ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA PERIODE 2007 2009

(1)

commit to user

i

ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT

KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH

DI INDONESIA PERIODE 2007-2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : Ari Widi Andono

F0107029

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv MOTTO

“hasbunallah wa ni’mal wakil”

“Failure isn’t when you fall down;

It’s only when you don’t get up again.”

“ The only person who never makes a mistake is the person who never does anything” .

“lihatlah ke belakang dengan syukur, lihatlah ke atas dengan doa dan lihatlah ke depan dengan optimis”


(5)

commit to user

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya kecil ini kepada:

Allah SWT. Alhamdulillah ku ucapkan kepada-Mu. Kau telah banyak memberikan anugerah-anugerah terindah kepada hamba-Mu ini. Semoga Kau selau kuatkan hamba-Mu ini untuk selalu istiqomah di jalan-Mu, wahai sang Maha pembolak-balik qolbu. Hasbunallah wa ni’mal wakil.

Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku tersayang. Mereka adalah keluarga, teman dan sahabat yang telah tulus menemani masa kecil, remaja dan dewasaku serta selalu berdoa untuk kesuksesanku. Akan kulakukan yang terbaik sesuai dengan keinginan dan harapan mereka.

Sahabat-sahabatku.

Mereka yang telah memberikan motivasi, dukungan moril, semangat, bantuan, nasihat dan rela meluangkan waktunya untukku. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan petunjuk dalam mewujudkan harapan dan cita-cita kita. Susah senang yang telah kita jalani dan rasakan bersama semoga selalu menjadi perekat di saat kita telah tua dan hidup masing-masing. Ingatlah selalu hari ini.

Almamater.

Tempat yang menjadi saksi perjuanganku disetiap detik, menit dan jam untuk menjadi orang yang lebih baik di masa depan. Tempatku menemukan arti kehidupan dan kedewasaan. Semuanya memberikan kesan tersendiri yang akan selalu mengiringi langkah-langkahku untuk menggapai cita-cita.


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan berkat serta rahmat-Nya, sehingga dengan bimbingan, pertolongan, izin dan kasih karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul : “Analisis Faktor Penentu dan Tingkat Ketimpangan Kemiskinan Antar

Wilayah di Indonesia Periode 2007-2009”. Sebuah berkat dan kebahagian

tersendiri bagi penulis dapat menyusun karya kecil ini sebagai upaya untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang berupa bantuan, bimbingan, dukungan, doa serta motivasi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Mulyanto, ME selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh

kesabaran membantu, membimbing, dan meluangkan waktu bagi penulis dalam proses penulisan skripsi.

2. Ibu Siti Aisyah Tri R., SE, Msi., selaku Dosen Pembimbing Akademik

3. Bapak Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi

Pembangunan.

4. Ibu Izza Mafruhah, S.E., M.Si selaku Sekertaris Jurusan Ekonomi


(7)

commit to user

vii

5. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan dorongan, kasih

sayang, kesabaran dan doa kepadaku.

6. Kakak dan Adikku yang selau memberikan dukungan.

7. Teman-teman Jurusan Ekonomi Pembangunan 2007 Rendi, Turis, Thithut,

Ebby, Andri, Andhika, Johan, Dezta, Eliza, Anind, Faisal, Galih, Ratna, Yeyen, Fina, Satya, Eko, Angga, Faya, Tarni, Sesil, Nastiti, Iis, Wahyu, Ratih, Mudmainah, Rizky, Fuad.

8. Chaw out community, Rendi, Thithut, Ebby, Desta, Tofan D.J, Ivan,

Bobbi, Rico, Milly, Ardian, Arif, Trisu, Diana “tetap jalin silaturahmi, karena silahturahmi adalah segalanya!”

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas bantuannya

kepada penulis hingga terselesaikan penelitian ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan tersebut. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi diri penulis dan pembaca semua.

Surakarta, 22 Februari 2011

Penulis


(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAKSI... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Kajian Teori... 17

1. Pembangunan Ekonomi... 17

a. Pengertian dan Tujuan Pembangunan Ekonomi... 17


(9)

commit to user

ix

2. Ketimpangan Pembangunan... 23

3. Kemiskinan... 24

a. Pengertian Kemiskinan... 24

b. Penyebab Kemiskinan... 27

c. Jenis Kemiskinan... 30

d. Ukuran Kemiskinan... 31

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan... 33

B. Penelitian Terdahulu... 42

C. Kerangka Pemikiran. ... 51

D. Hipotesis... 53

BAB III METODE PENELITIAN... 54

A. Definisi Operasional Variabel... 54

B. Jenis dan Sumber Data... 55

C. Metode Pengumpulan Data... 56

D. Metode Analisis Data... 57

1. Regresi Data Panel... 57

2. Indeks Entropi Theil... 69

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 71

A. Gambaran Umum Indonesia... 71

1. Keadaan Geografis Indonesia... 71

2. Keadaan Demografi Indonesia... 73

3. Keadaan Kemiskinan Indonesia... 76


(10)

commit to user

x

5. Keadaan Pendidikan Indonesia... 85

6. Keadaan Pengangguran Indonesia... 87

7. Keadaan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia... 90

B. Hasil Analisis dan Pembahasan... 87

1. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan... 87

a. Pemilihan Model Estimasi... 87

b. Uji Statistik... 96

c. Uji Asumsi Klasik... 102

d. Interpretasi Hasil Secara Ekonomi... 104

2. Analisis Ketimpangan Kemiskinan... 109

a. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan... 109

b. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan Dalam Pulau.. 111

c. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan Antar Pulau... 117

d. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Indonesia.. 120

BAB V PENUTUP... 121

A. Kesimpulan... 121

B. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA... 125


(11)

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 PDRB Atas Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah

Tahun 2007 - 2009 (Juta Rupiah)..….…………....……… 2

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun

2007 - 2009 ………..………...………... 4

Tabel 1.3 Perkembangan Batas Garis kemiskinan Versi BPS dan

Jumlah Penduduk Miskin...………… 8

Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan

Esmara... 10

Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan

Pembagian Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)...……… 14

Tabel 4.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi

Tahun 2007 - 2009 …….……... 75

Tabel 4.2 Perkembangan Batas Garis kemiskinan Versi BPS dan

Jumlah Penduduk Miskin ….……... 77

Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan

Pembagian Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)………... 80

Tabel 4.4 Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin

Menurut Provinsi (Ribu Jiwa) ………... 82

Tabel 4.5 PDRB Atas Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah

Tahun 2007 - 2009 (Juta Rupiah)...….. 84

Tabel 4.6 Jumlah PendudukMelek Huruf Antar Wilayah di

Indonesia Tahun 2007 - 2009 …....……..……….. 86

Tabel 4.7 Jumlah Pengangguran Menurut Provinsi Tahun 2007 –


(12)

commit to user

xii

Tabel 4.8 Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2006-

2008... 91

Tabel 4.9 Hasil Uji Pendekatan Koutsoyiannis ...….. 103

Tabel 4.10 Kesenjangan Dalam Pulau…..……….………….. 112

Tabel 4.11 Perbandingan Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin

Provinsi Maluku dan Maluku Utara …...…...………….... 112

Tabel 4.12 Perbandingan Variabel Penentu Kemiskinan Provinsi

Maluku dan Maluku Utara ………...………...…... 113

Tabel 4.13 Perbandingan Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin

Provinsi NTB dan NTT ...…...…...……… 115

Tabel 4.14 Perbandingan Variabel Penentu Kemiskinan Provinsi

NTB dan NTT ………...…….. 116

Tabel 4.15 Kesenjangan Antar Pulau…..……….……… 118


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan ………... 28

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ………... 53

Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t ...………... 64

Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F ...………... 65

Gambar 4.1 Peta Wilayah Indonesia ....……….... 72

Gambar 4.2 Uji t Untuk Variabel Pertumbuhan Ekonomi (GRW) …..… 98

Gambar 4.3 Uji t Untuk Variabel Pendidikan (AMH) …...………….. 99

Gambar 4.4 Uji t Untuk Variabel Pengangguran …...………….. 100

Gambar 4.5 Uji F………..……….... 101


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Data Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan

(AMH), dan Pengangguran di Indonesia tahun 2007 – 2009. .127 Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,

Pendidikan (AMH), dan Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009 ...131 Lampiran C Uji Asumsi Klasik Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,

Pendidikan (AMH), dan Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009 ... 135 Lampiran D Indeks Entropi Theil Ketimpangan Tingkat Kemiskinan


(15)

commit to user


(16)

commit to user ABSTRAKSI

ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA

PERIODE 2007-2009

Ari Widi Andono (NIM. F0107029)

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh

pertumbuhan ekonomi (growth), angka melek huruf (AMH) dan pengangguran

terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007 – 2009, serta untuk

mengetahui trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar pulau di

Indonesia pada tahun 2007 – 2009.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam. Untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

digunakan alat analisis panel data, dimana metode yang digunakan adalah Fixed

Effect Model (FEM). Sedangkan untuk mengetahui trend kesenjangan kemiskinan

digunakan alat analisis Indeks Entropi Theil.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi

(growth), angka melek huruf (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009, sedangkan variabel pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2007 - 2009. Tingkat kesenjangan kemiskinan dalam pulau di Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 2007 – 2009, hanya wilayah Papua yang mengalami penurunan. Sementara itu, tingkat kesenjangan kemiskinan antar pulau di Indonesia mengalami penurunan selama tahun 2007 – 2009, dimana wilayah yang mengalami penurunan paling tinggi adalah Jawa-Bali. Kata Kunci : kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, pengangguran,


(17)

commit to user ABSTRACT

AN ANALYSIS ON DETERMINANT FACTOR AND INTER-AREAS POVERTY GAP RATE IN INDONESIA IN 2007-2009 PERIOD

Ari Widi Andono (NIM. F0107029)

The objective of research is to find out how much the effect of economic growth rate, literacy rate (AMH) and unemployment rate is on the poverty rate in Indonesia during 2007-2009, as well as to find out the trend of poverty gap intra-and inter-islintra-ands in Indonesia during 2007-2009.

There are two methods of analyzing data used in this research. To find out the effect of independent variables on dependent one, the data panel analysis was used in which the method used was Fixed Effect Model (FEM). Meanwhile, to find out the trend of poverty gap, Entropy Theil index analysis instrument was used.

The result of data analysis shows that the economic growth and literacy (AMH) rates variables affect negatively and significantly the poverty rate in Indonesia during 2007-2009, while the unemployment variable affects positively and significantly the poverty rate in Indonesia during 2007-2009. The poverty gap rate intra-island in Indonesia increases during 2007-2009, it is only Papua encounters decrease. Meanwhile, the intraisland poverty gap level in Indonesia decreases during 2007-2009, in which the area with the highest decreases is Java and Bali.

Keywords: poverty, economic growth, education, unemployment, Fixed Effect Model (FEM), gap, Entropy Theil Index.


(18)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000).

Adanya perbedaan endowment fa ctor antara satu daerah dengan yang

lain menyebabkan terjadinya ga p atau kesenjangan antar daerah-daerah

tersebut (Sadono, 1997). Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah

yang berlebihan akan menyebabkan ba ckwa sh effects yang lebih besar dari

spread effects sehingga mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Perbedaan

atau ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari besarnya Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh setiap daerah.


(19)

commit to user

Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Wilayah Tahun 2007-2009 (Juta Rupiah)

Wilayah

Tahun

2007 2008 2009

Jumlah %

Pering-

Jumlah %

Pering-

Jumlah %

Pering-

kat kat kat

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Sumatera 408,321,074.15 21.73 2 428,403,023.28 21.59 2 462,062,008.70 21.20 2

Jawa-Bali 1,160,911,333.9 61.79 1 1,229,239,676.84 61.96 1 1,349,227,990.0 62.00 1

Kalimantan 166,365,987.16 8.86 3 175,114,840.29 8.83 3 187,367,314.30 8.61 3

Sulawesi 84,599,364.77 4.50 4 91,128,054.18 4.59 4 104,134,955.6 4.78 4

Nusa Tenggara,

Maluku, Papua

58,540,888.40 3.12 5 59,948,370.59 3.02 5 74,144,978.68 3.41 5

Indonesia

Barat 1,569,232,408.05 83.53 - 1,657,642,700.13 83.56 - 1,811,584,808.00 83.21 - Indonesia

Timur 309,506,240.33 16.47 - 326,191,265.06 16.44 - 365,647,248.60 16.79 - Indonesia 1,878,738,648.38 100 - 1,983,833,965.19 100 - 2,177,232,056.71 100 -

Sumber: BPS. (2010). Statistik Indonesia 2009, data diolah

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa besarnya PDRB yang dihasilkan di wilayah Indonesia bagian barat jauh lebih besar dari pada PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur. Pada tahun 2007 Indonesia bagian barat menghasilkan PDRB sebesar Rp. 1.569.232.408,05,- juta, pada tahun berikutnya meningkat jadi Rp. 1.657.642.700,13,- juta dan pada tahun 2009 sebesar Rp. 1.811.584.808,- juta. Sementara itu jumlah PDRB yang dihasilkan di Indonesia bagian timur pada tahun 2007 hanya sebesar Rp. 309.506.240,33,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 326.191.265,06,- juta dan pada tahun 2009 jumlahnya meningkat jadi Rp. 365.647.248,6,- juta. Jumlah total PDRB yang dihasilkan oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali selalu menduduki posisi paling tinggi bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Dimana pada tahun 2007 total PDRB yang dihasilkan provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp. 1.160.911.333,90,-


(20)

commit to user

juta, lalu pada tahun 2008 dan 2009 jumlahnya meningkat masing-masing menjadi Rp. 1.229.239.676,84,- juta dan Rp. 1.349.522.799,- juta. Pulau Sumatera menduduki posisi kedua dimana total PDRB yang dihasilkan seluruh provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 408.321.074,15,- juta, pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Rp. 428.403.023,28,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 462.062.008,7,- juta. Pada posisi ketiga ditempati oleh Pulau Kalimantan, dimana total PDRB yang dihasilkan povinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 166.365.987,16,- juta, pada tahun 2008 sebesar Rp. 175.114.840,29,- juta dan pada tahun 2009 meningkat jadi Rp. 187.367.314,3,- juta. Pulau Sulawesi menempati posisi keempat dimana total PDRB yang dihasilkan provinsi-provinsinya pada tahun 2007 sebesar Rp. 84.599.364,77,- juta, pada tahun 2008 naik jadi Rp. 91.128.054,18,- juta dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp. 104.134.955,6,- juta. Sedangkan Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menempati posisi terakhir, dimana pada tahun 2007 seluruh provinsinya menghasilkan total PDRB sebesar Rp. 58.540.888,40,- juta, pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi Rp. 59.948.370,59,- juta dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 74.144.978,68,- juta.

Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan yang lain juga sangat dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, karena adanya penduduk atau Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu syarat dalam melakukan pembangunan ekonomi selain Sumber Daya Alam (SDA) dan modal. Akan tetapi jumlah penduduk yang tinggi saja tidak akan mempunyai daya guna dalam melakukan pembangunan ekonomi tanpa diimbangi dengan kualitas


(21)

commit to user

penduduk tersebut. Adanya jumlah penduduk yang rendah dan kurang mempunyai kualitas akan mempengaruhi tingkat produktifitas suatu wilayah. Apabila tingkat produktifitas rendah maka akan mempengaruhi banyaknya Produk Domestik Regional Bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Korelasi antara jumlah dan kualitas penduduk dengan besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbukti dengan adanya ketimpangan yang terjadi antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Di mana seperti yang kita ketahui bersama wilayah Indonesia bagian barat memiliki jumlah dan kualitas penduduk yang lebih tinggi dapat menghasilkan PDRB yang tinggi, sementara Indonesia bagian timur cenderung memiliki jumlah dan kualitas penduduk yang kurang sehingga hanya menghasilkan PDRB yang kecil.

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009

Wilayah

Luas Wilayah

Tahun

2007 2008 2009

Jumlah (ribu jiwa)

% Pering -kat

Jumlah (ribu jiwa)

% Pering -kat

Jumlah (ribu jiwa)

% Pering-kat

Km2 %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

Sumatera 480,802.28 25.16 48,060.6 21.28 2 48,924.5 21.40 2 49,615.4 21.44 2

Jawa-Bali 135,218.34 7.08 135,186.3 59.85 1 136,372.6 59.64 1 137,711.1 59.52 1

Kalimantan 544,150.07 28.48 12,628.3 5.59 4 12,847.7 5.62 4 13,065.8 5.65 4

Sulawesi 188,522.36 9.87 16,291.8 7.21 3 16,530.9 7.23 3 16,767.7 7.25 3

Nusa

Tenggara 67,290.42 3.52 8,745.4 3.87 5 8,898.1 3.89 5 9,053.7 3.91 5

Maluku 78,896.53 4.13 2,246.3 0.99 7 2,280.3 1.00 7 2,314.5 1.00 7

Papua 416,060.54 21.77 2,731.6 1.21 6 2,786.5 1.22 6 2,841.4 1.23 6

Indonesia 1,910,940.54 100 225,890.3 100 228,640.6 100 231,369.6 100

Sumber: BPS. (2010). Statistik Indonesia 2009, data diolah

Dari tabel tersebut kita dapat melihat dengan jelas adanya ketimpangan dalam penyebaran penduduk di Indonesia. Pada tahun 2007, 2008 maupun 2009 jumlah penduduk lebih banyak terkonsentrasi di wilayah


(22)

commit to user

Indonesia bagian barat terutama di wilayah Jawa dan Bali, padahal luasnya hanya 7,08% dari total luas Indonesia. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Jawa-Bali mencapai 59,52% atau sekitar 137.711,10 ribu jiwa. Wilayah Sumatera menempati peringkat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 49.615,40 ribu jiwa atau sekitar 21,44%. Penduduk yang berada di wilayah Sulawesi pada tahun 2009 mencapai 16.767,70 ribu jiwa atau sekitar 7,25% dari total populasi nasional. Wilayah Kalimantan yang merupakan pulau terluas hanya ditinggali penduduk sebanyak 13.065,80 ribu jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang berada di wilayah Nusa Tenggara sekitar 3,91% dari jumlah populasi nasional atau berjumlah 9.053,70 ribu jiwa. Dua daerah yang berada di timur Indonesia yaitu wilayah Maluku dan Papua pada tahun 2009 hanya ditinggali masing-masing sebesar 1% atau sekitar 2.314,50 ribu jiwa dan 1,23% dari jumlah populasi nasional atau sekitar 2.841,40 ribu jiwa. Adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan penyebaran penduduk yang terjadi antara satu wilayah dengan yang lain pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan tingkat kemiskinan.

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Masalah tersebut dapat dikatakan kompleks karena kemiskinan memiliki banyak dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi lain seperti kesehatan dan pendidikan. Konsentrasi spasial kemiskinan memiliki definisi yang berbeda dengan kemiskinan yang konvensional. Secara konvensional, kemiskinan menunjuk pada individu atau keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya atau membelanjakan lebih dari


(23)

commit to user

proporsi tertentu dari pendapatannya untuk mencapai standar hidup tertentu sedangkan konsentrasi spasial kemiskinan melihat tingkat kemiskinan pada suatu komunitas tertentu (Ardyanto, 2003 dalam Sunarwan, 2007). Komunitas dapat disebut miskin jika lebih dari 20% populasinya orang miskin. Tingkat kemiskinan suatu komunitas inilah yang selanjutnya dapat digunakan untuk memberikan informasi perbandingan kemiskinan antar wilayah.

Mengingat kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, maka terdapat banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhinya, antara lain: (i) pertumbuhan ekonomi; (ii) pendidikan, dan (iii) pengangguran. Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati (2009), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pendidikan juga merupakan faktor penentu tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dari hal tersebut terlihat dengan jelas adanya hubungan antara pendidikan dengan kemiskinan. Pengangguran juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Adit


(24)

commit to user

Agus Prasetyo (2010) menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat penggangguran dengan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya untuk menekan tingkat pengangguran untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Dalam mengukur tingkat kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994 dalam Mudrajad, 2009). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Berdasarkan pengukuran tersebut di

dapatkan hasil bahwa selama periode 1976 sampai 2009, telah terjadi trend

peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, hal ini seperti yang ditunjukkan tabel berikut:


(25)

commit to user

Tabel 1.3 Perkembangan Batas Garis Kemiskinan Versi BPS dan Jumlah Penduduk Miskin

Tahun

KOTA DESA

Batas Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah Penduduk Miskin (juta) (%) Batas Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah Penduduk Miskin (juta) (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1976 4.522 10 38,8 2.849 44,2 40,4

1984 13.731 9,3 23,14 7.746 25,7 21,18

1987 17.381 9,7 20,14 10.294 20,3 16,44

1990 20.614 9,4 16,75 13.295 17,8 14,33

1993 27.905 8,7 13,45 18.244 17,2 13,79

1996 42.032 9,6 13,6 31.366 24,9 19,9

1998 96.959 17,6 21,9 72.780 31,9 25,7

1999 89.845 12,4 15,1 69.420 25,1 20,2

2000 91.632 12,1 14,58 73.648 25,2 22,14

2001 100.011 8,5 9,76 80.382 28,6 24,95

2002 130.499 13,3 14,46 96.512 25,1 21,1

2003 138.803 12,2 13,57 105.888 25,1 20,23

2004 143.455 11,4 12,13 108.725 24,8 20,11

2005 150.799 12,4 11,37 117.259 22,7 19,51

2006 174.290 14,49 13,47 130.584 24,81 21,81

2007 187.942 13,56 12,52 146.837 23,61 20,37

2008 204.896 12,77 11,65 161.831 22,19 18,93

2009 222.123 11,91 10,72 179.835 20,62 17,35

Sumber: BPS. (1994, 2001, 2009) dalam Mudrajad Kuncoro. (2009). URL: www.mudrajad.com/ upload/kemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009.doc diakses 12 November 2010 pukul 20.05

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta jiwa dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun 1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 37,5 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada tahun 2005. Pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis menjadi 39,30 juta jiwa (17,75%). Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan


(26)

commit to user

bertambah 2,09 juta jiwa. Namun pada periode 2007-2008 terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan, dari 37,17 juta jiwa (16,58%) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta jiwa (15,42%) pada tahun 2008. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan, dimana selama periode 2007-2008 penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta jiwa, sementara di daerah

perkotaan berkurang 0,79 juta jiwa. Di tahun 2009 trend penurunan jumlah

penduduk miskin masih berlanjut, dimana pada tahun ini jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 32,53 juta jiwa dengan rincian penduduk miskin di wilayah kota sebesar 11,91 juta jiwa dan penduduk miskin di wilayah desa sebesar 20,62 juta jiwa.

Bank Dunia (1990) mengunakan 2 (dua) kriteria dalam melakukan penelitian tentang kemiskinan, yaitu: (i) menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari dan (ii)

garis kemiskinan internasional berdasarkan Purcha sing Power Pa rity (PPP)

US$ 1 dan US$ 2. Menurut penelitian yang dilakukan Bank Dunia di

Indonesia, bila garis kemiskinan dihitung berdasarkan Purcha sing Power

Pa rity (PPP) US$ 1 per kapita/hari maka persentase kemiskinan adalah

sebesar 5,9% pada tahun 2008, yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,7%. Namun bila dihitung berdasarkan PPP US$ 2 per kapita/hari, maka persentase kemiskinan adalah sebesar 42,6%. Jika garis kemiskinan naik dua kali lipat, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin naik lebih dari empat kali. Ini menunjukkan bahwa perhitungan angka kemiskinan di Indonesia begitu sensitif terhadap perubahan harga. Adanya fluktuasi


(27)

commit to user

sedikit saja dari harga-harga kebutuhan bisa berakibat banyak sekali

penduduk yang akan tergolong miskin (Mudrajad, 2009. URL:

www.mudrajad.com/upload/kemiskinan_di_Indonesia-Mudrajad_18juli2009. doc diakses tanggal 12 November 2010 pukul 20.05)

Sajogyo (1974) melakukan penelitian mengenai kemiskinan dengan menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil (Mudrajad, 2009).

Dari penelitian kemiskinan yang didasarkan pada harga beras tersebut di dapatkan hasil bahwa pada tahun 1964/65 jumlah penduduk kota yang dapat dikategorikan miskin sebesar 65,1% sedangkan jumlah penduduk

Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Sajogyo dan Esmara

Tahun

Kota Desa

Sajogyo Esmara Sajogyo Esmara

(1) (2) (3) (4) (5)

1964/65 65.1 44.0 49.3 51.6

1970 45.4 38.1 31.3 49.1

1976 31.2 39.9 28.1 46.4

1978 27.2 41.6 29.7 46.6

1980 24.4 37.3 17.1 43.2

1981 13.2 32.3 8.0 40.0

1984 31.3 31.3 7.4 39.3

1987 30.4 30.4 3.2 36.0


(28)

commit to user

desa miskin sebesar 49,3%. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan sampai pada tahun 1981, dimana pada tahun tersebut jumlah penduduk kota dan desa yang dikategorikan miskin masing-masing sebesar 13,2% dan 8%. Namun pada tahun penelitian berikutnya yaitu tahun 1984 dan 1987 persentase penduduk miskin di kota dan desa mengalami perkembangan yang berkebalikan. persentase penduduk miskin kota mengalami kenaikan dari 13,2% pada tahun 1981 menjadi 30,4% pada tahun 1987, sementara persentase penduduk miskin desa mengalami penurunan dari 8% pada tahun 1981 menjadi 3,2% di tahun 1987.

Penelitian mengenai masalah kemiskinan lainnya adalah yang dilakukan oleh Hendra Esmara. Hendra Esmara (1986) menggunakan suatu garis kemiskinan perdesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas. Oleh karena itu ukuran Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kuantitas barang-barang esensial yang dikonsumsi. Hasil penelitian yang didapatkan melalui metode yang dipakai Hendra Esmana (1986) ini menunjukkan bahwa pada tahun 1964/65 persentase penduduk yang dikategorikan miskin di kota mencapai 44% sedangkan di desa terdapat penduduk miskin sebesar 51,6%. Pada tahun-tahun berikutnya

persentase penduduk miskin baik di kota maupun di desa menunjukkan trend

yang menurun, akan tetapi trend penurunan tersebut tidak sebesar trend

penurunan yang terjadi dalam penelitian Sajogyo (1974). Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa penduduk kota yang


(29)

commit to user

dapat dikategorikan miskin sebesar 30,4% sedangkan penduduk miskin di desa mencapai 36%. Penelitian yang dilakukan Hendra Esmana (1986) selalu menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di desa selalu lebih besar dari pada persentase penduduk miskin yang ada di kota, hal ini berlawanan dengan penelitian Sajogyo yang menunjukkan persentase penduduk miskin di desa selalu lebih kecil dibandingkan penduduk miskin di kota (Mudrajad, 2009).

Penelitian mengenai masalah ketimpangan kemiskinan yang pernah dilakukan adalah “Analisis Konsentasi Kemiskinan di Indonesia Periode Tahun 1999-2003”. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Wijayanti dan Heri Wahono (2005) ini didasari adanya kenyataan bahwa masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan jumlah populasi orang miskin saja tetapi juga terkait dengan konsentrasi kemiskinan yang ada pada area tertentu. Hasilnya

adalah baik kesenjangan dalam pulau (within region) maupun antar pulau

(between region) di Indonesia relatif stabil. Di mana pulau yang memiliki

tingkat kesenjangan antar pulau tertinggi adalah Pulau Jawa dan yang terendah adalah Pulau Kalimantan.

Penelitian dengan tema yang hampir sama dilakukan oleh Sunarwan Arif Wicaksana (2007). Penelitian ini mengambil judul “Analisis Kesenjangan Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia Periode Tahun

2000-2004”. Hasilnya adalah kesenjangan dalam pulau atau within isla nd di

Indonesia relatif stabil, dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah kelompok kepulauan lainnya yang terdiri dari Provinsi Bali,


(30)

commit to user

menghasikan angka yang relatif stabil,dimana pulau yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah Pulau Jawa, sedangkan pulau yang memiliki tingkat kesenjangan terendah adalah Pulau Kalimantan.

Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Ardyanto (2003) dengan judul “Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Jawa”. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan oleh penulis, terjadi kesenjangan yang semakin tinggi di Jawa antara sebelum krisis (1996) dan sesudah krisis (1998). Selain itu juga disimpulkan bahwa kesenjangan spasial di Jawa pada tahun 1996 lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan dalam satu provinsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi kemiskinan spasial terjadi di wilayah kabupaten dan kota sehingga terjadi kesenjangan antar kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan kesenjangan antar provinsi di Jawa.

Penelitian mengenai masalah kemiskinan antar wilayah di Indonesia yang didasarkan atas pembagian wilayah menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional selama ini masih jarang dilakukan. Menurut RPJM Nasional wilayah Indonesia tidak hanya dibagi menjadi wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur saja, tetapi wilayah Indonesia dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu: (i) wilayah Sumatera, (ii) wilayah Jawa-Bali, (iii) wilayah Kalimantan, (iv) wilayah Sulawesi, (v) wilayah Nusa Tenggara, (vi) wilayah Maluku dan (vii) wilayah Papua. Dengan membagi wilayah Indonesia menjadi bagian-bagian seperti yang tertulis dalam RPJM Nasional tersebut, tingkat kemiskinan yang terjadi


(31)

commit to user

di Indonesia akan dapat terlihat dengan lebih jelas dari pada hanya membagi wilayah Indonesia menjadi kawasan barat dan kawasan timur.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa baik dalam tahun 2009 jumlah penduduk miskin terbesar berada dikawasan Jawa-Bali dengan jumlah 18.610,7 ribu jiwa. Di kawasan Sumatera jumlah penduduk miskin sebesar 6.854,2 ribu jiwa atau sekitar 21,07% dari total penduduk miskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Sulawesi dan Nusa Tenggara masing-masing sebesar 2.490,1 ribu jiwa dan 2.064 ribu jiwa. Di Kawasan Papua terdapat penduduk miskin berjumlah 1.017,1 ribu jiwa atau sekitar 3,13%. Jumlah penduduk miskin yang berada di kawasan Kalimantan sebesar 1.015,9 ribu jiwa. Sedangkan kawasan Maluku merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk miskin yang paling kecil yaitu sebesar 478 ribu jiwa. Meskipun jumlah penduduk miskin dari Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Pembagian

