20 Menurut Wu and Seib 1990 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al.
2002
2
, pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan yang terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula
pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati
tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C Schoch and Maywad
1968 dikutip oleh Collado et al. 2001. Pati yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C adalah beberapa pati serealia seperti mungbean kacang hijau navy bean
dan pinto bean Kim et al. 1996 dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang Wattanachant et al. 2003. Pati dengan kandungan amilosa moderat
umumnya mempunyai viskositas puncak pasta yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi
tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B. Apabila dibandingkan dengan sumber pati lainnya, pati sagu khususnya pati
sagu asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pati serealia seperti pati beras, pati gandum, dan pati jagung
yang masing-masing mencapai 17, 25 dan 26 Wattanachant et al. 2002
2
. Namun demikian, pati serealia tersebut digolongkan sebagai pati dengan profil
gelatinisasi tipe B karena mempunyai kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami
penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan.
b. Ukuran dan Bentuk Granula
Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola tertentu Jane, 2006. Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar
berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai
komponen utama penyusun bagian kristalin pati Belitz and Grosch, 1999. Pengaturan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati bersifat
khas untuk setiap sumber pati sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran granula.
21 Granula pati sagu mempunyai bentuk elips terpancung dengan permukaan
yang halus Yiu et al. 2008. Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai
rata-rata 24.8 μm Yiu et al. 2008 atau 25 μm Wattanachant et al. 2002
2
. Sementara itu, granula pati serealia seperti beras, gandum dan jagung mempunyai
ukuran yang lebih kecil yaitu masing-masing mencapai rata-rata 5 μm, 15 μm
dan 15 μm Wattanachant et al. 2002
2
. Granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler
yang lebih mudah putus selama pemanasan sehingga granula pati tersebut lebih mudah mengembang bila dibandingkan dengan granula pati yang lebih kecil
Wattanachant et al. 2002
2
. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan pati sagu mempunyai profil gelatinisasi tipe A walaupun kandungan amilosanya relatif
tinggi.
c. Swelling power dan Kelarutan
Selain dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan, kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dengan cara
mengukur swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya Collado et al. 2001.
Sementara itu swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta Schoch 1964 seperti yang
dikutip oleh Wattanachant et al. 2002
2
. Pati dengan profil gelatinisasi tipe A cenderung mempunyai swelling volume
atau swelling power yang besar. Pati sagu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A mempunyai swelling power yang lebih besar bila dibandingkan dengan pati
beras, pati gandum, pati jagung dan tapioka yang mempunyai profil gelatinisasi tipe B Wattanachant et al. 2002
2
. Sementara itu, pati kacang-kacangan navy bean dan pinto bean yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C mempunyai
swelling power yang sangat terbatas sangat rendah bila dibandingkan dengan pati kentang yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A Kim et al. 1996.
Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Seperti halnya studi yang
22 dilakukan oleh Kim et al. 1996, melaporkan bahwa pati kentang yang
mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan navy bean dan pinto bean mempunyai kelarutan yang lebih tinggi pula. Pati sagu
mempunyai swelling power yang tinggi sehingga kemungkinan akan mempunyai kelarutan yang tinggi pula. Beberapa studi yang dikutip oleh Mohamed et al.
2008, menunjukkan bahwa peningkatan swelling power pati sagu diiringi oleh peningkatan kelarutan pula.
Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan
menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and
Karkalas 1996 seperti yang dikutip oleh Muhamed et al. 2008, telah mengekspresikan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan
bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya
pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.
Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang
tinggi pada umumnya mempunyai kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati sagu yang mengandung amilosa 27 – 35. Namun demikian, kandungan amilosa
tidak selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan komplek antara amilosa dengan lipid seperti pada pati kacang-kacangan dapat mengurangi
kelarutan amilosa Kim et al. 1996.
Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun
Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya. Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat
fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan
dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.
23 Menurut Lii and Chang 1981, pati yang ideal sebagai bahan baku
bihunsoun adalah pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, swelling pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta mempunyai profil
gelatinisasi tipe C. Untuk dapat mengetahui potensi sagu sebagai bahan baku bihun perlu dilakukan evaluasi terhadap sifat-sifat yang diperlukan untuk produksi
bihun. Pati dengan amilosa yang yang tinggi cenderung mudah mengalami
retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung wattanachant et al. 2002
2
. Namun tidak demikian dengan pati sagu, walaupun mengandung amilosa yang cukup tinggi, pasta pati
sagu cenderung kurang mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih transparan Purwani et al. 2006; wattanachant et al.
2002
2
. Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk
pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan bihun
atau soun starch noodle. Menurut Kim et al. 1996, soun starch noodle yang diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi mempunyai
kekerasan yang lebih tinggi namun mempunyai transparansi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan
amilosa yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Kim et al. 1996, soun yang diproduksi dari kacang-kacangan dengan kandungan amilosa 37.3 – 37.8
mempunyai tekstur yang lebih keras dan lebih opaque bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari kentang dengan kandungan amilosa 20.0 – 26.5
melalui pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tekstur analizer. Pada tingkat tertentu, kekerasan tekstur bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh
soun yang tegar sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.
Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan
bihun atau soun kering pada saat dimasak direhidrasi kembali. kemampuan produk bihun atau soun untuk mengalami pengembangan. Namun demikian, Kim
24 et al. 1996, menunjukkan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan
amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dan amilosa diduga dapat menurunkan susut
masak soun yang dihasilkan Kim et al. 1996. Selanjutnya menurut Kim et al. 1996, pati dengan kandungan amilosa yang tinggi namun mempunyai ukuran
granula yang kecil menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan
kandungan amilosa yang lebih rendah namun mempunyai ukuran granula yang besar.
Studi yang dilakukan oleh Singh et al. 2002 menunjukkan bahwa mutu soun masak dipengaruhi oleh morfologi granula pati. Soun dari pati kentang
mempunyai bobot masak dan susut masak cooking loss yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan soun dari pati jagung. Hal ini berkaitan dengan
karakteristik pati kentang yang mempunyai ukuran granula lebih besar, swelling power dan kelarutan yang lebih tinggi serta suhu gelatinisasi yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan pati jagung. Ukuran granula pati kentang yang lebih besar memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga
lebih mudah membengkak. Kondisi ini menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi suhu gelatinisasi relatif rendah dan amilosa mudah
keluar dari granula. Oleh karena itu, selain mempunyai bobot masak dan susut masak yang lebih tinggi, soun pati kentang juga lebih kohesif dan cenderung lebih
lengket bila dibandingkan dengan soun dari pati jagung Singh et al. 2002. Keterkaitan antara morfologi terutama dari aspek ukuran granula pati
dengan karakteristik adonan soun dan kualitas masak soun juga diperlihatkan melalui studi yang dilakukan oleh Chen at al. 2003. Adonan yang dibuat dari
pati kentang ataupun ubi jalar dengan ukuran granula yang kecil 20 µm mempunyai sifat adonan yang lebih baik dibandingkan dengan adonan yang
dibuat dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar. Untaian soun yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik dan berukuran panjang tidak
mudah patah. Pengujian terhadap kualitas masak menunjukkan bahwa cooking loss susut
masak dan swelling indeks indeks pembengkakan soun yang dihasilkan dari pati
25 dengan ukuran granula yang kecil 20 µm jauh lebih baik lebih kecil bila
dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar Chen et al. 2003.
Hubungan antara profil gelatinisasi pati dengan karakteristik soun telah dilaporkan oleh Kim et al. 1996, soun yang dihasilkan dari pati kacang-
kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C mempunyai susut masak, dan kelengketan yang lebih rendah namun mempunyai kekerasan yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung stabil terhadap
pemanasan sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dari pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki kelengketan yang rendah.
Pati sagu mempunyai kandungan amilosa yang tinggi Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2002
2
, ukuran granula yang besar Wattanachant et al. 2002
1
; Yiu et al. 2008, swelling power dan kelarutan tinggi Wattanachant et al. 2002
2
dan profil gelatinisasi tipe A Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad 2000. Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku
bihun, pati sagu hanya memenuhi satu syarat yaitu kandungan amilosa yang tinggi. Namun demikian, kandungan amilosa yang tinggi pada sagu tidak
didukung oleh ukuran granula sagu yang kecil sehingga pada saat dipanaskan granula mudah mengembang yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi,
kemudian disusul dengan penurunan viskositas pasta yang tajam sehingga pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Swelling power
dan kelarutan pati sagu yang relatif tinggi juga kurang mendukung penggunaan pati sagu sebagai bahan baku bihun.
Purwani et al. 2006, melaporkan bahwa terdapat beberapa kendala dalam penggunaan pati sagu alami sebagai bahan baku bihun. Kendala tersebut ditemui
untuk semua jenis sagu alami yang digunakan yaitu sagu asal Maluku Tuni, Molat dan Ihur serta sagu asal Pancasan. Adonan bihun yang dibuat dari pati
sagu alami cenderung lengket sehingga untaian bihun yang diperoleh dari adonan tersebut harus dipisahkan satu per satu agar tidak saling menyatu selama
pengukusan dan pengeringan. Ketika dimasak kembali direhidrasi, bihun dari pati sagu alami mempunyai berbagai kelemahan baik secara fisik maupun
26 organoleptik. Bihun dari pati alami mempunyai tekstur lembek, lengket dan
kurang elastis, mempunyai susut masak dan berat rehidrasi yang tinggi. Oleh karena itu, pati sagu yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun perlu
dimodifikasi terlebih dahulu agar karakteristiknya lebih sesuai dengan karakteristik pati yang sesuai untuk produk bihun.
Modifikasi Pati dengan Metode HMT
Modifikasi pati dengan metode HMT Heat Moisture Treatment merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu yang melibatkan
perlakuan panas dan pengaturan kadar air Collado et al. 2001. Selanjutnya menurut Collado et al. 2001, pemanasan yang dilakukan pada metode HMT
dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati 80 – 120
o
C namun pada kadar air yang terbatas 35.
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan
amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan
pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan
kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi
HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT. yang dilihat
melalui studi diffraksi sinar X Hoover and Manuel 1996; Gunaratne and Hoover 2002; Lawal 2005; Lawal and Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006 dan studi
bentuk granula dengan mikroskop polarisasi cahaya atau SEM Scanning Electrone Microscope Pukkahuta et al. 2008; Vermeylen et al. 2006. Gunaratne
dan Hoover 2002, melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser pola difraksi pati kentang dan pati uwi dari pola A menjadi pola A+B sebagai akibat
adanya penurunan bagian kristalin yang masing-masing mencapai 9 dan 8. Penurunan persentase daerah kristalin tersebut tidak menyebabkan pati kentang
27 maupun pati uwi tergelatinisasi. Pati yang mengalami gelatinisasi akan kehilangan
keseluruhan bagian kristalnya Zobel et al. 1988. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama
modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali rearrangement molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati Singh et
al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007. Adanya pengaturan kembali ini berimblikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun
sifat kimia pati. Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil gelatinisasi Collado and Corke 1999; Lawal and
Adebowale 2005; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006: Olayinka et al. 2008, perubahan karakteristik termal melalui pengujian dengan DSC Differential
Scanning Calorymetry Collado and Corke 1999; Vermeylen et al. 2006: Pukkahuta et al. 2008, perubahan swelling powerswelling volume Collado and
Corke 1999; Collado et al. 2001 dan perubahan kelarutan Collado and Corke 1999. Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT
antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul pendek Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006.
Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor internal karakteristik awal pati dan faktor eksternal
kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air dan waktu lamanya pemanasan berlangsung. Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati
dengan karakteristik fisik maupun kimia yang berbeda-beda.
Pengaruh Kadar Air
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. 2005, menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment HMT dapat mengubah profil
gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas pasta panas,
meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi meningkatkan set back.
Selanjutnya menurut Adebowale et al. 2005, perubahan tersebut sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air
28 modifikasi tidak memberikan pola yang khas dalam meningkatkan suhu
gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18 menjadi 21 meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi
24 dan 27 tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan
kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback. Namun
demikian, modifikasi yang dilakuukan pada kadar air 24 memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown,
viskositas akhir dan setback yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18, 21 dan 24.
Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji
nangka Lawal and Adebowale 2005. Peningkatan kadar air dari 18 hingga 27 meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak
viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan penurunan setback, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati termodifikasi
dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang dimodifikasi pada kadar air 27.
Sementara itu, menurut Vermeylen et al. 2006, modifikasi HMT pada pati kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada
kadar air 23 dengan suhu 130
o
C menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-x dari tipe B menjadi
tipe A. Tipe A merupakan tipe difraksi sinar-x yang dimiliki oleh pati serealia alami.
Pengaruh Sumber Pati
Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosaamilopektin yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosaamilopektin
kemungkinnan akan mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan
amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi
29 kemudahanan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air.
Menurut manuel 1996, pati legum termodifikasi HMT dari berbagai jenis legum dengan proporsi amilosaamilopektin yang berbeda mengalami penurunan
pelepasan amilosa amylosa leaching, penurunan faktor pembengkakan granula swelling factor dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda.
Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya.
Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani 2006, menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sensitif
terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah 17.69 mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C.
Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi 46.15 mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.
Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. 2006, menunjukkan bahwa teknik HMT dapat menggeser type kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi
tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasai, penurunan
viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur
yang mempunyai kandungan amilosa yang paling rendah mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar.
Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa yang
lebih rendah lebih mudah mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dibandingkan dengan pati dengan kandungan amilosa yang
lebih tinggi Collado and Corke 1996. Selanjutnya menurut Collado and Corke 1999, pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi dapat
mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dimodifikasi HMT selama 4 dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16
jam menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B.
30
Pengaruh Suhu dan Kadar Air
Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin didalam granula dengan air.
Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-
amilopektin maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu,
kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.
Studi yang dilakukan oleh Vermeylen et al. 2006 menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu
gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi
HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang
kekosongan di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati termodifikasi pada suhu 130
o
C telah hilang sebagian.
Pengaruh Waktu dan Suhu
Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad 2009. Modifikasi yang
dilakukan pada suhu pemanasan 110
o
C selama 16 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung
dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan
yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Lestari 2009, menunjukkan bahwa tepung jagung yang dimodifikasi HMT pada berbagai kombinasi suhu dan waktu yang
berbeda menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang
mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi
31 suhu 110
o
C dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan tepung yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya. Studi yang dilakukan oleh Ahmad 2009 tidak menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya
waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta
panas pati meningkat dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100
o
C menjadi 110
o
C, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 110
o
C menjadi 120
o
C.
Pengaruh pH dan Waktu
Menurut collado and corke 1999, pH dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi profil gelatinisasi pati ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati
ubi jalar kandungan amilosa 15.2 yang dimodifikasi HMT pada pH asal 6.5- 6.7 mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa pH 10 pada berbagai waktu modifikasi 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Hal ini menunjukkan bahwa
kestabilan pati yang dimodifikasi pada pH asal terhadap pemanasan dan pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada
pH basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang
termodifikasi pada pH asal maupun pH basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap
pemanasan dan pengadukan. Kondisi pH tinggi selama modifikasi HMT berlangsung kemungkinan akan
mempengaruhi perubahan yang terjadi pada pati yang termodifikasi. Basa kemungkinan akan melemahkan interaksi hidrogen antar molekul amilosa maupun
amilopektin sehingga pada saat digelatinisasi akan mengembang lebih bebas puncak viskositas meningkat dan lebih mudah mengalami breakdown Collado
and Corke 1999.
32 Selain kondisi basa, kondisi asam kemungkinan akan mempengaruhi
perubahan yang terjadi selama modifikasi pati. Studi terhadap pengaruh pH asam selama modifikasi pati dengan metode HMT perlu dilakukan mengingat studi
tersebut belum pernah ada dan pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mempunyai pH yang rendah.
Aplikasi Pati Termodifikasi HMT
Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT mengarah pada pembentukan pati dengan stabilitas panas dan pengadukan yang lebih baik.
Adanya pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe B bahkan menjadi tipe C yang lebih stabil terhadap panas dan pengadukan mengindikasikan
bahwa pati termodifikasi HMT dapat diaplikasikan untuk produksi bihun Lii and Chang 1981; Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006.
Studi yang dilakukan Collado et al. 2001 menunjukkan bahwa bihun yang diproduksi dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kualitas fisik dan
organoleptik yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Pengujian dengan texture analizer menunjukkan bahwa bihun dari pati ubi
jalar termodifikasi HMT mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Sementara itu, pengujian
organoleptik menunjukkan bahwa bihun dari pati termodifikasi HMT memiliki tekstur, flavor dan penerimaan umum yang lebih disukai dibandingkan dengan
bihun dari pati ubi jalar alami. Menurut Purwani et al. 2006, aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk
produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu diantaranya meningkatkan kekerasan, menurunkan kelengketan dan meningkatkan elstisitas
melalui pengukuran dengan tekstur analizer. Selanjutnya menurutn Purwani et al. 2006, bihun dari pati sagu termodifikasi HMT mempunyai susut masak yang
lebih tinggi, berat rehidrasi yang lebih rendah dan karakteristik organoleptik yang lebih disukai bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami. Namun
demikian, masih terdapat hambatan dalam aplikasi pati sagu termodifikasi untuk produk bihun terutama pada saat pembentukan bihun dengan ekstruder. Untaian
33 bihun yang keluar dari ekstruder cenderung saling menyatu sesamanya sehingga
untaian harus dipisahkan satu-persatu diatas rak-rak pengukusan Purwani et al. 2006. Selain itu, waktu masak waktu rehidrasi bihun dari pati sagu
termodifikasi lebih lama bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami. Pengaruh penggunaan pati termodifikasi HMT terhadap peningkatan
karakteristik fisik bihun juga dilaporkan oleh Lorlowhakarn and Naivikul 2006. Bihun yang disubstitusi dengan tepung beras termodifikasi HMT mempunyai
elastisitas yang lebih tinggi bila dibanding dengan bihun dari tepung beras alami saja.
Selain dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun, pati ataupun tepung termodifikasi HMT dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produk
pasta lain seperti mi. Menurut Ahmad 2009, substitusi pati jagung termodifikasi HMT pada produk mi jagung dapat menurunkan susut masak dan memperbaiki
penerimaan konsumen terhadap parameter kekerasan, elastisitas dan kelengketan mi. Lestari 2009, melaporkan bahwa mi jagung yang disubtitusi tepung jagung
termodifikasi HMT mempunyai susut masak Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan, kekerasan, dan kelengketan yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan mi dari tepung jagung alami.. Selanjutnya menurut Lestari 2009, mi jagung yang disubstitusi tepung jagung termodifikasi HMT memiliki tingkat
kesukaan yang lebih tinggi bila dibanding mi dari tepung jagung alami. Tingkat substitusi tepung jagung termodifikasi HMT optimum adalah 10.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah pati sagu yepha hongleu yang diperoleh dari Papua. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: aquades, STPP,
guargum, I
2
, HCl pekat, NaOH, fenolftalein, Na
2
CO
3
, asam sitrat, CuSO
4
.5H
2
O, KI, H
2
SO
4
, Na
2
S
2
O
3
, lakmus, asam asetat, serta bahan pendukung lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.
Peralatan yang digunakan antara lain terdiri atas peralatan utama dan peralatan pendukung. Peralatan utama yang digunakan adalah oven pengering
dan ekstruder mi. Peralatan pendukung yang digunakan anatara lain: timbangan analitik, ayakan tepung, sentrifuse, mikroskop polarisasi cahaya, whiteness meter,
brabender amilograph, tekstur analizer, freezerrefrigerator, spektrofotometer, pH meter, gelas jar, dan alat memasak kompor, panci dan lain-lain serta alat-alat
lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei – Desember 2008. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di
lingkungan kampus IPB Dramaga yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Center dan laboratorium kimia serta laboratorium rekayasa proses pangan Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap penentuan perlakuan pencucian dan waktu modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan tahap
penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik. Diagram alir tahapan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 8.
35 Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian
Penentuan Perlakuan Pencucian dan Waktu Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT
Modifikasi pati sagu dengan metode HMT dilakukan dengan menggunakan kombinasi perlakukan pencucian dicuci dan tidak dicuci dan waktu 4 jam, 8
jam dan 16 jam untuk memperoleh pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C pati yang stabil terhadap pemanasan dan pengadukan.
Perlakuan pencucian pada pati sagu dimaksudkan untuk meningkatkan pH pati sagu. Pati sagu dicuci dengan menggunakan air minum dalam kemasan yang
mempunyai pH netral pH 7. Pencucian dilakukan dengan menggunakan perbandingan 1: 3 untuk pati sagu : air pencuci. Pati sagu dan air pencuci diaduk
sampai membentuk suspensi yang homogen. Pati pada suspensi diendapkan Pati Sagu Alami
Karakterisasi sifat fisiko-kimia
Analisis profil gelatinisasi
Pati termodifikasi terbaik
Formula yang memberikan bihun dengan kualitas
terbaik
Modifikasi HMT Kombinasi perlakuan pencucian dan waktu
Karakterisasi sifat fisiko-kimia
Informasi perubahan sifat
fungsional pati
Aplikasi pada bihun
Karakterisasi kimia, fisik dan organoleptik bihun Formulasi bihun sagu dengan
substitusi pati sagu termodifikasi: 0, 25 dan 50
Tahap 1
Tahap 2
36 kemudian air pencuci dibuang. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali sampai air
pencuci bersifat netral. Pati sagu yang telah terpisah dari air pencuci dikeringkan pada suhu 50
o
C selama satu malam sampai kering yaitu sampai kadar air 13. Terhadap pati sagu kering yang diperoleh dilakukan pengukuran pH untuk
memastikan pH netral telah tercapai. Pati sagu dengan pH netral tersebut dikemas kemudian disimpan untuk digunakan dalam perlakuan HMT.
Pati sagu yang telah dicuci ataupun yang belum dicuci dimodifikasi HMT dengan waktu yang sesuai dengan perlakukan 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Metode
modifikasi yang digunakan mengacu kepada metode Collado et al. 2001 dan Purwani et al. 2006.
Sebelum dilakukan tahap modifikasi, kadar air pati sagu dianalisis sebagai dasar untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan untuk mencapai
kadar air pati sagu yang diinginkan ±26. Penambahan air pada tepung
dilakukan dengan cara penyemprotan yang disertai dengan pengadukan. Pati sagu yang telah diatur kadar airnya ditempatkan di dalam loyang tertutup. Loyang
berisi sampel pati disimpan dalam refrigerator bersuhu 4
o
C selama satu malam untuk menyeimbangkan kadar air dalam sampel pati. Setelah satu malam, loyang
berisi sampel dipanaskan di dalam oven bersuhu 110
o
C selama 4, 8 dan 16 jam sesuai dengan perlakuan sambil dilakukan pengadukan dengan selang waktu 2
jam. Loyang dikeluarkan dari oven dan didindinkan selama 1 jam di suhu ruang. Pati dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50
o
C. Pati kering digiling kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh. Modifikasi pati sagu dengan
metode HMT disajikan pada Gambar 9. Pati termodifikasi terpilih ditentukan berdasarkan analisis profil gelatinisasi
dengan menggunakan brabender amilograf. Terhadap pati terpilih yaitu pati dengan profil gelatinisasai yang paling mendekati tipe C dilakukan analisis kimia
kadar air, kadar pati dan kadar amilosa serta analisis fisik bentuk dan ukuran granula, swelling volume, kelarutan, dan kekuatan gel. Karakteristik pati sagu
termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati sagu alami untuk mengetahui informasi perubahan karakteristik pati karena modifikasi HMT.
