BAB VI REFLEKSI TEORITIS
Berkaca dari teori pertukaran Peter M. Blau 1964 yang meletakkan tujuan sosiologi untuk mempelajari interaksi tatap muka sebagai landasan guna memahami
struktur sosial yang lebih luas Ritzer Goodman, 2010:368, maka demikian halnya penelitian ini berusaha memahami pertukaran sosial gantangan untuk
mendapatkan penjelasan tentang struktur sosial masyarakat pedesaan Subang kontemporer. Mula-mula penelitian ini berusaha mengkaji tentang motivasi dan
dorongan orang desa dalam proses-proses membangun hubungan sosial dengan sesamanya, baik yang termasuk dalam kategori keluargakerabat family maupun di
luar hubungan pertalian darah tersebut non-family. Mendalami hubungan sosial antar warga desa ini menjadi penting karena pada akhirnya nanti interaksi tersebut
akan mampu merefleksikan gejala-gejala sosial umum dalam masyarakat pedesaan itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya. Seperti apakah orang desa sudah
semakin berwatak komersil? Apakah gotong royong sudah benar-benar ditinggalkan? dan seterusnya.
Perkembangan mutakhir dari pertukaran sosial gantangan ini menunjukkan dan membuktikan hipotesa tersebut, yaitu pola-pola hubungan sosial telah semakin nyata
terkomersialisasi. Hal ini ternyata sejalan dengan arus transformasi sosial di bidang kehidupan lainnya, seperti makin meluasnya peranan pasar dalam kehidupan
ekonomi masyarakat desa, keterbukaan informasi, liberalisasi dalam tindak maupun gagasan yang makin meluas dan itu semua berhasil menyuburkan nilai-nilai
individualisme di tengah kehidupan masyarakat desa sekalipun. Dengan demikian, bayangan tentang desa yang penuh semangat solidaritas, kebersamaan, dan gotong-
royong perlahan-lahan makin bergeser pada semangat individualis, komersil dan kontraktual. Kondisi ini adalah konsekuensi logis dan sekaligus ekses dari berbagai
pola-pola pembangunan yang selama ini dianut dan diterapkan di pedesaan.
Hubungan-hubungan sosial yang terkomersialisasi merupakan konsep sosiologis untuk menggambarkan bagaimana hubungan sosial itu - baik antara dua
orang maupun dalam kelompok - lebih banyak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari pihak lain, baik jangka pendek maupun jangka
panjang, material maupun non material. Komersialisasi sosial ini merupakan analog dari komersialisasi ekonomi, dengan hubungan sosial sebagai komoditasnya. Pola-
pola komersialisasi yang tercermin dalam perayaanhajatan menunjukkan bagaimana organisasi sosial baru seperti gantangan ini dapat tumbuh dari hubungan pertukaran
murni nyumbang dalam masyarakat pedesaan. Menariknya, organisasi sosial baru yang berupa jaringan pertukaran gantangan
ini ternyata mampu menembus batas-batas ekologis, seperti karakteristik agroekologis maupun perbedaan geografis. Jaringan pertukaran gantangan ini begitu
cepat menyebar dan meluas serta mudah diadopsi oleh kelompok komunitas lain, sekalipun berbeda karakteristik ekologis. Mengapa demikian? Sebagaimana
dikemukakan oleh Blau 1964, bahwasanya mekanisme yang mampu menjembatani antara struktur sosial yang kompleks tersebut adalah adanya norma dan nilai. Norma
dan nilai inilah yang berperan sebagai mata rantai yang menghubungkan sebuah transaksi sosial. Sepanjang norma dan nilai tersebut disepakati dan dianggap rasional
oleh masyarakat, maka sangat memungkinkan terjadinya proses integrasi dalam struktur sosial yang kompleks. Artinya, jaringan pertukaran sosial gantangan – yang
komersil - ini dapat menyebar dari Subang utara pesisir ke Subang selatan pegunungan adalah karena tidak ada perbedaan yang signifikan dari sistem nilai
dan norma yang dianut masyarakatnya. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik dan watak komersil warga desa di pesisir dan di pegunungan saat
ini sudah tidak lagi jauh berbeda. Lantas, apakah watak komersil ini memang nyata-nyata didorong oleh kondisi
kemiskinan dan kerawanan pangan yang disebabkan sistem pasar – seperti tesis D.H. Penny – atau justru oleh hal lain? Dari hasil penelitian ini tidak serta merta dapat
dikatakan bahwa semakin miskin orang maka semakin komersil dan semakin rawan
pangan orang semakin individualis. Sebab, terbukti di tiga desa miskin yang menjadi daerah penelitian ketiganya menunjukkan bahwa golongan masyarakat termiskin
justru semakin tersisih dalam jaringan pertukaran sosial gantangan ini. Mereka yang paling miskin diantara yang miskin ini justru tidak mendapat kepercayaan dari
anggota masyarakat lainnya. Artinya, warga lain enggan menyimpan beras atau uang dalam jumlah yang banyak, sebab mereka ragu bahwa si miskin ini akan dapat
mengembalikan simpanan tersebut kelak. Warga miskin di desa miskin ini benar- benar tidak memiliki apapun untuk dijadikan komoditas pertukaran yang
menguntungkan. Bahkan, warga miskin ini semakin sulit jika hanya hidup mengandalkan hubungan atau jaringan sosial saja. Sebab, nyata-nyata bahwa
jaringan sosial orang miskin ini adalah orang miskin lainnya, yang meskipun mereka bersatu dan saling bertukar tidak akan memberikan penambahan yang signifikan bagi
perkembangan ekonomi mereka. Inilah satu kondisi dan keprihatinan nyata yang patut mendapat perhatian,
dimana dengan adanya pertukaran sosial gantangan yang berbasis mencari keuntungan ini ternyata justru menyisihkan golongan miskin yang seharusnya bisa
terbantu oleh sistem kolektif semacam gantangan ini. Pertukaran sosial gantangan yang ada di pedesaan Subang saat ini belum mampu menghasilkan pemerataan
distribusi kekayaan atau mengurangi jurang kesenjangan antara si miskin dan kaya, melainkan justru menghasilkan pengelompokan-pengelompokan baru dalam
masyarakat berdasarkan kapasitas sumber daya yang mereka miliki dan mampu untuk saling dipertukarkan.
BAB VII KESIMPULAN