Latar belakang Land preparation practices with burning by communities in the area of Daops Manggala Agni, Muara Bulian, Jambi Province

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati terbesar setelah negara Brazil, meliputi 515 jenis mamalia, 511 jenis reptil, 1531 jenis burung, 270 jenis amphibi, 35 jenis primata, dan 38 000 jenis tumbuhan Supriyatna 2008. Kekayaan biodiversitas tersebut mendapatkan banyak ancaman yang salah satunya dari kebakaran hutan. Kebakaran di Indonesia terjadi baik di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan lahan sehingga disebut sebagai kebakaran hutan dan lahan karhutla. Karhutla merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang merupakan wilayah hutan hujan dengan kekayaan biodiversitas tinggi serta lahan bergambut yang menjadi penopang ekosistem. Dampak kebakaran hutan tahun 19971998 telah mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62 –2.7 miliar. Asap tebal yang terjadi mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengakibatkan terganggunya transaksi ekonomi serta pariwisata. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar USD 674 –799 juta dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2.8 miliar Tacconi 2003. Bencana asap juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik Boer 2002. Sebesar 99 faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja Sumantri 2007. Lebih jauh lagi, Permana dan Kurniawan 2001 menyatakan bahwa akar penyebab karhutla adalah adanya pembukaan lahan dengan cara membakar baik oleh pengusaha perkebunan, HTI serta masyarakat sekitar kawasan Hasoloan 2001. Namun demikian, dengan s emakin ketatnya pengawasan kebijakan “Zero burning ” oleh pemerintah serta beratnya sanksi terhadap perusahaan yang masih menggunakan pembakaran, menyebabkan mayoritas perusahaan tidak lagi berani menggunakan metode pembakaran dalam pembersihan lahan. Pengusaha perkebunan dan HTI mendeklarasikan pembersihan tanpa bakar zero burning pada Bulan Mei 2006 Anonim 2006. Dengan demikian, akar penyebab karhutla di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh pembakaran yang dilakukan masyarakat terutama petani. Sadjati 2012 menyebutkan bahwa masyarakat petani masih melakukan kebiasaan membakar dalam penyiapan lahan, karena adanya anggapan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah, selain itu resiko dan dampak dari karhutla tidak akan dirasakan oleh masyarakat di pedesaan, karena metode ini adalah metode yang paling cepat, murah dan mudah. Praktek penyiapan lahan yang lebih ramah lingkungan dapat dijumpai pada praktek –praktek penyiapan lahan dengan membakar secara tradisional. Masyarakat Petapahan Riau menerapkan aturan untuk melakukan penjagaan selama pembakaran, serta sanksi apabila api meluas ke lahan orang lain Permana Kurniawan 2001. Contoh lainnya adalah masyarakat Kantu di Kalimantan Barat yang melibatkan upacara ritual dalam tahapan – tahapan penyiapan lahan sehingga tercipta pengawasan secara adat dalam praktek membakar Dove 1988. Permasalahan terjadi saat masyarakat pendatang berusaha meniru pola pembakaran dalam pembersihan lahan namun tidak mengetahui secara lengkap cara dan tahapan yang seharusnya dilakukan dalam penyiapan lahan. Pembakaran dilakukan dengan motivasi memperoleh keuntungan sebesar –besarnya tanpa mengerti aspek bahaya dari praktek tersebut Sudaryanto et al. 1999. Sears et al. 2004 menyebutkan bahwa perilaku seringkali dikaitkan dengan sikap. Praktek penyiapan lahan berkaitan dengan pilihan, sedangkan pilihan dapat berkaitan dengan sikap. Sikap masyarakat pendatang dan lokal terhadap praktek pembakaran yang berbeda akan mempengaruhi praktek yang berbeda juga antara kelompok masyarakat dalam penyiapan lahan.

1.2. Perumusan masalah