lagi  oleh  masyarakat.  Beberapa  insiden  semacam  itu  menjadi  salah  satu pertimbangan  utama  kenapa  pak  Sholeh  dan  istri  memutuskan  untuk  tidak
mengikuti Telitian. Selain  masalah  kepercayaan  trust,  rendahnya  tingkat  ekonomi  warga
juga  menyebabkan  pak  Sholeh  ragu  terhadap  kemampuan  dan  keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan
bahwa  jumlah  keluarga  yang  miskin  di  wilayahnya  semakin  meningkat. Banyak  orang  yang  dulunya  petani  kini  hanya  menjadi  buruh  tani.
Pengangguran  juga  semakin  banyak,  khususnya  kaum  perempuan  dan  anak muda.  Jika  kondisi  ekonomi  masyarakat  tidak  berubah  atau  beranjak  naik,  Ia
pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi rumah  tangga  yang  semakin  berat  masih  harus  ditambah  dengan  beban  sosial
hutan dan kewajiban sosial yang juga semakin berat.
“…Pada  waktu  panen  seharusnya  suami  mendapat  dukungan penuh  ngeprik  atau  memungut  sisa-sisa  panen  tapi  sekarang
nggak  ada.  Padahal,  ini  terkait  dengan  telitian,  pendapatan berkurang tapi hutang jalan terus.  Faktor pendukung dari  kaum
ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak berkurang,  tapi  telitian  masih  jalan.  Tapi  kalau  begini  terus,
mungkin  ke  depan  hanya  tinggal  dibawah  50  saja  yang  ikut telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…”
5.5.2. Kelompok Gantangan Umum Gintingan
Menurut penuturan Pak Rusdi 50 tahun, salah seorang Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari
sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari
telitian  ini,  yaitu  ia  mampu  membeli  sebidang tanah dan  membangun rumah dari  bilik  bambu  diatasnya.  Keluarga  pak  Rusdi  adalah  contoh  profil  rumah
tangga  ekonomi  lemah  bawah  di  Desa  Jayamukti,  Subang  Utara.  Ia  tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil kepala dusun. Sehingga
dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan  administrasi  untuk  desa,  pertemuan-pertemuan  dengan  warga
hingga  terlibat  dalam  proyek-proyek  pembangunan  seperti  PNPM  mandiri dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup
disegani warga  meskipun  secara ekonomi  ia  berada dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya.
“…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya dapet  hasil  telitian  Rp.  9.000.000.  Keuntungannya  ini  sambil
menginjakkan  kaki  ke  lantai  tanah  rumahnya,  Saya  belikan tanah  dan  bangun  rumah.  Itu  pun  tahun  2004,  saat  ini  hasil
telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah bawah,  dengan  modal  hajat  Rp.  15.000.000,-  ia  bisa  mendapat
rata-rata  Rp.  20.000.000  s.d.  Rp.  30.000.000,  sedangkan keluarga  menengah  ke  atas,  dengan  modal  Rp.  25.000.000,-  ia
bisa  mendapat  rata-rata  Rp.  50.000.000,-    s.d.  Rp.  70.000.000,- …”
Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat mudah.  Bahkan  setiap  RT  sudah  memiliki  masing-masing  20  kursi  plastik
yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun.
“…Dalam  satu  musim  hajat  6  bulan  biasanya  ada  6-7 panggung hajatan, kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…”
Menurut  Pak  Rusdi,  masyarakat  dusun  Tegaltangkil  ini  sudah  terbiasa dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam
pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh
pak  RT  untuk  digunakan  sebagai  iuran  ronda  malam.  Jumlah  sumbangan
perelek  adalah  beras  sejumlah    ½  s.d.  1  gelas  air  minum  dalam  kemasan. Namun  perelek  ini  kemudian  dihilangkan  atau  dialihkan  sejak  terbentuk
panitia pembangunan masjid. Dimulainya  pembangunan  masjid,  melahirkan  tradisi  “swadaya”
lainnya,  yaitu  meminta  sumbangan  di  jalan  raya  atau  yang  disebut  dengan Kencrengan.  Kencrengan  ini  adalah  cara  meminta  sumbangan  dari  warga
yang  kebetulan  melintas  di  jalan  raya.  Jumlah  sumbangan  sukarela  dan biasanya  digunakan  untuk  pembangunan  masjid  atau  perbaikan  jalan.
Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang yang  kemudian  menyusun  jadwal  “bergiliran”  warganya  tersebut.  Peralatan
untuk  menjalankan  kencrengan  biasanya  adalah  :  jaring  ikan,  tong bekasbatang pisang untuk pembataspembagi jalan, tenda terpal, pengeras
suara  untuk  orasi,  bendera  merah  untuk  tanda  pelan-pelan.  Terkadang panitia  dan  petugas  kencrengan  juga  memiliki  seragam,  memakai  topi  dan
masker  untuk  menghindari  debu.  Di  jalanan  yang  sepi,  menurut  pak  Rusdi, bisanya  mereka  bisa  mendapat  Rp.  200.000hari  untuk  jalan  desa.  Untuk
jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih dari Rp. 400.000hari.
Terlepas  dari  kebiasaan  swadaya  masyarakat  dusun  Tegaltangkil  itu, keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong
oleh  norma  sosial  dan  kebutuhan  ekonomi  sekaligus.  Posisinya  sebagai  Pak Wakil  menunjukkan  kedekatannya  dengan  masyarakat,  baik  secara  vertikal
maupun  horizontal.  Ia  harus  selalu  hadir  dalam  setiap  aktivitas  publik warganya,  termasuk  ketika  hajatan.  Berkaca  dari  pengalaman  warga  desa  di
Karawang  yang  diuntungkan  dengan  Telitian,  pak  Rusdi  berniat  untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan
dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai 40 tahun yang sering bergaul dan mengikuti  kumpulan  dan  arisan  dengan  ibu-ibu  lainnya.  Dari  berbagai
kumpulan  tersebut  informasi  tentang  Telitian  mereka  peroleh  dan  tertarik
untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga atau  warga  desa  itulah  salah  satu  yang  paling  bisa  diandalkan  jika  mereka
membutuhkan uang sewaktu-waktu. Senada  dengan  keluarga  Pak  Rusdi,  keluarga  Pak  Adul  juga  profil
rumah  tangga  yang  terlibat  dan  melibatkan  diri  dalam  pertukaran  sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak  Adul 52 tahun dan  bu
Asmi  50  tahun  termasuk  dalam  kelompok  menengah  ke  bawah,  namun secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa
Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat oleh posisinya sebagai Satgas kepala hansip di desa Jayamukti. Posisi yang
dijabatnya  sejak  enam  tahun  yang  lalu  2006  ini  memungkinkan  pak  Adul untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat,
khususnya  di  desa  Jayamukti.  Posisi  sebagai  Satgas  ini  pun  cukup  strategis karena  fungsi  dan  tugasnya  sebagai  penjaga  keamanan  Desa,  mediator
konflik,  dan  yang  membuatnya  paling  sering  berhubungan  dengan masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga
yang akan melakukan hajatan rame-rame. Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini
juga  tercatat  sebagai  salah  satu  pelopor  dari  pertukaran  sosial  Gantangan  di desa  Jayamukti.  Bapak  dua  anak  yang  beristrikan  seorang  buruh  tani  ini
adalah  salah  satu  warga  yang  paling  bersemangat  mengadopsi  Gantangan, khususnya setelah  melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam  mengangkat
ekonomi  rumah  tangga  di  Kabupaten  Karawang.  Meskipun  pada  waktu  itu pak  Adul  belum  menjadi  Satgas,  namun  melalui  hajatan  keluarga  dekat  dan
kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang.
