Kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan

Tabel 7. Content analysis perundangan No Peraturan perundangan Intepretasi mandat Undang - undang 1 UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Larangan pembakaran hutan diberlakukan kepada badan usaha maupun perseorangan pasal 50. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sanksi diberlakukan kepada pihak yang membakar baik sengaja maupun tidak sengajakelalaian pasal 78 2 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang - undang ini menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan dilarang melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan pasal 26, bagi pelanggar dikenakan sanksi berupa pidana dan denda pasal 48 3 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, namun demikian masih ada ruang untuk masyarakat dengan kearifan lokal untuk melakukan pembakaran. Dalam penjelasan disebutkan bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah pembakaran maksimal 2 hektar per kepala keluarga, ditanami varietas lokal dan harus dilakukan sekat bakar. Peraturan pemerintah 1 PP. No. 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau lahan Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dan lahan. Pembakaran dapat digunakan untuk tujuan khusus dan kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain : pengendalian karhut, pembasmian hama penyakit,pembinaan habitat. Pelaksanaan harus mendapatkan ijin dari pejabat berwenang. Dalam PP ini memberikan mandat tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan di setiap jenjang pemerintahan, badan usaha dan perorangan. 2 PP. No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 19 memberikan penguatan terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang pengecualian penggunaan pembakaran dengan kondisi tertentu dan ijin dari pihak berwenang Undang –undang kehutanan dan perkebunan dengan tegas melarang melakukan pembakaran baik di hutan maupun di lahan perkebunan. Pembakaran dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan dan fungsinya serta gangguan terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2009 menjadi rancu karena di lokasi penelitian, masyarakat menanam komoditas kopi, karet dan sawit yang bukan varietas lokal, walaupun lahan yang dibuka biasanya kurang dari 2 Ha dan membuat sekat bakar. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan memberikan arahan untuk masyarakat hukum adat yang menggunakan pembakaran dalam penyiapan lahan agar memberitahukan kegiatannya kepada Kepala Desa dan melakukan pengendalian dengan cara melakukan pembakaran tidak pada musim kemarau yang panjang serta dengan luasan di bawah 2 Ha untuk setiap kepala keluarga. Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2001 dalam penjelasannya memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan terhadap kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan dengan membakar. Berdasarkan peraturan ini, maka beberapa gubernur menyusun peraturan gubernur tentang pedoman pembukaan lahan bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Gubernur Kalimantan Tengah melalui Pergub No.52 tahun 2008. Peraturan tersebut tetap memperhatikan pengendalian dengan batasan luasan, pengaturan jam, perizinan dan pengawasan. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan pada kondisi iklim yang memungkinkan normal tidak pada kondisi kemarau panjang. Provinsi Riau pernah merancang aturan serupa namun karena banyak pihak yang menentang, rancangan aturan tersebut batal demi hukum. Provinsi Jambi sampai saat ini belum pernah merancang aturan serupa untuk memberikan legalisasi kegiatan pembakaran oleh masyarakat dengan persyaratan –persyaratan tertentu yang memungkinkan pelaksanaan pengendalian karhutla. Peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan karhutla lebih banyak menyebutkan tentang larangan membakar beserta sanksi yang dikenakan bagi pelaku pembakaran. Pembakaran terbatas hanya dilakukan pada kondisi yang mendesak terutama untuk keperluan manajemen kawasan. Masyarakat yang masih diperbolehkan melakukan pembakaran adalah masyarakat adat dengan kearifan lokal dengan pengawasan dan perijinan yang ketat. Peran pemerintahan desa sebagai struktur pemerintahan terendah sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian, aturan yang ada secara implisit menyatakan bahwa pembakaran dalam penyiapan lahan harus dihindari dan menuntut agar segera diciptakan teknologi penyiapan lahan yang lebih efisien, efektif dan ekonomis yang dapat dilakukan oleh masyarakat agar tidak lagi melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan. VI. KESIMPULAN 1. Perbedaan praktek pembakaran dalam penyiapan lahan oleh masyarakat adalah pada kegiatan ritual yang dilakukan sebelum pembakaran, perhitungan waktu yang ditentukan secara tradisional, serta tata urutan pembakaran. Pilihan teknik dilatarbelakangi oleh pilihan yang lebih efisien, efektif, ekonomis serta faktor keamanan. 2. Mayoritas masyarakat baik lokaltradisional maupun pendatang setuju terhadap praktek pembakaran dan terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran. Mayoritas masyarakat menyatakan sikap setuju terhadap aturan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. 3. Faktor yang melatar belakangi munculnya sikap setuju terhadap pembakaran dan perilaku membakar dalam penyiapan lahan antara lain kepercayaan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah serta lebih murah. Pilihan untuk tidak membakar dilatarbelakangi perasaan takut terhadap sanksi hukum, perasaan segan terhadap petugas, serta munculnya pengetahuan bahwa membakar dapat mengurangi kesuburan tanah di masa datang. VII. SARAN 1. Perlunya meningkatkan akses terhadap informasi terutama pada dampak kebakaran dan teknologi alternatif. 2. Kajian terhadap dampak pembakaran terutama terhadap kesuburan tanah sangat diperlukan untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. 3. Kajian lanjut diperlukan untuk merancang peraturan pelaksanaan penyiapan lahan dengan pembakaran oleh masyarakat di tingkat desa dengan persyaratan tertentu selama belum ditemukan teknologi alternatif bagi masyarakat dalam penyiapan lahan selain dengan membakar. 4. Adanya pengaruh pendekatan Manggala Agni dan petugas BKSDA Jambi terhadap sikap dan perilaku masyarakat perlu diarahkan agar sikap dan perilaku masyarakat lebih mengarah kepada pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Untuk menunjang hal tersebut, disarankan untuk meningkatkan frekuensi pendekatan sosial secara formal melalui kegiatan pembentukan dan pembinaan MPA dan penyuluhan, serta pendekatan informal melalui kunjungan ke masyarakat. 5. Pembekalan pengetahuan mengenai komunikasi massa perlu ditambahkan kepada anggota Manggala Agni untuk menunjang kegiatan pendekatan sosial terhadap masyarakat. 6. Peningkatan porsi anggaran untuk pencegahan karhutla sangat diperlukan agar kegiatan pengendalian karhutla lebih berhasil. 7. Pengawalan kebijakan terkait dengan perizinan alih fungsi lahan dan pembangunan perekonomian oleh para pihak sangat diperlukan agar pembangunan yang berlangsung tidak berdampak negatif terhadap konservasi. 8. Kerjasama di semua sektor antar instansi pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, peneliti dan pihak penegak hukum perlu terus ditingkatkan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K. 2008. Dinamika budaya lokal. Bandung : CV Indra Prahasta. Anonim. 2006. Laporan utama : Presiden pimpin Apel Siaga Nasional pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi VI, 2006. Diakses melalui : http.www.dephut.go.idinformasimkivi2006. [ASEAN] Association of Southeast Asian Nations. 2003. Guidelines for the implementation of the ASEAN policy on zero burning. ASEAN secretariat. Jakarta. Azwar S. 1995. Sikap manusia teori dan pengukurannnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. [BI] Bank Indonesia. 2011. Analisis pengembangan kelapa sawit di Jambi. http. www.bi.go.id...boks1AnalisisPengembanganKelapaSawitdiJambi. [1 Agustus 2012]. Boer C. 2002. Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia. Di dalam: Moore P, Ganz D, Tan L.C, Enters T, Durst P.B, editor. Prosidings of an International Conference on Community Involvement in Fire Management. Bangkok, Desember 2000. Bangkok: FAO. Hlm 69 – 74. Bowen MR, Bompard JM, Anderson IP, Guizol P, Gouyon A. 2001. Anthropogenic fires in Indonesia, a viem from Sumatra. Di dalam : radojevic M Eaton P, editor. EU Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. [BPS Batanghari] Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2010. Batanghari dalam angka. Muara Bulian : BPS Batanghari. [BPS Betara] Badan Pusat Statistik Kecamatan Betara. 