Wilayah dalam RPJMN (Ribu Jiwa)

Wilayah

Tahun

2007 2008 2009

Jumlah % Pering-

kat Jumlah %

Pering-

Kat Jumlah %

Pering- kat

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Sumatera 7,845.4 21.07 2 7,294.0 20.86 2 6,854.2 21.07 2

Jawa-Bali 21,324.9 57.27 1 20,191.6 57.75 1 18,610.7 57.21 1

Kalimantan 1,352.9 3.63 5 1,214.1 3.47 5 1,015.9 3.12 6

Sulawesi 2,788.1 7.49 3 2,608.5 7.46 3 2,490,1 7.65 3

Nusa

Tenggara 2,350.2 6.31 4 2,178.9 6.23 4 2,064.0 6.34 4

Maluku 514.6 1.38 7 496.4 1.42 7 478.0 1.47 7

Papua 1,060.2 2.85 6 979.6 2.80 6 1,017.1 3.13 5

Indonesia 37,236.3 100 34,963.1 100 32,530.0 100


(32)

commit to user

tahun ke tahun menunjukkan adanya trend yang menurun, akan tetapi jumlah penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin masih tetap banyak.

Adanya perbedaan tingkat persentase dan jumlah kemiskinan yang cukup signifikan disetiap wilayah di Indonesia, akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya akan menyebabkan kesenjangan kemiskinan semakin membesar. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “ANALISIS FAKTOR PENENTU DAN TINGKAT KETIMPANGAN KEMISKINAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA PERIODE 2007-2009”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas perumusan masalah dalam studi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah variable Pertumbuhan Ekonomi (Growth), Angka Melek Huruf

(AMH) dan Pengangguran berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007-2009.

2. Bagaimanakah trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar pulau

di Indonesia pada tahun 2007-2009. C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh variabel Pertumbuhan Ekonomi (Growth),

Angka Melek Huruf (AMH) dan Pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007-2009.


(33)

commit to user

2. Untuk mengetahui trend kesenjangan kemiskinan dalam pulau dan antar

pulau di indonesia pada tahun 2007-2009. D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat yang diberikan yaitu:

1. Bagi Pengembangan Ilmu

Dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan tentang kesenjangan kemiskinan antar wilayah di Indonesia periode tahun 2007-2009.

2. Bagi Pemerintah

Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam upaya mengurangi dan menghilangkan kesenjangan kemiskinan spasial yang terjadi di Indonesia.

3. Bagi Pihak Lain

Dapat memberikan informasi tambahan khususnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melakukan penelitian berikutnya, khususnya jika akan diterapkan untuk studi-studi dengan masalah yang sama.


(34)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembangunan Ekonomi

a. Pengertian dan Tujuan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999). Dari definisi tersebut pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting yaitu: (i) suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus-menerus, (ii) usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan (iii) kenaikan pendapatan perkapita dalam jangka panjang.

Pembangunan ekonomi (economic development) mempunyai

pengertian yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi (economic

growth), pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1999) :

1) Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat

pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic

Product (GDP) pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat

pertambahan penduduk, atau

2) Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross

Domestic Product (GDP) yang terjadi dalam suatu negara diikuti


(35)

commit to user

Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan

Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)

tanpa memandangapakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari

tingkat pertumbuhanpenduduk, atau apakah terjadi perubahan struktur

ekonomi atau tidak.

Pembangunan bukan merupakan tujuan melainkan hanya alat sebagai proses instrumental untuk menurunkan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan kesenjangan distribusi pendapatan. Todaro (2000) menekankan bahwa pembangunan adalah suatu proses yang multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan

nasional seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi,

pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan absolut.

b. Pembangunan Ekonomi Daerah

1) Pengertian Daerah

Pengertian daerah berbeda-beda tergantung pada aspek tinjauannya. Dari aspek ekonomi daerah memiliki tiga pengertian (Arsyad, 1999), yaitu:

a) Suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan

ekonomi terjadi dan di dalam berbagi pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapitanya, sosial-budayanya, geografisnya, dan sebagainya. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah homogen.


(36)

commit to user

b) Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang

dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah nodal.

c) Suatu daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada di

bawah suatu administrasi tertentu seperti satu provinsi, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya. Jadi daerah disini didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Daerah dalam pengertian ini dinamakan daerah administratif atau daerah perencanaan.

Dalam praktik, jika kita membahas perencanaan

pembangunan ekonomi daerah maka pengertian yang ketiga tersebut diatas lebih banyak digunakan.

2) Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya– sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.

Menurut Arsyad (1999) masalah pokok dalam

pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap

kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada


(37)

commit to user

dengan menggunakan potensi sumber daya manusia,

kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.

3) Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu untuk menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar pada dua hal, yaitu: (i) pembahasan yang berkisar antara metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah, dan (ii)


(38)

teori-commit to user

teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999). a) Teori Ekonomi Neo Klasik

Teori ekonomi Neo Klasik memberikan dua konsep

pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu

keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi.

Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.

b) Teori Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan

daerah dan penciptaan peluang kerja (job crea tion).

Kelemahan model ini adalah pendasaran pada permintaan eksternal bukan internal, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global.


(39)

commit to user c) Teori Lokasi

Para ekonom regional sering mengatakan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah, yaitu: lokasi, lokasi, dan lokasi. Pernyataan tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri. Perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya dengan cara memilih lokasi yang memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar. Model pengembangan industri kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah biaya yang termurah antara bahan baku dengan pasar. Keterbatasan dari teori lokasi ini pada saat sekarang adalah bahwa teknologi dan komunikasi modern telah mengubah signifikansi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi dan distribusi barang.

d) Teori Tempat Sentral

Teori tempat sentral (centra l pla ce theory)

menganggap bahwa ada hierarki tempat (hiera rchy of

pla ces). Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat

yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya industri dan bahan baku. Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyebabkan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.

Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah baik di daerah perkotaan


(40)

commit to user

maupun pedesaan. Misalnya, perlunya melakukan pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan lainnya hanya sebagai daerah pemukiman. Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.

e) Teori Kausasi Kumulatif

Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi kumulatif

(cumula tive causation) ini. Kekuatan-kekuatan pasar

cenderung memperparah kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang). Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibanding daerah-daerah lainnya.

f) Teori Daya Tarik (Attraction)

Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialis melalui pemberian subsidi dan insentif.

2. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Sebab ketimpangan antar wilayah disebabkan adanya


(41)

commit to user

perbedaan faktor anugerah awal (Endowment Fa ctor). Perbedaan inilah

yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sadono, 1997).

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang

merugikan (ba ckwa sh effects) mendominasi pengaruh yang

menguntungkan (sprea d effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan

ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibakan kesenjangan antar daerah (Arsyad, 1999). Adelman dan Moris (1973) berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan di daerah ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata

lain, faktor kebijakan dan dimensi structura l perlu diperhatikan selain laju

pertumbuhan ekonomi (Mudrajad, 1999).

3. Kemiskinan

a. Pengertian Kemiskinan

Di dunia ilmiah masalah kemiskinan telah banyak ditelaah oleh para ilmuwan dari berbagai macam latar belakang disiplin ilmu dengan menggunakan konsep-konsep dan ukuran yang bersesuaian dengan latar belakang ilmuan tersebut. Sosiolog maupun ekonom telah banyak menulis tentang kemiskinan, tetapi menurut Hardiman & Midgley (1982) istilah seperti “standar hidup“, ”pendapatan“ dan


(42)

commit to user

“distribusi pendapatan“ lebih sering digunakan dalam ilmu ekonomi, sedangkan para sosiolog lebih sering menggunakan istilah “kelas”, “stratifikasi”, dan “marginalitas” (Arsyad, 1999). Bagi yang memperhatikan masalah-masalah kebijakan sosial secara luas biasanya lebih memperhatikan konsep “tingkat hidup”, yakni tidak hanya menekankan pada tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini belum ada definisi-definisi yang baku dan bisa diterima secara umum dari berbagai macam istilah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa masalah kemiskinan itu sangatlah kompleks dan pemecahannya pun tidak mudah.

Menurut Andre Bayo Ala (1981), kemiskinan merupakan suatu masalah yang bersifat multidimensional (Arsyad, 1999). Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta ketrampilan; dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan nasional, sumber-sumber keuangan

dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut

termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah.


(43)

commit to user

Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Dan aspek lainnya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Kita sering mendengar istilah kemiskinan pedesaan, kemiskinan perkotaan, dan sebagainya. Namun demikian, bukan berarti desa atau kotanya yang mengalami kemiskinan, tetapi orang-orang atau penduduknya yang menderita miskin.

Kemiskinan digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai hasil pembangunan. Tingkat kemiskinan di masing-masing wilayah dapat menunjukkan wilayah mana yang mengalami pembangunan yang baik atau buruk. Pembangunan suatu daerah wilayah akan memiliki pengaruh positif dan negatif bagi wilayah lain. Untuk mengurangi kesenjangan regional perlu adanya perpindahan pelopor pembangunan dari suatu daerah atau wilayah ke wilayah lain. Dengan berpindahnya perusahaan dan aktivitas ekonomi dari suatu wilayah ke wilayah lain akan menyebarkan ekpansi kumulatif dari suatu wilayah ke wilayah lain.

Pembangunan suatu wilayah dapat menimbulkan dampak yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, bahkan dapat bertolak belakang sama sekali. Perbedaan spasial tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini terjadi karena adanya


(44)

commit to user

perbedaan struktur oportunitas, yaitu gabungan oportunitas yang bervariasi seperti tingkat pendidikan, pengalaman dan fasilitas lain yang menarik. Struktur oportunitas yang menarik bagi orang miskin adalah struktur industri yang membuka kesempatan kerja pendidikan atau keterampilan rendah, biaya hidup yang rendah khususnya tempat tinggal dan kesempatan berproduksi secara subsisten.

b. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sangat

multidimensional dan disebabkan oleh berbagai hal yang saling mengkait antara satu dengan yang lain. Mudrajad (1999) mengatakan bahwa perang, pertanian yang masih subsisten dan tradisional merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.

Sedangkan menurut Sharp, et al (1996) dalam Mudrajad (1999) bahwa kemiskinan dari sudut pandang ekonomi antara lain:

1) Secara mikro, kemiskinan terjadi karena adanya perbedaan

kepemilikan pendapatan

2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas Sumber

Daya Alam

3) Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran setan


(45)

commit to user

Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan Sumber: Mudrajad (1999)

Breman (1985) dalam Sagung (2005), mengatakan bahwa bagi kaum miskin “jalan menuju ke atas seringkali dirintangi, sedangkan jalan ke bawah terlalu mudah dilalui”. Munculnya kemapanan kemiskinan dikalangan masyarakat miskin lebih disebabkan karena himpitan struktural, karena kemiskinan yang kronis itulah kaum miskin mudah ditaklukkan dan dikelola untuk mengikuti kemauan dan kepentingan golongan elit berkuasa. Kemiskinan tidak semata-mata muncul karena kebudayaan tetapi lebih berkaitan dengan tatanan ekonomi dan sosial yang membatasi peluang kaum miskin untuk keluar dari belenggu kemiskinan.

Selain pendapat-pendapat di atas, menurut Samsubar Saleh (2002) mengatakan faktor-faktor lain penyebab kemiskinan regional di Indonesia adalah:

Ketidaksempurnaan Pasar, Keterbelakangan dan Ketertinggalan

Kekurangan Modal

Investasi Rendah

Tabungan Rendah

Produktivitas Rendah


(46)

commit to user

1) Tingkat pendapatan per kapita per provinsi.

2) Pengeluaran pemerintah untuk investasi sumber daya manusia per

kapita per provinsi, (penjumlahan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan, kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; sektor kesehatan, kesejahteraan, peranan wanita, anak, dan remaja; sektor tenaga kerja; dan sektor ilmu pengetahuan dan teknologi).

3) Pengeluaran pemerintah untuk investasi fisik per kapita per

provinsi.

4) Angka harapan hidup.

5) Angka melek huruf persentase dari total penduduk.

6) Rata-rata lama bersekolah penduduk (dalam tahun).

7) Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau Huma n Development

Index (HDI).

8) Indeks partisipasi wanita dalam ekonomi dan politik a ta u Gender

Empowerment Index (GEI) atau lebih tepat diistilahkan Women

Empowerment Index.

9) Rasio Gini.

10) Rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap

fasilitas kesehatan.

11) Rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap


(47)

commit to user c. Jenis Kemiskinan

Ellis (1994) dalam Sagung (2005), mengatakan bahwa untuk membangun pengertian kemiskinan dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, dan politik.

1) Kemiskinan ekonomi – adanya kekurangan sumber daya yang

dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi berkaitan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan untuk hidup.

2) Kemiskinan sosial – kekurangan jaringan sosial dan struktur

sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

3) Kemiskinan politik – lebih menekankan pada derajat akses

terhadap kekuasaan/power kekuasaan, disini berarti mencakup tatanan sistem sosial (politik) yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi sumber daya.

Sedangkan menurut Azhari (1997) dalam Sagung (2005), melihat macam kemiskinan dari sudut pandang yang lain, yaitu:

1) Kemiskinan alamiah – kemiskinan yang timbul karena

kelangkaan sumber daya dan jumlah penduduk yang tumbuh dengan pesat.

2) Kemiskinan struktural – kemiskinan yang diderita oleh suatu

golongan masyarakat karena struktur sosial yang terbentuk dalam masyarakat.


(48)

commit to user

3) Kemiskinan kultural – kemiskinan yang muncul karena tuntutan

tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat seperti upacara perkawinan, kematian, atau pesta-pesta adat lainnya. Termasuk juga sikap mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang berorientasi ke masa depan.

d. Ukuran Kemiskinan

Pada umumnya terdapat dua indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis

kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep

kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif (Tulus, 2001).

1) Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap hari. Kebutuhan minimum tersebut diterjemahkan dalam ukuran finansial (uang). Nilai minimum tersebut digunakan sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperolah dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.


(49)

commit to user

Wor ld ba nk (1990) menggunakan ukuran kemiskinan

absolut ini untuk menentukan jumlah penduduk miskin. Menurut world bank, penduduk miskin adalah mereka yang hidup kurang

dari US$ 1 atau US$ 2 per hari dalam dolar Purcha sing Power

Pa rity (PPP). Akan tetapi, tidak semua negara mengikuti standar

minimum yang digunakan world ba nk tersebut, karena bagi

negara-negara berkembang level tersebut masihlah tinggi, oleh karena itu banyak negara menentukan garis kemiskinan nasional sendiri dimana kriteria yang digunakan disesuaikan dengan kondisi perekonomian masing-masing negara.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (1994) menentukan kemiskinan absolut Indonesia merupakan ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum energi kalori (2.100 kilo kalori per kapita per hari) yang dipergunakan tubuh dan kebutuhan dasar minimum untuk sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan dasar lain. 2) Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subyektif. Mereka yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif. Kemiskinan relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan.


