Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada
kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring berjalan bersama-sama, beriringan sambil membawamenjinjing
beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat
pasampeur-sampeur. Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya,
sehingga apabila disampeur tidak ikutdatang akan muncul rasa malu. Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah
sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa
lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpandibayarkan sudah
tidak lagi 1-2 gantang 10-20 liter, melainkan sudah sampai 50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan
kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka
akan menyewa mobil bak terbuka pick up untuk kemudian ramai- ramai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit biaya transportasi juga
bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.
5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan
a Ngarep leuwihna untung
Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan untuk
mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan – modal hajat + biaya hajat = untung
”. Kebanyakan warga tidak melihat bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari
“hutang” atau “kewajiban yang tertunda” saja, sebab di lain waktu ia
harus mengembalikan “kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika ada selisih diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut
“rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara efisiensi hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya tidak perlu mewah
dan pulangananteran yang murah meriah misalnya kerupuk atau pisang. Sebaliknya, mereka akan mempertahankan hiburan yang
meriah karena dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar datang berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan beras
yang lebih banyak.
b Nyimpen nabung
Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta dalam gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan” kepada masyarakat
yang dapat ditarik sewaktu-waktu membutuhkan. Dengan adanya dua skema “nyimpen” dan mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang
ia tetap bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya. Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya ini, biasanya
informan akan mempertimbangan kredibilitas calon bapak hajat, apakah
ia bisa
dipercaya dan
dianggap mampu
mengembalikanmembayarkan simpanannya kelak atau tidak?
c Itung-itung Arisan
Ada juga informan yang menganggap pertukaran gantangan ini sebagai layaknya arisan, dimana kita akan menerima dan
mengembalikan sejumlah uang dari anggota masyarakat lainnya dalam satu periode tertentu. Dengan menganalogikan dengan arisan,
maka pertukaran gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung, “plus-plas” bahasa lokalnya impas.
d Neangan modal mencari pinjaman modal
Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak. Misalnya ketika
rumah tangga membutuhkan biaya untuk membangun rumah, merehab rumah, membangun kamar mandi atau untuk membuka
usaha baru menggadai sawah, membeli angkot, dll mereka dapat mengadakan hajatan “narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan
inilah yang kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut.
e Ngagolangkeun simpenan memutar simpanan
Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak perlu pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab, selain memiliki
hutang yang harus dibayar, mereka juga terus menyimpan kepada anggota masyarakat lain setiap ada hajatan. Ada istilah “membayar
hutang lama plus menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya A memiliki hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B
mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10 liter beras itu ditambah simpanan baru 10 liter total yang dibawa ketika hajatan
oleh nyonya A menjadi 20 liter. Demikian seterusnya, sehingga pertukaran gantangan ini dapat terus-menerus dilakukan.
f Teu sampai potol tekor
Salah satu gagasanpemikiran dari warga masyarakat tetap melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah untuk
“menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman” beras dan uang dalam gantangan ini memungkinkan bapak hajat untuk dapat
menyelenggarakan hajatan tanpa kekurangan bahan maupun modal. Sekalipun tidak untung, setidaknya tidak rugi, demikian prinsip
sebagian besar informan pelaku gantangan dalam penelitian ini.
g Sumber penghasilan tambahan
Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya, merupakan
aktivitas ekonomi
yang bagi
sebagian orang
dianggap menghasilkanmenguntungkan. Mulai dari petugas keamanan satgas
desa, hansip, polisi, TNI, aparat desa, kelompok kesenian hiburan, persewaan tenda, tukang masak, pemuda karang taruna tukang parkir
dan tukang angkat beras, dan pedagang kaki lima turut menikmati keuntungan setoran, upah, hasil berjualan dari diadakannya pesta
hajatan rame-rame. Sekalipun tidak besar rupiah yang dapat mereka peroleh, namun dengan frekuensi pesta hajatan yang semakin sering
dan pertukaran gantangan yang semakin besar, mampu menjadi sumber penghasilan tambahan yang menguntungkan.
h Pasar kaget pasar bagi pedagang kaki lima
Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai oleh deretan pedagang kaki lima penjual bakso, siomay, bakso tahu,
mainan anak-anak, penjual minuman, pedagang kelontong, mie ayam, dan lain sebagainya yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan
masuk maupun keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan, atau semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan panjang
pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang sudah dianggap sebagai bagian dari penyemarak hajatan dan penarik bagi anak-anak
maupun tetangga sekitar untuk terus berkumpul di sekitar lokasi hajatanhiburan. Sehingga kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga.