2010. Betara dalam angka. Betara : BPS Betara. [BPS Tanjung Jabung Barat] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2010. Tanjung Jabung Barat dalam angka. Kuala Tungkal: BPS Tanjung Jabung Barat. Chokkalingam U, Suyanto, Permana RP, Kurniawan I, Mannes J, Darmawan A, Khususyiah N, Susanto RH. 2004. Pengelolaan api, perubahan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di areal rawagambut – Sumatera bagian Selatan. Di dalam : Suyanto, Chokkalingam U, Wibowo P, editor. Prosiding semiloka Kebakaran Lahan RawaGambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Palembang, 10 – 11 Desember 2003. Jakarta: CIFOR. Hlm 35-47. Darwiati W Nurhaedah M. 2010. Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap sifat fisik tanah. Mitra hutan tanaman Vol. 5 No.1 april 2010. 27 – 37. Pusat penelitian dan pengembangan hutan tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. [Dit. PKH] Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2012. Laporan tahunan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan tahun anggaran 2011. Jakarta. Tidak diterbitkan. Dove MR. 1988. Sistem perladangan di Indonesia: Suatu studi kasus di Kalimantan Barat. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Gouyon A Simorangkir D. 2002. The economics of fire use in agriculture and forestry. A prelimenary review for Indonesia. Jakarta : IUCN- WWF. Hasoloan D. 2001. Kebijakan rencana tata guna lahan untuk perkebunan dan hutan tanaman industri serta dampaknya terhadap kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi. Di dalam: Suyanto S, Permana R, Setiono D, Applegate G, editor. Prosiding Seminar Sehari Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktifitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Bandar Lampung, 11 Oktober 2001. Bogor: ICRAF, CIFOR, UNI EROPA. Hlm 49 – 58. Hasyim MT, Teoh CH, Kamardzaman A, Ali M. 1993. Zero burning- An environtmentally friendly replanting technique. PORIM International Oil Conggress update and vision. 20 – 25 September 1993. Palm oil research Institute of Malaysia. Kuala lumpur. Junaedi A. 2010. Wanatani berbasis tanaman karet klonal “ Langkah menuju intensifikasi lahan”, Di dalam: Sukmareni, editor. Catatan pendampingan Orang Rimba menantang zaman Komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Jakarta : KKI Warsi. Hlm 109-121. [Kemenko Bidang Perekonomian] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Jakarta. Kemenko Marlier ME, DeFries RD, Apostolos V, Kinney P, Randerson J, Shindell D, Chen Y, Faluvegi G. 2012. El Nino and health risk from landscape fire emissions in Southeast Asia Nature Climate Change. Publish Online 12 august 2012. Letters DOI;10; 1038NCLIMATE 1658 diakses dari www.mongabay.co.id tanggal 15 Agustus 2012. Notohadinegoro T. 2006. Pembakaran dan kebakaran lahan. Prosiding Simposium dampak kebakaran hutan terhadap SDA dan lingkungan, Yogyakarta. 16 – 17 Desember 1997. Pusat studi energi, Pusat studi bencana alam, pusat studi sumberdaya lahan dan pusat penelitian lingkungan hidup UGM, Ilmu tanah UGM. Nurhayati AD. 2002. Respon ekosistem hutan rawa gambut sekunder akibat pembakaran limbah vegetasi di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.[tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Otsuka M, Sumantri, Hariri D, Santoso TH. 1997. Pencegahan kebakaran hutan melalui peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan penyangga. Ditjen PHKA dan JICA. Bogor. Permana R, Kurniawan I. 2001. Akar penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan di Sumatera: suatu tinjauan terhadap perubahan penggunaan lahan dan aktivitas penyiapan lahan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan. Studi kasus: Petapahan, Provinsi Riau. Di dalam: Suyanto S, Permana R, Setiono D, Applegate G, editor. Prosiding Seminar Sehari Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktifitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Bandar Lampung, 11 Oktober 2001. Bogor: ICRAF, CIFOR, UNI EROPA. Hlm 40 – 48. Pratiwi S. 2008. Model pengembangan institusi ekowisata untuk penyelesaian konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [disertasi].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sadjati E. 2012. Kebijakan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saharjo BH. 1999. Pembakaran terkendali sebagai metode alternatif dalam pencegahan kebakaran hutan di hutan tanaman Acacia mangium. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol 5 No 1: 67-75. Sasmita K. 2009. Etnoekologi perladangan orang rimba, Studi kasus di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi [tesis]. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Sears OD, Freedman JL, Peplau LA. 2004. Psikologi sosial Jilid I Edisi V. Penerjemah : Adryanto M, Soekrisno S. Judul Asli : Social Psicology. Jakarta : Erlangga Sudaryanto, Husaeni EA, Jaya NS.1999. The use of fire on shifting cultivation activity in Indonesia. Di dalam: Jaya NS Husaeni EA, editor. Proceeding of 2 nd International Workshop on Forest Fire Control and Suppression Aspects, Bogor, 16 – 18 Februari 1999. Bogor. ITTO Project PD 1293.Hlm 114 – 146. Smith JR, Whitehead P, Cooke P. 2009. Culture, ecology and economy of fire management in North Australia Savannas. Rekindling the Wurrk tradition. Collingwood, Australia: CSRIO Publishing. Sumantri. 2007. Pengendalian kebakaran lahan dan hutan, sebuah pemikiran, teori, hasil praktek, dan pengalaman lapangan. Jakarta. Ditjen PHKA- JICA Supriyatna J. 2008. Melestarikan alam Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor. Hlm. 65. Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, Perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran. Malang: Bayumedia publishing. Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Bogor : CIFOR. Walgito B.2003. Psikologi sosial: suatu pengantar. Yogyakarta: Andi Offset. Yunus L. 2005. Metode penilaian ekonomi kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan Studi kasus di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lampiran 1 Kuisioner Penelitian “Praktek Peyiapan Lahan dengan Membakar oleh masyarakat di Wilayah Kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian, Jambi “ Kuisioner ini digunakan dalam wawancara dengan responden petani peladang dan pekebun yang dipilih secara acak dari sumber data awal dari monografi desa. Responden ini merupakan responden yang sama dalam pengukuran dan analisa sikap yang dilakukan dalam penelitian ini. Data Biografi dan Analisa Pengetahuan 1. Biografi a. Nama lengkap b. Umur c. Alamat lengkap d. Suku bangsa 2. Perekonomian a. Jenis pekerjaan b. Jumlah tanggungan keluarga Jumlah anak yang sekolah c. Luas lahan yang digarap d. Pendapatan perbulan Keterangan lain hasil observasi kondisi rumah dll 3. Pengetahuan a. Pendidikan terakhir yang pernah bapak tempuh? Sumber media informasi : b. Apakah bapak mempunyai TV di rumah? Acara TV apa yang sering ditonton? Apakah bapak mempunyai radio? Acara radio apa yang sering didengarkan? Apakah bapak berlangganan koran? Apakah bapak sering membaca koran? Kalo sering, liputan apa yang sering dibaca? Informasi mengenai pertanian bapak dapatkan darimana? Apakah ada penyuluh pertanian yang rutin mengunjungi bapak? Apakah bapak menjadi anggota kelompok tani? Apakah ada kegiatan rutin kelompok tani yang membahas tentang tehnik – tehnik pertanian? Darimana bapak menguasai cara – cara bertaniberladangberkebun? Apakah dalam acara – acara di tempat ibadah pernah membahas tentang kebiasaan penyiapan lahan dengan membakar? Bagaimana ulasannya? Apakah Bapak pernah mengikuti kegiatan dari Dinas Kehutanan atau dari Kemenhut? Sepengetahuan bapak, apakah ada upaya penyuluhan yang dilakukan oleh dinas kehutananKemenhut terkait pencegahan karhutla? Lampiran 2 PANDUAN WAWANCARA PENELITIAN Panduan ini disusun sebagai panduan wawancara semi terstruktur untuk menggali praktek penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh masyarakat. Metode wawancara adalah indepth interview dengan sumber informasi dari pihak – pihak yang dianggap mengetahui praktek penyiapan lahan dengan membakar. Paduan ini dapat digunakan untuk wawancara sehingga informasi yang dibutuhkan dalam penelitian dapat digali sebanyak mungkin, model pertanyaan dapat lebih luwes, tidak kaku agar informan lebih rileks dalam menjawab pertanyaan dan memberikan informasi sebanyak mungkin.

