commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut Arsyad, 1999. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan
ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan
pendapatan, dan tingkat pengangguran Todaro, 2000. Adanya perbedaan
endowment fa ctor
antara satu daerah dengan yang lain menyebabkan terjadinya
ga p
atau kesenjangan antar daerah-daerah tersebut Sadono, 1997. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah
yang berlebihan akan menyebabkan
ba ckwa sh effects
yang lebih besar dari
spread effects
sehingga mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Perbedaan atau ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari
besarnya Produk Regional Domestik Bruto PDRB yang dihasilkan oleh setiap daerah.
commit to user 2
Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah Tahun 2007-2009 Juta Rupiah
Wilayah
Tahun 2007
2008 2009
Jumlah Pering-
Jumlah Pering-
Jumlah Pering-
kat kat
kat
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Sumatera
408,321,074.15
21.73 2
428,403,023.28
21.59 2
462,062,008.70
21.20 2
Jawa-Bali
1,160,911,333.9
61.79 1
1,229,239,676.84
61.96 1
1,349,227,990.0
62.00 1
Kalimantan
166,365,987.16
8.86 3
175,114,840.29
8.83 3
187,367,314.30
8.61 3
Sulawesi
84,599,364.77
4.50 4
91,128,054.18
4.59 4
104,134,955.6
4.78 4
Nusa Tenggara,
Maluku, Papua
58,540,888.40
3.12 5
59,948,370.59
3.02 5
74,144,978.68
3.41 5
Indonesia Barat
1,569,232,408.05
83.53 -
1,657,642,700.13
83.56 -
1,811,584,808.00
83.21 -
Indonesia Timur
309,506,240.33
16.47 -
326,191,265.06
16.44 -
365,647,248.60
16.79 -
Indonesia
1,878,738,648.38
100 -
1,983,833,965.19
100 -
2,177,232,056.71
100 -
Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah
Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa besarnya PDRB yang dihasilkan di wilayah Indonesia bagian barat jauh lebih besar dari pada
PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur. Pada tahun 2007 Indonesia bagian barat menghasilkan PDRB sebesar Rp. 1.569.232.408,05,- juta, pada
tahun berikutnya meningkat jadi Rp. 1.657.642.700,13,- juta dan pada tahun 2009 sebesar Rp. 1.811.584.808,- juta. Sementara itu jumlah PDRB yang
dihasilkan di Indonesia bagian timur pada tahun 2007 hanya sebesar Rp. 309.506.240,33,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 326.191.265,06,- juta dan
pada tahun 2009 jumlahnya meningkat jadi Rp. 365.647.248,6,- juta. Jumlah total PDRB yang dihasilkan oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali
selalu menduduki posisi paling tinggi bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Dimana pada tahun 2007 total PDRB yang dihasilkan provinsi-
provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp. 1.160.911.333,90,-
commit to user 3
juta, lalu pada tahun 2008 dan 2009 jumlahnya meningkat masing-masing menjadi Rp. 1.229.239.676,84,- juta dan Rp. 1.349.522.799,- juta. Pulau
Sumatera menduduki posisi kedua dimana total PDRB yang dihasilkan seluruh provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 408.321.074,15,-
juta, pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Rp. 428.403.023,28,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 462.062.008,7,- juta. Pada
posisi ketiga ditempati oleh Pulau Kalimantan, dimana total PDRB yang dihasilkan povinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 166.365.987,16,-
juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 175.114.840,29,- juta dan pada tahun 2009 meningkat jadi Rp. 187.367.314,3,- juta. Pulau Sulawesi menempati posisi
keempat dimana total PDRB yang dihasilkan provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 84.599.364,77,- juta, pada tahun 2008 naik jadi Rp.
91.128.054,18,- juta dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp. 104.134.955,6,- juta. Sedangkan Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
menempati posisi terakhir, dimana pada tahun 2007 seluruh provinsinya menghasilkan total PDRB sebesar Rp. 58.540.888,40,- juta, pada tahun 2008
jumlahnya meningkat menjadi Rp. 59.948.370,59,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 74.144.978,68,- juta.
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan yang lain juga sangat dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, karena adanya penduduk atau
Sumber Daya Manusia SDM merupakan salah satu syarat dalam melakukan pembangunan ekonomi selain Sumber Daya Alam SDA dan modal. Akan
tetapi jumlah penduduk yang tinggi saja tidak akan mempunyai daya guna dalam melakukan pembangunan ekonomi tanpa diimbangi dengan kualitas
commit to user 4
penduduk tersebut. Adanya jumlah penduduk yang rendah dan kurang mempunyai kualitas akan mempengaruhi tingkat produktifitas suatu wilayah.
