Sikap masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan
Sikap positif setuju –sangat setuju terhadap timbulnya dampak negatif
akibat praktek pembakaran diyakini sebagian besar masyarakat walaupun masih terdapat keragu
–raguan pada masyarakat mengenai dampak kebakaran terhadap kesuburan tanah. Informasi tentang dampak negatif pembakaran yang disebarkan
melalui penyuluhan serta pengetahuan formal, bersinggungan dengan pengalaman pribadi sehingga muncul keragu
–raguan dalam masyarakat. Secara ilmiah, hasil penelitian Notohadinegoro 2006 dan Darwiati dan Nurhaedah 2010 mencatat
bahwa pembakaran memudahkan terjadinya erosi, pemiskinan bahan organik, serta matinya flora fauna tanah yang disebabkan oleh tingginya suhu dan
pengeringan tanah. Selain itu, kebakaran dapat menyebabkan ancaman kematian terhadap 15.000 jiwa karena kualitas udara yang menurun berdasarkan penelitian
Marlier et al. 2012. Di sisi lain, Syaufina 2008 menyatakan bahwa kebakaran tidak selamanya berdampak negatif bagi lingkungan terutama pada sistem
pembakaran terkendali. Hal serupa juga ditemukan pada sikap terhadap aturan, walaupun sebagian
besar masyarakat terutama pendatang menyetujui adanya aturan dan penegakan aturan, namun sikap ragu dan negatif juga muncul. Aturan formal yang saat ini
berlaku, dianggap memberikan sanksi yang terlalu berat bagi pelaku pembakaran sehingga perlu dikaji ulang. Keinginan untuk menyusun aturan desa terkait
dengan pelaksanaan pembakaran dianggap dapat menjawab persoalan, dimana masyarakat boleh membakar dengan syarat tertentu terkait dengan pembagian
waktu, pengamanan dan sanksi sosial. Pilihan sikap masyarakat ditentukan dari beberapa komponen yang oleh
Azwar 1995 dibagi menjadi kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan, komponen afektif terkait dengan
emosi dan perasaan, dan komponen konatif lebih kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat.
Masyarakat lokal memperoleh pengetahuan tentang tatacara berkebun termasuk membakar dari orang tua mereka, sedangkan masyarakat pendatang
memperoleh pengetahuan mereka dari pergaulan serta pengalaman. Masyarakat transmigran di Desa Jangga Baru, menyatakan bahwa praktek membakar dalam
penyiapan lahan pada awalnya dipelajari dari mandor –mandor perkebunan pada
awal pembangunan perkebunan sekitar tahun 1980-an. Pengetahuan masyarakat lokaltradisional baik yang diturunkan oleh orang tua mereka ataupun dari
pengalaman akan membentuk pemahaman bahwa membakar merupakan cara yang praktis, mudah serta murah. Begitu juga dengan pendatang, pertukaran
pengetahuan yang didapat dari pergaulan dengan penduduk lokaltradisonal maupun yang dipelajari dari mandor perkebunan, membentuk pemikiran bahwa
pembakaran merupakan cara yang efektif dalam penyiapan lahan, sedangkan cara
–cara lain misalnya mekanis dengan penggunaan traktor dianggap lebih mahal. Pengetahuan inilah yang banyak membentuk sikap positif setuju-sangat
setuju dengan praktek penyiapan lahan dengan membakar. Proses pembentukan pengetahuan salah satunya adalah dari pendekatan
belajar. Pendekatan belajar dalam teori pembentukan sikap mengungkapkan bahwa sikap terbentuk melalui proses asosiasi, penguatan dan imitasi Sears et al.
2004. Dalam proses asosiasi, pengetahuan dan perasaan dapat timbul karena adanya asosiasi, pergaulan dengan masyarakat desa, pertukaran informasi antara
penduduk lokal dengan pendatang yang dapat menjadi proses belajar yang sangat efektif terutama pada masyarakat desa yang tidak banyak keluar dari desanya
karena akses yang tidak mudah seperti Desa Jangga Baru yang memerlukan waktu sekitar 2
–3 jam dalam kondisi jalan baik untuk keluar dari desanya menuju kota. Pergaulan dengan tetangga lebih banyak dilakukan sehingga peluang terjadinya
proses saling belajarpun lebih besar. Proses penguatan kognisi terutama terjadi pada saat suatu pengetahuan
timbul dari pengalaman. Pengalaman dari pelaksanaan pembakaran yang terbukti menyebabkan meningkatnya kesuburan tanah akan semakin kuat setelah terjadi
pengulangan atau pengalaman serupa dari beberapa orang. Pengetahuan ini akan terus diturunkan dan ditularkan mulai dari keluarga serta orang
–orang terdekat. Proses imitasi tersebut akan semakin kuat ketika seorang yang dipandang dalam
masyarakat desa melakukan hal tersebut, misalnya ketua atau tokoh adat. Masyarakat SAD yang masih sangat kuat lembaga adatnya, akan lebih mencontoh
apa yang dilakukan oleh tokoh adatnya. Sumber pengetahuan berupa media massa dan fasilitas elektronik seperti TV
dan radio di beberapa desa masih sulit didapatkan. Jarak dengan kota yang jauh