Bagian I. Praktek penyiapan lahan dengan membakar

1. Biografi Informan a. Nama lengkap : b. Umur : c. Jenis kelamin : d. Jenis pekerjaan : 2. Praktek penyiapan lahan dengan membakar a. Apakah bapakibu mengetahui tentang praktek penyiapan lahan dengan membakar? b. Menurut bpkibu, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak kapan? c. Sepengetahuan bpkibu, kebiasaan ini biasanya digunakan untuk apa? d. Siapakah yang sering melakukan pembukaan lahan dengan membakar? e. Apakah pekebun dan peladang sama caranya dalam melakukukan pembakaran? f. Apakah ada perbedaan cara – cara pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat lokal lokal jambi dengan pendatang? g. Bagaimana cara – caraurutan cara penyiapan lahan dengan membakar? h. Dalam melaksanakan pembakaran biasanya dilakukan oleh perseorangan atau bersama – sama untuk satu bagian ladangkebun? i. Apakah ada ritual adat tertentu yang dilakukan dalam pembakaran? j. Apakah ada sanksi tertentu bagi pelaku pembakaran yang membiarkan api meloncat ke lahan orang lain? k. Apakah ada waktu – waktu tertentu untuk melakukan pembakaran? l. Apakah ada upaya untuk melakukan pengawasan selam pembakaran? m. Apakah ada upaya untuk melakukan pengendalian supaya api tidak membakar lahan orang lain atau asapnya tidak terlalu banyak dan mengganggu orang lain? n. Apakah ada aturan desa terkait ijin pembakaran dalam penyiapan lahan? Lampiran 3 PENGUKURAN SIKAP Pernyataan di bawah ini, merupakan pernyataan yang berkaitan dengan : 1. Sikap terhadap pelaksanaan praktek penyiapan lahan dengan membakar 2. Sikap terhadap bahaya praktek penyiapan lahan dengan membakar 3. Sikap terhadap aturan terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan Bagian A. Sikap terhadap pelaksanaan praktek penyiapan lahan dengan membakar Sangat tidak setuju STS Tidak setuju TS Ragu – ragu R Setuju S Sangat setuju SS 1. Penyiapan lahan dengan membakar adalah kegiatan yang sudah dilakukan turun - temurun 2. Penyiapan lahan dengan membakar dapat mempercepat pembersihan lahan 3. Pembakaran lebih murah dibandingkan penyiapan lahan tanpa membakar 4. Pembakaran lebih mudah dilakukan dalam penyiapan lahan 5. Pembakaran dapat menyuburkan tanah 6. Di Jambi, karena jenis tanahnya, pembakaran sangat diperlukan dalam penyiapan lahan sebelum ditanami 7. Pembakaran harus diawasi agar tidak merembet ke lahan orang lain Bagian B. Sikap terhadap bahaya praktek penyiapan lahan dengan membakar Sangat tidak setuju STS Tidak setuju TS Ragu – ragu R Setuju S Sangat setuju SS 1. Penyiapan lahan dengan membakar dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan 2. Asap hasil pembakaran dapat menyebabkan penyakit 3. Asap hasil pembakaran dapat mengganggu lalu lintas 4. Pembakaran dapat mematikan hewan – hewan kecil dalam tanah dan membuat tanah tidak subur 5. Kerugian besar dapat terjadi apabila kebakaran hutan dan lahan menjadi besar 6. Kebakaran hutan dan lahan sudah biasa terjadi dan tidak mengganggu Bagian C. Sikap terhadap aturan Sangat tidak setuju STS Tidak setuju TS Ragu – ragu R Setuju S Sangat setuju SS 1. Pembakaran dalam penyiapan lahan harus dilarang 2. Hukuman terhadap pelaku pembakaran harus berupa penjara dan denda 3. Pelaku pembakaran harus dihukum secara adat 4. Pembakaran dalam penyiapan lahan harus diharamkan secara agama 5. Pembakaran dalam penyiapan lahan seharusnya diijinkan 6. Pelaksanaan pembakaran dalam penyiapan lahan perlu diatur dalam peraturan desa Lampiran 4 . Uji Validitas dan Realibilitas Kesimpulan hasil uji validitas :

A. Pernyataan sikap 1, sikap masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan

dengan membakar

B. Pernyataan sikap 2, sikap masyarakat terhadap timbulnya dampak

negatif dari praktek pembakaran Korelasi antara Nilai Korelasi r Nilai r tabel n=35, α =5 Keterangan Kesimpulan Item pernyataan 1 dengan total 0.58 0.344 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 2 dengan total 0.574 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 3 dengan total 0.726 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 4 dengan total 0.695 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 5 dengan total 0.641 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 6 dengan total 0.887 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 7 dengan total -0.29 r negatif, r hitung r tabel TIDAK VALID Korelasi antara Nilai Korelasi r Nilai r tabel n=35, α =5 Keterangan Kesimpulan Item pernyataan 1 dengan total 0.709 0.344 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 2 dengan total 0.853 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 3 dengan total 0.888 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 4 dengan total 0.658 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 5 dengan total 0.84 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 6 dengan total 0.04 r positif, r hitung r tabel TIDAK VALID