(50)

commit to user

Badan pemerintah yang menggunakan ukuran kemiskinan relatif misalnya Badan Keluarga Kecil Berencana Nasional. BKKBN mendefinisikan miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan Keluarga Sejahtera yang terdiri atas Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Sedangkan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasanya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, serta kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

1) Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam

jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk

menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Simon Kuznetz dalam Todaro, 2004). Menurut Robinson Tarigan (2004) pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan


(51)

commit to user

masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikanseluruh

nilai tambah (va lue a dded) yang terjadi di wilayah tersebut.

Menurut pandangan kaum historis, pertumbuhan ekonomi merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian mulai dari perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor pertanian dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya menuju perekonomian modern yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) jumlah penduduk, (ii) jumlah stok barang modal, (iii) luas tanah dan kekayaan alam, dan (iv) tingkat teknologi yang digunakan. Suatu

perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau

berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Mudrajad, 1999).

Sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang

menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan

pelakunya adalah inovator atau wiraswasta (entrepreneur).

Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan

dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur.

Menurut Kuznets (Todaro, 2000), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang


(52)

commit to user

bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.

Menurut Todaro (2004), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :

a) Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang

berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan Sumber Daya

Manusia (huma n resources). Akumulasi modal akan terjadi

jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka produksi.

b) Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja.

Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan

dengan kenaikan jumlah angka kerja (la bor force) secara

tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak


(53)

commit to user

angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

c) Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh

teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni :

(1) Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika

tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.

(2) Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja

(la bor sa ving) atau hemat modal (ca pita l sa ving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama

(3) Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi

jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.

Salah satu alat pengukur pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau yang ditingkat nasional disebut Produk Domestik Bruto (PDB). PDRB adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan


(54)

commit to user

Wongdesmiwati (2009), menemukan bahwa terdapat

hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

2) Pendidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jalur pendidikan:

a) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang tersetruktur

dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Jenjang pendidikan formal:


(55)

commit to user

(1) Pendidikan dasar, merupakan jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

(2) Pendidikan menengah, merupakan lanjutan pendidikan

dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah

Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

(3) Pendidikan tinggi, merupakan jenjang pendidikan setelah

pendidikan menengah yang mencakup program

pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

b) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara

tersetruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal

diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,


(56)

commit to user

penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan ini meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, dan lain-lain.

c) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluargadan

lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan formal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan setandar nasional pendidikan.

Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Dari hal tersebut terlihat dengan jelas adanya


(57)

commit to user

hubungan antara pendidikan dengan kemiskinan, dimana hubungan tersebut berlangsung secara negatif.

Salah satu cara untuk melihat perkembangan pendidikan di suatu daerah adalah dengan melihat besarnya angka melek huruf di daerah tersebut. Apabila daerah tersebut memiliki angka melek huruf yang tinggi maka dapat diartikan daerah tersebut memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Demikian pula sebaliknya jika daerah tersebut memilki angka melek huruf yang rendah. Dengan demikian angka melek huruf juga dapat dikatakan memiliki hubungan dengan kemiskinan, di mana hubungan tersebut berlangsung secara negatif atau berkebalikan.

3) Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan (Sadono, 2004).

Jenis-Jenis Pengangguran Berdasarkan Cirinya:

a) Pengangguran Terbuka

Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah daripada pertumbuhan tenaga kerja, akibatnya banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), pengangguran terbuka adalah adalah penduduk yang telah masuk dalam angkatan kerja tetapi tidak


(58)

commit to user

memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan,

mempersiapkan usaha, serta sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

b) Pengangguran Tersembunyi

Keadaan di mana suatu jenis kegiatan ekonomi dijalankan oleh tenaga kerja yang jumlahnya melebihi dari yang diperlukan.

c) Pengangguran Musiman

Keadaan pengangguran pada masa-masa tertentu dalam satu tahun. Penganguran ini biasanya terjadi di sektor pertanian. Petani akan mengganggur saat menunggu masa tanam dan saat jeda antara musim tanam dan musim panen.

d) Setengah Menganggur

Keadaan dimana seseorang bekerja dibawah jam kerja normal. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), di Indonesia jam kerja normal adalah 35 jam seminggu, jadi pekerja yang bekerja di bawah 35 jam seminggu masuk dalam golongan setengah menganggur.

Salah satu faktor penting yang mementukan kemakmuran suatu masyarakayat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dapat tercapai. Penganguran berdampak mengurangi pendapatan masyarakat, sehingga akan menurunkan tingkat kemakmuran yang mereka capai.


(59)

commit to user

Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan

berbagai masalah ekonomi dan sosial kepada yang

mengalaminya. Keadaan pendapatan menyebabkan para

penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang (Sadono, 2004). Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pengangguran dan tingkat kemiskinan, di mana hubungan tersebut berlangsung secara positif atau searah.

B. Penelitian Terdahulu

1. Samsubar Saleh

Samsubar Saleh (2002) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Penentu Tingkat Kemiskinan Regional Di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per propinsi di Indonesia tahun 1996 dan 1999. Penggunaan kurun waktu 1996 dan 1999 mempunyai beberapa keuntungan karena pada tahun-tahun tersebut perhitungan tingkat kemiskinan mempunyai standar yang sama. Selain itu, tahun 1996 dapat mencerminkan keadaan sebelum terjadinya krisis dan tahun 1999 mencerminkan keadaan setelah krisis moneter tahun 1997.

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) buah model analisis,


(60)

commit to user

sedangkan model kedua merupakan model estimasi dengan

menggunakan data panel. Variabel-variabel penjelas dalam penelitian ini pada umumnya berasal dari model penelitian Levernier, et al (2002) dan model Ravallion dan Wodon (1999). Variabel-variabel tersebut adalah YPC, IMP, IFP, HH, MH, RS, HDI, GEI, RG, PNH, PNW, dan DT.

Berdasarkan hasil-hasil empirik dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per propinsi di Indonesia adalah indeks pembangunan manusia (terdiri dari pendapatan perkapita, angka harapan hidup, rata-rata bersekolah), investasi fisik pemerintah daerah, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat partisipasi ekonomi dan politik perempuan, populasi penduduk tanpa akses terhadp fasilitas kesehatan, populasi penduduk tanpa akses terhadap air bersih, dan krisis ekonomi.

2. Wongdesmiwati

Dalam penelitiannya Wongdesmiwati (2009) mengambil judul “Pertumbuhan Ekonomi Dan Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia: Analisis Ekonometrika”. Penelitian ini didasari keinginan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) di Indonesia sehingga kedepannya dapat diformulasikan sebuah kebijakan publik yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini dan tidak hanya sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap


(1)

commit to user

berikutnya menjadi 20.191,6 ribu jiwa di tahun 2008 dan 18.610,7 ribu jiwa ditahun 2009. Penduduk Pulau Jawa tidak hanya berasal dari Pulau Jawa saja tetapi juga banyak yang berasal dari pulau-pulau lain. Para penduduk berdatangan ke Pulau Jawa karena menilai Pulau Jawa merupakan pusat dari kegiatan perekonomian di Indonesia, sehingga mereka berasumsi jika tinggal dan mencari pekerjaan di Pulau Jawa maka tingkat kemakmuran kehidupan akan meningkat. Akan tetapi kebanyakan dari pendatang tersebut kurang dibekali dengan ketrampilan yang memadai, sehingga pada saat tiba di Pulau Jawa tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja lainnya. Mereka cenderung akan bekerja di sektor informal atau bahkan menjadi pengangguran. Banyaknya pengangguran inilah yang selanjutnya menyebabkan tingkat kemiskinan di Pulau Jawa menjadi tinggi. Sedangkan pulau yang miliki tingkat kesenjangan antar pulau terendah adalah Pulau Maluku, di mana tingkat kesenjangan pada tahun 2007 adalah 0,77838 kemudian pada tahun 2008 dan 2009 mengalami penurunan menjadi 0,74150 dan 0,70564. Kecilnya tingkat kesenjangan antar pulau ini dikarenakan konsentrasi jumlah penduduk miskin Pulau Maluku paling kecil di antara pulau-pulau lainnya yaitu rata-rata sebanyak 2.280,4 ribu jiwa. Walaupun jumlah penduduk miskin di Pulau Maluku relatif paling kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, akan tetapi secara kenyataan jumlah penduduk miskin di Pulau Maluku relatif tinggi di mana persentase tingkat kemiskinannya mencapai 21,75 %.


(2)

commit to user

d. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Indonesia

Setelah diketahui besarnya tingkat kesenjangan dalam pulau dan kesenjangan antar pulau maka dihitung kesenjangan total yang terjadi di Indonesia selama tahun pengamatan, yakni tahun 2007-2009. Berikut adalah hasil perhitungan untuk tingkat kesenjangan total di Indonesia:

Tabel 4.16 Kesenjangan Total Indonesia

Tahun Dalam Pulau Antar

Pulau Total

Pangsa Antar Pulau Terhadap

Total

(1) (2) (3) (4) (5)

2007 0.00119 0.52180 0.52300 0.99772

2008 0.00117 0.47054 0.47171 0.99752

2009 0.00126 0.42821 0.42947 0.99706

Sumber: data primer, diolah

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kesenjangan total di Indonesia lebih banyak disumbangkan oleh kesenjangan antar pulau (between region). Kesenjangan antar pulau menyumbangkan rata-rata lebih dari 99% selama periode yang diamati. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya Pulau Jawa banyak menjadi tujuan orang untuk hidup dan bekerja baik yang berasal dari dalam Pulau Jawa maupun yang berasal dari pulau-pulau lain di Indonesia. Akan tetapi kebanyakan orang yang datang ke Pulau Jawa tanpa dibekali dengan ketrampilan yang cukup, mereka cenderung akan bekerja di sektor informal atau bahkan menjadi pengangguran. Banyaknya pengangguran inilah yang selanjutnya menyebabkan tingkat kemiskinan di Pulau Jawa menjadi tinggi.


(3)

commit to user BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi (growth) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan, artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan. Pendidikan (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan, artinya semakin tinggi pendidikan akan mengurangi tingkat kemiskinan. Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan, artinya semakin tinggi pengangguran maka akan menambah kemiskinan. 2. Kesenjangan kemiskinan dalam pulau di Indonesia mengalami

kecenderungan peningkatan selama tahun 2007-2009. Dari 7 (tujuh) wilayah hanya wilayah Papua yang mengalami penurunan kesenjangan kemiskinan. Wilayah yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi adalah Maluku, kemudian disusul oleh wilayah Jawa-Bali, wilayah Sumatera, wilayah Sulawesi, wilayah Kalimantan, wilayah Papua, dan yang terakhir wilayah Nusa Tenggara. Sedangkan kesenjangan kemiskinan antar pulau di Indonesia mengalami kecenderungan penurunan, dimana penurunan tertinggi dialami oleh wilayah Jawa-Bali. Akan tetapi meskipun mengalami penurunan tertinggi, tingkat kesenjangannya masih lebih tinggi dibanding wilayah-wilayah lainnya di Indonesia pada tahun 2007-2009. Wilayah yang memiliki tingkat kesenjangan tertinggi kedua setelah


(4)

commit to user

wilayah Jawa-Bali adalah wilayah Sumatera, kemudian disusul oleh wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, wilayah Papua, wilayah Kalimantan dan yang terakhir wilayah Maluku. Hal ini menunjukkan wilayah Indonesia bagian barat cenderung lebih maju dan berkembang dari wilayah Indonesia bagian timur, atau dapat dikatakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belumlah merata. Semakin tinggi pembangunan yang dilakukan suatu daerah akan membuat IPM daerah tersebut tinggi. Hasil ini terbukti dengan keadaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana pada selama tahun penelitian IPM wilayah Indonesia bagian barat juga jauh lebih tinggi dari wilayah Indonesia bagian timur.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi akan selalu menjadi landasan untuk pengentasan kemiskinan, oleh karena itu perlu terus diupayakan percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bermanfaat bagi penduduk miskin. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi penduduk miskin misalnya dengan program-program padat karya yang melibatkan penduduk miskin sehingga mereka dapat bekerja dan mempunyai penghasilah. Kemudahan akses kredit terutama bagi pengusaha UMKM sehingga memperlancar usahanya. Masalah pendidikan juga perlu untuk mendapatkan perhatian secara serius. Pemerintah sebaiknya dapat menurunkan biaya pendidikan untuk


(5)

commit to user

meringankan beban biaya golongan menengah kebawah untuk bersekolah. Selain itu juga perlu lebih digalakkan lagi program pengarahan peserta didik agar memilih sekolah kejuruan, sehingga apabila mereka telah selesai sekolah dan ingin terjun ke dunia pekerjaan telah memiliki keahlian. Pemerintah juga harus menekan jumlah pengangguran agar tidak menambah jumlah penduduk miskin. Cara yang dapat ditempuh pemerintah antara lain pemberian modal kredit kepada masyarakat dan mempermudah ijin pendirian usaha baik untuk investor dalam negeri maupun luar negeri.

2. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali, terutama wilayah Indonesia timur. Selama ini perhatian pemerintah terhadap wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa-Bali dirasa kurang. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat dari daerah tersebut pergi ke Pulau Jawa-Bali untuk mencari penghidupan. Akibat dari hal ini Pulau Jawa-Bali kelebihan penduduk dan rawan untuk timbul daerah-daerah kantong kemiskinan. Belum lagi banyak dari orang yang datang ke Pulau Jawa tanpa dibekali dengan ketrampilan yang cukup, mereka cenderung akan bekerja di sektor informal atau bahkan menjadi pengangguran. Daerah yang ditinggalkan penduduknya pergi ke Pulau Jawa-Bali juga akan mengalami kerugian, karena akan mengalami kekurangan tenaga kerja untuk membangun daerah tersebut. Akibatnya daerah yang ditinggalkan tersebut tidak akan bisa untuk melakukan pembangunan dengan maksimal. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan daerah pedesaan. Hal ini sangat penting melihat


(6)

commit to user

kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia masih daerah pedesaan dan sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal dan bekerja di pedesaan. Para penduduk desa sebagian besar bekerja atau mempunyai sumber pendapatan di sektor pertanian. Sedangkan sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di Indonesia (Tulus, 2001). Untuk itu pemerintah hendaknya mengupayakan peningkatan produktivitas pertanian dengan menambah modal dengan cara pinjaman lunak, memperketat izin pembangunan diatas tanah pertanian karena tanah pertanian semakin habis sedangkan pekerjanya sangat banyak, dan menggunakan teknologi tepat guna. Tidak hanya itu peningkatan diversifikasi usaha disektor pertanian ke jenis-jenis komoditi nonfood yang memiliki prospek pasar (terutama ekspor) sangat menguntungkan para petani.