Gambar 27. Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan
5.3.
Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang 5.3.1.
Gantangan di Subang Utara a.
Telitian
Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di wilayah Subang Utara Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan ternyata menerapkan
beberapa sistem pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran beras dan uang
yang dilakukan antar warga dusundesa yang dilakukan sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti
pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah nama lain dari Gantangan. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal
dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti “saling bergantian”. Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa
campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat
Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian
secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda dengan masyarakat Subang pedalaman tengah dan
selatan yang lebih lebih kental corak
Sunda-nya.
Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa setiap rumah tangga masing-masing diperbolehkan menyimpan minimum ½ Gantang 5
liter beras dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan istri dan uang minimum Rp. 15.000,- untuk laki-laki suami yang kemudian akan
dicatat oleh Bapak Hajat
20
melalui bantuan juru tulis telitian. Biasanya, sebelum menyelenggarakan pesta hajatan, Bapak hajat akan
membentuk panitia kecil yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat untuk membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia kecil ini ada
yang ditugaskan untuk menjadi penerima tamu, tukang masak, pencuci piring, perlengkapan hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah
petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi dua, yaitu pencatat telitian perempuan meja beras dan pencatat telitian laki-laki meja
amplopuang. Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa saja nama-nama penyimpan beras dan uang serta sembako lainnya di
dalam buku catatan telitian yang sudah disediakan di masing-masing meja. Kedua meja tersebut adalah tempat yang pertama kali akan
dituju oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang terlibat dalam sistem telitian ini.
Gambar 28. Tradisi nyumbang sukarela Kiri dan pola Telitian di Subang
Utara Kanan
Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda dengan tradisi nyumbang atau kondangan di tempat lain adalah bahwa beras dan uang
serta bahan kebutuhan pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai
20
Bapak hajat at au Shohibul hajat adalah orang keluarga yang menyelenggarakan pest a hajat an t uan rum ah.
sumbangan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang oleh masyarakat Subang Utara. Hutang piutang tersebut nampak dalam
istilah lokal yang digunakan ketika menyumbang telitian, yaitu istilah “nyimpen” dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan kerabat,
tetangga, dan kenalan itu menitipkan beras atau uang kepada bapak hajat, sedangkan Mayar berarti kelak ketika tamu undangan tersebut
menyelenggarakan hajat maka bapak hajat harus membayarnya kembali sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam buku
catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan telitian buku beas dan buku artos tersebut adalah pedoman dan panduan baku dalam
pertukaran telitian ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang rumah tangga.
Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun ke tahun semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat tidak lagi berpatok
kepada pernikahan atau khitanan untuk menarik simpanan telitian, melainkan lebih kepada kebutuhan yang mendesak, seperti
membangun rumah, merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian semakin sering
digelar, sehingga muncul keluhan dari warga lainnya perihal “kerepotan” dan “beratnya” beban hajatan telitian ini.
Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab disisi lain pendapatan mereka dari bertani atau yang lainnya tidak bertambah
secara signifikan. Bahkan, bagi golongan buruh tani justru semakin terancam eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai maraknya
mekanisasi pertanian khususnya penggunaan mesin pemisah jerami dan gabah Combine yang menghilangkan gabah-gabah sisa panen
yang biasanya dikeprik dipungut oleh keluarga buruh tani ini. Hasil ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang bisa mendapat
sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik, maka keluarga itu bisa
mengumpulkan 40 kg per hari. Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk cadangan telitian sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin
oleh para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang pada akhirnya membuat malas dan berat ketika harus membayar hutang
telitian di masa lalu.
Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian Sudut Pandang Buruh Tani
Sudut Pandang Pemilik Sawah
Ketimpangan pemilikan
lahan sawah.
Sebagian kecil
warga memiliki sebagian besar besar lahan
sawah dan sebagian besar warga menjadi buruh taninya.
