Mitos dan Sejarah Kecantikan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecantikan

Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaan temporer banyak orang Nasiruddin,2008:1. Secara garis besar berbagai pendapat tentang definisi kecantikan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok: pertama, kecantikan hanya bersifat fisik saja outer beauty. Wajah yang ayu, tubuh yang langsing, kulit putih, tinggi semampai, hidung mancung merupakan manifestasi kecantikan fisik. Kedua, hakikat kecantikan itu ada dalam Diri yang diistilahkan dengan inner beauty. Kepribadian, intelektualitas, kecakapan emosional, dan kualitas-kualitas nonfisik merupakan gambaran kecantikan model kedua ini. Ketiga, kecantikan itu bersifat fisik dan nonfisik. Artinya perempuan yang memiliki inner beauty juga harus memiliki outer beauty Munfarida,2007:3.

2.1.1. Mitos dan Sejarah Kecantikan

Kecantikan merupakan mitos, tidak ada definisi yang baku dan kriteria kecantikan yang bersifat umum. Kecantikan merupakan sesuatu yang dianggap paling berharga bagi seorang perempuan. Sejarah kemanusiaan dan mitologi kuno seperti Sri Suriani Purnamawati : Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009, 2009 kisah Adam dan Hawa, Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta mengisahkan perempuan cantik yang menjadi rebutan dan kaum pria rela berkorban untuk mendapatkannya. Mitos seputar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa. Di era tahun 1960-an standar tentang kecantikan menunjukkan bahwa bentuk tubuh yang padat berisi merupakan yang paling menarik dnengan ikon Marilyn Monroe. Kemudian di era 1980-an tubuh yang jauh lebih kurus dikatakan lebih menarik, sehingga banyak model yang berbadan kurus dan menderita anorexia Baron, 2003:11. Memasuki tahun 1990-an, akibat adanya berbagai penemuan di bidang kosmetik memberikan angin segar bagi perempuan yang merasa tubuhnya kurang sempurna untuk “merenovasi” fisiknya. Sedot lemak, pengelupasan kulit merupakan contoh keberhasilan teknologi kosmetika Munfarida, 2007:6. Sehingga yang dikatakan cantik selain ramping juga berkulit putih. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60 perempuan Jepang dan 75 perempuan Cina masih menginginkan warna kulit yang lebih putihcerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang lebih putih Badan POM, 2006:8. Penelitian yang dilakukan Manurung 2008:85 di salah satu pusat kebugaran di kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31 responden menggunakan kosmetik pemutih. Sejarah kecantikan di atas menunjukkan bahwa pada awalnya mitos kecantikan dibentuk oleh konstruksi masyarakatnya saat itu. Namun selanjutnya perubahan mitos kecantikan ini lebih dipengaruhi oleh media iklan. Hal ini disepakati oleh para pemerhati kecantikan bahwa sejak 1960-an citra ideal perempuan dibentuk Sri Suriani Purnamawati : Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009, 2009 oleh industri media dan periklanan. Contohnya zaman 1950-an kecantikan perempuan diidentikkan dengan perempuan bertubuh subur, pada era 1980-an merupakan puncak dimana tubuh kurus menjadi simbol kecantikan. Media massa saat itu banyak memunculkan figur langsing, selain dijadikan simbol kecantikan, tubuh langsing juga dianggap sebagai simbol pemberontakan perempuan Munfarida, 2007:5 Kata “cantik” telah dibentuk oleh media di dalam benak masyarakat secara tidak sadar. Baik melalui iklan maupun tayangan-tayangan sinetron yang ada. Sebagian besar endorser yang dipakai dalam iklan adalah perempuan-perempuan dengan tubuh yang langsing dan tinggi, berkulit putih. Stereotype ini telah terbentuk dan menjadi pemisah untuk perempuan “cantik” dan “tidak cantik” Goenawan, 2007:15 Berkaitan dengan kekuatan pengaruh media massa ini, Yasraf Amir Piliang mengatakan ada tiga kekuasaan yang beroperasi di balik produksi dan konsumsi komoditi yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser serta kekuasaan media massa. Ketiga kekuasaan ini saling berjalin berkelindan untuk menciptakan permintaan demand secara terus menerus. Melalui media massa keinginan-keinginan psikologis diciptakan sehingga komoditi bisa terus-menerus diproduksi. Pada akhirnya, pola konsumsi ternyata lebih menguntungkan bagi para pemilik modal daripada benar- benar mengubah perempuan menjadi cantik Munfarida, 2007:9. Adanya campur tangan kapitalis melalui media massa seperti iklan juga diakui oleh gerakan feminisme. Tampilan iklan di televisi dan media cetak memberikan pengaruh besar dalam penggambaran citra perempuan. Hal ini mendorong Betty Friedan seorang feminis melakukan analisa isi atas majalah-majalah perempuan Sri Suriani Purnamawati : Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009, 2009 maupun kritik iklan dalam bukunya The Feminine Mystique. Friedan menghasilkan stereotip-stereotip gender yang dibangun oleh media Goenawan, 2007:18. Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan menjadi 4 macam, Bungin, 2005: 103-104 yaitu: 1. Citra Pigura, citra yang ditonjolkan adalah sisi biologis dari perempuan- perempuan tersebut. 2. Citra Pilar, citra yang ditonjolkan adalah perempuan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam hal mengurus domestik. umber daya rumah tangga, sebagai istri dan ibu yang bijaksana. 3. Citra Pinggan, perempuan dicitrakan tidak bisa keluar dari dapur, karena dapur adalah dunia perempuan. 4. Citra Pergaulan, citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun, menawan serta berhak “dimiliki” oleh kelas tertentu. Naomi Wolf juga melihat bahwa media massa lebih dari sekedar agen penkonstruksi, media mengambil bagian, menjadi ritus kecantikan. Media massa muncul sebagai agama baru kecantikan. Perempuan model cover, iklan, majalah wanita, menjadi panutan sejati pesan kecantikan Utomo,2007: 3. Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam buku “Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop” melihat feminitas perempuan dideterminasi oleh imajinasi laki-laki dan budaya patriarki di dalam ilustrasi iklan dalam media massa. Sosok Sri Suriani Purnamawati : Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009, 2009 perempuan yang diilustrasikan dalam beberapa iklan kosmetik, menggambarkan kualifikasi kecantikan pada tubuh perempuan yang melibatkan penilaian laki-laki sebagai representasi budaya patriarki. Nilai intrinsik pasar adalah pada produk kecantikan yang ditawarkan, misalnya iklan krim pemutuh menghendaki laki-laki mengakui yang cantik adalah yang perempuan yang berkulit putih, sedangkan warna di luar putih tidak layak mendapatkan perhatian laki-laki. Perempuan diarahkan untuk mematuhi imajinasi iklan krim pemutih itu, taat pada imajinasi laki-laki. Putih dan tidak putih adalah sebuah kategorisasi feminitas perempuan, kecantikan perempuan Utomo, 2007 :6 Konstruksi sosial bagi kapitalisme memandang perempuan hanya semata- mata dilihat sebagai komoditas. Akibatnya berbagai mitos kecantikan yang diciptakan, memberikan penekanan yang lebih pada kualitas fisik. Dunia perempuan selalu ditampilkan dalam ruang yang serba fisikal. Konstruksi ini menjadikan perempuan teralienasi dengan dirinya sendiri. Dirinya sendiri semakin jauh dari totalitas kediriannya karena terfragmentasi dalam diri fisik semata. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi industri kapitalis. Tidak adanya konsep diri yang utuh, akan menjadikan kaum perempuan mudah terpedaya oleh persuasi-persuasi iklan-iklan kecantikan dalam media massa yang lebih banyak menampilkan aspek kecantikan fisik saja Munfarida,2007:9 Perempuan disubordinasikan oleh sebuah sistem dan struktur yang kokoh yang antara lain dibangun oleh kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah sistem telah membentuk struktur-struktur dimana perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah. Kepentingan pasar menjadi suatu ideologi dalam keseluruhan proses produksi iklan Sri Suriani Purnamawati : Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009, 2009 dimana setiap orang tunduk pada kepentingan-kepentingan pasar,khususnya dalam meningkatkan daya saing suatu produk Abdullah, 2001:40.

2.2. Kosmetik