37 Gambar 9 Modifikasi pati sagu dengan metode HMT Collado et al. 2001;
Purwani et al. 2006
Penentuan Tingkat Substitusi Pati Sagu Termodifikasi yang Dapat Menghasilkan Bihun Sagu dengan Kualitas yang Baik
Penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT untuk produksi bihun sagu dilakukan melalui tiga formulasi. Formulasi bihun sagu disajikan pada
Tabel 6. Pati sagu 600 g
Pengaturan kadar air sampai ±26
Penyimpanan dalam loyang tertutup
Penyimpanan loyang berisi pati di dalam refrigerator 4 – 5
o
C selama 1 malam
Pemanasan loyang pada suhu 110oC dengan waktu yang sesuai perlakuan 4 jam, 8 jam dan 16 jam
Pendingininan di suhu ruang selama 1 jam
Pengeringan pada suhu 50oC selama 4 jam
Pendinginan
Penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 100 mesh
Pengemasan
38 Tabel 6 Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam formulasi bihun
sagu Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT
Bahan 0 25
50 Pati sagu alami
100 75
50 Pati sagu
termodifikasi HMT
0 25 50
Air 40 40
40 STPP 0.2
0.2 0.2
Guar gum 1
1 1
Keterangan: Persentase air, STPP dan guar gum adalah persentase terhadap pati sagu
Tingkat substitusi pati termodifikasi yang digunakan adalah 0 tanpa pati termodifikasi HMT, 25 pati termodifikasi HMT dan 50 pati termodifikasi
HMT. Sementara itu bahan tambahan yang lain seperti air, STPP dan guar gum dibuat sama yaitu masing-masing mencapai 60, 0.2 dan 1. Persentase bahan
tambahan lain tersebut adalah persentase terhadap pati sagu. Produksi bihun sagu diawali dengan pembentukan binder perekat.
Pembentukan binder dilakukan dengan cara menggelatinisasi sebagain pati 20 yang akan digunakan dalam pembentukan adonan bihun. Pati yang digunakan
sebagai binder adalah pati sagu alami mengingat pati sagu termodifikasi mempunyai daya rekat yang relatif rendah. Pada pembuatan binder, STPP
dilarutkan bersama air. Larutan STPP dicampurkan dengan pati sagu. Suspensi pati sagu yang terbentuk dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna yaitu
mempunyai penampakan yang transparan. Gel pati yang terbentuk bersifat lengket sehingga dapat digunakan sebagai binder dalam pembuatan adonan bihun sagu.
Sisa pati sagu yang belum tergelatinisasi 80 dicampur kering bersama guar gum kemudian diadon bersama binder yang berupa pati yang telah
tergelatinisasi. Adonan yang telah homogen dimasukkan ke dalam pencetak bihun yang berupa multifunc-tional noodle machine yang bekerja dengan prinsip
ekstrusi. Selama proses ekstrusi berlangsung, ulir yang terdapat pada alat ekstruder akan berputar sehingga adonan bihun terdorong keluar dan melewati
39 lubang die dengan ukuran tertentu. Untaian bihun yang keluar dari ekstruder
dibentuk kemudian diletakkan di atas rak-rak pengukusan. Pengukusan bihun sagu dilakukan selama 2 menit pada suhu 90
o
C. Selanjutnya, untaian bihun dikeringkan di dalam oven udara pada suhu 60
o
C selama 35 menit. Bihun kering yang diperoleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik polyprophylene.
Produksi bihun sagu disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi
Bihun yang diperoleh dianalisis yang terdiri atas kadar air, analisis tekstur dengan texture analyzer, waktu pemasakan, analisis cooking lose susut masak
yang dinyatakan dengan kehilangan padatan akibat pemasakan KPAP, berat rehidrasi berat setelah dimasak, dan analisis organoleptik. Bihun yang terpilih
adalah bihun yang mempunyai tekstur yang paling baik, waktu pemasakan tercepat, KPAP terendah, berat rehidrasi terendah dan mempunyai sifat
organoleptik yang paling disukai oleh panelis. Pati sagu 20
STPP Air
Pelarutan Pencampuran
Pemanasan
Pengadonan Pati sagu 80
Guar gum
Pencampuran Pembentukan untaian bihun
Pengukusan T=90
o
C dan t=2 menit
Pengeringan T=60
o
C dan t=35 menit Bihun sagu
40
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap 1 yaitu modifikasi pati sagu dengan metode HMT didisain dengan dua faktor perlakuan dengan menggunakan rancangan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap. Menurut Mattjik dan Sumertajaya 2006, model aditif linier pada rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut:
Dimana:
Yijk = nilai pengamatan pada faktor pH taraf ke-i dan faktor
waktu taraf ke-j dan ulangan ke k μ
= komponen aditif dari rataan αi
= pengaruh utama faktor pencucian tidak dicuci dan dicuci βj
= pengaruh utama faktor waktu 4, 8, 16 jam α
βij = komponen interaksi dari faktor pencucian dan faktor waktu
εijk = pengaruh acak yang menyebar normal 0,
σ2 Penelitian tahap 2 yaitu aplikasi pati sagu termodifikasi terpilih pada bihun
sagu didisain dengan satu faktor perlakuan yaitu dengan menggunakan rancangan satu faktor dalam acak lengkap. Model aditif linier pada rangcangan percobaan
tersebut adalah sebagai berikut:
Dimana : Y
ij
= nilai pengamatan taraf ke-i ulangan ke j μ
= komponen aditif dari rataan β
i
= pengaruh utama faktor perlakuan ke-i ε
ij
= Galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Analisis Data
Penentuan pengaruh kombinasi perlakuan pencucian dan waktu terhadap karakteristik pati sagu termodifikasi dilakukan berdasarkan analisis data
parameter profil gelatinisasi pati dengan metode General Linier Method GLM pada program Statistical Analysis System SAS. Apabila kombinasi perlakuan
Y
ij
= μ +
β
i
+ ε
ij
Y
ijk
= μ + α
i
+ β
j
+ α
β
ij
+ ε
ijk
41 pencucian dan waktu berpengaruh terhadap parameter profil gelatinisasi pati sagu
maka dilakukan uji lanjut Duncan pada program yang sama untuk mengetahui perlakuan pencucian dan waktu yang dapat memberikan pati sagu termodifikasi
yang paling sesuai untuk produk bihun. Selanjutnya, karakteristik pati sagu termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati alami dengan
menggunakan uji T untuk mengetahui adanya perubahan karakteristik karena modifikasi HMT.
Penentuan pengaruh tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terhadap produk bihun sagu dilakukan dengan menggunakan metode oneway ANOVA
pada program SPSS. Untuk mengetahui tingkat substitusi yang memberikan karakteristik bihun yang paling baik dilakukan analisis lanjut dengan metode
Duncan pada program yang sama.
Prosedur Penelitian
Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Pati Sagu Alami dan Pati Sagu Termodifikasi HMT
a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati dengan Mikroskop
Polarisasi Cahaya
Patitepung dibuat suspensi dalam air dan dilihat dibawah mikroskop polarisasi cahaya. Bentuk dan sifat birefringence granula pati dapat langsung
dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. Ukuran granula pati ditentukan berdasarkan rata-rata dan kisaran dari granula pati yang berhasil
didokumentasikan oleh kamera.
b. Swelling Volume dan Klarutan Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005