Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut Arsyad, 1999. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan tingkat pengangguran Todaro, 2000. Adanya perbedaan endowment fa ctor antara satu daerah dengan yang lain menyebabkan terjadinya ga p atau kesenjangan antar daerah-daerah tersebut Sadono, 1997. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan ba ckwa sh effects yang lebih besar dari spread effects sehingga mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Perbedaan atau ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari besarnya Produk Regional Domestik Bruto PDRB yang dihasilkan oleh setiap daerah. commit to user 2 Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah Tahun 2007-2009 Juta Rupiah Wilayah Tahun 2007 2008 2009 Jumlah Pering- Jumlah Pering- Jumlah Pering- kat kat kat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumatera 408,321,074.15 21.73 2 428,403,023.28 21.59 2 462,062,008.70 21.20 2 Jawa-Bali 1,160,911,333.9 61.79 1 1,229,239,676.84 61.96 1 1,349,227,990.0 62.00 1 Kalimantan 166,365,987.16 8.86 3 175,114,840.29 8.83 3 187,367,314.30 8.61 3 Sulawesi 84,599,364.77 4.50 4 91,128,054.18 4.59 4 104,134,955.6 4.78 4 Nusa Tenggara, Maluku, Papua 58,540,888.40 3.12 5 59,948,370.59 3.02 5 74,144,978.68 3.41 5 Indonesia Barat 1,569,232,408.05 83.53 - 1,657,642,700.13 83.56 - 1,811,584,808.00 83.21 - Indonesia Timur 309,506,240.33 16.47 - 326,191,265.06 16.44 - 365,647,248.60 16.79 - Indonesia 1,878,738,648.38 100 - 1,983,833,965.19 100 - 2,177,232,056.71 100 - Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa besarnya PDRB yang dihasilkan di wilayah Indonesia bagian barat jauh lebih besar dari pada PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur. Pada tahun 2007 Indonesia bagian barat menghasilkan PDRB sebesar Rp. 1.569.232.408,05,- juta, pada tahun berikutnya meningkat jadi Rp. 1.657.642.700,13,- juta dan pada tahun 2009 sebesar Rp. 1.811.584.808,- juta. Sementara itu jumlah PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur pada tahun 2007 hanya sebesar Rp. 309.506.240,33,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 326.191.265,06,- juta dan pada tahun 2009 jumlahnya meningkat jadi Rp. 365.647.248,6,- juta. Jumlah total PDRB yang dihasilkan oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali selalu menduduki posisi paling tinggi bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Dimana pada tahun 2007 total PDRB yang dihasilkan provinsi- provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp. 1.160.911.333,90,- commit to user 3 juta, lalu pada tahun 2008 dan 2009 jumlahnya meningkat masing-masing menjadi Rp. 1.229.239.676,84,- juta dan Rp. 1.349.522.799,- juta. Pulau Sumatera menduduki posisi kedua dimana total PDRB yang dihasilkan seluruh provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 408.321.074,15,- juta, pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Rp. 428.403.023,28,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 462.062.008,7,- juta. Pada posisi ketiga ditempati oleh Pulau Kalimantan, dimana total PDRB yang dihasilkan povinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 166.365.987,16,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 175.114.840,29,- juta dan pada tahun 2009 meningkat jadi Rp. 187.367.314,3,- juta. Pulau Sulawesi menempati posisi keempat dimana total PDRB yang dihasilkan provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 84.599.364,77,- juta, pada tahun 2008 naik jadi Rp. 91.128.054,18,- juta dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp. 104.134.955,6,- juta. Sedangkan Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menempati posisi terakhir, dimana pada tahun 2007 seluruh provinsinya menghasilkan total PDRB sebesar Rp. 58.540.888,40,- juta, pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi Rp. 59.948.370,59,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 74.144.978,68,- juta. Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan yang lain juga sangat dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, karena adanya penduduk atau Sumber Daya Manusia SDM merupakan salah satu syarat dalam melakukan pembangunan ekonomi selain Sumber Daya Alam SDA dan modal. Akan tetapi jumlah penduduk yang tinggi saja tidak akan mempunyai daya guna dalam melakukan pembangunan ekonomi tanpa diimbangi dengan kualitas commit to user 4 penduduk tersebut. Adanya jumlah penduduk yang rendah dan kurang mempunyai kualitas akan mempengaruhi tingkat produktifitas suatu wilayah. Apabila tingkat produktifitas rendah maka akan mempengaruhi banyaknya Produk Domestik Regional Bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Korelasi antara jumlah dan kualitas penduduk dengan besarnya Produk Domestik Regional Bruto PDRB terbukti dengan adanya ketimpangan yang terjadi antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Di mana seperti yang kita ketahui bersama wilayah Indonesia bagian barat memiliki jumlah dan kualitas penduduk yang lebih tinggi dapat menghasilkan PDRB yang tinggi, sementara Indonesia bagian timur cenderung memiliki jumlah dan kualitas penduduk yang kurang sehingga hanya menghasilkan PDRB yang kecil. Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009 Wilayah Luas Wilayah Tahun 2007 2008 2009 Jumlah ribu jiwa Pering -kat Jumlah ribu jiwa Pering -kat Jumlah ribu jiwa Pering- kat Km 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Sumatera 480,802.28 25.16 48,060.6 21.28 2 48,924.5 21.40 2 49,615.4 21.44 2 Jawa-Bali 135,218.34 7.08 135,186.3 59.85 1 136,372.6 59.64 1 137,711.1 59.52 1 Kalimantan 544,150.07 28.48 12,628.3 5.59 4 12,847.7 5.62 4 13,065.8 5.65 4 Sulawesi 188,522.36 9.87 16,291.8 7.21 3 16,530.9 7.23 3 16,767.7 7.25 3 Nusa Tenggara 67,290.42 3.52 8,745.4 3.87 5 8,898.1 3.89 5 9,053.7 3.91 5 Maluku 78,896.53 4.13 2,246.3 0.99 7 2,280.3 1.00 7 2,314.5 1.00 7 Papua 416,060.54 21.77 2,731.6 1.21 6 2,786.5 1.22 6 2,841.4 1.23 6 Indonesia 1,910,940.54 100 225,890.3 100 228,640.6 100 231,369.6 100 Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah Dari tabel tersebut kita dapat melihat dengan jelas adanya ketimpangan dalam penyebaran penduduk di Indonesia. Pada tahun 2007, 2008 maupun 2009 jumlah penduduk lebih banyak terkonsentrasi di wilayah commit to user 5 Indonesia bagian barat terutama di wilayah Jawa dan Bali, padahal luasnya hanya 7,08 dari total luas Indonesia. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Jawa-Bali mencapai 59,52 atau sekitar 137.711,10 ribu jiwa. Wilayah Sumatera menempati peringkat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 49.615,40 ribu jiwa atau sekitar 21,44. Penduduk yang berada di wilayah Sulawesi pada tahun 2009 mencapai 16.767,70 ribu jiwa atau sekitar 7,25 dari total populasi nasional. Wilayah Kalimantan yang merupakan pulau terluas hanya ditinggali penduduk sebanyak 13.065,80 ribu jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Nusa Tenggara sekitar 3,91 dari jumlah populasi nasional atau berjumlah 9.053,70 ribu jiwa. Dua daerah yang berada di timur Indonesia yaitu wilayah Maluku dan Papua pada tahun 2009 hanya ditinggali masing-masing sebesar 1 atau sekitar 2.314,50 ribu jiwa dan 1,23 dari jumlah populasi nasional atau sekitar 2.841,40 ribu jiwa. Adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan penyebaran penduduk yang terjadi antara satu wilayah dengan yang lain pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Masalah tersebut dapat dikatakan kompleks karena kemiskinan memiliki banyak dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi lain seperti kesehatan dan pendidikan. Konsentrasi spasial kemiskinan memiliki definisi yang berbeda dengan kemiskinan yang konvensional. Secara konvensional, kemiskinan menunjuk pada individu atau keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya atau membelanjakan lebih dari commit to user 6 proporsi tertentu dari pendapatannya untuk mencapai standar hidup tertentu sedangkan konsentrasi spasial kemiskinan melihat tingkat kemiskinan pada suatu komunitas tertentu Ardyanto, 2003 dalam Sunarwan, 2007. Komunitas dapat disebut miskin jika lebih dari 20 populasinya orang miskin. Tingkat kemiskinan suatu komunitas inilah yang selanjutnya dapat digunakan untuk memberikan informasi perbandingan kemiskinan antar wilayah. Mengingat kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, maka terdapat banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhinya, antara lain: i pertumbuhan ekonomi; ii pendidikan, dan iii pengangguran. Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati 2009, menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pendidikan juga merupakan faktor penentu tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia SDM yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dari hal tersebut terlihat dengan jelas adanya hubungan antara pendidikan dengan kemiskinan. Pengangguran juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Adit commit to user 7 Agus Prasetyo 2010 menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat penggangguran dengan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya untuk menekan tingkat pengangguran untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam mengukur tingkat kemiskinan Badan Pusat Statistik BPS menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan BPS, 1994 dalam Mudrajad, 2009. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Berdasarkan pengukuran tersebut di dapatkan hasil bahwa selama periode 1976 sampai 2009, telah terjadi trend peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, hal ini seperti yang ditunjukkan tabel berikut: commit to user 8 Tabel 1.3 Perkembangan Batas Garis Kemiskinan Versi BPS dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun KOTA DESA Batas Garis Kemiskinan Rpkapitabulan Jumlah Penduduk Miskin juta Batas Garis Kemiskinan Rpkapitabulan Jumlah Penduduk Miskin juta 1 2 3 4 5 6 7 1976 4.522 10 38,8 2.849 44,2 40,4 1984 13.731 9,3 23,14 7.746 25,7 21,18 1987 17.381 9,7 20,14 10.294 20,3 16,44 1990 20.614 9,4 16,75 13.295 17,8 14,33 1993 27.905 8,7 13,45 18.244 17,2 13,79 1996 42.032 9,6 13,6 31.366 24,9 19,9 1998 96.959 17,6 21,9 72.780 31,9 25,7 1999 89.845 12,4 15,1 69.420 25,1 20,2 2000 91.632 12,1 14,58 73.648 25,2 22,14 2001 100.011 8,5 9,76 80.382 28,6 24,95 2002 130.499 13,3 14,46 96.512 25,1 21,1 2003 138.803 12,2 13,57 105.888 25,1 20,23 2004 143.455 11,4 12,13 108.725 24,8 20,11 2005 150.799 12,4 11,37 117.259 22,7 19,51 2006 174.290 14,49 13,47 130.584 24,81 21,81 2007 187.942 13,56 12,52 146.837 23,61 20,37 2008 204.896 12,77 11,65 161.831 22,19 18,93 2009 222.123 11,91 10,72 179.835 20,62 17,35 Sumber: BPS. 1994, 2001, 2009 dalam Mudrajad Kuncoro. 2009. URL: www.mudrajad.com uploadkemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.doc diakses 12 November 2010 pukul 20.05 Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta jiwa dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun 1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 37,5 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada tahun 2005. Pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis menjadi 39,30 juta jiwa 17,75. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan commit to user 9 bertambah 2,09 juta jiwa. Namun pada periode 2007-2008 terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan, dari 37,17 juta jiwa 16,58 pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta jiwa 15,42 pada tahun 2008. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan, dimana selama periode 2007-2008 penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta jiwa. Di tahun 2009 trend penurunan jumlah penduduk miskin masih berlanjut, dimana pada tahun ini jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 32,53 juta jiwa dengan rincian penduduk miskin di wilayah kota sebesar 11,91 juta jiwa dan penduduk miskin di wilayah desa sebesar 20,62 juta jiwa. Bank Dunia 1990 mengunakan 2 dua kriteria dalam melakukan penelitian tentang kemiskinan, yaitu: i menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari dan ii garis kemiskinan internasional berdasarkan Purcha sing Power Pa rity PPP US 1 dan US 2. Menurut penelitian yang dilakukan Bank Dunia di Indonesia, bila garis kemiskinan dihitung berdasarkan Purcha sing Power Pa rity PPP US 1 per kapitahari maka persentase kemiskinan adalah sebesar 5,9 pada tahun 2008, yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,7. Namun bila dihitung berdasarkan PPP US 2 per kapitahari, maka persentase kemiskinan adalah sebesar 42,6. Jika garis kemiskinan naik dua kali lipat, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin naik lebih dari empat kali. Ini menunjukkan bahwa perhitungan angka kemiskinan di Indonesia begitu sensitif terhadap perubahan harga. Adanya fluktuasi commit to user 10 sedikit saja dari harga-harga kebutuhan bisa berakibat banyak sekali penduduk yang akan tergolong miskin Mudrajad, 2009. URL: www.mudrajad.comuploadkemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009. doc diakses tanggal 12 November 2010 pukul 20.05 Sajogyo 1974 melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil Mudrajad, 2009. Dari penelitian kemiskinan yang didasarkan pada harga beras tersebut di dapatkan hasil bahwa pada tahun 196465 jumlah penduduk kota yang dapat dikategorikan miskin sebesar 65,1 sedangkan jumlah penduduk Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan Esmara Tahun Kota Desa Sajogyo Esmara Sajogyo Esmara 1 2 3 4 5 196465 65.1 44.0 49.3 51.6 1970 45.4 38.1 31.3 49.1 1976 31.2 39.9 28.1 46.4 1978 27.2 41.6 29.7 46.6 1980 24.4 37.3 17.1 43.2 1981 13.2 32.3 8.0 40.0 1984 31.3 31.3 7.4 39.3 1987 30.4 30.4 3.2 36.0 Sumber: Booth 1992, dalam Mudrajad 2009 commit to user 11 desa miskin sebesar 49,3. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan sampai pada tahun 1981, dimana pada tahun tersebut jumlah penduduk kota dan desa yang dikategorikan miskin masing-masing sebesar 13,2 dan 8. Namun pada tahun penelitian berikutnya yaitu tahun 1984 dan 1987 persentase penduduk miskin di kota dan desa mengalami perkembangan yang berkebalikan. persentase penduduk miskin kota mengalami kenaikan dari 13,2 pada tahun 1981 menjadi 30,4 pada tahun 1987, sementara persentase penduduk miskin desa mengalami penurunan dari 8 pada tahun 1981 menjadi 3,2 di tahun 1987. Penelitian mengenai masalah kemiskinan lainnya adalah yang dilakukan oleh Hendra Esmara. Hendra Esmara 1986 menggunakan suatu garis kemiskinan perdesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas. Oleh karena itu ukuran Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kuantitas barang-barang esensial yang dikonsumsi. Hasil penelitian yang didapatkan melalui metode yang dipakai Hendra Esmana 1986 ini menunjukkan bahwa pada tahun 196465 persentase penduduk yang dikategorikan miskin di kota mencapai 44 sedangkan di desa terdapat penduduk miskin sebesar 51,6. Pada tahun-tahun berikutnya persentase penduduk miskin baik di kota maupun di desa menunjukkan trend yang menurun, akan tetapi trend penurunan tersebut tidak sebesar trend penurunan yang terjadi dalam penelitian Sajogyo 1974. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa penduduk kota yang commit to user 12 dapat dikategorikan miskin sebesar 30,4 sedangkan penduduk miskin di desa mencapai 36. Penelitian yang dilakukan Hendra Esmana 1986 selalu menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di desa selalu lebih besar dari pada persentase penduduk miskin yang ada di kota, hal ini berlawanan dengan penelitian Sajogyo yang menunjukkan persentase penduduk miskin di desa selalu lebih kecil dibandingkan penduduk miskin di kota Mudrajad, 2009. Penelitian mengenai masalah ketimpangan kemiskinan yang pernah dilakukan adalah “Analisis Konsentasi Kemiskinan di Indonesia Periode Tahun 1999-2003”. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Wijayanti dan Heri Wahono 2005 ini didasari adanya kenyataan bahwa masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan jumlah populasi orang miskin saja tetapi juga terkait dengan konsentrasi kemiskinan yang ada pada area tertentu. Hasilnya adalah baik kesenjangan dalam pulau within region maupun antar pulau between region di Indonesia relatif stabil. Di mana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan antar pulau tertinggi adalah Pulau Jawa dan yang terendah adalah Pulau Kalimantan. Penelitian dengan tema yang hampir sama dilakukan oleh Sunarwan Arif Wicaksana 2007. Penelitian ini mengambil judul “Analisis Kesenjangan Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia Periode Tahun 2000- 2004”. Hasilnya adalah kesenjangan dalam pulau atau within isla nd di Indonesia relatif stabil, dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah kelompok kepulauan lainnya yang terdiri dari Provinsi Bali, NTB, NTT, Maluku. Untuk kesenjangan antar pulau atau between isla nd commit to user 13 menghasikan angka yang relatif stabil,dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah Pulau Jawa, sedangkan pulau yang memiliki tingkat kesenjangan terendah adalah Pulau Kalimantan. Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Ardyanto 2003 dengan judul “Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Jawa”. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan oleh penulis, terjadi kesenjangan yang semakin tinggi di Jawa antara sebelum krisis 1996 dan sesudah krisis 1998. Selain itu juga disimpulkan bahwa kesenjangan spasial di Jawa pada tahun 1996 lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan dalam satu provinsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi kemiskinan spasial terjadi di wilayah kabupaten dan kota sehingga terjadi kesenjangan antar kabupatenkota yang lebih besar dibandingkan kesenjangan antar provinsi di Jawa. Penelitian mengenai masalah kemiskinan antar wilayah di Indonesia yang didasarkan atas pembagian wilayah menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Nasional selama ini masih jarang dilakukan. Menurut RPJM Nasional wilayah Indonesia tidak hanya dibagi menjadi wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur saja, tetapi wilayah Indonesia dibagi menjadi 7 tujuh bagian yaitu: i wilayah Sumatera, ii wilayah Jawa-Bali, iii wilayah Kalimantan, iv wilayah Sulawesi, v wilayah Nusa Tenggara, vi wilayah Maluku dan vii wilayah Papua. Dengan membagi wilayah Indonesia menjadi bagian-bagian seperti yang tertulis dalam RPJM Nasional tersebut, tingkat kemiskinan yang terjadi commit to user 14 di Indonesia akan dapat terlihat dengan lebih jelas dari pada hanya membagi wilayah Indonesia menjadi kawasan barat dan kawasan timur. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa baik dalam tahun 2009 jumlah penduduk miskin terbesar berada dikawasan Jawa-Bali dengan jumlah 18.610,7 ribu jiwa. Di kawasan Sumatera jumlah penduduk miskin sebesar 6.854,2 ribu jiwa atau sekitar 21,07 dari total penduduk miskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Sulawesi dan Nusa Tenggara masing-masing sebesar 2.490,1 ribu jiwa dan 2.064 ribu jiwa. Di Kawasan Papua terdapat penduduk miskin berjumlah 1.017,1 ribu jiwa atau sekitar 3,13. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Kalimantan sebesar 1.015,9 ribu jiwa. Sedangkan kawasan Maluku merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk miskin yang paling kecil yaitu sebesar 478 ribu jiwa. Meskipun jumlah penduduk miskin dari Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Pembagian Wilayah dalam RPJMN Ribu Jiwa Wilayah Tahun 2007 2008 2009 Jumlah Pering- kat Jumlah Pering- Kat Jumlah Pering- kat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumatera 7,845.4 21.07 2 7,294.0 20.86 2 6,854.2 21.07 2 Jawa-Bali 21,324.9 57.27 1 20,191.6 57.75 1 18,610.7 57.21 1 Kalimantan 1,352.9 3.63 5 1,214.1 3.47 5 1,015.9 3.12 6 Sulawesi 2,788.1 7.49 3 2,608.5 7.46 3 2,490,1 7.65 3 Nusa Tenggara 2,350.2 6.31 4 2,178.9 6.23 4 2,064.0 6.34 4 Maluku 514.6 1.38 7 496.4 1.42 7 478.0 1.47 7 Papua 1,060.2 2.85 6 979.6 2.80 6 1,017.1 3.13 5 Indonesia 37,236.3 100 34,963.1 100 32,530.0 100 Sumber: Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah commit to user 15 tahun ke tahun menunjukkan adanya trend yang menurun, akan tetapi jumlah penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin masih tetap banyak. Adanya perbedaan tingkat persentase dan jumlah kemiskinan yang cukup signifikan disetiap wilayah di Indonesia, akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya akan menyebabkan kesenjangan kemiskinan semakin membesar. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA PERIODE 2007- 2009”.

B. Rumusan Masalah