C. Pernyataan 3, sikap masyarakat terhadap aturan terkait pengendalian

kebakaran hutan dan lahan Item instrumen yang valid merupakan instrumen yang tepat dalam melakukan pengukuran sikap. Pengujian realibilitas dilakukan dengan menggunakan skor – skor pada item – item yang valid. Item yang tidak valid tidak diikutsertakan dalam pengujian realibilitas. Korelasi antara Nilai Korelasi r Nilai r tabel n=35, α =5 Keterangan Kesimpulan Item pernyataan 1 dengan total 0.365 0.344 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 2 dengan total 0.613 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 3 dengan total 0.391 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 4 dengan total 0.376 r positif, r hitung r tabel VALID Item pernyataan 5 dengan total 0.07 r positif, r hitung r tabel TIDAK VALID Item pernyataan 6 dengan total 0.319 r positif, r hitung r tabel TIDAK VALID Uji realibilitas sikap 1sikap masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar menggunakan formula spearman-brown, dengan item yang dapat dibagi secara seimbang ganjil-genap: SKOR TOTAL BELAHAN RESPONDEN 1 2 3 4 5 6 GANJIL GENAP 1. 4 4 4 4 4 3 23 12 11 2. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 3. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 4. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 5. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 6. 3 4 4 4 3 3 21 10 11 7. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 8. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 9. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 10. 4 4 4 4 2 3 21 10 11 11. 4 4 4 4 3 3 22 11 11 12. 4 4 3 4 3 3 21 10 11 13. 3 4 4 4 3 3 21 10 11 14. 3 4 4 4 3 2 20 10 10 15. 2 1 3 3 4 1 14 9 5 16. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 17. 4 4 3 4 2 2 19 9 10 18. 4 4 4 4 4 2 22 12 10 19. 3 4 4 4 4 4 23 11 12 20. 4 4 4 4 4 3 23 12 11 21. 4 4 3 3 3 3 20 10 10 22. 4 4 4 4 3 3 22 11 11 23. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 24. 3 4 3 3 2 2 17 8 9 25. 2 4 4 4 4 3 21 10 11 26. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 27. 4 4 4 4 3 3 22 11 11 28. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 29. 4 4 4 4 4 3 23 12 11 30. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 31. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 32. 4 4 4 4 2 2 20 10 10 33. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 34. 4 4 4 4 4 4 24 12 12 35. 4 4 4 4 2 2 20 10 10 korelasi belahan = 0,718890724 Hasil uji Realibilitas spearman-brown = 0,836458902 Uji realibilitas sikap 2 sikap masyarakat terhadap munculnya dampak negatif praktek penyiapan lahan dengan membakar , menggunakan formula alpha cronbach karena item tidak dapat dibagi dua secara seimbang ganjil-genap RESPONDEN SKOR TOTAL 1 2 3 4 5 1 4 4 4 3 4 19 2 3 4 4 4 4 19 3 4 2 4 3 4 17 4 4 4 4 2 4 18 5 2 4 4 3 4 17 6 4 4 4 3 4 19 7 2 3 3 3 4 15 8 2 2 2 3 4 13 9 2 4 4 3 4 17 10 3 4 4 4 4 19 11 4 4 4 4 4 20 12 4 4 3 3 4 18 13 5 5 5 3 5 23 14 1 1 1 1 1 5 15 5 5 5 5 5 25 16 3 4 3 3 4 17 17 4 4 4 4 4 20 18 4 4 4 4 4 20 19 4 4 4 2 3 17 20 4 4 4 4 4 20 21 4 4 4 4 4 20 22 4 4 4 4 4 20 23 3 2 3 2 3 13 24 4 4 4 4 4 20 25 4 4 3 4 4 19 26 3 4 3 3 4 17 27 2 3 4 3 4 16 28 2 3 3 3 4 15 29 2 3 3 3 4 15 30 4 4 4 3 4 19 31 4 4 4 3 4 19 32 2 4 4 4 4 18 33 3 4 4 3 4 18 34 2 4 4 3 4 17 35 4 4 4 4 4 20 varian² 1,034 0,692 0,575 0,608 0,375 10,852 Hasil uji realibilitas formula alpha Cronbach 0,871728357 Uji realibilitas sikap 3 sikap masyarakat terhadap aturan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, menggunakan formula spearman-brown, dengan empat item yang dapat dibagi seimbang ganjil-genap: RESPONDEN SKOR TOTAL BELAHAN 1 2 3 4 GENAP GANJIL 1 4 4 4 1 13 5 8 2 4 4 2 2 12 6 6 3 4 4 3 3 14 7 7 4 4 4 4 3 15 7 8 5 3 3 4 2 12 5 7 6 3 3 4 3 13 6 7 7 2 3 4 3 12 6 6 8 2 2 4 2 10 4 6 9 3 3 3 2 11 5 6 10 3 3 4 2 12 5 7 11 4 4 4 3 15 7 8 12 5 4 3 3 15 7 8 13 3 3 3 3 12 6 6 14 1 5 5 3 14 8 6 15 5 5 1 3 14 8 6 16 4 2 3 2 11 4 7 17 4 4 4 3 15 7 8 18 4 4 3 2 13 6 7 19 4 3 4 3 14 6 8 20 4 4 4 3 15 7 8 21 4 4 4 3 15 7 8 22 4 4 3 3 14 7 7 23 2 2 3 2 9 4 5 24 5 4 4 3 16 7 9 25 4 3 3 2 12 5 7 26 3 3 4 3 13 6 7 27 2 2 4 3 11 5 6 28 2 2 4 3 11 5 6 29 3 3 3 3 12 6 6 30 4 4 4 3 15 7 8 31 3 3 4 3 13 6 7 32 4 3 3 3 13 6 7 33 4 3 4 3 14 6 8 34 2 2 3 3 10 5 5 35 4 4 4 4 16 8 8 Korelasi belahan ganjil-genap = 0,458991 Hasil uji realibilitas formula spearman-brown= 0,62919 ABSTRACT FERDIAN KRISNANTO. Land preparation practices with burning by communities in the area of Daops Manggala Agni, Muara Bulian, Jambi Province. Under direction of ARZYANA SUNKAR, and LAILAN SYAUFINA. Uncontrolled forest and land fires are mostly caused by land clearing practices. These practices were shaped by the attitudes of the community toward burning practice itself. The study was conducted to compare land clearing practices with burning by various community groups, to determine the attitudes and behaviour of community groups towards land preparation with burning and to determine the factors that influenced such attitudes and behaviour. Data were collected through interview and were analyzed using summated ranking method. Data were analyzed with regard to measurement of attitude and description of land clearing practices and factors that influenced attitude