Banyak kebiasaan
gadai dan
berhutang membuat warga dengan mudah
menjualmenggadai sawahnya. Hal ini menguntungkan
bagi mereka yang memiliki modal untuk lembat laun memiliki dan
menguasai sawah di desa tersebut.
Selama ini, ketika sudah tidak punya lahan, mengandalkan hidup
dari menjadi buruh tani dengan mengerjakan
berbagai kegiatan
pertanian seperti mengolah lahan, nandur, nyabit, nggebot
21
, dan ngeprik
22
. Banyak buruh tani yang tidak jujur
sehingga menyebabkan hasil panen tidak optimal. Timbul pemikiran
untuk menggunakan mesin agar lebih
efisien dan
hasilnya panennya lebih banyak. Biaya
sewa mesin
Combine dan
tenaganya untuk setiap 500 bata 1 are adalah Rp. 500.000,-
Begitu mekanisasi
diterapkan, otomatis
pemilik sawah
tidak membutuhkan banyak tenaga kerja
sehingga buruh tani terutama
perempuan kehilangan sisa-sisa panen yang biasanya diandalkan
untuk cadangan telitian dan pangan keluarga. Pemilik sawah dianggap
Ketika mesin pemisah gabah dan jerami digunakan, hasil produksi
meningkat pesat
dan waktu
pemanenan cukup 1 hari. Padahal sebelumnya dengan menggunakan
buruh membutuhkan waktu 2 hari dan hasil produksi tidak maksimal
banyak sisa yang jatuhtidak
21
Nggebot ngegebuk : t eknik panen m anual, menggunakan salome alat tradisional unt uk
menggebot . Dalam sistem ini, bagi hasil ant ara buruh t ani dan pem ilik adalah 1:5. Upah buruh gebot
Rp. 30.000 bedug 5 jam. Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan w aktu 2 hari nyabit dulu, ngengebot
unt uk memanen, jika m em akai m esin Com bine hanya 1 hari saja sudah beres.
22
Ngeprik ngajaplin : M em ungut sisa-sisa hasil panen
tidak manusiawi dan egois. terkumpul.
Sumber : Hasil Wawancara Mendalam
Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani demonstrasi ke desa dan ke sawah untuk melakukan protes dan menolak kehadiran mesin
comben tersebut. Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk turun tangan
menghadapi warga. Konon, warga hampir melakukan perusakan dan pembakaran terhadap mesin Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah.
Tahun-tahun ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
masyarakat dalam tradisi telitian, yang notabene merupakan pertukaran beras dan uang yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan
miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan menengah ke atas lainnya yang mengikuti golongan, justru semakin eksis dan mapan
dengan sistem golongannya telitian khusus tersebut.
Gambar 29. frekuensi hajatan “ rame-rame” di desa Jayamukti
Subang Utara yang semakin meningkat.
Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya sosial” dan “kewajiban
sosial” yang harus dibayarkan, seperti telitian dalam pesta hajatan yang justru semakin lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya
satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame” dengan hiburan di desa Jayamukti dapat dilihat dari buku catatan satgas desa tahun
2005-2012 pada gambar 11 diatas. Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas, kita juga dapat
melihat seberapa besar hasil telitian suatu rumah tangga dengan melihat buku catatan telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga
memiliki buku catatan telitian tersebut, namun terkadang kita akan menemui buku catatan telitian yang sudah kusut, penuh coretan, dan
beberapa bagian yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan oleh usia buku yang memang sudah lama hajatan lebih dari 10 tahun
yang lalu dan disimpan di tempat yang lembab atau sembarangan. Walaupun demikian, buku catatan telitian ini akan tetap dijaga dan
disimpan oleh pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutang- hutangnya lunas.
Sumber : diolah dari buku catatan telitiangantangan
Gambar 30. Hasil Telitian
Selain beras dan uang, telitian di Subang utara ini umumnya juga menerima pertukaran timbal balik dalam berbagai bentuk barang atau
kebutuhan lainnya, seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak Goreng, Gula Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu Kue Basah,
Gula Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan dan juga
kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang bapak hajat juga bisa menolak jika dianggap barang yang disimpan kurang diperlukan atau
terlalu banyak. Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih. Sebab, menjadi
bapak hajat sama yang dititipi simpanan tersebut sama artinya sebagai “orang yang dipercaya” oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima
kepercayaan itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya kelak.
b. Golongan