Apabila tingkat produktifitas rendah maka akan mempengaruhi banyaknya Produk Domestik Regional Bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.
Korelasi antara jumlah dan kualitas penduduk dengan besarnya Produk Domestik Regional Bruto PDRB terbukti dengan adanya ketimpangan yang
terjadi antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Di mana seperti yang kita ketahui bersama wilayah Indonesia bagian barat memiliki
jumlah dan kualitas penduduk yang lebih tinggi dapat menghasilkan PDRB yang tinggi, sementara Indonesia bagian timur cenderung memiliki jumlah
dan kualitas penduduk yang kurang sehingga hanya menghasilkan PDRB yang kecil.
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009
Wilayah Luas Wilayah
Tahun 2007
2008 2009
Jumlah ribu
jiwa
Pering -kat
Jumlah ribu
jiwa
Pering -kat
Jumlah ribu
jiwa Pering-
kat Km
2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Sumatera 480,802.28
25.16 48,060.6
21.28 2
48,924.5
21.40 2
49,615.4 21.44
2 Jawa-Bali
135,218.34 7.08
135,186.3
59.85 1
136,372.6
59.64 1
137,711.1
59.52 1
Kalimantan 544,150.07
28.48 12,628.3
5.59 4
12,847.7
5.62 4
13,065.8 5.65
4 Sulawesi
188,522.36 9.87
16,291.8 7.21
3
16,530.9
7.23 3
16,767.7 7.25
3 Nusa
Tenggara 67,290.42
3.52 8,745.4
3.87 5
8,898.1
3.89 5
9,053.7 3.91
5 Maluku
78,896.53 4.13
2,246.3 0.99
7
2,280.3
1.00 7
2,314.5 1.00
7 Papua
416,060.54 21.77
2,731.6 1.21
6
2,786.5
1.22 6
2,841.4 1.23
6 Indonesia
1,910,940.54 100
225,890.3
100
228,640.6
100
231,369.6
100
Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah
Dari tabel tersebut kita dapat melihat dengan jelas adanya ketimpangan dalam penyebaran penduduk di Indonesia. Pada tahun 2007,
2008 maupun 2009 jumlah penduduk lebih banyak terkonsentrasi di wilayah
commit to user 5
Indonesia bagian barat terutama di wilayah Jawa dan Bali, padahal luasnya hanya 7,08 dari total luas Indonesia. Pada tahun 2009 jumlah penduduk
yang berada di wilayah Jawa-Bali mencapai 59,52 atau sekitar 137.711,10 ribu jiwa. Wilayah Sumatera menempati peringkat kedua dengan jumlah
penduduk sebesar 49.615,40 ribu jiwa atau sekitar 21,44. Penduduk yang berada di wilayah Sulawesi pada tahun 2009 mencapai 16.767,70 ribu jiwa
atau sekitar 7,25 dari total populasi nasional. Wilayah Kalimantan yang merupakan pulau terluas hanya ditinggali penduduk sebanyak 13.065,80 ribu
jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Nusa Tenggara sekitar 3,91 dari jumlah populasi nasional atau berjumlah
9.053,70 ribu jiwa. Dua daerah yang berada di timur Indonesia yaitu wilayah Maluku dan Papua pada tahun 2009 hanya ditinggali masing-masing sebesar
1 atau sekitar 2.314,50 ribu jiwa dan 1,23 dari jumlah populasi nasional atau sekitar 2.841,40 ribu jiwa. Adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi
dan penyebaran penduduk yang terjadi antara satu wilayah dengan yang lain pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan tingkat kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Masalah
tersebut dapat dikatakan kompleks karena kemiskinan memiliki banyak dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi lain seperti
kesehatan dan pendidikan. Konsentrasi spasial kemiskinan memiliki definisi yang berbeda dengan kemiskinan yang konvensional. Secara konvensional,
kemiskinan menunjuk pada individu atau keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya atau membelanjakan lebih dari
commit to user 6
proporsi tertentu dari pendapatannya untuk mencapai standar hidup tertentu sedangkan konsentrasi spasial kemiskinan melihat tingkat kemiskinan pada
suatu komunitas tertentu Ardyanto, 2003 dalam Sunarwan, 2007. Komunitas dapat disebut miskin jika lebih dari 20 populasinya orang
miskin. Tingkat kemiskinan suatu komunitas inilah yang selanjutnya dapat digunakan untuk memberikan informasi perbandingan kemiskinan antar
wilayah. Mengingat kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, maka
terdapat banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhinya, antara lain: i pertumbuhan ekonomi; ii pendidikan, dan iii pengangguran. Penelitian
yang dilakukan Wongdesmiwati 2009, menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi
untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pendidikan juga merupakan faktor penentu tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Investasi pendidikan akan
mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia SDM yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan
produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dari hal tersebut terlihat dengan jelas adanya hubungan antara pendidikan dengan kemiskinan.
