5.4. Praktek pembakaran, upaya pengendalian dan konservasi
keanekaragaman hayati
Pilihan cara membakar dalam penyiapan lahan ternyata masih mempertimbangkan faktor pengendalian. Masyarakat melakukan pembakaran
terkendali untuk lahan milik mereka, sedangkan lahan yang tidak jelas kepemilikannya biasanya tidak diperhatikan dan tidak dipedulikan oleh
masyarakat. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat banyak terjadi praktek penjualan lahan perkebunan di Jambi, baik lahan milik maupun berstatus Areal
Penggunaan Lain APL, yaitu penjualan lahan yang tidak dibudidayakan pada orang luar baik luar kabupaten bahkan luar provinsi. Lahan tersebut biasanya
dibakar oleh orang upahan tanpa memperhatikan pengendalian api sehingga ancaman karhutla akan tetap ada selama masih banyak kegiatan pembakaran lahan
tidur terutama di APL. Yunus 2005 menyatakan bahwa status lahan berkorelasi positif dengan luas kebakaran hutan dan lahan, semakin rendah status kepemilikan
lahan property right dan sistem pengawasan terhadap lahan semakin rendah, semakin besar peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan juga terkait dengan pengembangan perkebunan yang marak terjadi di Sumatera terutama di Jambi dan Riau.
Supriyatna 2008 mencatat bahwa kebakaran hutan terus meningkat seiring dengan ekspansi perkebunan sawit. Pertumbuhan perkebunan sawit akan terus
meningkat seiring dengan kebijakan pemerintah terkait target pengembangan perekonomian melalui perluasan perkebunan sawit dan karet baik di wilayah
Sumatera maupun Kalimantan. Salah satu kebijakan pemerintah untuk pengembangan ekonomi melalui
perluasan perkebunan karet dan sawit ditetapkan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI 2011
– 2025. Dalam MP3EI disebutkan bahwa untuk koridor ekonomi Sumatera akan berfokus pada
tiga kegiatan ekonomi utama yaitu kelapa sawit, karet dan batu bara Kemenko Bidang Perekonomian 2011. Dengan demikian peluang untuk memperluas
perkebunan kelapa sawit dan karet semakin besar di seluruh wilayah Sumetera termasuk Jambi. Khusus untuk sawit, terjadi pertumbuhan 10 kali lipat dari tahun
1990 dengan luasan 44 763 Ha menjadi 430 610 Ha pada tahun 2007, dan pada
tahun 2008 tercatat 1 100 000 Ha izin pengusahaan sawit dengan luas kebun yang sudah diusahakan seluas 454 763 Ha, dengan demikian masih ada 645 229 Ha
yang belum diusahakan BI 2011. Apabila pelaksanaan kegiatan pembersihan lahan land clearing untuk perkebunan sawit serta peremajaan karet yang
dilakukan masih menggunakan metode pembakaran tanpa upaya pengendalian, maka peluang terjadinya karhutla akan sangat besar yang akan terus mengancam
upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
5.5. Kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan
Kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada tahun 19971998 mendapatkan banyak tanggapan berupa kebijakan baik dalam negeri
maupun tingkat regional. Pada tingkat regional, pertemuan –pertemuan Menteri
bidang Lingkungan Hidup di negara ASEAN, melahirkan perjanjian –perjanjian
serta prosedur pelaksanaan guidelines terkait dengan penanggulangan bencana asap dan kebakaran hutan dan lahan. Perjanjian antara negara
–negara ASEAN tentang penanggulangan bencana asap dituangkan dalam The ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution yang ditandatangani tanggal 10 Juni 2002, dalam perjanjian tersebut memberikan mandat kepada setiap negara untuk
melakukan aksi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dengan membentuk satuan tugas. Walaupun sampai saat ini pemerintah
Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, namun beberapa pasal yang dimandatkan dalam perjanjian tersebut sudah dilaksanakan di Indonesia, misalnya
tentang peningkatan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta pembentukan satuan tugas.
Salah satu prosedur pelaksanaan yang disusun adalah Guideline for The Implementation of The ASEAN Policy on Zero Burning yang dikeluarkan tahun
2003. Dalam dokumen ini, dapat dilihat bahwa zero burning diwajibkan untuk perusahaan perkebunan dan kehutanan komersil, sedangkan pelaksanaannya untuk
masyarakat pekebun kemungkinan besar tidak dapat dilakukan karena keterbatasan biaya dan teknologi. Untuk masyarakat pekebun skala rumah tangga,
petani dan peladang berpindah disusun juga pedoman pelaksanaan untuk pembakaran terkendali dalam Guideline for The Implementation of The ASEAN
Policy on Controlled Burning Practices. Dokumen ini disusun berdasarkan
penelitian dari beberapa praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat di Sumatera dan Kalimantan ASEAN 2003. Kenyataan bahwa masih
banyak masyarakat tradisional yang melakukan pembakaran terkendali dalam penyiapan lahan baik untuk pertanian maupun perkebunan, mendasari pembuatan
pedoman tersebut di negara-negara ASEAN. Hal ini memperlihatkan pengakuan terhadap praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat yang
didasari dengan pertimbangan-pertimbangan kearifan lokal. Kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan
diwujudkan juga dalam kerjasama dengan beberapa negara, misalnya Jepang melalui JICA, Jerman GTZ, Korea Selatan, Amerika, Kanada, Australia dan
negara Uni Eropa SSFFMP. Kerjasama tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan, pelatihan, bantuan peralatan, bantuan teknik dan penelitian. Dari
kerjasama tersebut, sudah banyak memberikan kontribusi terhadap upaya pengendalian karhutla, salah satunya dalam hal monitoring dini karhutla melalui
teknologi satelit. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk upaya monitoring, pencegahan dan penegakan hukum.
Kebijakan pemerintah dalam format peraturan berupa undang – undang dan
peraturan pemerintah yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan antara lain: Undang
–Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang–Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang
–Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 4
tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dan Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 7.