e. Mengelola parkir. Biasanya dilakukan oleh karang taruna. Selain
parkir, bersama dengan satgas mereka mengatur pedagang kaki lima di sepanjang jalan masuk lokasi hajatan.
f. Dokumentasi menggunakan audio visual Video shooting yang disewa
dari usaha video shooting yang ada disekitar desa maupun dari kota.
g. Sesajen untuk penerangan. Sesajen ini dimaksudkan agar tidak
mengalami gangguan peneranganlistri sepanjang acara dilangsungkan. Biasanya berupa ayam hurip yang diikat ke diesel dan bekakak ayam
panggang.
h. Beberes Hutang tahap I. Artinya, begitu hajatan selesai sekitar jam
21.00 s.d. 24.00 maka tuan rumah akan segera membayar hutang- hutang yang harus segera dilunasi, seperti membayar grup hiburan,
membayar tukang masak, atau membayar bandar yang memberikan modal. Sehingga dengan cekatan bapak hajat dibantu juru tulis dan
keluarga akan langsung menghitung hasil narik telitian malam itu juga.
i. Menjaga keamanan. Seperti, mengatur hiburan agar berjalan tertib dan
meredam keributan yang disebabkan oleh tamu yang mabuk minuman keras. Untuk masalah keamanan ini biasanya diserahkan kepada hansip
atau satgas desa.
Pasca Hajatan a. Menghitung dan menjual beras hajat. Beras hajat bisanya dijual
kepada bandar tempat meminjam panjer sebelumnya atau kepada yang mau membeli dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.
Biasanya bapak hajat tidak menjual semua tetapi menyisihkan 1-5 karung untuk cadangan telitian berikutnya.
Gambar 25. Beras Hasil Gantangan
b. Beberes Hutang tahap II. Artinya, hutang-hutang yang tidak terlalu
mendesak juga akan segera dilunasi oleh bapak hajat dengan menggunakan uang dan hasil penjualan beras hajat.
c. Memanfaatkan hasilsesa. Setelah seluruh hutang dan modal pinjaman
dilunasi, sisanya akan digunakan untuk keperluan bapak hajat, semisal modal usaha, membeli motor, gadai empang, dan sebagainya.
5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan
Sudah menjadi suatu hukum sosial bahwasanya suatu tradisi atau adat-istiadat akan ditinggalkan jika ia tidak lagi memiliki fungsi bagi
anggota masyarakatnya. Banyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan
tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya. Berbagai tradisi yang hilang
tersebut selain disebabkan oleh datangnya pengetahuan yang baru modern, juga karena ia telah kehilangan fungsi sosial dan ekonominya.
Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-lahan semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di pedesaan
Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga dasawarsa terakhir 1980an-2010-an justru semakin menguat dan meluas ke berbagai
wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini secara substansi masih eksis
disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, ciri kolektivitas masyarakat
pedesaan di Subang ini belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong menolong dan “selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam
komunitasnya menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar anggota masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat
dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan ini
masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial lainnya, yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini masih
disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya resepsi, maka gantangan ini
masih mendapatkan medan atau arena untuk mempraktekkannya.
Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis
ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh pertanian padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan, produktivitas
padiberas menjadi faktor utama keberlanjutan tradisi ini. Sepanjang lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan tidak terjadi penurunan
produksi yang drastis kerawanan pangan, ditambah daya beli masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka pertukaran gantangan ini
masih akan terus eksis. Keempat, untuk menjalankan pertukaran
gantangan ini dibutuhkan satu modal yang semakin hari sebenarnya semakin
mahal, yaitu
rasa saling
percaya trust.
Dalam perkembangannya pertukaran gantangan ini telah diwarnai oleh berbagai
tindakan dan perilaku tidak jujur dari anggota maupun panitianya. Di beberapa desa, akibat dari ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah
orang yang terlibat dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah tangga yang masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain,
mereka menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain lebih
perhitungan. Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh
calon penyimpan.
Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah satu
wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan kata lain, raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata pencaharian atau
sumber penghidupan bagi para seniman atau grup-grup kesenian di daerah. Bayangkan jika masyarakat pedesaan tidak lagi “meniscayakan”
adanya hiburan kesenian ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin banyak kelompok-kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan
lahan usahanya gulung tikar.
Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010 Gambar 26. perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang 2005-
2009
Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman,
pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan khitanan, perkawinan,
kelahiran, dll ini sekarang juga menjadi pasar bagi para pedagang beras, daging, dan sembako lainnya. Mereka memanfaatkan momen pesta
hajatan ini untuk meraih untung dengan cara menawarkan modal hajat panjer, baik secara langsung maupun melalui para perantara. Selain
modal yang kembali, para pedagang atau lebih dikenal sebagai bandar hajatan ini juga mengikat beras hasil hajatan beas hajat untuk dibeli
dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagangbandar ini semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan hajatan,
sekalipun tidak memiliki cukup modal. Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan dan
pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara individual tradisi ini juga memiliki manfaat sosial simbolik dan ekonomi yang cukup
signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran gantangan ini antara lain :
a Hayang kapuji ingin dipuji
Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri tamu undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang besar pada
akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat pada posisi sosial yang terhormat ditengah komunitas masyarakat desa. Kondisi seperti
diatas akan mengundang decak kagum dan selanjutnya akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy,
hajatan tiasa menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu kemudian akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut
dan semakin dipercaya oleh masyarakatnya. Di sisi lain, menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan gengsi bagi
keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset misalnya hajatan orangkeluarga kaya dari perkiraan bahwa yang terjadi hajatannya tiis
dingin, sepi dan hasil gantangannya sedikit rugi, maka harga diri
orangkeluarga tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut pengaruh dan posisi sosialnya juga ikut merosot.
b Hayang Kasohor ingin terkenal
Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu hajatan menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya status dan posisi sosial
seseorangkeluarga, maka ada juga yang mencoba menaikkan status keluarganya dengan mengadakan pesta semeriah mungkin dengan
modal besar diluar kemampuan sebenarnya. Spekulasi semacam ini mengadakan hiburan mewah, misalnya dilakukan dengan harapan
agar menarik perhatian warga masyarakat lainnya sehingga dapat menjadi buah bibir bahwa keluarga A itu mampu dan kayasukses.
Namun, seringkali warga masyarakat juga mempertimbangkan aspek lainnya, seperti apakah orang itu punya posisi tertentu dalam
pemerintahanpejabat, apakah punya pengaruhdisegani, pendatang atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil keputusan
untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatangantangan tersebut. Ada juga beberapa kasus dimana pesta yang sangat meriah, tetapi
hasil gantangannya sangat kecil rugi, sehingga lahir istilah “budak Bogor” Biar Tekor yang penting Kesohor sebagai sindiran.
c Hayang ditarima lingkungan kontrol sosial
Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif pribadi dan
tanpa adanya paksaan dari orang lain keluarga atau panitia. Namun ketika ditanya lebih lanjut, seringkali mereka mengungkapkan bahwa
gantangan itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi maksud tanpa paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan”
daripada inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa “tidak enak”
jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri tidak ikut. Perasaan ingin “sama dengan yang lain orang dekat” menjadi motivasi untuk
bergabung. Sejauh peneliti mendalami, memang untuk terlibat atau tidak ini tidaklah mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa
tokoh masyarakat kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang pun tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan warganya.
d Hayang katingali ingin dilihatkebanggaan
Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi vertikal mengikuti pemimpinorang besar masih belum sepenuhnya
hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta hajatan dengan hiburan dan gantangan ini menjadi ajang bagi bapak hajat maupun tamu
undangan untuk sama-sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya.
Misalnya, melalui saweran
19
orang bisa menunjukkan “identitas sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan status orang
tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok kesenian maupun dimata tamu undangan lainnya. Biasanya, tokoh-tokoh masyarakat atau
pejabat yang kebetulan datang menjadi tamu undangan, akan dengan sengaja dipanggil oleh MC dan diundang untuk menyawer. Tamu
pejabat itu pun sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang untuk disawerkan. Seperti sudah
menjadi tuntutan. Selain pejabattokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut
menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat meriah di mata tamu undangan.
19
Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan dengan
cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.
e Loba babaturan banyak teman
Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya bersifat terbuka,
artinya orang luar desa pun boleh ikut “menyimpan”. Semakin banyak orang menyimpan kepada orang lain, maka semakin banyak pula hasil
yang akan dia peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini
adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya, sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta hajatannya pun
kemungkinan juga bisa semakin banyak. Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan, seseorang juga perlu memperbesar
volume jumlah uang dan beras yang disimpannya kepada orang lain agar hasil gantangannya bisa besar.
f Silih bantu resiprositas
Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”.
Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam gantangan ini
juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat mereka juga membutuhkan bantuan dari warga masyarakat lainnya. Dengan adanya pertukaran
gantangan ini, timbal balik itu menjadi semakin kontraktual, karena jelas besar pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan.
Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang sama, namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-nya memang lebih
kentara dalam pertukaran gantangan ini.
g Raramean Ngabring
Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada
kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring berjalan bersama-sama, beriringan sambil membawamenjinjing
beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat
pasampeur-sampeur. Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya,
sehingga apabila disampeur tidak ikutdatang akan muncul rasa malu. Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah
sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa
lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpandibayarkan sudah
tidak lagi 1-2 gantang 10-20 liter, melainkan sudah sampai 50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan
kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka
akan menyewa mobil bak terbuka pick up untuk kemudian ramai- ramai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit biaya transportasi juga
bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.
5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan
a Ngarep leuwihna untung
Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan untuk
mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan – modal hajat + biaya hajat = untung
”. Kebanyakan warga tidak melihat bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari
“hutang” atau “kewajiban yang tertunda” saja, sebab di lain waktu ia
harus mengembalikan “kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika ada selisih diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut
“rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara efisiensi hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya tidak perlu mewah
dan pulangananteran yang murah meriah misalnya kerupuk atau pisang. Sebaliknya, mereka akan mempertahankan hiburan yang
meriah karena dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar datang berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan beras
yang lebih banyak.
b Nyimpen nabung
Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta dalam gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan” kepada masyarakat
yang dapat ditarik sewaktu-waktu membutuhkan. Dengan adanya dua skema “nyimpen” dan mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang
ia tetap bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya. Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya ini, biasanya
informan akan mempertimbangan kredibilitas calon bapak hajat, apakah
ia bisa
dipercaya dan
dianggap mampu
mengembalikanmembayarkan simpanannya kelak atau tidak?
c Itung-itung Arisan
Ada juga informan yang menganggap pertukaran gantangan ini sebagai layaknya arisan, dimana kita akan menerima dan
mengembalikan sejumlah uang dari anggota masyarakat lainnya dalam satu periode tertentu. Dengan menganalogikan dengan arisan,
maka pertukaran gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung, “plus-plas” bahasa lokalnya impas.
d Neangan modal mencari pinjaman modal
Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak. Misalnya ketika
rumah tangga membutuhkan biaya untuk membangun rumah, merehab rumah, membangun kamar mandi atau untuk membuka
usaha baru menggadai sawah, membeli angkot, dll mereka dapat mengadakan hajatan “narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan
inilah yang kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut.
e Ngagolangkeun simpenan memutar simpanan
Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak perlu pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab, selain memiliki
hutang yang harus dibayar, mereka juga terus menyimpan kepada anggota masyarakat lain setiap ada hajatan. Ada istilah “membayar
hutang lama plus menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya A memiliki hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B
mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10 liter beras itu ditambah simpanan baru 10 liter total yang dibawa ketika hajatan
oleh nyonya A menjadi 20 liter. Demikian seterusnya, sehingga pertukaran gantangan ini dapat terus-menerus dilakukan.
f Teu sampai potol tekor
Salah satu gagasanpemikiran dari warga masyarakat tetap melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah untuk
“menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman” beras dan uang dalam gantangan ini memungkinkan bapak hajat untuk dapat
menyelenggarakan hajatan tanpa kekurangan bahan maupun modal. Sekalipun tidak untung, setidaknya tidak rugi, demikian prinsip
sebagian besar informan pelaku gantangan dalam penelitian ini.
