1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa
Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan
hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan
perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak “modern” yang ditandai dengan sikap komersil
4
, individualistik, rasional, dan berorientasi material
5
. Pandangan kita tentang masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong
royong, egaliter dan berorientasi nilai ideal hampir-hampir musnah akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini.
Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan
ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga
yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi
nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian
kencang. Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini
tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang
terbiasa hidup secara komunal extended family dan oleh karena itu bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan
4
Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung
individualistik Peny, 1990:xvviii.
5
Yuniarto, 2009:197
pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini
disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik resiprokal, sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada
suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi
nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini
ditengah kondisi kehidupan living condition yang menurut para ahli dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi
sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial nyumbang yang
ada di Pulau Jawa, antara lain :
Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah
Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara
pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan
membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado. Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak
menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan
dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut,
masyarakat sudah
paham bahwa
yang mempunyai
hajat menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan
juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut
diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan
makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis,
masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam
bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun
semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala “standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.
De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura
Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah, pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi
nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu, para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan
disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar
sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan
untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan yang diterimanya.
Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur
Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak
yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangannya dapat berupa barang beras, gula, kentang, mie, roti,
pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya yang bisanya akan
dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi
mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu
keluarga yang menggelar hajatan saudara dan tetangga dan ada yang berperan sebagai penyumbang tetangga, saudara, sahabat,
teman dan kenalan. Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan
yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena
keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari
usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari
mulai persiapan rewang, ketika berlangsungnya acara, hingga selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu.
Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau
buwuh ini.
Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat
Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”, atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang
berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat
6
gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah
6
Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalenderbulan “baik” dan “tidak baikdilarang” untuk melakukan hajatan.
Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid 2, MuharramSura4, dan Sapar 5. Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal 1,
Raya Agung 3, maulud 6, Silih Mulud 7, Jumadil Awal 8, Jumadil Akhir 9, Rajab 10, Ruwah 11, dan Puasa 12.
tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini
terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun
jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang
diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak
si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu
dengan nilai yang sama Prasetyo, 2010. Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras 5
gantang dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk
mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama
ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus
mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat
menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk
menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua
“tabungannya” tadi. Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo
2003, tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya
resiprositi semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat
serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat.
Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh
rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial ceremonial fund Wolf, 1966:10. Beragam bentuk dan pola tradisi
nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama,
yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan
di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain : a. Tidak Sukarela Sumbangan = hutang. Sumbangan tidak
dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.
b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika
sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.
c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing
dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.
d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalasmengembalikan sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang,
maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik semua simpanannya.
e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya hutang yang
belum terlunasi, khususnya kepada Bandar f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat
diwariskandialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi
TKITKW di luar negeri g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak
peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat
dikurangidisesuaikan dengan pendapatan saat itu. h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya
sumbangan antara tuan rumahpemilik hajat dengan penyumbang. Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam
membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat
menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian hari.
i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap
sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam berhutang kepada Bandar beras, daging, telur, gula, dan sebagainya.
Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas, tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi
Damsar, 2006:13. Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional
berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua
pertukaran sosial dapat diukur dengan uang Poloma, 2004:52. Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihan-
pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkannya cost benefit ratio. Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi
kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa
yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak “mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit,
bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa
“orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik” menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya,
mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa menjadi
medan akumulasi
keuntungan sebagian
anggota masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang
membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat komersialisasi yang berbeda-beda?
1.2. Rumusan Masalah