and behaviour of community groups. The research showed that ritual was used by the SAD community prior to burning, while all community groups applied various techniques in land preparation. The choice of technique was under the consideration for an efficient and effective method as well as safety factor. The majority of the people agreed to the practice of burning, negative impacts of burning, and they also agreed on rules related to forest and land fire control. The underlying factors that influenced the community’s attitudes and behaviour were belief that burning could enrich the soil and one of the cheapest land clearing method. The option not to burn was influenced by the fear of prohibiting the law, respect toward officers, and knowledge enhancement that burning could reduce soil fertility in the future. Keywords : forest and land fire, community, practice, attitude RINGKASAN FERDIAN KRISNANTO. Praktek Penyiapan Lahan dengan Membakar oleh Masyarakat di Wilayah Kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR, dan LAILAN SYAUFINA Kebakaran hutan dan lahan karhutla merupakan kejadian yang setiap tahun terjadi di Indonesia. Karhutla berdampak pada berbagai segi kehidupan, mulai dari ekosistem, biodiversitas, ekonomi, kesehatan sampai politik. Karhutla di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia terutama pada penyiapan lahan baik untuk pertanian maupun perkebunan. Praktek penyiapan lahan dengan membakar sebenarnya sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu dan saat ini masih dilakukan beberapa kelompok masyarakat tradisional. Praktek penyiapan lahan dengan membakar dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan aturan sehingga menjadi praktek pembakaran yang terkendali. Praktek tersebut dapat berubah seiring dengan adanya pendatang yang menjalin komunikasi dan pembelajaran dua arah dengan masyarakat lokal. Praktek penyiapan lahan dengan membakar berhubungan dengan sikap masyarakat yang membutuhkan pendekatan sosial untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat terkait karhutla dan faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap dan perilaku tersebut. Data tersebut dapat diperkaya dengan kajian perundangan dan proyeksi kejadian karhutla dalam program pemerintah untuk mempercepat pembangunan berbasis pembangunan perkebunan di wilayah Sumatera. Metode wawancara dilakukan kepada 35 responden dari kelompok masyarakat lokaltradisional dan pendatang, dan wawancara mendalam dengan 25 informan dari pihak terkait yang terdiri dari pemerintahan desa Kepala Desa, Kaur, kecamatan Camat, Dinas Kehutanan kabupaten Kepala Seksi Perlindungan, Dinas Perkebunan kabupaten Kepala Bidang, aktivis LSM Warsi, Walhi, BKSDA Jambi Kepala Balai KSDA, Kasubag tata usaha, Sekretaris Manggala Agni, Kepala Seksi Wilayah, Manggala Agni Kepala Daops Muara Bulian, Ketua Regu, anggota Manggala Agni, dan tokoh – tokoh masyarakat Ketua adat, mantan Kepala desa, masyarakat yang dituakan. Responden kelompok masyarakat terdiri dari masyarakat lokaltradisional Suku Melayu, Suku Anak Dalam dan masyarakat pendatang transmigran Suku Jawa, Melayu serta pendatang Non-Transmigran Suku Banjar, Sunda, Jawa. Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan informasi terkait karhutla mulai dari sejarah, praktek pembakaran terkendali dan aturan – aturan terkait karhutla. Dukungan data dari hasil observasi lapangan memperkuat deskripsi hasil wawancara dan penentuan sikap. Praktek pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat terdiri dari ritual dan tata cara pembakaran. Masyarakat Suku Anak Dalam SAD masih melakukan ritual sebelum pembakaran, sedangkan masyarakat yang lain tidak lagi melakukannya. Tatacara pembakaran meliputi pemilihan waktu dan teknik pembakaran. Pemilihan waktu secara tradisional dilakukan oleh masyarakat SAD di Desa Jebak dan Melayu generasi tua di Desa Jangga Baru. Kecenderungan yang terjadi saat ini masyarakat hanya mempertimbangkan beberapa hal dalam pelaksanaan pembakaran yaitu: keringnya bahan bakar, tidak ada hujan, dan aman dari patroli. Pola penumpukan dan teknik penyalaan memperhitungkan aspek – aspek efektifitas, efisiensi dan ekonomis. Hasil analisa sikap menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat setuju untuk melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan, setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif dan setuju terhadap aturan terkait pengendalian karhutla. Namun, perlu diperhatikan munculnya sikap – sikap tidak setuju dan ragu – ragu yang juga muncul dalam penilaian sikap. Pengetahuan yang terbatas, kepercayaan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah dan keyakinan bahwa membakar adalah cara mucah, murah dan cepat, menjadi pendorong munculnya sikap setuju untuk membakar dan perilaku masyarakat untuk melakukan pembakaran. Perasaan segan terhadap petugas dan takut terhadap sangsi mendorong munculnya sikap tidak setuju membakar dan tidak melakukan praktek membakar dalam penyiapan lahan. Kebijakan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan dengan membangun perkebunan sawit dan karet di wilayah Sumatera khususnya Jambi, menambah peluang meningkatnya karhutla. Hal ini bisa terjadi apabila land clearing yang dilakukan masih menggunakan pembakaran. Masyarakat pekebun kecil melakukan pembakaran dengan pengendalian namun kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pembakaran pada lahan – lahan dengan kepemilikan tidak jelas yang diupahkan kepada masyarakat dari luar desa yang tidak melakukan pembakaran terkendali. Analisa terhadap aturan menunjukkan bahwa aturan yang ada saat ini baik undang – undang dan peraturan pemerintah melarang dilakukannnya pembakaran baik di hutan maupun lahan. Pembakaran terkendali masih memungkinkan dilaksanakan untuk tujuan manajemen kawasan, dengan kondisi tidak terelakkan dan harus dengan perijinan dan pengawasan yang ketat. Masyarakat hukum adat dengan kearifan lokal masih diperkenankan membakar namun dengan syarat tertentu, luasan kurang dari 2 Ha, wajib membuat sekat bakar dan setelah pembakaran harus ditanami varietas lokal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan untuk secepatnya menemukan teknologi baru dalam penyiapan lahan tanpa membakar yang murah dan mudah dilakukan oleh masyarakat. Selama teknologi tersebut belum ditemukan, perlu dikaji aturan penyiapan lahan dengan membakar oleh masyarakat secara berjenjang. Pendekatan kepada masyarakat oleh petugas BKSDA maupun Manggala Agni harus ditingkatkan mengingat adanya pengaruh munculnya sikap dan perilaku masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar. Semua pihak harus mengawal jalannya kebijakan pemerintah tentang percepatan pembangunan yang terkait dengan kemudahan perijinan pembangunan perkebunan yang kemungkinan dapat meningkatkan risiko terjainya karhutla dan terganggunya konservasi keanekaragaman hayati. Kata kunci : kebakaran hutan dan lahan, sikap, praktek pembakaran, masyarakat I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati terbesar setelah negara Brazil, meliputi 515 jenis mamalia, 511 jenis reptil, 1531 jenis burung, 270 jenis amphibi, 35 jenis primata, dan 38 000 jenis tumbuhan Supriyatna 2008. Kekayaan biodiversitas tersebut mendapatkan banyak ancaman yang salah satunya dari kebakaran hutan. Kebakaran di Indonesia terjadi baik di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan lahan sehingga disebut sebagai kebakaran hutan dan lahan karhutla. Karhutla merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang merupakan wilayah hutan hujan dengan kekayaan biodiversitas tinggi serta lahan bergambut yang menjadi penopang ekosistem. Dampak kebakaran hutan tahun 19971998 telah mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62 –2.7 miliar. Asap tebal yang terjadi mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengakibatkan terganggunya transaksi ekonomi serta pariwisata. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar USD 674 –799 juta dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2.8 miliar Tacconi 2003. Bencana asap juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik Boer 2002. Sebesar 99 faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja Sumantri 2007. Lebih jauh lagi, Permana dan Kurniawan 2001 menyatakan bahwa akar penyebab karhutla adalah adanya pembukaan lahan dengan cara membakar baik oleh pengusaha perkebunan, HTI serta masyarakat sekitar kawasan Hasoloan 2001. Namun demikian, dengan s emakin ketatnya pengawasan kebijakan “Zero burning ” oleh pemerintah serta beratnya sanksi terhadap perusahaan yang masih menggunakan pembakaran, menyebabkan mayoritas perusahaan tidak lagi berani menggunakan metode pembakaran dalam pembersihan lahan. Pengusaha perkebunan dan HTI mendeklarasikan pembersihan tanpa bakar zero burning pada Bulan Mei 2006 Anonim 2006. Dengan demikian, akar penyebab karhutla di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh pembakaran yang dilakukan masyarakat terutama petani. Sadjati 2012 menyebutkan bahwa masyarakat petani masih melakukan kebiasaan membakar dalam penyiapan lahan, karena adanya anggapan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah, selain itu resiko dan dampak dari karhutla tidak akan dirasakan oleh masyarakat di pedesaan, karena metode ini adalah metode yang paling cepat, murah dan mudah. Praktek penyiapan lahan yang lebih ramah lingkungan dapat dijumpai pada praktek –praktek penyiapan lahan dengan membakar secara tradisional. Masyarakat Petapahan Riau menerapkan aturan untuk melakukan penjagaan selama pembakaran, serta sanksi apabila api meluas ke lahan orang lain Permana Kurniawan 2001. Contoh lainnya adalah masyarakat Kantu di Kalimantan Barat yang melibatkan upacara ritual dalam tahapan – tahapan penyiapan lahan sehingga tercipta pengawasan secara adat dalam praktek membakar Dove 1988. Permasalahan terjadi saat masyarakat pendatang berusaha meniru pola pembakaran dalam pembersihan lahan namun tidak mengetahui secara lengkap cara dan tahapan yang seharusnya dilakukan dalam penyiapan lahan. Pembakaran dilakukan dengan motivasi memperoleh keuntungan sebesar –besarnya tanpa mengerti aspek bahaya dari praktek tersebut Sudaryanto et al. 1999. Sears et al. 2004 menyebutkan bahwa perilaku seringkali dikaitkan dengan sikap. Praktek penyiapan lahan berkaitan dengan pilihan, sedangkan pilihan dapat berkaitan dengan sikap. Sikap masyarakat pendatang dan lokal terhadap praktek pembakaran yang berbeda akan mempengaruhi praktek yang berbeda juga antara kelompok masyarakat dalam penyiapan lahan.