“…yang  dilakukan  sekarang  ini,  dalam  hajatankondangan  ini sepertinya  telitihan.  Jika  kita  ada  keperluan,  boleh  kita
menanyakan.  Misalnya,  mereka  kondangan  1  gantang  10  liter, uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu
hutang  piutang.  Jadi  kalau  pada  waktu  hajat  itu  mereka  tidak membayar bisa ditanyakan…”
Ketika  pertukaran  sosial  Gantangan  atau  yang  lebih  dikenal  sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru,
kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip  “jangan  sampai  rugi”  dan  “mencari  untung”  dalam  Telitian  ini
semakin  menguat.  Prinsip  mencari  untung  ini  mendorong  warga  untuk melakukan  berbagai  cara  agar  hajatan  mereka  ramai  didatangi  oleh  tamu
undangan.  Dengan  semakin  ramai  tamu  yang  datang,  diharapkan  semakin banyak  beras  dan  uang  yang  dapat  dikumpulkan.  Salah  satu  cara  yang
ditempuh  adalah  dengan  menggelar  hiburan  yang  meriah,  sehingga  menarik orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka
fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan.
“…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai tiga  kali,  lima  kali  dan  seterusnya.  Tidak  semua  hajatan
dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan memang  harus  dilaporkan  ke  kapolsek,  tapi  besar  biayanya
bervariasi.  Kalau  hiburannya  hanya  “karedok”  karaokean  bari dodokkaraoke  sambil  duduk  itu  tidak  perlu  dilaporkan.  Tapi
kalau  wayang,  jaipong,  organ  tunggal,  tarling  itu  harus dilaporkan  kepada  tiga  instansi.  Pertama,  diurus  oleh  Satgas,
lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan ijin Kapolsek…”
Dengan  pendapatannya  sebagai  Satgas  yang  tidak  seberapa  dari  desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak
memiliki sawah ataupun empang tambak untuk digarap, kehidupan ekonomi keluarga  Adul  memang  lebih  banyak  bertumpu  pada  kelincahan  pak  Adul
dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun kerja-kerja  serabutan  yang  diberikan  oleh  warga  desa  lainnya.  Oleh  karena
itu,  jaringan  dan  pelayanan  pak  Adul  kepada  warga  desa  lainnya  juga  akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat
menerapkan  toleransi  dan  fleksibilitas  yang  tinggi  dalam  menarik  iuran perijinan  atau  hajatan  dari  warga  desa.  Tidak  lain  agar  warga  tidak  merasa
terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul.
“…Menurut  APPKD,  hiburan  dengan  organ  tunggal  itu biayanya  500  ribu.  Tapi  namanya  kita  manusia,  nggak  semua
membayar  segitu,  kebanyakan  kurang.  Bahkan  ada  yang membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan
sekedar  mengambil  keuntungan.  Dibandingkan  kelurahan  lain, daerah  saya  ini  yang  paling  murah.  Jadi,  kalau  kurang,  kita
nunggu  yang  lain  lalu  kita    gabungkan.  Daerah  lain  organ tunggal  700rb-1  juta  tuh.  Saya  mah  bukan  tidak  butuh  pak,  tapi
sebagai  pelayan  masyarakat  walau  bagaimana  kita  harus melayani  masyarakat…Kadang-kadang  ada  hajatan  bareng  tiga
atau  empat,  jadi  agar  tidak  bolak-balik  saya  mengurusnya sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…”
Diluar  hajatan  yang  mengundang  hiburan  rame-rame  ini,  sebagian warga  juga  banyak  yang  mengadakan  hajatan  tanpa  hiburan  atau  dengan
hiburan  bernuansa  agamis  dan  lebih  sederhana.  Biasanya  mereka  yang memilih  model  hajatan  ini,  menurut  Pak  Adul,  adalah  keluarga  yang
menengah  ke  bawah  atau  keluarga  santri  Haji  yang  lebih  suka  hiburan bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang
memerlukan  pengamanan  yang  penuh,  sebab  hampir  dapat  dipastikan sumber-sumber  keributan  seperti  minuman  keras,  musik  keras  dan
kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan.
“…lalu  untuk  hajatan  yang  tanpa  hiburan  atau  yang  berbau agama
seperti marawisan,
ketimplingan, itu
hanya
mengetahuitidak  perlu  ijin,  kalau  tidak  ada  hiburan  ya  hanya lapor  ke  RT  lalu  kepala  dusun,  sudah.  Selama  ini,  kalau  kita
hitung  satu  tahun,  kebanyakan  ya  yang  ada  hiburannya.  Yang punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga
yang mahal…”
Pemahaman  pak  Adul  tentang  seluk  beluk  hiburan  yang  disukai  oleh warga  desanya  ini  juga  tidak  diragukan  lagi.  Bahkan  ia  hafal  diluar  kepala
tentang  jenis  hiburan,  tarif  atau  biaya  sewa  hingga  asal  hiburan  dan  berapa jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut.
“…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta paling mahal 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling
murah  11  juta,  ada  juga  yang  12  juta.  Kebanyakan  organ tunggal,  klasifikasinya,  yang  model  “asrolani”  itu  sampai  12
juta,  “nunung  alvis”  itu  14  juta,  semua  dari  daerah  Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup
itu  ada  30  orang  lebih,  bagian  peralatan,  sound  system  dan sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang
lain  yang  bisa  nutup  modal  itu  semua.  Kalau  organ  tunggal jumlah  penyanyinya  4-5  orang,  biayanya  3,5  juta.  Karedok  itu
sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta,  penyanyi  2  orang.  Kalau  odong-odong  itu  khusus  arak-
arakan  pengantin  sunat,  5,5  juta,  biasanya  hanya  berisi  8 singagotongan.  Kalau  ada  10,  15,  25  bisa  mencapai  9  juta.
Terkadang  begini,  saya  pesen  untuk  keluarga  sendiri  satu  set, maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribugotongan.
Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa.
Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan
sebagainya.  Kalau  qosidah  itu  ada  rombongan  khusus  desa jayamukti  al  badar,  itu  bisa  dipakai  apa  saja,  biasanya  yang
memakai  orang  yang  haji  atau  islam  yang  tekun.  Nanti membayarnya  dengan  semen  10  sak500  ribuan,  nanti  itu  untuk
membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan
cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena
disini tidak ada 40an orang. Dangdut atau orkes melayu disini nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.
Selain  gambaran  umum  tentang  peran  dan  posisi  pak  Adul  dalam dinamika  pesta  hajatan  di  desa  Jayamukti,  hal  lain  yang  menarik  untuk  kita
dalami  adalah  sejauh  mana  keterlibatan  pak  Adul  dan  keluarganya  dalam pertukaran  sosial  gantangan  itu  sendiri.  Sebagai  keluarga  yang  memiliki
status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan
merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk selalu  mendapatkan  hasil  Gantangan  yang  besar  karena  jumlah  tamu
undangan  yang  banyak,  namun  disisi  lain  ia  juga  terbatas  dalam  segi ekonomi.
“Saya bulan 3 tahun kemarin hajat rasulan, habis modal 17,8 juta,  mendapat  uang  34  juta,  masih  ada  lebihannya.  Jika  rata-
rata  20.000,  itu  hampir  2000  orang  yang  datang.  Tokoh masyarakat  seperti  saya  ya,  pembantu  keamanan,  ada
kelebihannya  karena  dikenal  satu  desa.  Mereka  seolah  melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20
ribu  aja  sudah  malu  pak,  makannya  berapa?  Ke  saya  aja  ada yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30. Tapi
ya  itu,  kalau  mereka  hajat  kita  harus  mengembalikannya hahaha…nah  itu  beratnya…Hari  ini  saja  saya  telitian  pada  pak
haji  di  Blanakan  sana  habis  100  ribu,  berasnya  1  gantang, itungannya  60  ribu,  berarti  udah  160  ribu  sehari,  belum
keponakan yang hari itu juga sedang hajatan-pen…”
Dari  pengalaman  hajatan  keluarga  Pak  Adul  diatas,  menunjukkan bagaimana  ia dan keluarganya  meskipun  bukan termasuk golongan ekonomi
atas,  tetapi  memiliki  jejaring  dan  status  sosial  yang  berpengaruh  ditengah masyarakat.  Hal  tersebut  ditunjukkan  dengan  jumlah  tamu  undangan  dan
simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan simbol  bahwa  pak  Adul  dipercaya  mampu  mengembalikan  simpanan
Gantangan  itu.  Banyaknya  jumlah  tamu  undangan  yang  datang  menandakan luasnya  pergaulan  pak  Adul  khususnya.  Jumlah  simpanan  Gantangan  yang
berbanding  lurus  dengan  jumlah  tamu  undangan  mengindikasikan  bahwa setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada
keluarga  pak  Adul.  Sebab,  ada  juga  hajatan  yang  dihadiri  banyak  tamu, namun  hasilnya  sedikit.  Artinya,  tidak  semua  tamu  berniat  menyimpan  atau
menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil.
“…Kemaren  setelah  hajat  saya  bereskan  hutang-hutang semuanya.  Sekarang  ini  semua  orang  di  dapur  dibayar,  tukang
cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang masak  250  ribuorang,  cuci  piring  100  ribuorang,  tukang
pendaringan  tukang  nunggu  beras,  kue,  dsbnya  dibayar  200 ribu,  ditotal-total  bisa  lebih  dari  1  juta  itu.  Kalau  kebayan
panitia-pen tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan dekorasinya aja sampai 7 juta itu…”
Namun,  meskipun  hasil  hajatan  yang  merupakan  hutang  Gantangan tersebut  cukup  besar,  namun  pengeluaran  yang  harus  dibayar  oleh  bapak
hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela seperti  jaman dahulu. Setiap  bantuan dari tetangga,  mau
tidak  mau  harus  “dinilai” dan diberikan kompensasi  berupa uang atau upah. Pola  semacam  ini  semakin  umum  di  tengah  masyarakat  desa  Jayamukti.
Bahkan,  upah-upah  tersebut  cenderung  menuju  pada  standarisasi,  bukan sekedar  sukarela  atau  semampu  dari  bapak  hajatnya.  Intinya,  semua  harus
dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk  dalam  perhitungan  utama  adalah  soal  apakah  akan  menggunakan
hiburan atau tidak? Jika  ya,  maka hiburan apa  yang akan disewa?  Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya.
“Jadi  cerita  hajat  mah,  tergantung  hiburannya.  Kalau hiburannya  mahal  ya  modal  lebih  gedhe.  Disini  juga  ada  yang
pake  jaipong,  3,5  juta  yang  termurah  dan  termahalnya  5  juta. Saya  tiga  kali  hajat  pakenya  jaipong  wae,  seneng  jaipong  sih
hehe…sekarang  jaipong  pake  kaos  seragam,  dan  penarinya paling banyak 15 orang…”
Pengalaman  pak  Adul  dan  keluarga  dalam  menyelenggarakan  hajat Gantangan  menunjukkan  bahwa  hasil  Gantangan  dalam  setiap  hajatan  tidak
sama  fluktuatif,  yaitu  tergantung  pada  jarak  antara  satu  hajatan  dengan hajatan  lainnya  dan  jumlah  simpanan  Gantangan  sebelum  hajat.  Hal  ini
ditunjukkan  dengan  3  kali  hajatan  keluarga  Pak  Adul  mengusung  “judul” yang sama, yaitu khitanan baik anak maupun cucu, menyewa hiburan yang
sama,  yaitu  jaipongan,  namun  hasil Gantangannya selisih antara  modal dan hasil  berbeda-beda. Tetapi,  meskipun  berbeda tetapi tidak pernah  sekalipun
rugi. “… Hajat pertama khitanan saya dapet 9,4 juta dengan modal
5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua khitanan cucu habis 17,5 juta dapetnya 28 juta tahun 1985, ini padi juga
masih 80 ribu, karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama makin  menurun….Saya  enggak  pernah  mengalami  rugi,  bahkan,
saya  sendiri  setiap  hajat  itu  yang  olok  beras  pak,  pernah kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan.
Habisnya,  dari  hari  pertama  bikin  tarub  sampai  besoknya  5,4 kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk
makan semua…”
Kunci  kesuksesan  hajat  menurut  pak  Adul  adalah  rajin  tidaknya seseorang  menghadiri  undangan  hajat  orang  lain.  Pak  Adul  meyakini,
semakin  sering  kita  menyimpan  atau  menghadiri  undangan  hajat  orang  lain, maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak
rugi.  Solidaritas  dalam  hajatan  ini  memang  diikat  dan  diperkuat  dalam kontrak tertulis  yang  tertera  dalam  buku  catatan  Gantangan.  Maka,  jika  kita
semakin  sering  mencatatkan  nama  ke  dalam  buku  Gantangan  orang  lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita.
“Seperti  saya  ketika  hajat  ke  2,  saya  naruh  ke  1400  orang, bayar-naruh,  hasilnya  khan  jadi  kena.  Jadi,  makin  banyak  kita
naruh  ke  orang,  hasilnya  juga  akan  lebih  banyak.  Ya  itu catatannya  semua  orangnya  bener.  Kalau  orang  yang  jarang
kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada yang  datang.  Ada  tetangga  saya  hajatan,  cuman  dapat  beras  3
karung,  uang  Cuma  8  juta…padahal  sewa  organ  berapa?  Itu katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia
berlebihan, padahal enggak gaul”.
Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual semacam  ini  dikembangkan  dengan  lebih  intensif  dengan  membentuk
kelompok-kelompok  Gantangan  yang  sifatnya  terbatas  hanya  bagi  yang mampu  dan  mengandalkan  rasa  saling  percaya  pada  komitmen  serta
kemampuan  para  anggotanya.  Bahkan,  beberapa  orang  dengan  pendapatan tidak  menentu  seperti  pak  Adul  pun  memberanikan  diri  untuk  terikat  di
dalamnya.
“Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya 10,  orangnya  memang  tidak  datang,  tapi  berkatnya  tetep
dikasih  dan  diantar  oleh  ketua  rombongannya.  Jadi  tetep  sama saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana
di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini namanya “golongan” itu”
Bagaimana Pak Adul menyiasatinya?
“Alhamdulillah,  pada  saat  musim  hajatan,  saya  dapet laporanperijinan  itu  jadi  bisa  saya  gunakan  untuk  2-3  orang
yang  hajat.  Saya  mah  blank  tidak  punya  apa-apa,  tapi  ya  gitu kadang dapat dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek
masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak
bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya pak…”
Maraknya  pertukaran  sosial  Gantangan  dalam  pesta  hajatan  di  desa Jayamukti  selain  melahirkan  kelompok-kelompok  mirip  arisan  yang  disebut
Golongan  juga  mengundang  masuknya  para  Bandar,  yaitu  mereka  yang menawarkan  pinjaman  modal  hajatan  kepada  warga  yang  ingin
menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut  “panjer”.  Uang  panjer  inilah  yang  kemudian  mengikat  kesepakatan
antara  Bandar  dan  Bapak  Hajat.  Misalnya  dalam  soal  jatuh  tempo pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu
kesepakatan  umum  biasanya  adalah  Bandar  memberikan  sejumlah  uang panjer,  lalu  Bandar  meminta  kepada  Bapak  hajat  agar  beras  hasil  hajatan
nanti  tida  dijual  kepada  pihak  lain,  tetapi  hanya  kepada  si  Bandar  tersebut. kemudian  disepakati  berapa  harga  beras  hajat  itu  per  kilogram  atau  per
karungnya.  Menurut  penuturan  dan  pengalaman  pak  Adul,  biasanya  harga yang  ditawarkan  Bandar  lebih  murah  Rp.  500kg  dari  harga  pasar  pada
umumnya.  Alasan  lebih  murah  adalah  salah  satunya  karena  kualitas  beras yang tidak rata campuran.
“…Jadi  terkadang  gini,  sebelum  hajatan  saya  minta  panjer karena  butuh  uang  khan,  4-5  juta  lah.  Yang  memberi  panjer  itu
ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah 3 juta atau menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya
di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000kg. ini kita sudah ada perjanjian…”
Bandar  ini  merupakan  salah  satu  aktor  yang  memiliki  peran  sangat penting  saat  ini.  Kehadiran  Bandar  ini  dianggap  sebagai  “penolong”  oleh
sebagian  masyarakat,  khususnya  mereka  yang  ingin  menyelenggarakan hajatan  tetapi  tidak  memiliki  cukup  modal.  Bandar  juga  dianggap  solusi
paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya.
Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung
dihitung  dapet  nariknya  lalu  untuk  bayar  hiburan,  nah  sisanya baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan
orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta, walaupun  mereka  harus  memberikan  untuk  nanti  orang  hajatan
yang baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai harus jual sawah atau empang.
Bandar  ini  tidak  hanya  ada  satu,  bahkan  ada  beberapa  lapis  atau kepanjangan tangan dari  Bandar sebenarnya. Seorang Bandar akan  memiliki
orang-orang  kepercayaan  di  beberapa  desa  yang  dianggap  sebagai  “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta hajatan dari tradisi menjadi komoditas
ekonomi  ini  benar-benar  dimanfaatkan  oleh  para  Bandar.  Orang-orang kepercayaan  inilah  yang  kemudian  bertugas  mendatangi  atau  menawarkan
“panjer”  kepada  calon  bapak  hajat.  Dengan  pendekatan  sebagai  warga  satu desa,  biasanya  lebih  mudah  atau  lebih  dipercaya,  daripada  bandar  langsung
yang  datang.  Selain  bandar-bandar  besar  ini,  beberapa  orang  kaya  di  desa Jayamukti  juga  sering  menjadi  Bandar.  Bandar  lokal  ini  biasanya  lebih
selektif  dalam  memberikan  bantuan,  sebab  dia  lebih  tau  seluk  beluk  atau riwayat  hidup  tetangganya,  sehingga  dapat  mengukur  dengan  lebih  teliti
kemampuan  calon  bapak  hajat  ini  dalam  mengundang  tamu  atau mendapatkan keuntungan dari Gantangan.
“…Bandar  ini  bisa  siapa  saja.  Anak  saya  juga  kalau  ada  yang hajat  dia  suka  jadi  bandar.  Kadang  rebutan  dengan  yang  lain,
jadi  nggak  harus  satu  bandarnya.  Orang  pasar  biasanya  punya “tangan  kanan”.  Seperti  anak  saya,  kalau  ada  yang  hajat  dia
datangi  “berasnya  untuk  saya  lah..”  “berapa?”  “saya  sekian, panjer  sekian..”  dia  mah  bukan  untuk  diri  sendiri,  kadang  dia
oper  juga  kepada  temannya  yang  lain…ya,  mencari  keuntungan sedikit lah…”
Kasus  keluarga  pak  Adul  ini  merupakan  sebuah  potret  keterhubungan antara  status  sosial,  jejaring  sosial,  kewajiban  sosial  dan  pilihan-pilihan
rasional  beserta  strategi  ekonomi  sebuah  rumah  tangga  menengah  ke  bawah dalam  sebuah  jaring  pertukaran  sosial  Gantangan.  Bagi  keluarga  Adul,
pertukaran  sosial  Gantangan  merupakan  kesempatan  untuk  mendapatkan sekedar  kelebihan  untuk  menutup  kebutuhan  ekonomi  keluarga  sekaligus
sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise sebagai tokoh masyarakat yang meskipun secara ekonomi terbatas namun secara pengaruh masih cukup
mendapat tempat di tengah masyarakatnya.
5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus Golongan