Pengangguran juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Adit
commit to user 7
Agus Prasetyo 2010 menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat penggangguran dengan tingkat kemiskinan. Hubungan ini
menunjukkan pentingnya untuk menekan tingkat pengangguran untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Dalam mengukur tingkat kemiskinan Badan Pusat Statistik BPS menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per
kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan BPS, 1994 dalam Mudrajad, 2009. Untuk kebutuhan minimum
makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan,
sandang, serta aneka barang dan jasa. Berdasarkan pengukuran tersebut di dapatkan hasil bahwa selama periode 1976 sampai 2009, telah terjadi
trend
peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, hal ini seperti yang
ditunjukkan tabel berikut:
commit to user 8
Tabel 1.3 Perkembangan Batas Garis Kemiskinan Versi BPS dan Jumlah Penduduk Miskin
Tahun KOTA
DESA Batas Garis
Kemiskinan Rpkapitabulan
Jumlah Penduduk
Miskin juta Batas Garis
Kemiskinan Rpkapitabulan
Jumlah Penduduk
Miskin juta
1 2
3 4
5 6
7
1976 4.522
10 38,8
2.849 44,2
40,4 1984
13.731 9,3
23,14 7.746
25,7 21,18
1987 17.381
9,7 20,14
10.294 20,3
16,44 1990
20.614 9,4
16,75 13.295
17,8 14,33
1993 27.905
8,7 13,45
18.244 17,2
13,79 1996
42.032 9,6
13,6 31.366
24,9 19,9
1998 96.959
17,6 21,9
72.780 31,9
25,7 1999
89.845 12,4
15,1 69.420
25,1 20,2
2000 91.632
12,1 14,58
73.648 25,2
22,14 2001
100.011 8,5
9,76 80.382
28,6 24,95
2002 130.499
13,3 14,46
96.512 25,1
21,1 2003
138.803 12,2
13,57 105.888
25,1 20,23
2004 143.455
11,4 12,13
108.725 24,8
20,11 2005
150.799 12,4
11,37 117.259
22,7 19,51
2006 174.290
14,49 13,47
130.584 24,81
21,81 2007
187.942 13,56
12,52 146.837
23,61 20,37
2008 204.896
12,77 11,65
161.831 22,19
18,93 2009
222.123 11,91
10,72 179.835
20,62 17,35
Sumber: BPS. 1994, 2001, 2009 dalam Mudrajad Kuncoro. 2009. URL: www.mudrajad.com uploadkemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.doc diakses 12 November 2010 pukul
20.05
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada
periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta jiwa dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun
1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 37,5 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada tahun 2005.
Pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis menjadi 39,30 juta jiwa 17,75. Penduduk miskin di daerah
perdesaan bertambah 2,11 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan
commit to user 9
bertambah 2,09 juta jiwa. Namun pada periode 2007-2008 terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan, dari 37,17
juta jiwa 16,58 pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta jiwa 15,42 pada tahun 2008. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam
dari pada daerah perkotaan, dimana selama periode 2007-2008 penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta jiwa, sementara di daerah
perkotaan berkurang 0,79 juta jiwa. Di tahun 2009
trend
penurunan jumlah penduduk miskin masih berlanjut, dimana pada tahun ini jumlah penduduk
miskin berkurang menjadi 32,53 juta jiwa dengan rincian penduduk miskin di wilayah kota sebesar 11,91 juta jiwa dan penduduk miskin di wilayah desa
sebesar 20,62 juta jiwa. Bank Dunia 1990 mengunakan 2 dua kriteria dalam melakukan
penelitian tentang kemiskinan, yaitu: i menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari dan ii
garis kemiskinan internasional berdasarkan
Purcha sing Power Pa rity
PPP US 1 dan US 2. Menurut penelitian yang dilakukan Bank Dunia di
Indonesia, bila garis kemiskinan dihitung berdasarkan
Purcha sing Power Pa rity
PPP US 1 per kapitahari maka persentase kemiskinan adalah sebesar 5,9 pada tahun 2008, yang lebih rendah dibanding tahun
sebelumnya yaitu 6,7. Namun bila dihitung berdasarkan PPP US 2 per kapitahari, maka persentase kemiskinan adalah sebesar 42,6. Jika garis
kemiskinan naik dua kali lipat, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin naik lebih dari empat kali. Ini menunjukkan bahwa perhitungan angka kemiskinan
di Indonesia begitu sensitif terhadap perubahan harga. Adanya fluktuasi
commit to user 10
sedikit saja dari harga-harga kebutuhan bisa berakibat banyak sekali penduduk yang akan tergolong miskin Mudrajad, 2009.
URL: www.mudrajad.comuploadkemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.
doc diakses tanggal 12 November 2010 pukul 20.05 Sajogyo 1974 melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan
menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per
kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk
daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan
tingkat biaya riil Mudrajad, 2009.
Dari penelitian kemiskinan yang didasarkan pada harga beras tersebut di dapatkan hasil bahwa pada tahun 196465 jumlah penduduk kota
yang dapat dikategorikan miskin sebesar 65,1 sedangkan jumlah penduduk
Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan Esmara
Tahun Kota
Desa Sajogyo
Esmara Sajogyo
Esmara 1
2 3
4 5
196465 65.1
44.0 49.3
51.6 1970
45.4 38.1
31.3 49.1
1976 31.2
39.9 28.1
46.4 1978
27.2 41.6
29.7 46.6
1980 24.4
37.3 17.1
43.2 1981
13.2 32.3
8.0 40.0
1984 31.3
31.3 7.4
39.3 1987
30.4 30.4
3.2 36.0
Sumber: Booth 1992, dalam Mudrajad 2009
commit to user 11
desa miskin sebesar 49,3. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan sampai pada tahun 1981, dimana pada tahun tersebut jumlah penduduk kota
dan desa yang dikategorikan miskin masing-masing sebesar 13,2 dan 8. Namun pada tahun penelitian berikutnya yaitu tahun 1984 dan 1987
persentase penduduk miskin di kota dan desa mengalami perkembangan yang berkebalikan. persentase penduduk miskin kota mengalami kenaikan dari
13,2 pada tahun 1981 menjadi 30,4 pada tahun 1987, sementara persentase penduduk miskin desa mengalami penurunan dari 8 pada tahun
1981 menjadi 3,2 di tahun 1987. Penelitian mengenai masalah kemiskinan lainnya adalah yang
dilakukan oleh Hendra Esmara. Hendra Esmara 1986 menggunakan suatu garis kemiskinan perdesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut
pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas. Oleh karena itu ukuran
Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kuantitas barang-barang esensial yang dikonsumsi.
Hasil penelitian yang didapatkan melalui metode yang dipakai Hendra Esmana 1986 ini menunjukkan bahwa pada tahun 196465 persentase
penduduk yang dikategorikan miskin di kota mencapai 44 sedangkan di desa terdapat penduduk miskin sebesar 51,6. Pada tahun-tahun berikutnya
persentase penduduk miskin baik di kota maupun di desa menunjukkan
trend
yang menurun, akan tetapi
trend
penurunan tersebut tidak sebesar
trend
penurunan yang terjadi dalam penelitian Sajogyo 1974. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa penduduk kota yang
commit to user 12
dapat dikategorikan miskin sebesar 30,4 sedangkan penduduk miskin di desa mencapai 36. Penelitian yang dilakukan Hendra Esmana 1986 selalu
menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di desa selalu lebih besar dari pada persentase penduduk miskin yang ada di kota, hal ini berlawanan
dengan penelitian Sajogyo yang menunjukkan persentase penduduk miskin di desa selalu lebih kecil dibandingkan penduduk miskin di kota Mudrajad,
2009. Penelitian mengenai masalah ketimpangan kemiskinan yang pernah
dilakukan adalah “Analisis Konsentasi Kemiskinan di Indonesia Periode Tahun 1999-2003”. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Wijayanti dan Heri
Wahono 2005 ini didasari adanya kenyataan bahwa masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan jumlah populasi orang miskin saja tetapi juga
terkait dengan konsentrasi kemiskinan yang ada pada area tertentu. Hasilnya adalah baik kesenjangan dalam pulau
within region
maupun antar pulau
between region
di Indonesia relatif stabil. Di mana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan antar pulau tertinggi adalah Pulau Jawa dan yang
terendah adalah Pulau Kalimantan. Penelitian dengan tema yang hampir sama dilakukan oleh Sunarwan
Arif Wicaksana 2007. Penelitian ini mengambil judul “Analisis Kesenjangan Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia Periode Tahun 2000-
2004”. Hasilnya adalah kesenjangan dalam pulau atau
within isla nd
di Indonesia relatif stabil, dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan
tertinggi adalah kelompok kepulauan lainnya yang terdiri dari Provinsi Bali, NTB, NTT, Maluku. Untuk kesenjangan antar pulau atau
between isla nd
commit to user 13
menghasikan angka yang relatif stabil,dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah Pulau Jawa, sedangkan pulau yang memiliki
tingkat kesenjangan terendah adalah Pulau Kalimantan. Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Ardyanto 2003
dengan judul “Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Jawa”. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan oleh penulis,
terjadi kesenjangan yang semakin tinggi di Jawa antara sebelum krisis 1996 dan sesudah krisis 1998. Selain itu juga disimpulkan bahwa kesenjangan
spasial di Jawa pada tahun 1996 lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan dalam satu provinsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi
kemiskinan spasial terjadi di wilayah kabupaten dan kota sehingga terjadi kesenjangan antar kabupatenkota yang lebih besar dibandingkan kesenjangan
antar provinsi di Jawa. Penelitian mengenai masalah kemiskinan antar wilayah di Indonesia
yang didasarkan atas pembagian wilayah menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Nasional selama ini masih jarang dilakukan.