1.2. Perumusan masalah

Praktek penyiapan lahan dengan membakar oleh masyarakat tradisional dengan aturan –aturan dan urutan langkah tertentu, menjadi suatu kegiatan pengendalian agar pembakaran tidak menjadi kejadian karhutla. Adanya interaksi antara petani lokal dan pendatang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dua arah terutama pada praktek penyiapan lahan. Kondisi seperti ini diindikasikan akan berdampak pada tingkat bahaya karhutla. Masuknya petani pendatang yang lebih modern melalui program transmigrasi ataupun migran spontan, memungkinkan terjadinya pergeseran praktek penyiapan lahan dengan membakar secara tradisional yang dilakukan petani lokal. Penelitian terhadap tata cara praktek penyiapan lahan dengan membakar antara kelompok masyarakat lokal dan tradisional serta pendatang diperlukan untuk dapat melihat bentuk –bentuk praktek pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat serta dampaknya terhadap kejadian karhutla. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : 1. Bagaimana praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokaltradisional dan pendatang? 2. Bagaimana sikap dan perilaku kelompok masyarakat dalam penyiapan lahan dengan membakar? 3. Apa yang melatarbelakangi timbulnya sikap dan perilaku membakar tersebut?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membandingkan praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar oleh kelompok masyarakat pendatang dan tradisionallokal ; 2. Menentukan sikap dan perilaku kelompok masyarakat pendatang dan tradisonallokal dalam penyiapan lahan dengan membakar; 3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku tersebut.

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bentuk- bentuk praktek pembakaran dan dampaknya terhadap kejadian karhutla. Informasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di Provinsi Jambi maupun di tempat lain. II. LANDASAN TEORI

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di kawasan hutan dan non-hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali Syaufina 2008. Di Indonesia istilah inilah yang lebih sering didengar terkait dengan kejadian kebakaran hutan karena kebakaran tidak hanya terjadi di dalam hutan tapi juga di kawasan non- hutan. Saat ini, 70 kebakaran terjadi di lahan non-hutan dan 30 di kawasan hutan Dit. PKH 2010. Faktor penyebab terjadinya karhutla dibagi menjadi faktor alam dan manusia. Di Indonesia, 99 faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja Sumantri 2007. Kesengajaan dilakukan terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan dan alih fungsi lainnya. Dalam beberapa kasus, api juga digunakan dalam konflik lahan, misalnya api digunakan oleh perusahaan untuk mendesak petani pemilik lahan agar menerima ganti rugi dengan harga rendah atau digunakan oleh petani untuk membalas dendam terhadap perusahaan yang merugikan mereka dalam jual beli lahan. Penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan baik dalam sistem perladangan maupun perkebunan milik masyarakat. Dalam pertan ian atau perladangan, kegiatan “sonor“ yang dilakukan masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung, menggunakan api untuk membuka lahan yang akan ditanami padi rawa. Di Jambi, sebagian besar pembukaan perkebunan karet dimulai dengan kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar baik di hutan primer maupun di hutan sekunder yang awalnya digunakan untuk pertanian atau perladangan Junaedi 2010. Kegiatan masyarakat lainnya yang menggunakan api adalah kegiatan perikanan, pencarian kayu dan sumberdaya lahan basah lainnya Chokkalingam et al. 2004. Faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah penyimpangan iklim dan adanya sumber energi berupa kayu, gambut dan batubara Sumantri 1997. Perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang, adanya gelombang panas, serta adanya kegiatan manusia yang menyebabkan mengeringnya lahan gambut dan rawa –rawa, misalnya penebangan hutan, pembuatan kanal, serta pembangunan perkebunan dalam skala besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia kebiasaan dan ketergantungan serta didorong juga kondisi alami berupa faktor iklim.

