Gambar 37. Buku Catatan Gantangan
Pada  saat  pencatatan  sudah  dilakukan  oleh  kedua  belah  pihak, pengundang  dan  yang  diundang,  serta  pergeseran  persepsi  dari  sumbangan
yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan” berlangsung, maka lahirlah aturan  main  baru  yang  dijalankan  dan  disepakati  bersama  terkait  pertukaran
gantangan  ini.  Berbagai  bentuk  sanksi  mulai  diawacanakan  untuk memperingatkan  mereka  yang  menganggap  remeh  buku  catatan  gantangan
yang  mereka  pegang.  Dengan  kata  lain,  mereka  yang  sebelumnya  tidak mencatat  pun  menjadi  ikut  dalam  sistem  pencatatan  ini  karena  merasa  tidak
enak  jika  tidak  mengembalikan  apa  yang  pernah  diberikan  orang  lain  ketika hajatan  dalam  jumlah  yang  sama.  Bahkan,  bukan  hanya  jumlah  yang  sama,
pada  akhirnya  mereka  pun  berbondong-bondong  “melebihkan”  jumlah sumbangan  dari  yang  dulu  pernah  diberikannya.  Kelebihan  itu  pun  kemudain
akan  dicatat  oleh  bapak  hajat  menjadi  simpanannya  nyimpen  bari  mayar. Demikianlah  hubungan  sosial dalam  pesta hajatan berubah  menjadi  hubungan
kontraktual hutang-piutang dalam pertukaran Gantangan.
5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang
Transformasi  sumbangan  sukarela  menjadi  hutang-piutang  dalam pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna dan penilaian terhadap
komponen  dalam  pesta  hajatan  maupun  pertukaran  Gantangan  ini.  Pertama- tama yang kemudian berubah adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian?
Sebab,  salah  satu  alasan  utama  suatu  keluarga  atau  rumah  tangga  dapat
menyelenggarakan  hajat  yang  “wajar” secara tradisi adalah anak.  Ketika  laki- laki  dan  perempuan  di  desa  menikah,  maka  pesta  pernikahan  itu  bukanlah
“milik”-nya  atau  menjadi  kewajibannya,  melainkan  menjadi  pestanya  orang tua.  Orang  tua  yang  menyiapkan  segala  sesuatunya,  termasuk  keseluruhan
biaya dan pengaturan-pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi simbol  status  sosial  orang  tuanya,  misalnya  apakah  orang  tuanya  berhasil
mendapatkan  menantu  yang  dianggap  baik,  pesta  yang  dianggap  meriah,  dan kepantasan-kepantasan sosial lainnya.
Baru kemudian ketika pengantin  baru di desa  itu menjalani kehidupan rumah  tangganya  sendiri,  maka  segala  hal  terkait  dengan  kewajiban  sosial
menjadi tanggung  jawabnya  sendiri.  Mula-mula ketika  mereka  istrinya  hamil, kemudian melahirkan anak, lalu mengkhitan anak jika anaknya laki-laki saat
memasuki usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut. segala pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa itu kemudian menjadi
tanggung  jawabnya  sebagai  orang  tua.  Semakin  banyak  anak  yang  dimiliki, maka  akan  semakin  banyak  “tuntutan”  untuk  menjalankan  berbagai  upacara
sosial-keagamaan  seperti  diatas.  Pada  keluarga  tertentu  yang  kurang  mapan secara  ekonomi,  banyaknya  kewajiban  sosial  seperti  menyelenggarakan  hajat
ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun, bagi sebagian petani atau orang  desa  lainnya,  banyaknya  anak  ini  sangat  disyukuri  karena  memberikan
kesempatan  untuk  menunjukkan  status,  gengsi  dan  nama  besar  keluarganya. Pada  kondisi  terakhir,  anak  dapat  dianggap  sebagai  komoditas  untuk
menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya. Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai berbeda? tentu
saja.  Di  pedesaan  Subang  pada  umumnya  dan  di  lokasi  penelitian  pada khususnya,  makna  anak  laki-laki  dan  perempuan  berbeda  dimata  sebagian
besar orang tua. Anak perempuan atau perawan, dianggap  sebagai  aset utama hajatan.  Mengapa?  Karena  dalam  penyelenggaraan  perkawinan,  maka  adat
Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh pihak keluarga perempuan.  Pesta  hajat  di  keluarga  perempuan  adalah  yang  diutamakan,
sedangkan pesta di keluarga laki-laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini, ketika  pertukaran  gantangan  telah  mengakar,  maka  orang  tua  yang  memiliki
anak  perempuan  memiliki  kesempatan  yang  lebih  besar  untuk  “narik” gantangan  dibandingkan  dengan  mereka  yang  memiliki  anak  laki-laki.
Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui gantangan menjadi lebih besar.
Sebaliknya,  orang  tua  yang  memiliki  anak  laki-laki  justru  harus “membayar”,  baik  berupa  uang,  mahar,  maupun  seserahan  lainnya  kepada
pihak  perempuan.  Dalam  kasus  pra-pernikahan  seperti  tunangan,  berkembang juga  pola  pembayaran  yang  nampak  menguntungkan  bagi  pihak  perempuan.
Yaitu jika dalam tunangan pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat 10 gram, maka ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat 100
gr  yang  harus  dibayarkan.  Dengan  demikian,  nilai  anak  perempuan  dalam masyarakat  di  pedesaan  Subang  termasuk  dianggap  tinggi  dan  bernilai  bagi
orang  tuanya.  Dalam  istilah  sehari-hari  masyarakat  lokal,  anak  perempuan bahkan dianalogikan sebagai “barang dagangan” dalam konteks perkawinan.
Nilai  ekonomi  seorang  anak  perempuan  juga  tidak  hanya  dalam lapangan  hajat,  dasawarsa  terakhir  anak  perempuan  makin  bernilai  secara
ekonomi  karena  dianggap  mudah  untuk  mendapatkan  pekerjaan  diluar  usaha pertanian. Dua lapangan pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan
menjadi  buruh  migran  TKW  ke  Malaysia  atau  Arab  Saudi.  Dalam  konteks ini,  perempuan  desa  memang  diandalkan  sebagai  katup  penyelamat  ekonomi
rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin dan kurang mampu. Bukan hanya sebagai komoditas hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai
komoditas  ekonomi  rumah  tangga,  sehingga  lahir  banyak  kasus-kasus pemaksaan,  perdagangan  perempuan,  prostitusi,  perceraian  yang  bermuasal
dari nilai ekonomi perempuan ini. Bagaimana  dengan  anak  laki-laki?  Dalam  konteks  hajatan  dan
pertukaran  gantangan,  memiliki  anak  laki-laki  sebenarnya  lebih  cepat  untuk “dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir dan memasuki usia balita hingga
remaja,  maka orang tuanya dapat  mengadakan  hajat  “khitanan”  sebagai  arena untuk “narik gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan
pun  biasa  disebut  sebagai  “pengantin  khitan”  dan  pesta  hajatan  yang diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas pesta khitanan ini
adalah dengan mengundang grup sisingaan. Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga memiliki nilai
yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras juga bukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadi
instrumen  untuk  menjamin  keberlanjutan  hubungan  sosial  di  pedesaan.  uang dan  beras  yang  dicatat  dalam  buku  catatan  gantangan  adalah  simbol  yang
mengikat  hubungan  antar  individu  maupun  antar  keluarga.  Uang  dan  beras tidak  hanya  dilihat  dari  jumlah  dan  nilainya,  melainkan  juga  dilihat  sebagai
sebuah  “komitmen  moral”  untuk  saling  membantu  dan  menepati  janji  satu sama  lain  di  pedesaan.  Kesediaan  menyimpan  sejumlah  uang  dan  beras  itu
menunjukkan  tingkat  kepercayaan  trust  seseorang  kepada  orang  lainnya. Kesediaan  membayar  kembali  sejumlah  uang  dan  beras  yang  pernah
diterimanya  juga  menunjukkan  tanggung  jawab  seseorang  kepada  warga lainnya.  Melupakan  salah  satunya,  berarti  keluar  dari  sistem  dan  berarti  pula
merusak hubungan sosial satu sama lain. Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga bermakna secara
psikologis  sebagai  jaminan  rasa  aman  warga  masyarakat  di  pedesaan, khususnya  yang  terlibat  dalam  pola  pertukaran  gantangan.  Dengan  terlibat
dalam  pertukaran  gantangan,  rumah  tangga  tersebut  merasa  aman  ketika sewaktu-waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar. Sebab,
ia  yakin  bahwa warga desa  lainnya akan  berkenan  “meminjamkan”  beras  dan uang  mereka  melalui  pertukaran  gantangan  ini.  sebagian  besar  dari  mereka
tidak melihat pinjaman tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat ekonomi. Bagi
orang  kaya,  banyaknya  beras  dan  uang  yang  diberikan  semakin  memberikan penegasan atas kekuasaan dan pengaruh mereka ditengah masyarakat.
Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan dengan “uang perempuan”,  karena  dibawa  oleh  perempuan.  Sedangkan  uang  diasosiasikan
dengan  “uang  laki-laki”  karena  dibawa  dalam  amplop  oleh  laki-laki.  Ketika anak, uang dan  beras  menyatu dalam  sebuah pesta  hajatan,  maka dalam alam
berpikir  orang  desa  ketiganya  menjadi  sesuatu  yang  dianggap  dapat menghasilkan  secara  ekonomi.  Mengatur  dan  memainkan  irama  antara  anak,
beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam kehidupan rumah tangga orang desa.  Mereka  harus  pandai-pandai  berhitung,  mulai  dari  sisi  bagaimana
memperlakukan  anak?  Bagaimana  mengatur produktivitas di  lahan pertanian? hingga  bagaimana  mendapatkan  pekerjaan-pekerjaan  alternatif  lainnya  untuk
mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi berbagai kewajiban sosial sekaligus  mendapatkan  untung  untuk  meningkatkan  taraf  kehidupan  mereka.
Terlihat sederhana, namun pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut sangatlah kompleks.
Komodifikasi  hajatan,  sebagai  bentuk komersialisasi sosial tahap awal ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang mungkin tidak terjadi di
daerah lain, termasuk pada komunitas Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola pesta hajatan yang khas dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain :
1.  Orang  dapat  melaksanakan  hajatan  khitan  tanpa  harus  mengkhitan anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya atau
nanti setelah pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih mengedepankan  perhitungan  kebutuhan  ekonomi  untuk  narik  gantangan
daripada perhitungan melaksanakan ritual tradisinya. 2.  Pihak  keluarga  laki-laki  dalam  sebuah  pernikahan  dapat  melakukan  hajat
“narik  gantangan”  sebelum  pesta  hajatan  pernikahan  resepsi  di  pihak perempuan.  Bahkan  pesta  itu  dilakukan  sebelum  akad  nikah  terjadi.
Mengapa  demikian?  karena  pihak  keluarga  laki-laki  membutuhkan sejumlah  modal  untuk  dibayarkan  kepada  pihak  perempuan,  sehingga
mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu.
3.  Orang  atau  keluarga  tidak  perlu  menunggu  memiliki  kelebihan  rejeki untuk  mengadakan  pesta  hajatan.  Mengapa  demikian?  Karena  ia  dapat
menyelenggarakan  pesta  hajatan  dengan  seluruh  modalnya  berasal  dari pinjamanhutang,  baik  dari  bandar  maupun  saudara.  Konsekuensinya
adalah  ia  harus  membayar  seluruh  pinjaman  tersebut  langsung  setelah hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan menjadi sebuah
aib hal buruk.
5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan