Tata urutan pembakaran Karakteristik responden

Pembakaran searah dengan arah angin dipilih dengan alasan mempercepat pembakaran dan alasan faktor keamanan bagi pembakar. Syaufina 2008 menyatakan bahwa penjalaran api yang searah angin adalah paling cepat, zona nyalanya paling lebar, dan nyalanya paling panjang. Untuk mencegah terjadinya api loncat atau tidak terkendalinya api, diperlukan perhitungan arah angin yang tepat serta pembuatan sekat bakar yang dinilai aman dari api loncat. Masyarakat biasanya menempatkan penjaga di sekitar lahan yang dibakar dengan membawa air dan peralatan lain sebagai upaya untuk mencegah tidak terkendalinya api. Gambar 11 Skema pembakaran balik back firing Pada pola pembakaran balik, pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin. Pola ini dipilih dengan alasan agar api terkendali, tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan lahan tetangga. Selain itu, masyarakat beralasan bahwa pembakaran yang berlawanan dengan arah angin dapat menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan lebih bersih dari serasah sehingga mempermudah penanaman. Api yang berlawanan dengan arah angin penjalarannya lambat, zona nyalanya sempit, dan pendek Syaufina 2008. Namun pola pembakaran ini harus memperhitungkan kekuatan angin yang bertiup agar api tidak berbalik ke arah pelaksana pembakaran. : arah pembakaran : arah angin : sekat bakar Gambar 12 Skema pembakaran tumpukan Pile burning Pada pola pembakaran tumpukan, api disulut dari tumpukan yang telah disusun dari sisa cacahan semak dan kayu yang telah dianggap kering. Satu luasan lahan dibagi menjadi beberapa bagian dengan tujuan pembakaran tidak dilakukan secara bersamaan dalam suatu luasan lahan. Pola ini dianggap yang paling aman karena api dapat diawasi dengan baik sehingga tidak terlalu berisiko terhadap lahan tetangga. Namun demikian, pola ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan tenaga yang banyak terutama pada saat kegiatan penumpukan bahan bakar. Faktor keamanan dan faktor keekonomisan menjadi pertimbangan dari masyarakat dalam memilih teknik pembakaran.

5.3. Sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

Informasi dari pihak Manggala Agni dan aparat desa menjadi bahan penting sebagai informasi pembanding dalam melihat perilaku masyarakat. Teori psikologi sosial mengungkapkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku.

5.3.1. Sikap masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

Sikap masyarakat yang diukur meliputi sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar, dampak negatif terkait dengan praktek tersebut serta aturan –aturan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sikap positif terhadap praktek pembakaran diartikan sebagai sikap yang setuju terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar begitu juga sebaliknya dengan sikap negatif. Sikap positif terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran : pembakaran : tumpukan bahan bakar : sekat bakar diartikan sebagai sikap yang setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi, kesehatan dan ekonomi. Sikap positif terhadap aturan terkait pengendalian karhutla diartikan sebagai sikap yang mendukung adanya aturan –aturan tersebut. Hasil pengukuran disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Sikap kelompok masyarakat pekebun Sikap Kelompok masyarakat Lokal Pendatang Transmigran Non- transmigran SAD Melayu Jawa Melayu Jawa - Sunda Banjar Sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar Positif 85.7 100 69.4 80.9 87.3 67.8 Ragu 14.3 18.4 19.1 6.35 23.2 Negatif 12,2 6.35 8.9 Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat pembakaran Positif 29.2 66.7 76.2 44.5 66.7 58.3 Ragu

