Belanda.  Lahan  yang  dikuasai  penguasa  perkebunan  saat  itu  mencapai 212.900 ha. dengan  hak eigendom. Untuk  melaksanakan pemerintahan di
daerah  ini,  pemerintah  Belanda  membentuk  distrik-distrik  yang membawahi  onderdistrik.  Saat  itu,  wilayah  Subang  berada  di  bawah
pimpinan seorang
kontrilor BB
bienenlandsch bestuur
yang berkedudukan di Subang.
Berbagai  pengalaman  sejarah  diatas  menunjukkan  bahwasanya masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat
peladang-sawah  telah  bersentuhan  dengan  berbagai  kebudayaan  luar, seperti  Hindu-Budha,  Islam,  Eropa  Belanda  dan  kebudayaan  dari  Jawa.
Modernisasi  di  segala  bidang  yang  hadir  belakangan  juga  menambah warna  akulturasi  kebudayaan  Sunda-Subang  itu  sendiri.  Meskipun
demikian, akar kebudayaan asli masyarakatnya egaliter-independen tidak lantas  hilang  sama  sekali,  tetapi  juga  sudah  tidak  ada  yang  utuh  sama
sekali.  Semua  gejala  akulturasi  tersebut  masih  dapat  kita  amati  dalam simbol-simbol  yang  hadir di  perayaan pesta  hajatan  masyarakat pedesaan
Subang  hari  ini.  Misalnya  peninggalan  Hindu  yang  masih  tersisa  seperti hadirnya  sesajen,  pawang  hujan,  wayang  kulit,  lalu  upacara  dan  doa-doa
yang  dilakukan  merupakan  sinkretisme  antara  ritualisme  Hindu-Budha tetapi dengan isi Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan
dari  kolonialisme  dimana  menunggangi  replika  singa  merupakan  simbol pengusiran kepada penjajah Inggris dan Belanda, hingga hiburan-hiburan
kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan jaipong tampil mewakili modernitas yang diadopsi.
5.1.2. Sistem Nilai Sosial dan Budaya Masyarakat Pedesaan Subang
Masyarakat  Subang,  secara  sosio-historis  maupun  ekologis  adalah suatu  bentuk  masyarakat  yang  sangat  lekat  dengan  kehidupan  agraris.
Berbagai  bentuk  aktivitas  produksi  pertanian,  mulai  dari  pertanian  sawah padi, perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah
menjadi  matapencaharian  pokok  masyarakat  Subang  secara  turun menurun.  Dengan  bentang  alam  yang  sangat  mendukung  pengembangan
pertanian,  maka  sistem  sosial  budaya  masyarakatnya  pun  tidak  lepas  dari siklus-siklus  alami  dunia  pertanian  itu  sendiri.  Aktivitas-aktivitas  yang
sedang  dilakukan  di  dunia  pertanian  akan  sangat  berpengaruh  kepada aktivitas-aktivitas  keseharian  mereka.  Karena  kedekatan  dengan  alam  itu
pula,  ketergantungan  masyarakat  terhadap  “kebaikan”,  “kemurahan”  atau “anugerah”  alam  pun  menjadi  sangat  tinggi.  Sebuah  sikap  mental  yang
khas dimiliki petani. Wujud  ketergantungan  kepada  kebaikan  alam  itu,  misalnya,
terwujud dalam  bentuk-bentuk pola perilaku
13
yang  lebih kongkrit seperti dalam  upacara-upacara  adat  atau  norma-norma  kehidupan  bermasyarakat.
Misalnya  upacara  sebelum  menanam  padi,  upacara  ketika  panen  mapag srimapag  pare, upacara ruwat bumi, pesta  laut atau ruwat laut, dan  lain
sebagainya.  Sistem  sosial  masyarakat  agraris  semacam  ini  dilakukan dalam  semangat  kolektivitas  dan  tolong  menolong  yang  kemudian  lebih
dikenal  dalam  konsep  Gotong  Royong
14
.    Upacara-upacara  ataupun seremonial  di  dunia  pertanian  itu  tidak  dapat  dilakukan  sendiri-sendiri,
tetapi  harus  disokong  sebagian  besar  komunitas  karena  memiliki  rasa ketergantungan  dan  nilai-nilai  penghormatan  terhadap  alam  yang  relatif
sama.
13
M enurut  Koent jaraningrat  1982:5-6., kebudayaan m anusia it u t erbangun dan terw ujud ke dalam t iga unsur, 1 wujud ideal gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norm a-norm a, perat uran, dsbnya 2 w ujud
perilaku  sist em   sosial,  aktivit as  kom pleks  dan  3  w ujud  fisik  artefak,  benda-benda  hasil  karya m anusia
14
Konsep  ini  kem udian  diangkat   m enjadi  slogan  pem bangunan  kabupat en  Subang  yang  berbunyi “ Rakyat   Subang  Gotong  Royong,  Subang  M aju”
,  dan  diangkat   juga  dalam  program  pem bangunan pedesaan dengan konsep “ Desa M andiri Got ong Royong” .
Gambar 16. Gotong royong di Pedesaan Subang
Kolektivitas  Sosial  yang  mengakar  dalam  gotong  royong  itulah yang  kemudian  tercermin  dalam  perilaku  sosial  dan  sistem  sosial  sehari-
hari  masyarakat  pedesaan  Subang.  Berbagai  siklus  kehidupan  senantiasa dirayakan  beramai-ramai,  mulai  dari  kelahiran,  khitanan,  perkawinan,
hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentuk-
bentuk  kesenian  lokal  yang  digemari  masyarakat,  seperti  jaipong, sisingaan, film layar tancap, hingga organ tunggal pun selalu meriah dan
melibatkan  banyak  orang,  baik  di  atas  panggung  maupun  dibawah penonton  dan  pengiring.  Kolektivitas  paling  utama  dahulu  tercermin  di
dalam  dunia  pertanian,  dimana  sejak  pengolahan  lahan,  pemeliharaan hingga  pemanenan  dilakukan  dengan  gotong  royong  sebelum  mengenal
sistem upah, baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat. Kolektivitas  ini  tidak  hanya  nampak  sebagai  sebuah  perilaku  kolektif,
melainkan  juga  melahirkan  mentalitas  yang  ingin  agar  diri  dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain
Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka dan dunia pertanian  mengalami komersialisasi ekonomi  akibat keberhasilan revolusi
hijau,  kolektivitas  masyarakat  pedesaan  Subang  ini  juga  mengalami kemunduran.  Sistem  upah  monetisasi  yang  dibawa  masuk  oleh  sistem
ekonomi  pasar  telah  mengubah  nilai-nilai  solidaritas  dan  kolektivitas
masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan norma-norma  adat  mengalami  desakralisasi  akibat  ilmu  pengetahuan,
teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosok- pelosok  desa.  Ciri  penanda  ekonomi  pra-kapitalis  yang  dahulu  melekat
redistribusi pangan  melalui  lumbung padi dan resiprositas dalam tolong- menolong,  silih  genten  kini  telah  mengalami  perubahan  bentuk  akibat
pengaruh komersialisasi atau ekonomi pasarkapitalis tersebut. Namun,  kolektivitas  sosial  dan  sistem  ekonomi  pra-kapitalis  khas
pedesaan  tradisional  itu  tidak  sepenuhnya  hilang  atau  sepenuhnya bertahan,  melainkan terjadi perpaduan antara nilai-nilai  lama tradisional-
kolektif  dan  nilai-nilai  baru  modern-individualistik  yang  menghasilkan sebuah  sistem  sosial  baru  yang  unik.  Contohnya,  kolektivitas  yang
merupakan  modal  sosial  masyarakat  tradisional  kemudian  harus berkompromi  comformity  dengan  kepentingan-kepentingan  individu
yang  berorientasi  pada  kemakmuran  pribadi  homo  economicus. Akibatnya,  kita  akan  melihat  bagaimana  muncul  transaksi-transaksi
ekonomi  di  dalam  sebuah  hubungan  yang  seharusnya  bersifat  sosial. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial
ini  ekuivalen  sama  dengan  tindakan  ekonomi.  Salah  satu  bentuk  sistem sosial  baru  ini  tercermin  dalam  gotong  royong  dan  tolong  menolong  itu
sendiri, yakni ketika resiprositas umum generalized reciprocity bergeser menjadi  resiprositas  yang  sebanding  balanced  reciprocity  dan  bahkan
menjadi sistem pertukaran sosial dan ekonomi yang baru. Sistem  pertukaran  sosial  dan  ekonomi  baru  inilah  yang  akan
didalami  dalam  penelitian  ini.  Salah  satu  topik  yang  dapat  diangkat  dan diharapkan
mampu memberikan  gambaran  secara  komprehensif
bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat berjalan adalah  dengan  mencari  bentuk  aktivitas  yang  menyentuh  seluruh  lapisan
masyarakat. Banyak peneliti sosial dan ekonom di masa lalu yang menera
persoalan  ini  dari  kegiatan  di  dunia  pertanian.  Akan  tetapi,  dengan perubahan  struktur  masyarakat  dan  diferensiasi  pekerjaan  yang  semakin
luas,  nampaknya  menggali  hanya  dari  aktivitas  di  dunia  pertanian  belum menggambarkan  kondisi  seluruh  lapisan  masyarakat  karena  semakin
banyak orang desa yang meninggalkan dunia pertanian. Oleh  karena  itu,  peneliti  mencoba  mengangkat  fenomena  atau
bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga ditemukan pesta hajatan  sebagai  medan  penelitian.  Sebab,  hampir  seluruh  anggota
masyarakat  di  pedesaan  apapun  latar  belakang  pekerjaannya  masih memegang  teguh  tradisi  mengadakan  perayaan  pada  momen  atau  siklus
hidup  tertentu.  Dari  fenomena  pesta  hajatan  inilah  kita  akan  menemukan bagaimana sosok homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini
muncul  bersamaan  dalam  modal  sosial  gantangan  yang  mereka  bangun dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan Subang.
5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan