Kelompok Gantangan Umum Gintingan

lagi oleh masyarakat. Beberapa insiden semacam itu menjadi salah satu pertimbangan utama kenapa pak Sholeh dan istri memutuskan untuk tidak mengikuti Telitian. Selain masalah kepercayaan trust, rendahnya tingkat ekonomi warga juga menyebabkan pak Sholeh ragu terhadap kemampuan dan keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan bahwa jumlah keluarga yang miskin di wilayahnya semakin meningkat. Banyak orang yang dulunya petani kini hanya menjadi buruh tani. Pengangguran juga semakin banyak, khususnya kaum perempuan dan anak muda. Jika kondisi ekonomi masyarakat tidak berubah atau beranjak naik, Ia pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi rumah tangga yang semakin berat masih harus ditambah dengan beban sosial hutan dan kewajiban sosial yang juga semakin berat. “…Pada waktu panen seharusnya suami mendapat dukungan penuh ngeprik atau memungut sisa-sisa panen tapi sekarang nggak ada. Padahal, ini terkait dengan telitian, pendapatan berkurang tapi hutang jalan terus. Faktor pendukung dari kaum ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak berkurang, tapi telitian masih jalan. Tapi kalau begini terus, mungkin ke depan hanya tinggal dibawah 50 saja yang ikut telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…”

5.5.2. Kelompok Gantangan Umum Gintingan

Menurut penuturan Pak Rusdi 50 tahun, salah seorang Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari telitian ini, yaitu ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah dari bilik bambu diatasnya. Keluarga pak Rusdi adalah contoh profil rumah tangga ekonomi lemah bawah di Desa Jayamukti, Subang Utara. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil kepala dusun. Sehingga dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan administrasi untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga hingga terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya. “…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya dapet hasil telitian Rp. 9.000.000. Keuntungannya ini sambil menginjakkan kaki ke lantai tanah rumahnya, Saya belikan tanah dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini hasil telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah bawah, dengan modal hajat Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 70.000.000,- …” Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing 20 kursi plastik yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun. “…Dalam satu musim hajat 6 bulan biasanya ada 6-7 panggung hajatan, kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…” Menurut Pak Rusdi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah terbiasa dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh pak RT untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam kemasan. Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan sejak terbentuk panitia pembangunan masjid. Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi “swadaya” lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau yang disebut dengan Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara meminta sumbangan dari warga yang kebetulan melintas di jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan biasanya digunakan untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan. Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut. Peralatan untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring ikan, tong bekasbatang pisang untuk pembataspembagi jalan, tenda terpal, pengeras suara untuk orasi, bendera merah untuk tanda pelan-pelan. Terkadang panitia dan petugas kencrengan juga memiliki seragam, memakai topi dan masker untuk menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut pak Rusdi, bisanya mereka bisa mendapat Rp. 200.000hari untuk jalan desa. Untuk jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih dari Rp. 400.000hari. Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun Tegaltangkil itu, keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong oleh norma sosial dan kebutuhan ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak Wakil menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman warga desa di Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, pak Rusdi berniat untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai 40 tahun yang sering bergaul dan mengikuti kumpulan dan arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai kumpulan tersebut informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika mereka membutuhkan uang sewaktu-waktu. Senada dengan keluarga Pak Rusdi, keluarga Pak Adul juga profil rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam pertukaran sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak Adul 52 tahun dan bu Asmi 50 tahun termasuk dalam kelompok menengah ke bawah, namun secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat oleh posisinya sebagai Satgas kepala hansip di desa Jayamukti. Posisi yang dijabatnya sejak enam tahun yang lalu 2006 ini memungkinkan pak Adul untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya di desa Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis karena fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga yang akan melakukan hajatan rame-rame. Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari pertukaran sosial Gantangan di desa Jayamukti. Bapak dua anak yang beristrikan seorang buruh tani ini adalah salah satu warga yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan, khususnya setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada waktu itu pak Adul belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan keluarga dekat dan kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang. “…yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatankondangan ini sepertinya telitihan. Jika kita ada keperluan, boleh kita menanyakan. Misalnya, mereka kondangan 1 gantang 10 liter, uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu mereka tidak membayar bisa ditanyakan…” Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru, kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip “jangan sampai rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini semakin menguat. Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk melakukan berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan semakin banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang meriah, sehingga menarik orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan. “…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan seterusnya. Tidak semua hajatan dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya “karedok” karaokean bari dodokkaraoke sambil duduk itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang, jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas, lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan ijin Kapolsek…” Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa dari desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak memiliki sawah ataupun empang tambak untuk digarap, kehidupan ekonomi keluarga Adul memang lebih banyak bertumpu pada kelincahan pak Adul dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya. Oleh karena itu, jaringan dan pelayanan pak Adul kepada warga desa lainnya juga akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat menerapkan toleransi dan fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran perijinan atau hajatan dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul. “…Menurut APPKD, hiburan dengan organ tunggal itu biayanya 500 ribu. Tapi namanya kita manusia, nggak semua membayar segitu, kebanyakan kurang. Bahkan ada yang membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan kelurahan lain, daerah saya ini yang paling murah. Jadi, kalau kurang, kita nunggu yang lain lalu kita gabungkan. Daerah lain organ tunggal 700rb-1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita harus melayani masyarakat…Kadang-kadang ada hajatan bareng tiga atau empat, jadi agar tidak bolak-balik saya mengurusnya sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…” Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini, sebagian warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa hiburan atau dengan hiburan bernuansa agamis dan lebih sederhana. Biasanya mereka yang memilih model hajatan ini, menurut Pak Adul, adalah keluarga yang menengah ke bawah atau keluarga santri Haji yang lebih suka hiburan bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat dipastikan sumber-sumber keributan seperti minuman keras, musik keras dan kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan. “…lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan atau yang berbau agama seperti marawisan, ketimplingan, itu hanya mengetahuitidak perlu ijin, kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya. Yang punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga yang mahal…” Pemahaman pak Adul tentang seluk beluk hiburan yang disukai oleh warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan ia hafal diluar kepala tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa hingga asal hiburan dan berapa jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut. “…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta paling mahal 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling murah 11 juta, ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ tunggal, klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12 juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup itu ada 30 orang lebih, bagian peralatan, sound system dan sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau organ tunggal jumlah penyanyinya 4-5 orang, biayanya 3,5 juta. Karedok itu sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta, penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus arak- arakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya hanya berisi 8 singagotongan. Kalau ada 10, 15, 25 bisa mencapai 9 juta. Terkadang begini, saya pesen untuk keluarga sendiri satu set, maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribugotongan. Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa. Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan sebagainya. Kalau qosidah itu ada rombongan khusus desa jayamukti al badar, itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang memakai orang yang haji atau islam yang tekun. Nanti membayarnya dengan semen 10 sak500 ribuan, nanti itu untuk membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena disini tidak ada 40an orang. Dangdut atau orkes melayu disini nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat. Selain gambaran umum tentang peran dan posisi pak Adul dalam dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang menarik untuk kita dalami adalah sejauh mana keterlibatan pak Adul dan keluarganya dalam pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk selalu mendapatkan hasil Gantangan yang besar karena jumlah tamu undangan yang banyak, namun disisi lain ia juga terbatas dalam segi ekonomi. “Saya bulan 3 tahun kemarin hajat rasulan, habis modal 17,8 juta, mendapat uang 34 juta, masih ada lebihannya. Jika rata- rata 20.000, itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan, ada kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka seolah melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20 ribu aja sudah malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30. Tapi ya itu, kalau mereka hajat kita harus mengembalikannya hahaha…nah itu beratnya…Hari ini saja saya telitian pada pak haji di Blanakan sana habis 100 ribu, berasnya 1 gantang, itungannya 60 ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum keponakan yang hari itu juga sedang hajatan-pen…” Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Adul diatas, menunjukkan bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan termasuk golongan ekonomi atas, tetapi memiliki jejaring dan status sosial yang berpengaruh ditengah masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan simbol bahwa pak Adul dipercaya mampu mengembalikan simpanan Gantangan itu. Banyaknya jumlah tamu undangan yang datang menandakan luasnya pergaulan pak Adul khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang berbanding lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada keluarga pak Adul. Sebab, ada juga hajatan yang dihadiri banyak tamu, namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua tamu berniat menyimpan atau menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil. “…Kemaren setelah hajat saya bereskan hutang-hutang semuanya. Sekarang ini semua orang di dapur dibayar, tukang cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang masak 250 ribuorang, cuci piring 100 ribuorang, tukang pendaringan tukang nunggu beras, kue, dsbnya dibayar 200 ribu, ditotal-total bisa lebih dari 1 juta itu. Kalau kebayan panitia-pen tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan dekorasinya aja sampai 7 juta itu…” Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang Gantangan tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang harus dibayar oleh bapak hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau tidak mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau upah. Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat desa Jayamukti. Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju pada standarisasi, bukan sekedar sukarela atau semampu dari bapak hajatnya. Intinya, semua harus dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa? Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya. “Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya. Kalau hiburannya mahal ya modal lebih gedhe. Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan penarinya paling banyak 15 orang…” Pengalaman pak Adul dan keluarga dalam menyelenggarakan hajat Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam setiap hajatan tidak sama fluktuatif, yaitu tergantung pada jarak antara satu hajatan dengan hajatan lainnya dan jumlah simpanan Gantangan sebelum hajat. Hal ini ditunjukkan dengan 3 kali hajatan keluarga Pak Adul mengusung “judul” yang sama, yaitu khitanan baik anak maupun cucu, menyewa hiburan yang sama, yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya selisih antara modal dan hasil berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak pernah sekalipun rugi. “… Hajat pertama khitanan saya dapet 9,4 juta dengan modal 5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua khitanan cucu habis 17,5 juta dapetnya 28 juta tahun 1985, ini padi juga masih 80 ribu, karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama makin menurun….Saya enggak pernah mengalami rugi, bahkan, saya sendiri setiap hajat itu yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya, dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4 kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk makan semua…” Kunci kesuksesan hajat menurut pak Adul adalah rajin tidaknya seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak Adul meyakini, semakin sering kita menyimpan atau menghadiri undangan hajat orang lain, maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak rugi. Solidaritas dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam kontrak tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika kita semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan orang lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita. “Seperti saya ketika hajat ke 2, saya naruh ke 1400 orang, bayar-naruh, hasilnya khan jadi kena. Jadi, makin banyak kita naruh ke orang, hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu catatannya semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada yang datang. Ada tetangga saya hajatan, cuman dapat beras 3 karung, uang Cuma 8 juta…padahal sewa organ berapa? Itu katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia berlebihan, padahal enggak gaul”. Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif dengan membentuk kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya terbatas hanya bagi yang mampu dan mengandalkan rasa saling percaya pada komitmen serta kemampuan para anggotanya. Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan tidak menentu seperti pak Adul pun memberanikan diri untuk terikat di dalamnya. “Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya 10, orangnya memang tidak datang, tapi berkatnya tetep dikasih dan diantar oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini namanya “golongan” itu” Bagaimana Pak Adul menyiasatinya? “Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya dapet laporanperijinan itu jadi bisa saya gunakan untuk 2-3 orang yang hajat. Saya mah blank tidak punya apa-apa, tapi ya gitu kadang dapat dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya pak…” Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan di desa Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip arisan yang disebut Golongan juga mengundang masuknya para Bandar, yaitu mereka yang menawarkan pinjaman modal hajatan kepada warga yang ingin menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut “panjer”. Uang panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan antara Bandar dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan sejumlah uang panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat agar beras hasil hajatan nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi hanya kepada si Bandar tersebut. kemudian disepakati berapa harga beras hajat itu per kilogram atau per karungnya. Menurut penuturan dan pengalaman pak Adul, biasanya harga yang ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500kg dari harga pasar pada umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena kualitas beras yang tidak rata campuran. “…Jadi terkadang gini, sebelum hajatan saya minta panjer karena butuh uang khan, 4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah 3 juta atau menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000kg. ini kita sudah ada perjanjian…” Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran sangat penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai “penolong” oleh sebagian masyarakat, khususnya mereka yang ingin menyelenggarakan hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal. Bandar juga dianggap solusi paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya. Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung dihitung dapet nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka harus memberikan untuk nanti orang hajatan yang baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai harus jual sawah atau empang. Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis atau kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar akan memiliki orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang dianggap sebagai “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta hajatan dari tradisi menjadi komoditas ekonomi ini benar-benar dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang kepercayaan inilah yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan “panjer” kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar langsung yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa orang kaya di desa Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar lokal ini biasanya lebih selektif dalam memberikan bantuan, sebab dia lebih tau seluk beluk atau riwayat hidup tetangganya, sehingga dapat mengukur dengan lebih teliti kemampuan calon bapak hajat ini dalam mengundang tamu atau mendapatkan keuntungan dari Gantangan. “…Bandar ini bisa siapa saja. Anak saya juga kalau ada yang hajat dia suka jadi bandar. Kadang rebutan dengan yang lain, jadi nggak harus satu bandarnya. Orang pasar biasanya punya “tangan kanan”. Seperti anak saya, kalau ada yang hajat dia datangi “berasnya untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian, panjer sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang dia oper juga kepada temannya yang lain…ya, mencari keuntungan sedikit lah…” Kasus keluarga pak Adul ini merupakan sebuah potret keterhubungan antara status sosial, jejaring sosial, kewajiban sosial dan pilihan-pilihan rasional beserta strategi ekonomi sebuah rumah tangga menengah ke bawah dalam sebuah jaring pertukaran sosial Gantangan. Bagi keluarga Adul, pertukaran sosial Gantangan merupakan kesempatan untuk mendapatkan sekedar kelebihan untuk menutup kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise sebagai tokoh masyarakat yang meskipun secara ekonomi terbatas namun secara pengaruh masih cukup mendapat tempat di tengah masyarakatnya.

5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus Golongan