45.8 20.8

4.8 33.3

13 20.8 Negatif 25

12.5 19

22.2 20.3 20.8 Sikap terhadap aturan terkait pengendlian karhutla Positif

37.5 50

61.1 50

59.2 43.7 Ragu 45.8 37.5 27

16.7 24.1

37.5 Negatif 16.7 12.5

11.9 33.3

16.7 18.8 Mayoritas masyarakat baik lokal maupun pendatang, menyatakan sikap positif terhadap praktek pembakaran dalam penyiapan lahan. Namun demikian terdapat keragu – raguan dan sikap negatif pada beberapa responden. Walaupun sebagian besar menyetujui praktek pembakaran sebagai alternatif yang mudah, murah dan praktis, namun sebagian masyarakat ada yang tidak setuju serta ragu – ragu terutama terkait biaya dan kesuburan tanah. Faktor biaya dipertimbangkan terutama pada komoditas sawit, sedangkan faktor kesuburan terutama dipertimbangkan pada komoditas karet. Untuk komoditas sawit, penelitian Hasyim et al. 1993 menyimpulkan bahwa biaya untuk penyiapan lahan pada kebun sawit komersil lebih besar terutama pada tahun awal, sedangkan hasil penelitian Gouyon dan Simorangkir 2002 menunjukkan perbandingan selisih yang tidak terlalu besar antara biaya untuk lahan yang disiapkan dengan membakar dan tidak dibakar. Besarnya biaya akan berbeda pada setiap daerah, hal ini terkait dengan perbedaan upah buruh serta biaya sewa alat berat. Untuk komoditas karet, walaupun sebagian masyarakat sudah mempergunakan teknik penyulaman dalam peremajaan, namun sebagaian besar masyarakat lebih memilih membakar untuk peremajaan karena dianggap akan mengurangi risiko serangan jamur akar putih. Sikap positif setuju –sangat setuju terhadap timbulnya dampak negatif akibat praktek pembakaran diyakini sebagian besar masyarakat walaupun masih terdapat keragu –raguan pada masyarakat mengenai dampak kebakaran terhadap kesuburan tanah. Informasi tentang dampak negatif pembakaran yang disebarkan melalui penyuluhan serta pengetahuan formal, bersinggungan dengan pengalaman pribadi sehingga muncul keragu –raguan dalam masyarakat. Secara ilmiah, hasil penelitian Notohadinegoro 2006 dan Darwiati dan Nurhaedah 2010 mencatat bahwa pembakaran memudahkan terjadinya erosi, pemiskinan bahan organik, serta matinya flora fauna tanah yang disebabkan oleh tingginya suhu dan pengeringan tanah. Selain itu, kebakaran dapat menyebabkan ancaman kematian terhadap 15.000 jiwa karena kualitas udara yang menurun berdasarkan penelitian Marlier et al. 2012. Di sisi lain, Syaufina 2008 menyatakan bahwa kebakaran tidak selamanya berdampak negatif bagi lingkungan terutama pada sistem pembakaran terkendali. Hal serupa juga ditemukan pada sikap terhadap aturan, walaupun sebagian besar masyarakat terutama pendatang menyetujui adanya aturan dan penegakan aturan, namun sikap ragu dan negatif juga muncul. Aturan formal yang saat ini berlaku, dianggap memberikan sanksi yang terlalu berat bagi pelaku pembakaran sehingga perlu dikaji ulang. Keinginan untuk menyusun aturan desa terkait dengan pelaksanaan pembakaran dianggap dapat menjawab persoalan, dimana masyarakat boleh membakar dengan syarat tertentu terkait dengan pembagian waktu, pengamanan dan sanksi sosial. Pilihan sikap masyarakat ditentukan dari beberapa komponen yang oleh Azwar 1995 dibagi menjadi kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan, komponen afektif terkait dengan emosi dan perasaan, dan komponen konatif lebih kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat. Masyarakat lokal memperoleh pengetahuan tentang tatacara berkebun termasuk membakar dari orang tua mereka, sedangkan masyarakat pendatang memperoleh pengetahuan mereka dari pergaulan serta pengalaman. Masyarakat transmigran di Desa Jangga Baru, menyatakan bahwa praktek membakar dalam penyiapan lahan pada awalnya dipelajari dari mandor –mandor perkebunan pada