2.2. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak pada berbagai aspek, mulai dari ekosistem, biodiversitas, kesehatan, sosial hingga politik. Beberapa sumber tulisan mengenai dampak disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Dampak kebakaran hutan dan lahan Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan 1. Dampak biofisik berkaitan dengan 1 pelepasan asap, 2 pelepasan CO 2 , 3 suhu tinggi, 4 perusakan habitat flora dan fauna. Asap mengganggu pernafasan dan penglihatan, serta merusak organnya, menurunkan fotosintesis. Setiap 1 kg bahan tumbuhan kering menghasilkan CO 2 sebanyak 1.9 kg, apabila seluruh biomassa tegakan habis terbakar, CO 2 yang terlepas ke atmosfer setiap hektar : 855 000 kg. Kebakaran hutan menaikkan pelepasan CO 2 sebesar lebih dari 16 . Kebakaran menyisakan abu, pengabuan bahan organik mempercepat pemiskinan tanah. Kebakaran merusak daur hara alami, padahal daur hara antara vegetasi dan tanah merupakan mekanisme penting mempertahankan ekosistem. Makin lama kebakaran berlangsung tanah akan semakin kering. Pemanasan tanah bersamaan dengan turunnya kelembaban nisbi udara mendorong penguapan air tanah yang dapat mengeringkan tanah. Pada tanah gambut, pengeringan atau pemanasan berlebihan dapat memunculkan sifat hidrofobik yang takterbalikkan, berarti kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air hilang selamanya Pada tanah mineral, karena terpanggang, koloid tanah mengalami dehidrasi kuat yang membangkitkan kakas besar sehingga memungkinkan terbentuk konsistensi tanah keras takterbalikkan yang tidak dapat melunak kembali karena pembasahan. Perhitungan CO2 berdasarkan Donahue et al. 1977, Longman Jenik 1974, diacu dalam Notohadinegoro 2006 Tabel 1 Lanjutan Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan 2. Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan mengganggu kehidupan masyarakat lintas negara. Terganggunya transportasi, aktivitas ekonomi, kesehatan dan hubungan politik ASEAN 2003 3. Kualitas udara melampaui batas aman yang ditetapkan WHO hingga 3 kali lipat sepanjang 200 hari dalam setahun. Bisa menyebabkan kematian 15.000 orang, belum termasuk dampaknya terhadap anak –anak, bayi, orang lanjut usia serta manusia dengan tingkat kesehatan yang rentan Marlier et al. 2012

2.3. Pembakaran terkendali controlled burning dan Zero burning

Syaufina 2008 menyatakan bahwa pembakaran terkendali controlled burning adalah penggunaan api secara bijaksana dengan menggunakan teknik tertentu, berdasarkan pengetahuan perilaku api di suatu tempat yang telah ditentukan pada kondisi cuaca yang cocok untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan. Teknik yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pembakaran, bahan bakar, topografi, dan kondisi cuaca agar kerusakan sumberdaya dapat dicegah atau dikurangi. Praktek pembakaran terkendali sudah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak ribuan tahun yang lalu. Saat ini di Indonesia masih terdapat beberapa masyarakat tradisional yang masih melakukan praktek tersebut, misalnya masyarakat Dayak Kenayang Syaufina 2008. Pembakaran terkendali digunakan dalam pemberantasan hama penyakit, membersihkan sampah penebasan dan penebangan, dan memperbaiki kesuburan tanah dengan persyaratan tertentu. Saharjo 1999 menyebutkan bahwa pembakaran terkendali dapat dijadikan alternatif dalam pencegahan kebakaran hutan di hutan Acacia mangium karena dapat digunakan untuk mengurangi bahan bakar. Pembakaran terkendali dapat mengurangi bahaya karhutla dan mengurangi risiko bencana asap. Kebijakan penerapan zero burning merupakan respon terhadap kebakaran besar tahun 19971998. Zero burning didefinisikan sebagai teknik pembersihan lahan dengan membiarkan sisa vegetasi terdekomposisi di dalam lokasi lahan in- situ pembersihan tanpa perlakuan pembakaran. Kebijakan pemberlakuan teknik ini disepakati oleh Menteri Lingkungan Hidup se-ASEAN pada pertemuan yang membahas penanggulangan bencana asap pada Bulan April tahun 1999 ASEAN 2003. Penerapan kebijakan ini dilakukan untuk usaha perkebunan, kehutanan serta sektor lainnya pada sektor usaha komersil, sedangkan untuk masyarakat kecil kemungkinan penggunaan teknik ini sulit dilakukan karena keterbatasan peralatan dan anggaran. Zero burning dilakukan dengan memanfaatkan teknologi mekanis serta perlakuan lainnya yang menggunakan obat –obatan.

2.4. Sikap dan perilaku manusia

Sikap dalam psikologi sosial seringkali dikaitkan dengan proses terjadinya perilaku. Pengertian mengenai sikap sendiri terus berkembang mulai dari penekanan terhadap pentingnya proses belajar aspek kognitif dari masa lalu, motivasi dan emosional masa sekarang, serta teori tiga komponen sikap kognitif, afektif dan perilaku Sears et al. 2004. Azwar 1995 mengemukakan tiga kerangka pemikiran besar dari pengertian sikap yang dibangun mulai tahun 1928, meliputi kerangka pengertian pertama yang diwakili Louis Thorstone, Rensis Likert dan Charles Osgood yang memberikan pengertian bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Pengertian ini menjelaskan bahwa sikap merupakan hal yang mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak. Pemikiran ke dua diwakili oleh Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Allport yang memberikan pengertian tentang sikap yang lebih komplek yang merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara –cara tertentu. Pemikiran ketiga, melalui tokoh Secord dan Backman, yang berorientasi kepada skema triadik triadic scheme yang memberikan pengertian bahwa sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Hal senada disampaikan Walgito 2003 yang menyimpulkan tentang pengertian sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon dan berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Beberapa pengertian tersebut, menjadi dasar berpikir dalam penelitian ini bahwa sikap dibangun dari tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif.