalu Turner dan Helms 1995 mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah jumlah interaksi yang efektif,
kepribadian, minat yang sama, komunikasi efektif, dan afeksi. Selama 15 tahun terakhir, penelitian untuk komponen penting dari
kepuasan pernikahan telah dilakukan banyak peneliti dari berbagai arah. Beberapa memasukkan model cinta yang sehat, keterampilan komunikasi dalam
mempengaruhi kepuasan perkawinan, dan peran konflik dalam ketidakpuasan perkawinan. Kajian tentang kepuasan pernikahan mulai menarik untuk di teliti,
beberapa pakar pun telah turut serta mengkaji mengenai kepuasan pernikahan secara ilmiah. Banyak faktor yang dihubungkan dengan kepuasan pernikahan,
tergantung pada apa yang menjadi fokus peneliti dalam studinya. Beberapa peneliti ada yang memfokuskan pada karakteristik individu yang terlibat dalam
hubungan kepribadian, attribusi, sementara yang lain fokus pada dinamika hubungan komunikasi, kepuasan seksual, konflik, dan yang lainnya telah
mempertimbangkan konteks hubungan yang lebih luas peran anak McCabe, 2006. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada dua faktor,
yaitu resolusi konflik dan kepribadian. Konflik merupakan hal yang hampir tidak dapat dihindari dalam suatu
hubungan sosial, tidak terkecuali hubungan pernikahan. Setiap individu yang
7
memiliki pasangan untuk berbagi waktu, harapan, dan pengalaman-penglaman bersama dalam suatu pernikahan, pasti akan menghadapi suatu tantangan. Untuk
menciptakan suatu pernikahan yang harmonis, pasangan harus memiliki tujuan dan bekerja sama dalam mencapainya. Dalam mencapai tujuan bersama tersebut
pasti akan banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah konflik yang terjadi saat menjalani suatu hubungan pernikahan.Smith, 2009. konflik
dalam pernikahan adalah situasi dimana individu-individu yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan diantara mereka baik yang termanifestasi atau laten
dalam upaya mencapai kebutuhan dan minat masing-masing Jika konflik sudah terjadi, pasti setiap pasangan suami istri akan berusaha
menyelesaikannya untuk dapat mempertahankan pernikahan mereka, karena konflik hampir tidak dapat dihindari dalam sebuah pernikahan. Gaya resolusi
konflik adalah patterned responses or clusters of behavior that people use in conflict” Wilmott Hocker, 1995. Lebih spesifik lagi, Gottman dan Levenson
1988 menunjukkan bahwa resolusi konflik merupakan cara di mana pasangan menangani dampak negatif dalam konflik untuk menentukan apakah pernikahan
berhasil atau gagal. Kemampuan pasangan dalam resolusi konflik merupakan kunci apakah pernikahan terus berjalan dengan cara konstruktif membangun
atau menjadi destruktif merusak atau akhirnya tidak berhasil. Dalam resolusi konflik terdapat beberapa gaya yang dipaparkan oleh
beberapa ahli mulai dari dua gaya hingga yang memaparkan lima gaya. Gaya- gaya tersebut yaitu dalam
Wilmott Hocker, 1995
: dua gaya resolusi konflik yaitu kooperatif dan kompetisi; tiga gaya resolusi konflik yaitu non-konfrontasi,
8
orientasi pada solusi, dan control; empat gaya resolusi konflik yaitu mengalah, inaction, problem solving, dan menantang; dan lima gaya resolusi konflik yaitu
penghindaran, dominasi, obligasi, integrasi dan kompromi Rahim Magner, 1995.
Resolusi konflik memiliki dampak dalam suatu hubungan pernikahan. Resolusi konflik yang efektif berdampak pada peningkatan keterampilan problem
solving, meningkatkan keterampilan komunikasi,
meningkatkan derajat pengenalan dan pengertian diantara kedua pasangan, meningkatkan rasa percaya
diri satu sama lain, meningkatkan kemampuan adaptasi, meningkatkan kepuasan dan kebahagiaan pernikahan. Sebaliknya penyelesaian konflik yang tidak efektif
memberi dampak negatip yaitu antara lain meningkatkan interpersonal distress, menurunnya rasa keberhargaan diri, menurunnya kualitas hubungan positif
dengan orang lain, menurunkan kualitas pernikahan yaitu meningkatkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan pernikahan, serta dapat menyebabkan
perceraian Killis,2008. Pemaparan mengenai gaya resolusi konflik di atas juga didukung oleh
beberapa studi yang telah mulai menghubungkan gaya resolusi konflik dengan kepuasan pernikahan Gottman krokoff, 1989. Beberapa studi telah
menemukan bahwa gaya resolusi konflik negatif telah terbukti secara negatif berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Selain itu studi lainnya telah berusaha
untuk menentukan apa yang memprediksi kepuasan pernikahan misalnya, Bradburry Karney, 1993, penelitian ini mengasumsikan bahwa gaya konflik
akan mempengaruhi kepuasan pernikahan . Temuan ini didukung oleh studi lain
9
yang menunjukkan bahwa pasangan yang terlibat dalam perilaku negatif dalam resolusi konflik akan berhubungan negatif dengan kepuasan pernikahan Gottman
krokoff,1989. Sementara itu Lim 2000 dalam disertasinya yang berjudul “Conflict
Resolution Style, Somatization and Marital Satisfaction in Chinese Couple” memaparkan hasil penelitiannya bahwa pasangan Cina yang menggunakan gaya
resolusi konflik integratif lebih puas dengan hubungan mereka dan pasangannya. Faktor penting lain yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah
kepribadian. Kepribadian menurut Allport dalam Suryabarata, 2006 merupakan organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Cattel dalam Engler, 2009 memberikan definisi mengenai kepribadian yang sangat umum,
yaitu kepribadian adalah suatu prediksi mengenai apa yang akan dilakukan oleh seseorang dalam berbagai situasi yang terjadi padanya
The Big Five Personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui traits yang tersusun dalam
lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
Lima traits
tersebut adalah,
extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences. Tokoh pelopornya adalah Alport dan Cattel Friedman Schustack, 2008.
Tipologi The Big 5 Personality sering diteliti dalam studi kepuasan pernikahan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Caughlin, Huston, dan
10
Houts 2000, menggunakan traits personality dalam tipologi Big Five Personality yaitu neuoriticism traits anxiety dalam hubungannya dengan
pernikahan. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa tipe neuroticism traits anxiety yang tinggi berhubungan dengan kepuasan pernikahan yang rendah.
Dalam studi longitudinal selama 13 tahun, Caughlin, Huston dan Houts 2000 menyimpulkan bahwa tingkat tinggi neuoriticism berkaitan dengan
kepuasan pernikahan yang lebih rendah. Namun, dalam studi lain, Botwin, Buss dan Shackelford 1997 menemukan kepuasan pernikahan dengan tingkat yang
lebih tinggi berkaitan dengan openness to experiences, agreeableness, dan conscientiousness.
Pada penelitian lain, Berns, Simpson dan Christensen 2004 menguji enam dimensi kepribadian pada 132 pasangan yang distress dan 48.pasangan yang
nondistress Para peneliti menemukan sedikit hubungan dari kedua kelompok antara kepuasan pernikahan dengan faktor kepribadian neuroticism, extraversion,
openness to experience, agreeableness, conscientiousness, dan positive forms of expression. Kemudian para peneliti menunjukan bahwa terdapat tingkat yang
rendah pada neuroticism dan tingkat yang tinggi pada agreeableness, conscientiousness, dan positive expressivity dalam hubungannya dengan kepuasan
pernikahan. Dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, jelas
menunjukkan pentingnya dimensi kepribadian mempengaruhi kognisi dalam menilai kepuasan pernikahan., sehingga karakteristik ini berdampak pada
11
dinamika hubungan yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan. Dan pada kenyataannya kepribadian menjadi salah satu faktor utama dalam kepuasan
pernikahan. Maka diketahui dari beberapa peneltian mengenai kepuasan pernikahan
terdapat bermacam-macam faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya hal tersebut. Dan peneliti sangat tertarik untuk meneliti dua faktor utama gaya
resolusi konflik dan tipe kepribadian yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Selain itu untuk tambahan akan diteliti pula mengenai pengaruh usia, usia
pernikahan, dan pendidikan. Dengan demikian penelitian ini diberi judul
“Pengaruh Gaya Resolusi Konflik dan Tipe Kepribadian Big Five Terhadap Kepuasan Pernikahan Istri”.
1.2 Identifikasi Masalah