Menurut RPJM Nasional wilayah Indonesia tidak hanya dibagi menjadi wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur saja, tetapi
wilayah Indonesia dibagi menjadi 7 tujuh bagian yaitu: i wilayah Sumatera, ii wilayah Jawa-Bali, iii wilayah Kalimantan, iv wilayah
Sulawesi, v wilayah Nusa Tenggara, vi wilayah Maluku dan vii wilayah Papua. Dengan membagi wilayah Indonesia menjadi bagian-bagian seperti
yang tertulis dalam RPJM Nasional tersebut, tingkat kemiskinan yang terjadi
commit to user 14
di Indonesia akan dapat terlihat dengan lebih jelas dari pada hanya membagi wilayah Indonesia menjadi kawasan barat dan kawasan timur.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa baik dalam tahun 2009 jumlah penduduk miskin terbesar berada dikawasan Jawa-Bali dengan jumlah
18.610,7 ribu jiwa. Di kawasan Sumatera jumlah penduduk miskin sebesar 6.854,2 ribu jiwa atau sekitar 21,07 dari total penduduk miskin di
Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Sulawesi dan Nusa Tenggara masing-masing sebesar 2.490,1 ribu jiwa dan 2.064 ribu jiwa.
Di Kawasan Papua terdapat penduduk miskin berjumlah 1.017,1 ribu jiwa atau sekitar 3,13. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan
Kalimantan sebesar 1.015,9 ribu jiwa. Sedangkan kawasan Maluku merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk miskin yang paling
kecil yaitu sebesar 478 ribu jiwa. Meskipun jumlah penduduk miskin dari
Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Pembagian Wilayah dalam RPJMN Ribu Jiwa
Wilayah Tahun
2007 2008
2009 Jumlah
Pering- kat
Jumlah Pering-
Kat Jumlah
Pering- kat
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Sumatera 7,845.4
21.07 2
7,294.0 20.86
2 6,854.2
21.07 2
Jawa-Bali 21,324.9
57.27 1
20,191.6 57.75
1 18,610.7
57.21 1
Kalimantan 1,352.9
3.63 5
1,214.1 3.47
5 1,015.9
3.12 6
Sulawesi 2,788.1
7.49 3
2,608.5 7.46
3 2,490,1
7.65 3
Nusa Tenggara
2,350.2 6.31
4 2,178.9
6.23 4
2,064.0 6.34
4 Maluku
514.6 1.38
7 496.4
1.42 7
478.0 1.47
7 Papua
1,060.2 2.85
6 979.6
2.80 6
1,017.1 3.13
5 Indonesia
37,236.3 100
34,963.1 100
32,530.0 100
Sumber: Sumber: BPS. 2010. Statistik Indonesia 2009, data diolah
commit to user 15
tahun ke tahun menunjukkan adanya trend yang menurun, akan tetapi jumlah penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin masih tetap banyak.
Adanya perbedaan tingkat persentase dan jumlah kemiskinan yang cukup signifikan disetiap wilayah di Indonesia, akan membawa dampak
perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya akan menyebabkan kesenjangan kemiskinan semakin membesar. Berdasarkan latar
belakang masalah diatas maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN
KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA PERIODE 2007- 2009”.
B. Rumusan Masalah