g Sumber penghasilan tambahan
Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya, merupakan
aktivitas ekonomi
yang bagi
sebagian orang
dianggap menghasilkanmenguntungkan. Mulai dari petugas keamanan satgas
desa, hansip, polisi, TNI, aparat desa, kelompok kesenian hiburan, persewaan tenda, tukang masak, pemuda karang taruna tukang parkir
dan tukang angkat beras, dan pedagang kaki lima turut menikmati keuntungan setoran, upah, hasil berjualan dari diadakannya pesta
hajatan rame-rame. Sekalipun tidak besar rupiah yang dapat mereka peroleh, namun dengan frekuensi pesta hajatan yang semakin sering
dan pertukaran gantangan yang semakin besar, mampu menjadi sumber penghasilan tambahan yang menguntungkan.
h Pasar kaget pasar bagi pedagang kaki lima
Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai oleh deretan pedagang kaki lima penjual bakso, siomay, bakso tahu,
mainan anak-anak, penjual minuman, pedagang kelontong, mie ayam, dan lain sebagainya yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan
masuk maupun keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan, atau semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan panjang
pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang sudah dianggap sebagai bagian dari penyemarak hajatan dan penarik bagi anak-anak
maupun tetangga sekitar untuk terus berkumpul di sekitar lokasi hajatanhiburan. Sehingga kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga.
Gambar 27. Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan
5.3.
Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang 5.3.1.
Gantangan di Subang Utara a.
Telitian
Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di wilayah Subang Utara Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan ternyata menerapkan
beberapa sistem pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran beras dan uang
yang dilakukan antar warga dusundesa yang dilakukan sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti
pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah nama lain dari Gantangan. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal
dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti “saling bergantian”. Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa
campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat
Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian
secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda dengan masyarakat Subang pedalaman tengah dan
selatan yang lebih lebih kental corak
Sunda-nya.
Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa setiap rumah tangga masing-masing diperbolehkan menyimpan minimum ½ Gantang 5
liter beras dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan istri dan uang minimum Rp. 15.000,- untuk laki-laki suami yang kemudian akan
dicatat oleh Bapak Hajat
20
melalui bantuan juru tulis telitian. Biasanya, sebelum menyelenggarakan pesta hajatan, Bapak hajat akan
membentuk panitia kecil yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat untuk membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia kecil ini ada
yang ditugaskan untuk menjadi penerima tamu, tukang masak, pencuci piring, perlengkapan hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah
petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi dua, yaitu pencatat telitian perempuan meja beras dan pencatat telitian laki-laki meja
amplopuang. Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa saja nama-nama penyimpan beras dan uang serta sembako lainnya di
dalam buku catatan telitian yang sudah disediakan di masing-masing meja. Kedua meja tersebut adalah tempat yang pertama kali akan
dituju oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang terlibat dalam sistem telitian ini.
Gambar 28. Tradisi nyumbang sukarela Kiri dan pola Telitian di Subang
Utara Kanan
Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda dengan tradisi nyumbang atau kondangan di tempat lain adalah bahwa beras dan uang
serta bahan kebutuhan pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai
20
Bapak hajat at au Shohibul hajat adalah orang keluarga yang menyelenggarakan pest a hajat an t uan rum ah.
sumbangan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang oleh masyarakat Subang Utara. Hutang piutang tersebut nampak dalam
istilah lokal yang digunakan ketika menyumbang telitian, yaitu istilah “nyimpen” dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan kerabat,
tetangga, dan kenalan itu menitipkan beras atau uang kepada bapak hajat, sedangkan Mayar berarti kelak ketika tamu undangan tersebut
menyelenggarakan hajat maka bapak hajat harus membayarnya kembali sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam buku
catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan telitian buku beas dan buku artos tersebut adalah pedoman dan panduan baku dalam
pertukaran telitian ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang rumah tangga.
Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun ke tahun semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat tidak lagi berpatok
kepada pernikahan atau khitanan untuk menarik simpanan telitian, melainkan lebih kepada kebutuhan yang mendesak, seperti
membangun rumah, merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian semakin sering
digelar, sehingga muncul keluhan dari warga lainnya perihal “kerepotan” dan “beratnya” beban hajatan telitian ini.
Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab disisi lain pendapatan mereka dari bertani atau yang lainnya tidak bertambah
secara signifikan. Bahkan, bagi golongan buruh tani justru semakin terancam eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai maraknya
mekanisasi pertanian khususnya penggunaan mesin pemisah jerami dan gabah Combine yang menghilangkan gabah-gabah sisa panen
yang biasanya dikeprik dipungut oleh keluarga buruh tani ini. Hasil ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang bisa mendapat
sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik, maka keluarga itu bisa
mengumpulkan 40 kg per hari. Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk cadangan telitian sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin
oleh para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang pada akhirnya membuat malas dan berat ketika harus membayar hutang
telitian di masa lalu.
Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian Sudut Pandang Buruh Tani
Sudut Pandang Pemilik Sawah
Ketimpangan pemilikan
lahan sawah.
Sebagian kecil
warga memiliki sebagian besar besar lahan
sawah dan sebagian besar warga menjadi buruh taninya.
Banyak kebiasaan
gadai dan
berhutang membuat warga dengan mudah
menjualmenggadai sawahnya. Hal ini menguntungkan
bagi mereka yang memiliki modal untuk lembat laun memiliki dan
menguasai sawah di desa tersebut.
Selama ini, ketika sudah tidak punya lahan, mengandalkan hidup
dari menjadi buruh tani dengan mengerjakan
berbagai kegiatan
pertanian seperti mengolah lahan, nandur, nyabit, nggebot
21
, dan ngeprik
22
. Banyak buruh tani yang tidak jujur
sehingga menyebabkan hasil panen tidak optimal. Timbul pemikiran
untuk menggunakan mesin agar lebih
efisien dan
hasilnya panennya lebih banyak. Biaya
sewa mesin
Combine dan
tenaganya untuk setiap 500 bata 1 are adalah Rp. 500.000,-
Begitu mekanisasi
diterapkan, otomatis
pemilik sawah
tidak membutuhkan banyak tenaga kerja
sehingga buruh tani terutama
perempuan kehilangan sisa-sisa panen yang biasanya diandalkan
untuk cadangan telitian dan pangan keluarga. Pemilik sawah dianggap
Ketika mesin pemisah gabah dan jerami digunakan, hasil produksi
meningkat pesat
dan waktu
pemanenan cukup 1 hari. Padahal sebelumnya dengan menggunakan
buruh membutuhkan waktu 2 hari dan hasil produksi tidak maksimal
banyak sisa yang jatuhtidak
21
Nggebot ngegebuk : t eknik panen m anual, menggunakan salome alat tradisional unt uk
menggebot . Dalam sistem ini, bagi hasil ant ara buruh t ani dan pem ilik adalah 1:5. Upah buruh gebot
Rp. 30.000 bedug 5 jam. Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan w aktu 2 hari nyabit dulu, ngengebot
unt uk memanen, jika m em akai m esin Com bine hanya 1 hari saja sudah beres.
22
Ngeprik ngajaplin : M em ungut sisa-sisa hasil panen
tidak manusiawi dan egois. terkumpul.
Sumber : Hasil Wawancara Mendalam
Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani demonstrasi ke desa dan ke sawah untuk melakukan protes dan menolak kehadiran mesin
comben tersebut. Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk turun tangan
menghadapi warga. Konon, warga hampir melakukan perusakan dan pembakaran terhadap mesin Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah.
Tahun-tahun ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
masyarakat dalam tradisi telitian, yang notabene merupakan pertukaran beras dan uang yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan
miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan menengah ke atas lainnya yang mengikuti golongan, justru semakin eksis dan mapan
dengan sistem golongannya telitian khusus tersebut.
Gambar 29. frekuensi hajatan “ rame-rame” di desa Jayamukti
Subang Utara yang semakin meningkat.
Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya sosial” dan “kewajiban
sosial” yang harus dibayarkan, seperti telitian dalam pesta hajatan yang justru semakin lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya
satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame” dengan hiburan di desa Jayamukti dapat dilihat dari buku catatan satgas desa tahun
2005-2012 pada gambar 11 diatas. Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas, kita juga dapat
melihat seberapa besar hasil telitian suatu rumah tangga dengan melihat buku catatan telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga
memiliki buku catatan telitian tersebut, namun terkadang kita akan menemui buku catatan telitian yang sudah kusut, penuh coretan, dan
beberapa bagian yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan oleh usia buku yang memang sudah lama hajatan lebih dari 10 tahun
yang lalu dan disimpan di tempat yang lembab atau sembarangan. Walaupun demikian, buku catatan telitian ini akan tetap dijaga dan
disimpan oleh pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutang- hutangnya lunas.
Sumber : diolah dari buku catatan telitiangantangan
Gambar 30. Hasil Telitian
Selain beras dan uang, telitian di Subang utara ini umumnya juga menerima pertukaran timbal balik dalam berbagai bentuk barang atau
kebutuhan lainnya, seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak Goreng, Gula Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu Kue Basah,
Gula Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan dan juga
kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang bapak hajat juga bisa menolak jika dianggap barang yang disimpan kurang diperlukan atau
terlalu banyak. Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih. Sebab, menjadi
bapak hajat sama yang dititipi simpanan tersebut sama artinya sebagai “orang yang dipercaya” oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima
kepercayaan itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya kelak.
b. Golongan
Sistem pertukaran sosial yang kedua adalah golongan, yaitu bentuk telitian yang lebih khusus dan eksklusif. Letak perbedaannya
dengan model telitian pertama adalah pada cara pengelolaan, jumlah anggota dan jumlah simpanan yang lebih terstandarisasi. Golongan di
Subang Utara ini dikelola oleh seorang ketua panitia golongan yang biasanya adalah inisiator dan pencetus sistem golongan ini. Dalam
pembentukannya, ketua panitia golongan mengumpulkan orang-orang atau rumah tangga yang dinilai akan tertarik dan sanggup berkomitmen
dalam golongan ini. Dalam musyawarah tersebut, ketua panitia golongan menawarkan aturan main yang akan dijalankan, misalnya
berapa jumlah minimum untuk beras, uang, gula pasir, daging sapi, daging ayam dan barang-barang lainnya yang akan dipertukarkan
dalam golongan? Mereka yang tertarik kemudian mendaftar menjadi anggota golongan dan menjalankan aturan main yang telah disepakati
bersama-sama. Boleh dikatakan, secara administratif Golongan ini
memiliki kemiripan dengan arisan, hanya saja pola dan sistem pertukarannya menggunakan telitian.
Dari hasil penelitian, Golongan di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan misalnya, diketuai oleh Haji Abdul yang dibantu oleh
seorang petugas lapangan. Kelompok Golongan Haji Abdul didirikan 3 tahun lalu 2009 dan sampai saat ini memiliki jumlah anggota 45
orang. Ide mengadakan golongan ini diperoleh H. Abdul dari sistem serupa yang sukses diterapkan di Karawang, tempat keluarga istrinya
berasal. H. Abdul dan keluarga sudah sejak tahun 1998 mengikuti sistem golongan ini di Desa Bayur, Karawang. Pada tahun 2000, H
Abdul melaksanakan hajatan dan menganggap sistem golongan yang ada di Karawang ini bermanfaat dan menguntungkan bagi ekonomi
rumah tangga. Di sisi lain, sebagai warga Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti,
ia malah melihat berbagai bentuk kecurangan dalam telitian di kampungnya. Semisal banyak yang tidak jujur dan melebihkan jumlah
timbangan simpanannya 8 liter mengaku 10 liter. Kecurangan semacam itu dapat terjadi pada saat-saat jam tamu undangan yang
membludak, yaitu pada pukul 18.00 s.d. 19.30 WIB, dimana panitia dan tuan rumah sudah kewalahan mencatat dan tidak sempat
menimbang satu persatu simpanan warga. Kegelisahannya yang lain adalah terkait waktu pelaksanaan hajatan yang tidak teratur, kadang
sering kadang jarang. Pada waktu sering, banyak warga tidak mampu membayar hutang-hutangnya karena panen sedang buruk atau
pendapatan sedang menurun. Dengan berbekal pengalaman di Karawang itulah, kemudian H.
Abdul memberanikan diri untuk membentuk golongan di dusun tegaltangkil, desa Jayamukti, yakni agar warga yang ingin
menyelenggarakan hajatan tidak “keduman blesake doang” mendapat ruginya saja dan “orang hajat biar nggak potol” tidak bangkrut.
Beberapa aturan main dalam kelompok Golongan ini antara lain : Jumlah simpanan minimum untuk :
Beras = 50 kg, Gula pasir = 5 kg,
Daging sapi = 1-3 kg, Daging ayam potong = 3 kg.
Uang = Rp. 50.000orang Dengan mengelola golongan ini, panitia mendapatkan Rp.
300.000hajatan. Melihat aturan main yang disepakati diatas, tentu saja mereka
yang dapat ikut serta dalam Golongan H. Abdul ini adalah rumah tangga menengah ke atas. Hampir tidak mungkin rumah tangga miskin
dapat menjadi anggota karena akan kurang dipercaya kemampuannya atau melibatkan diri karena merasa dirinya tidak mampu memenuhi
tuntutan tersebut. Kehadiran golongan sebagai bentuk telitian yang lebih eksklusif ini sekaligus menjadi penanda pelapisan sosial dalam
hajatan. Mereka yang menjadi anggota Golongan H. Abdul, ketika hajatan akan menerima beras beras minimum 2,250 Ton dari hasil
simpanan 45 anggotanya belum ditambah uang dan sembako lainnya serta telitian biasa dari warga non-anggota golongan. Sementara beras
atau uang yang diterima oleh warga biasa yang bukan anggota golongan akan sangat ditentukan oleh jumlah tamu undangan yang
datang. Ketimpangan dan kesenjangan sosial itu pada akhirnya akan nampak jelas dengan membandingkan proses dan hasil pesta hajatan
antara satu orang dengan orang lainnya di desa tersebut.
Gambar 31. Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara
Menurut warga yang menjadi anggota golongan H. Abdul, sistem golongan ini dinilai sangat menguntungkan. Sebab, selain hasilnya
lebih signifikan, lebih pasti dan lebih terjamin jumlahnya, golongan ini juga lebih menghemat biaya bapak hajat. Penghematannya terletak
pada konsumsi yang harus dikeluarkan. Sebab, dalam sistem golongan ini, pihak yang mengumpulkan beras, uang, dan sembako lainnya
adalah ketua golongan H. Abdul. Baik dengan cara diambil atau diantar oleh anggota. Setelah semua tertagih dan terkumpul, lalu ketua
panitia dengan dibantu beberapa orang mengantarkannya ke bapak hajat anggota yang hajatan. Dengan demikian, bapak hajat hanya
memberikan makanjamuan kepada ketua golongan dan yang membantunya saja. Ia tidak harus menyiapkan makanan untuk 45
anggota seluruhnya, karena sebagian besar mereka sudah diwakili kehadirannya oleh ketua golongan.
Sampai dengan wawancara dilakukan April 2012, Golongan H. Abdul ini telah sebanyak 12 kali anggota yang melaksanakan hajatan
dan menarik telitian dari seluruh anggota golongan lainnya. Sepanjang 12 kali hajatan tersebut, belum ada kasus kecurangan yang terjadi.
Dengan kata lain setiap anggota berkomitmen dengan pembayaran yang harus dilakukan. Strategi yang dilakukan oleh H. Abdul dalam
meringankan beban anggota adalah dengan melakukan pembatasan jumlah hajatan setiap musimnya
23
, yaitu maksimal 2 kali hajatanmusim. Dengan pengaturan semacam ini, maka anggota
golongan dapat menyiapkan cadangan untuk tiap musimnya dan tidak
23
Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim panen padi di desa tersebut.
terbebani oleh frekuensi hajatan yang seringkali tidak pasti. Pembatasan jumlah hajatan inilah yang tidak diberlakukan dalam
tradisi telitian yang pertama umum, sehingga meskipun jumlahnya hanya sekitar 5 liter dan uang Rp. 15.000,- s.d. Rp. 20.000,-, tetap saja
bagi kebanyakan masyarakat yang kurang mampu mayoritas buruh tani, telitian bisa jadi memberatkan tatkala jumlah panggung
24
dalam satu musimnya terlalu sering.
5.3.2. Gantangan di Subang Tengah
a. Talitihan
Gantangan di Subang Tengah Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum baru berkembang dan meluas sekitar tahun 1999. Tahun–
tahun sebelumnya sudah ada sistem pencatatan tetapi tidak semuanya. Masih ada warga yang menyumbang murni memberikan beras 5
liter dengan tanpa kewajiban untuk mengembalikannya dalam jumlah yang sama. Baru sejak krisis moneter melanda Indonesia, sumbangan
murni tersebut mulai hilang dan digantikan dengan sistem pencatatan minimal sumbangansimpanan 5 liter dengan kewajiban untuk
mengembalikan dalam jumlah yang sama. Sistem pencatatan simpanan dan pembayaran gantangan tersebut
diadopsi oleh warga Pasirmuncang dari desa-desa tetangga, seperti desa Belendung, Waladin, dan Pasirbungur Kec. Purwadadi. Adopsi
sistem pencatatan ini berlangsung melalui hubungan-hubungan sosial yang terbangun antara warga desa dengan penduduk atau keluarga di
desa sekitarnya itu. Ketika warga desa Pasirmuncang mendapat undangan hajatan dari desa lain, mereka melihat dan berpikir
bahwasanya hajatan seperti pernikahan dan khitanan ternyata bisa dijadikan lahan usaha, atau minimal tidak perlu rugi. Akhirnya, sistem
24
M asyarakat lokal m enyebut hajat an dengan panggung, sebagai asosiasi t erhadap hiburan yang diselenggarakan.
pencatatan dan hutang piutang gantangan ini pun mereka terapkan sampai sekarang.
Desa Pasirmuncang ini, sebagaimana desa Jayamukti di Blanakan Subang Utara, juga termasuk dalam kategori desa
tertinggal atau miskin. Penyebab utama kemiskinan di desa ini disebabkan karena sebagain besar wilayah dan lahan yang mereka
tempati merupakan lahan perkebunan tebu yang dikelola oleh PT. Pabrik Gula Rajawali II. Sebelum kehadiran pabrik gula dan hamparan
tebu pada tahun 1982 kontrak selama 20 tahun, saat ini kontrak sudah diperpanjang sampai dengan tahun 2022, wilayah tersebut merupakan
perkebunan karet yang luas. Alhasil, mayoritas penduduk di desa Pasirmuncang ini berprofesi sebagai buruh tani di perkebunan tebu
tersebut. Mereka tidak mampu berkembang karena memang potensi alamnya terbatas dan dibatasi oleh kehadiran perkebunan tebu tersebut.
Meskipun demikian, kemiskinan tidak lantas menyurutkan minat mereka terhadap Gantangan. Bagi mereka, saling menyimpan dan
membayar beras atau uang ketika warga memiliki hajat adalah cukup meringankan beban bagi tuan rumah. Besar simpanan gantangan di
desa Pasirmuncang ini minimum adalah 5 liter beras 12 gantang dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan, sedangkan laki-laki memberikan
amplop kondangan minimum Rp. 15.000 s.d. Rp. 25.000,-. Meskipun hasilnya kecil – jika dibandingkan desa-desa lain yang berbasis
tanaman padi – tetapi cukup lumayan untuk menutupi kebutuhan saat itu. Minimal mereka tidak rugi ketika melangsungkan hajatan.
Gambar 32. Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian Subang Utara
Selain sistem gantangan yang sudah umum, tiga hari sebelum hari H hajatan, biasanya saudara dan tetangga dekat ibu-ibu akan
datang kepada bapak hajat untuk menyimpan berbagai bumbu dapur, sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya. Simpanan ini disebut
dengan Talitihan. Berbagai bahan makanan dan bumbu dapur seperti garam, minuman dalam kemasan, gula, penyedap rasa, minyak goreng,
opak dan lain sebagainya itu juga akan dicatat oleh bapak hajat di dalam buku gantangan dengan halaman dan kolom tersendiri. Pada
saat nanti si penyimpan melakukan hajatan, maka bapak hajat berkewajiban membayar kembali simpanan tersebut dalam bentuk
yang sama. Demikian pula dengan mereka yang membantu memasak nyangu di dapur, hampir tidak ada lagi yang sukarela, semuanya
mengharapkan diupah, baik dengan uang maupun beras.
b. Rombol