5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan
5.5.1. Kelompok Non-Gantangan Nyambungan
Pak  Sholeh  48  dan  Istrinya,  bu  Ida  45  adalah  salah  satu  profil keluarga keturunan pendatang dari Jawa yang menetap di Subang Utara. Dalam
Jejaring  pertukaran  sosial  Gantangan,  posisi  keluarga  Sholeh  ini  berada  di dalam namun tidak mengikatkan diri dalam jejaring tersebut. sebagai salah satu
generasi  awal  yang  berpendidikan  hingga  level  sarjana  S1,  pak  sholeh memang  memiliki  cara  pandang  yang  seringkali  berbeda  dengan  kebanyakan
masyarakat  di  sekitarnya.  Misalnya  dalam  melihat  tradisi  Gantangan  atau Telitian  yang  berkembang  di  desanya,  ia  melihat  bahwa  tradisi  ini  telah
“melenceng”  dari  niat  atau  tujuan  sebenarnya,  yaitu  tolong  menolong  atau gotong royong. Telitian yang bermakna “silih genteng” saling bergantian ini
dimata  pak  Sholeh  tidak  lagi  simpatik  dan  kehilangan  nilai-nilai  sosialnya. Oleh karena itu, sejak telitian pertama kali masuk ke Subang utara dan semakin
meluas  perkembangannya,  keluarga  Pak  Sholeh  memutuskan  untuk  tidak mengikuti  pola  pertukaran  Telitian  ini.  Ia  lebih  memilih  untuk  tetap  pada
tradisi  nyumbangnyambungan  biasa,  dimana  setiap  datang  ke  kondangan  Ia hanya  memberikan  amplop  tanpa  mencatatkan  jumlahnya  kepada  juru  tulis
Gantangan. Sebaliknya, ketika pak Sholeh hajatan, Ia juga tidak mengharapkan semua  orang  memberikan  sejumlah  uang  atau  beras  dalam  jumlah  tertentu.
Seikhlasnya.
“Telitian  di  sini  ramai  dari  tahun  90-an  ke  atas  sampai  dengan bubarnya  panitia  tahun  2000-an.  Tradisi  ini  berasal  dari
karawang.  Bahkan  di  karawang  masih  menggunakan  sistem panitia  sampai  sekarang.  Sebaliknya  di  desa  Jayamukti  semakin
hari  semakin  menurun  jumlah  orang  yang  datang  memenuhi undangan hajatan. Jika dipersentase, dari undangan untuk 1 desa
di undang semua hanya 30 yang datang. Hal ini menunjukan rasa  sosial  antar  warga  semakin  menurun.  Dulu  orang  khan
datang  hajat  karena  ada  perasaan  dekat  dan  malu.  Sekarang “ada unsur dendam”, jika pernah tidak datang dibalas juga tidak
datang oleh yang pernah mengundang…”
Ketidakikutsertaan  Pak  Sholeh  dalam  sistem  Telitian  ini  menjadi  unik disebabkan oleh posisinya sebagai tokoh masyarakat Sekretaris Desa. Jabatan
sekretaris  desa  tersebut  tidak  lantas  memaksanya  untuk  mengikuti  seluruh norma dan kebiasaan  yang  berlangsung di tengah  masyarakatnya. Pak Sholeh
menegaskan  posisinya  bahwa  meski  dia  tidak  ikut  serta  dalam  telitian,  bukan berarti dia  melarang telitian tersebut. Padahal,  jika dia  mampu  memanfaatkan
status  sosialnya  sebagai  sekretaris  desa,  kemungkinan  besar  ia  bisa mendapatkan  keuntungan  dari  sistem  telitian  tersebut.  Pak  Sholeh  lebih
didorong oleh pertimbangan rasional dan mencoba belajar dari pengalaman. Ia sangat  memahami  seperti  apa  karakter  masyarakat  di  desanya.  Karena  paham
tersebut, akhirnya ia memilih untuk tidak mengikuti telitian.
“…Perhitungan  mereka  masyarakat-pen  itu  kalau  ikut undangan hajatan ada 3 yang menonjol, satu “kalau gak akrab
ya gak datang”, dua “undangan hanya ngasih dua puluh ribu, itung-itung  ajang  makan-makan  sepuasnya”  dan  tiga  “kalau
bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung dipinjami…”
Sebagai  seorang  PNS,  tokoh  masyarakat,  dan  orang  yang  pernah mengenyam  pendidikan  tinggi,  Pak  Sholeh  dan  Istri  juga  sangat  memahami
bagaimana perhitungan ekonomi dari Telitian di desanya. Ia sama sekali tidak menampik  bahwa  sistem  Telitian  ini  jika  diterapkan  dengan  benar  akan
membawa keuntungan bagi bapak hajat, atau setidaknya tidak akan mengalami kerugian.  Sebaliknya,  orang-orang  seperti  dirinya  yang  tidak  menerapkan
Telitian ini memang selalu “rugi” secara material. Tetapi “untung” dan “rugi” itu dilihat dengan cara berbeda oleh Pak Sholeh. Menurutnya, konsep “untung”
dan “rugi” yang dipahami oleh kebanyakan anggota masyarakatnya itu adalah pemahaman  yang  sempit  dan  bersifat  materi  belaka.  Mereka  tidak  terlalu
memperhitungkan  masalah  tanggung  jawab  dalam  mengembalikan,  beban hutang,  kepercayaan,  pendapatan  dan  beban-beban  seremonial  lainnya.
Meskipun Ia tidak untung ketika hajatan jumlah sumbangan warga selalu lebih kecil  dari  modal  dan  biaya  hajat,  namun  ia  terbebas  dari  berbagai
kewajibanhutang  kepada  tetangganya  orang  lain.  Hal  inilah  justru  yang disebut keuntungan bagi pak Sholeh.
“..Iya,  manfaat  telitian  ini  ya  mendapatkan  untung  misalnya, biaya  dan  modal  hajatan  20  jt  pinjaman  dari  warung,  toko,
bandar  dll  lalu  dapat  sumbangan  talitian  sampai  50  jt.  Selisih itulah  yang  kemudian  akan  digunakan  untuk  menggadai  sawah,
empang,  meningkatkan  perekonomian  keluarga  dan  cadangan pembayaran  ke  depan.    Meski  kelihatannya  menguntungkan,
sebagian  besar  warga  Jaya  Mukti  khan  tergolong  miskin  dan kurang  berpendidikan….Pendidikan  yang  minim  menyebabkan
sering  terjadi  cek-cok  akibat  nama  penyumbang  yang  tidak tercatat,  banyak  yang  tidak  bisa  membaca,  curang  dalam
pencatatan  misal  8  ltr  di  tulis  10  ltr,  bahkan  buku  catatan telitiannya ilang, gimana coba?”
Pak  Sholeh  memang  selalu  menggarisbawahi  soal  nilai  kejujuran  di tengah  masyarakat.  Pengalaman  menunjukkan  sulit  sekali  mengharapkan
seluruh  orang  bersikap  jujur.  Pak  Sholeh  hafal  sekali  beberapa  kasus penyelewengan Telitian di desanya ini. Dirinya pula yang beberapa kali harus
menjadi  penengah  dari  pihak-pihak  yang  berselisih  paham.  Menurut penuturannya,  menjelang  tahun  2000-an,  muncul  kasus  penipuan  yang
dilakukan  oleh  beberapa  panitia  telitian.  Empat  orang  dari  delapan  panitia telitian di desanya telah bertindak tidak jujur, yaitu tidak mencatatkan seluruh
sumbangan  dari  tamu  undangan  korupsi.  Akibatnya,  ketika  tamu  tersebut mengadakan  hajatan  dan  menarik  kembali  simpanannya,  banyak  tamu  yang
tidak datang karena merasa tidak ada nama si pengundang dalam buku catatan telitiannya.  Ketika  bapak  hajat  menagih  kepada  tamu  tersebut,  si  tamu
bersikukuh  bahwa  tidak  ada  nama  bapak  hajat  itu  dalam  buku  catatannya. Sementara  bapak  hajat  yakin  dia  sudah  menyetor  simpanan  kepada  panitia.
Kemudian  perdebatan  ini  berujung  cek-cok  dan  berakhir  pada  kecurigaan terhadap  panitia.  Sejak  saat  itu,  panitia  telitian  dibubarkan  dan  tidak  dipakai
lagi  oleh  masyarakat.  Beberapa  insiden  semacam  itu  menjadi  salah  satu pertimbangan  utama  kenapa  pak  Sholeh  dan  istri  memutuskan  untuk  tidak
mengikuti Telitian. Selain  masalah  kepercayaan  trust,  rendahnya  tingkat  ekonomi  warga
juga  menyebabkan  pak  Sholeh  ragu  terhadap  kemampuan  dan  keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan
bahwa  jumlah  keluarga  yang  miskin  di  wilayahnya  semakin  meningkat. Banyak  orang  yang  dulunya  petani  kini  hanya  menjadi  buruh  tani.
Pengangguran  juga  semakin  banyak,  khususnya  kaum  perempuan  dan  anak muda.  Jika  kondisi  ekonomi  masyarakat  tidak  berubah  atau  beranjak  naik,  Ia
pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi rumah  tangga  yang  semakin  berat  masih  harus  ditambah  dengan  beban  sosial
hutan dan kewajiban sosial yang juga semakin berat.
“…Pada  waktu  panen  seharusnya  suami  mendapat  dukungan penuh  ngeprik  atau  memungut  sisa-sisa  panen  tapi  sekarang
nggak  ada.  Padahal,  ini  terkait  dengan  telitian,  pendapatan berkurang tapi hutang jalan terus.  Faktor pendukung dari  kaum
ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak berkurang,  tapi  telitian  masih  jalan.  Tapi  kalau  begini  terus,
mungkin  ke  depan  hanya  tinggal  dibawah  50  saja  yang  ikut telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…”
5.5.2. Kelompok Gantangan Umum Gintingan