Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa

Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan pedesaan juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar Tjondronegoro, 2008:167. Selain itu, hubungan sosial menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri self fulfillment serta determinasi manusia sebagai homo economicus Somantri, 2006:466. Dalam konteks memahami transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang. Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan 1 dan transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat, 1 Popkin 1986:1 menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa- desa yang terbuka open villages, yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan village citizenship dan pemilikan tanah secara pribadi. seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo 1982, bahwasanya untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita harus mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat, haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny 1990, dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar yang kini bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan liberalisasi. Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan Peny, 1990:81-85. Dalam kajiannya, D.H. Peny 1982 menyimpulkan bahwa liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya 1. Cara moda ekonomi yang dominan 2. Peranan harga dalam alokasi sumber daya 3. Pasar tenaga kerja 4. Persewaan tanahlahan 5. Peminjaman dan gadai tanah serta pemilikan yang lainnya 6. Kemiskinan absolut dan relatif 1. Frekuensi Gotong royong 2. Partisipasi dalam acaraupacara sosial 3. Tingkat perceraian 4. Tingkat migrasi terpaksa 5. Tingkat apatisme individu dan sosial 6. Tingkat kejahatankriminalitas Komersialisasi harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang diwujudkan dalam proses komersialisasi atau pasarisasi marketization – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di Indonesia 2 . Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak belakang. Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010 Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya Kiri. Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat 2006-2010 dan Kanan Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi. 2 Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly 1965 tentang “pemiskinan ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di Belanda ekonomi pemerintahan. Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak sosial ekonomi ekonomi pertanian. Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro seorang sosialis yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali Wardhana Nugroho, 2010:249-254. Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C. Scott. Todaro 1987 dalam Nugroho 2010:272 juga mengatakan bahwa teori ekonomi tradisional neoklasik dan keynesian terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus perekonomian di negara berkembang. Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilan- keterampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan jauh lebih cepat daripada sebelumnya Soedjatmoko, 1980:46. Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring berkembangnya kapitalisme agraria Pincus, 1994;38. Ditambah dengan gejala pengasingan alienasi, kemerosotan dalam hidup bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di pedesaan Jawa. Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni 1 mendorong peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik 2 memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi keuntungan komparatif 3 meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosan- terobosan baru yang berani di bidang intelektual 4 orang menjadi lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan sosial lainnya serta 5 perbaikan komunikasi dan berkurangnya kepercayaan kepada takhayul Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168. Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab, komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara “kekayaan untuk diri sendiri” dan “kesejahteraan umum”, merosotnya “perasaan bermasyarakat”, lunturnya kemampuan memperoleh teman, polusi, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah, upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada. Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115 Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan. Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan, namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi 3 , melainkan cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz 1983:102 fenomena ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang dibagi rata” shared poverty. Dalam konteks “memiskinkan bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya, dimana aturan-aturan rules dalam masyarakat juga turut berubah sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebih- lebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasi- liberalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang, bermutasi dan bahkan menghilang mengikuti semangat individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari ini. 3 Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami Kikuchi 1981. Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat “personalindividualistik” dan menjaga dari pasar bebas marketisasi? Jika institusi atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat.

1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa