Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-Kontraktual

Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Resiprositas Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Pertukaran Sumber : Swedberg 2003 dalam Damsar 2009:112

5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-Kontraktual

Transformasi tradisi Nyumbang yang bersifat sukarela menjadi tradisi Gantangan yang bersifat kontraktual pada mulanya ditandai dengan adanya sistem pencatatan. Hadirnya pencatatan ini dimulai pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Berbagai informasi yang dikumpulkan oleh penulis di ketiga lokasi penelitian menunjukkan kemiripan satu sama lain terkait kapan dimulainya pencatatan Gantangan ini? Tetapi, masayarakat di Subang Utara memang lebih dulu memulai model pencatatan Gantangan yang mereka adopsi dari tradisi di wilayah Karawang Barat dan Indramayu Timur daripada masyarakat di Subang Selatan. Tujuan pencatatan jumlah sumbangan oleh bapak hajat, baik yang berupa uang dalam amplop, beras, maupun sumbangan-sumbangan lain ini pada mulanya adalah bertujuan untuk menghindari lupa seeur nu hilap banyak yang lupa. Beberapa informan yang sudah sepuh tua mengatakan bahwa dimulainya pencatatan tersebut disebabkan oleh makin banyaknya orang yang mampu untuk menyelenggarakan pesta hajatan, sehingga setiap orang atau rumah tangga juga semakin sering menerima undangan. Barangkali ini terkait pula dengan laju pertambahan penduduk di pedesaan dan mulai Produksi Resiprositas Konsumsi Produksi Konsumsi Distribusi Keuntungan membaiknya perekonomian mereka. Ditambah, sudah mulai banyak warga desa yang mulai mengenal baca tulis dan anak-anak mereka mulai mampu untuk melakukannya. Pencatatan sederhana pun mereka lakukan, agar ketika membalas undangan dari saudara atau tetangga, sumbangan mereka minimal sama atau tidak kurang dari yang pernah diberikan oleh si pengundang. Mereka akan sangat malu jika sumbangan yang mereka berikan ternyata lebih kecil dari yang pernah diterimanya. Pada perkembangan selanjutnya, pencatatan yang dilakukan untuk tujuan menghindari lupa informal itu kemudian menyebar dan berkembang menjadi salah satu instrumen dalam penyelenggaraan hajat. Meja khusus untuk pencatatan pun disediakan oleh bapak hajat di depan pintu masuk sebelum tamu undangan bersalaman dengan bapak hajat atau memasuki pelataran rumah. Saudara atau orang yang dipercaya kemudian diminta tolong untuk mencatat setiap tamu undangan yang datang beserta barang bawaannya. Dengan demikian, tidak ada satu pun tamu undangan yang terlewat untuk dicatat nama dan barang bawaannya atau jumlah sumbangannya. Namun, pada masa awal mengenal sistem pencatatan ini, belum muncul standar jumlah sumbangan. Setiap tamu undangan yang merupakan saudara, tetangga, kenalan di dalam kampung maupun diluar desanya itu memberikan jumlah sumbangan yang sangat bervariasi sesuai dengan kemampuannya. Ada yang hanya ½ gantang 5 liter beras, 1 gantang, 10 gantang dan seterusnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada tuntutan dari tuan rumah terkait besar sumbangan tersebut. Namun, kehadiran meja juru tulis tersebut tentu saja membawa konsekuensi lain, yaitu orang menjadi tahu berapa jumlah sumbangan tamu undangan lainnya. Setiap orang yang datang pun mulai memperhitungkan jumlah sumbangannya dengan status sosial yang disandangnya. Tentu saja akan ada tamu yang malu jika ternyata orang yang lebih miskin darinya ternyata menyumbang lebih besar daripada yang Ia berikan. Apalagi juru tulis mencatat dan akan tersebar dengan cepat melalui mulut ke mulut tentang “kedermawanan” atau “kekikiran” seseorang dilihat dari besar sumbangannya. Menyadari konsekuensi sosial semacam itu, hadirnya pencatatan di meja juru tulis kemudian melahirkan stratifikasi jumlah undangan yang mengerucut pada tiga besaran sumbangan, yaitu sumbangan orang kaya, kelas menengah dan sumbangan warga kelas tidak mampu. Penulis menyebut fenomena ini sebagai “standarisasi alamiah” yang terjadi ketika jumlah sumbangan menjadi “rahasia umum” mirip dengan penentuan iuran dalam konteks yang lebih modern. Ketika semakin banyak hajatan di desa yang mengadopsi sistem pencatatan dan meja juru tulis di depan, maka semakin banyak rumah tangga yang memiliki dan menyimpan buku catatan gantangan itu, baik yang sudah melakukan hajat maupun yang belum menyelenggarakan pesat hajatan. Mereka yang belum menyelenggarakan hajatan mulai berpikir soal “menabung” melalui pesta hajatan ini. Hadirnya buku catatan yang dimiliki oleh bapak hajat melahirkan anggapan bahwa “setiap bapak hajat pasti akan mengembalikan sumbangan yang diberikan oleh para tamu undangan”. Anggapan tersebut kemudian terbukti dalam kenyataan, dimana ternyata setiap orang yang pernah menjadi bapak hajat sebagian besar “mengembalikan” atau “membalas” sumbangan sama besarnya dengan yang pernah diterimanya dahulu. Pola perilaku semacam ini kemudian ditangkap oleh mereka yang belum menjadi bapak hajat untuk juga mencatat semua sumbangan yang telah maupun akan mereka berikan kepada tetangganya. Disinilah mulai luntur unsur kesukarelaan dan diganti dengan pamrih baru, yaitu sumbangan gantangan sebagai “simpanan” atau “tabungan” yang nanti dapat ditarik ketika ia melakukan hajat. Gambar 37. Buku Catatan Gantangan Pada saat pencatatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, pengundang dan yang diundang, serta pergeseran persepsi dari sumbangan yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan” berlangsung, maka lahirlah aturan main baru yang dijalankan dan disepakati bersama terkait pertukaran gantangan ini. Berbagai bentuk sanksi mulai diawacanakan untuk memperingatkan mereka yang menganggap remeh buku catatan gantangan yang mereka pegang. Dengan kata lain, mereka yang sebelumnya tidak mencatat pun menjadi ikut dalam sistem pencatatan ini karena merasa tidak enak jika tidak mengembalikan apa yang pernah diberikan orang lain ketika hajatan dalam jumlah yang sama. Bahkan, bukan hanya jumlah yang sama, pada akhirnya mereka pun berbondong-bondong “melebihkan” jumlah sumbangan dari yang dulu pernah diberikannya. Kelebihan itu pun kemudain akan dicatat oleh bapak hajat menjadi simpanannya nyimpen bari mayar. Demikianlah hubungan sosial dalam pesta hajatan berubah menjadi hubungan kontraktual hutang-piutang dalam pertukaran Gantangan.

5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang