Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah Dalam Hal Bank Gagal Dihubungkan Dengan Undang-Undang No.24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH

DALAM HAL BANK GAGAL DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NO.24 TAHUN 2004 TENTANG

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

TESIS

Oleh

MEGAWATI 077005082/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH

DALAM HAL BANK GAGAL DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NO.24 TAHUN 2004 TENTANG

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MEGAWATI 077005082/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH DALAM HAL BANK GAGAL DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Nama Mahasiswa : Megawati Nomor Pokok : 07700082 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 02 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Industri perbankan merupakan komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional karena stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting untuk menjadi sasaran akhir sektor perbankan. Di samping itu, perbankan merupakan lembaga kepercayaan sehingga bank harus dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank. Untuk mencapai hal tersebut, maka pemerintah mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin simpanan nasabah dan melakukan penanganan terhadap bank gagal. Hal ini sebagai langkah antisipasi pemerintah terhadap kemungkinan rush apabila kondisi ekonomi tidak stabil. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti antara lain: mengapa bank dinyatakan sebagai bank gagal oleh Bank Indonesia, dan bagaimana pertanggungjawaban bank terhadap nasabah dalam hal bank gagal serta apakah Lembaga Penjamin Simpanan sudah memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal bank gagal.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank dinyatakan sebagai bank gagal oleh BI apabila tidak dapat memenuhi ketentuan Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan (2) serta tidak dapat memenuhi Peraturan Bank Indonesia No.6/9/PBI/2004. Bank yang memenuhi kriteria tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus BI. Apabila bank dalam pengawasan khusus tersebut tidak membaik kondisinya, maka BI akan mencabut izin usaha bank tersebut dan menyerahkannya kepada LPS untuk diputuskan akan diselamatkan atau tidak. Jika LPS memutuskan untuk menyelamatkan, maka bank tersebut dinyatakan sebagai bank gagal. Namun, jika diputuskan untuk tidak diselamatkan, maka bank tersebut dinyatakan sebagai bank likuidasi.

Bank wajib menjadi anggota LPS dengan membayar premi berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam hal bank dinyatakan sebagai bank gagal maupun bank likuidasi, maka LPS akan menjadi penjamin atas kewajiban Bank Gagal atau Bank likuidasi tersebut dengan melakukan pembayaran kepada nasabah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, nilai simpanan yang dijamin oleh LPS juga selalu dimonitor berdasarkan sentimen pasar apakah nilai simpanan yang dijamin sudah sesuai atau masih perlu penyesuaian. Dengan demikian, LPS dapat memberikan kepastian dan juga perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan dalam hal bank gagal.

Melalui penelitian ini disarankan agar LPS lebih ketat lagi di dalam melakukan pengawasan terhadap tingkat kesehatan bank dengan maksud untuk mempermudah LPS di dalam menetapkan premi kepada masing-masing bank. Di samping itu, disarankan juga agar pemerintah memperhatikan hal –hal yang harus diperbaharui oleh LPS sehingga LPS dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban bank terhadap nasabah, Bank Gagal, Lembaga Penjamin Simpanan.


(6)

ABSTRACT

Banking industry is a very important component in national economy because the stability of banking industry does influence the economic stability as a whole. Thus, a health and strong condition of banking sector is important to be the objective of the banking sector itself. In addition, banking is an institution of trust, therefore, bank must maintain the trust given by the people to the banking industry. People will trust a bank if there is legal certainty in regulating and controlling the bank and the deposit of bank customers is guaranteed. To meet this requirement, the government established Lembaga Penjamin Simpanan (Deposit Guarantee Institution) to guarantee the deposit of bank customers and cope with the non-performing banks. This step is taken by the government to anticipate the rush that may occur when the economic condition is unstable. Based on the above background, the purpose of this study is why a bank is regarded as being non-performing by Bank Indonesia, what responsibility a non-performing bank has for its customers, and whether the Lembaga Penjamin Simpanan has provided legal protection for the customers in case the bank is non-performing.

The data for this normative study are based on the primary, secondary, and tertiary legal materials. The result of this study shows that a bank is regarded as being non-performing by Bank Indonesia it cannot meet the requirement of the explanation of Article 37 (1) and (2) and the Regulation of Bank Indonesia No.6/9/PBI/2004. the bank that has met the criteria were put under the special control is not growing better, Bank Indonesia will revoke the business permit of the bank and let the Lembaga Penjamin Simpanan decide whether or not the bank will be saved. If Lembaga Penjamin Simpanan decides to save it, the bank is regarded as a non-performing bank. Yet, it Lembaga Penjamin Simpanan decides not to save the bank, it is will be regarded a liquidated bank.

It is a must for a bank to be a member of Lembaga Penjamin Simpanan by paying the premium based on the pre-decided stipulation. Besides, the amount of the deposit guaranteed by Lembaga Penjamin Simpanan is also monitored based on market sentiment whether the amount of guaranteed deposit has been or still needs adjustment. Thus, in case the bank becomes non-performing, Lembaga Penjamin Simpanan can provide the bank customers with legal certainty and legal protection.

It is suggested that Lembaga Penjamin Simpanan be more strict in controlling the bank health level to ease Lembaga Penjamin Simpanan in determining the amount of premium to the respective bank. It is also suggested that the government pay attention to the things that need to be renewed by Lembaga Penjamin Simpanan that it can maximally perform its function.

Key words: Bank Responsibility, Customer, Non-Performing Bank, Deposit Guarantee Institution


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena Penulis telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah Dalam Hal Bank Gagal Dihubungkan Dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan” Penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis. Rasa terimakasih ini khusus Penulis persembahkan kepada para Komisi Pembimbing yaitu : Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, Ibu Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang diberikan untuk memperbaiki penulisan ini. Demikian juga, rasa terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis persembahkan kepada para penguji yaitu: Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H, dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum. meskipun dengan kapasitas sebagai penguji, namun telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis.

Demikian juga rasa terima kasih ini Penulis sampaikan dengan hormat kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum

4. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu menyelesaikan penulisan tesis ini 5. Seluruh para pegawai/staf di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah membantu Penulis selama menjalani pendidikan maupun dalam penulisan tesis ini.

Penulis secara khusus memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, kiranya mengasihi ayahanda Penulis Alm. Ng Eng Hui dan ibunda Penulis Alm. Sahatun. Semoga Tuhan mengasihi keduanya sebagaimana mereka mengasihi Penulis.

Penulis memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih semoga semua budi baik yang diberikan oleh semua pihak kepada Penulis, diberikan pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan bersama. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak, menjadi amal ibadah bagi Penulis dan juga bagi semua pihak yang telah memberikan dukungan sebagaimana Penulis uraikan diatas. Akhir kata, jika ada tutur kata dan sikap Penulis yang tidak pada tempatnya, Penulis


(9)

memohon maaf kepada semua pihak dan mohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Medan, Juni 2009 P e n u l i s

Megawati 077005082/HK


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : MEGAWATI

Tempat/ Tgl Lahir : SEI RAMPAH/ 11 APRIL 1984 Jenis Kelamin : PEREMPUAN

Agama : BUDHA

Pendidikan : SD pada tahun 1990 s/d 1996 di Sei Rampah

SLTP pada tahun 1996 s/d 1999 di Tebing Tinggi SMU pada tahun 1999 s/d 2002 di Medan

UDA pada tahun 2002 s/d 2006 di Medan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………...i

ABSTRACT..………...ii

KATA PENGANTAR………...iii

RIWAYAT HIDUP………..………..vi

DAFTAR ISI………..vii

DAFTAR TABEL………...ix

DAFTAR ISTILAH……….………...x

DAFTAR SINGKATAN………..xiii

BAB I :PENDAHULUAN……….……….1

1. Latar Balakang ………....1

2. Rumusan Masalah……...………..…….12

3. Tujuan Penelitian………..………….12

4. Manfaat Penelitian………..……...13

5. Keaslian Penelitian………..…..13

6. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi………...14

7. Metode Penelitian………..………24

1. Jenis dan Sifat Penelitian………..……….24

2. Sumber Data………..…………24

3. Teknik Pengumpulan Data……….…26

4. Analisis Data………..…26

BAB II :KETENTUAN BANK DINYATAKAN SEBAGAI BANK GAGAL OLEH BANK INDONESIA……….…...27

A. Faktor-Faktor Penyebab Bank Dinyatakan Sebagai Bank Gagal Oleh Bank Indonesia………....27

B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Bank Agar Tidak Dinyatakan Sebagai Bank Gagal Oleh Bank Indonesia…...…44

BAB III :PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH DALAM HAL BANK GAGAL……….…69

A. Hubungan Antara Bank, Nasabah, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)……….69

B. Pertanggungjawaban Bank Dalam Pengembalian Simpanan Nasabah………....76


(12)

BAB IV :PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM HAL BANK GAGAL DIKAITKAN DENGAN

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN………...…87

A. Perkembangan Penerapan Blanket Guarantee Amerika Serikat Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Nasabah Di Indonesia………..….87

B. Perlindungan Hukum Dengan Penerapan Blanket Guarantee………101

C. Perlindungan Hukum Melalui Lembaga Penjamin Simpanan………..…108

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...125

A. Kesimpulan………..………....125

B. Saran………..………..127


(13)

DAFTAR ISTILAH

Agency Role :bertindak untuk dan atas nama nasabah untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap harta kekayaan nasabah

Adverse Selection :penetapan premi yang bersifat tetap dan keanggotaannya bersifat sukarela

Agency Problem :keinginan untuk meminimalkan biaya penjaminan

Asset Bubles :penggelembungan asset

Bank Panic :kebangkrutan bank yang mengakibatkan

kerugian pada penyimpan dana, pemegang saham dan dunia usaha

Blanket Guarantee :penjaminan seluruh kewajiban bank

Compliance Based Supervision :pengawasan terhadap kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank Duty of Care :sikap untuk bertindak hati-hati dalam

melakukan tugas

Duty of Loyality :sikap untuk tidak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dalam melakukan tugas atas nama perusahaan

Emotional Benefit :mendapatkan kepuasan terhadap pelayanan bank

Fiduciary Relationship :hubungan kepercayaan

Functional Benefit :mendapatkan kepuasan terhadap fasilitas bank

Guarantor Role :penjaminan atas nasabah tertentu apabila nasabah tersebut tidak dapat membayar


(14)

Implicit Guarantee :bantuan pemerintah terhadap bank yang mengalami kesulitan likuiditas

Intermediation Role :mengubah dana simpanan masyarakat menjadi kredit bagi pihak lain

Loan Deposit Ratio :perbandingan antara pinjaman yang diberikan sebelum dikurangi penyisihan piutang ragu-ragu dengan sumber dana pihak ketiga

Least Cost Principle :pertimbangan terhadap perkiraan biaya penyelamatan lebih rendah daripada biaya tidak melakukan penyelamatan

Likuidasi :tindakan pemberesan terhadap harta

kekayaan atau aset dan kewajiban-kewajiban suatu perusahaan sebagai tindak lanjut dari bubarnya perusahaan

Prudential Banking :kehati-hatian bank

Payment Role :pembayaran untuk dan atas nama nasabah Policy Role :penyaluran kebijakan pemerintah yang

mencoba untuk mengatur pertumbuhan ekonomi

Purchase and Assumption :kewenangan untuk memberi dan mencabut izin keanggotaan, menilai dan mengelola risiko dan kewenangan melakukan atau meminta melakukan pemeriksaan bank

Rush :penarikan dana secara besar-besaran dan tiba-tiba oleh nasabah

Risk Based Supervision :pengawasan berdasarkan risiko untuk orientasi kedepan

Reward System :sistem penilaian yang dilakukan dengan penjumlahan


(15)

Risk Free Asset :pembebasan risiko terhadap simpanan nasabah

Systemic Risk :akibat dari suatu kondisi yang jika tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional


(16)

DAFTAR SINGKATAN

ATMR ~ Aktiva Tertimbang Menurut Risiko BMPK ~ Batas Maksimum Pemberian Kredit BI ~ Bank Indonesia

BPPN ~ Badan Penyehatan Perbankan Nasional BLBI ~ Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

CAMEL ~ Capital, Asset, Management, Earnings and Liquidity CAR ~ Capital Adequacy Ratio

DPR ~ Dewan Perwakilan Rakyat

FDIC ~ Federal Deposit Insurance Corporation

FIRREA ~ Financial Institution Reform, Recovery and Enforcement Act GWM ~ Giro Wajib Minimum

GCG ~ Good Corporate Governance IFSN ~ Indonesia Financial Safety Net IMF ~ International Monetary Fund IBI ~ Ikatan Bankir Indonesia

KPPM ~ Kewajiban Penyediaan Modal Minimum LPS ~ Lembaga Penjamin Simpanan

LPP ~ Lembaga Pengawas Perbankan

OECD ~ Organization for Economic Cooperation and Development PDN ~ Posisi Devisa Neto

PBI ~ Peraturan Bank Indonesia PT ~ Perseroan Terbatas P&A ~ Purchase and Assumption Pakto ~ Paket Oktober

RUPS ~ Rapat Umum Pemegang Saham SMMA ~ Sinar Mas Multiartha


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama kurang lebih 32 tahun, baru disadari bahwa pembangunan bidang ekonomi lebih diutamakan dengan mengabaikan hukumnya.1 Hal ini ditandai dengan penciptaan kemudahan untuk mendirikan bank dan alternatif produk untuk bank dan lembaga keuangan bukan bank pada tahun 1998 (yang dikenal sebagai Pakto 88) yang merubah sistem perbankan.2

Pada waktu itu Pakto 88 tersebut mempunyai tujuan untuk menggalakkan pengerahan dana masyarakat yang ditempuh melalui perluasan jaringan keuangan dan perbankan ke seluruh wilayah Indonesia dan diversifikasi sarana pengerahan dana.3 Akibat dari Pakto 88 yang memberikan kemudahan untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya telah membuat jumlah bank berkembang sangat pesat, sehingga jumlahnya melebihi kapasitas bank sentral untuk dapat melakukan pengawasan secara intensif dan mendetail sehingga terjadi kerawanan dalam struktur perbankan di Indonesia.4

1

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 1.

2

HLB Hadori& Rekan, Suatu Tinjauan Dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan Dan Hukum, (Jakarta: Bank Indonesia, 2002), hal. 9.

3

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank Dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan Dan Deposito, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.

4


(18)

Padahal industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena itu, hal ini dirasakan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian negara. Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana (surplus of funds) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds).5 Oleh karena itu, stabilitas industri perbankan dimaksud sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.

Di samping itu, perbankan juga mempunyai pengaruh yang amat menentukan dalam kegiatan ekonomi modern dimanapun.6 Perbankan layaknya jantung dalam tubuh makhluk hidup yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang menjaga kehidupan makhluk tersebut.7 Oleh karena itu, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan.8 Untuk menjaga kondisi perbankan yang sehat dan kuat di dalam suatu negara, diperlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Dimana due process dan keadilan merupakan sumber-sumber utama kepercayaan.9

5

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 3. 6

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Yogyakarta: Andi Offset, 2002), hal. 57.

7 Ibid. 8

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 130.

9

Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (NewYork: Harper &Row), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di Masa Kini, (Jakarta: Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Hu Ma)), hal. 54.


(19)

Keterkaitan dan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan merupakan pilar dan unsur utama yang harus dijaga dan dipelihara.10 Sehingga upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan.11 Karena pada dasarnya hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kepercayaan.12 Oleh karena itu, bank harus bertanggungjawab kepada nasabah apabila dinyatakan sebagai bank gagal. Jika bank tersebut merupakan anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mungkin tidak merisaukan masyarakat. Akan tetapi, apabila bank tersebut tidak merupakan anggota LPS. Bagaimana nasabah meminta pertanggungjawaban terhadap bank yang dinyatakan gagal, terutama dalam hal pengembalian dana simpanan nasabah.

Ketidakpercayaan dan kecemasan masyarakat terhadap perbankan yang semakin besar biasanya diwujudkan dalam bentuk penarikan dan pemindahan dana dari beberapa bank.13 Oleh karena itu, aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi serta untuk mencegah terjadinya bank runs and panics.14 Di samping itu, kepercayaan masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki

10

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. iii.

11

Syahril Sabirin, Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mendukung Pembangunan Nasional, dalam Adrian Sutedi, Loc.cit..

12

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, disampaikan pada Seminar Nasional “Sistem dan Mekanisme Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Serta Peran Pentingnya Dalam Menunjang Industri Perbankan”: yang diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Jakarta, tanggal 24 Januari 2007, hal. 2.

13

HLB Hadori & Rekan, Studi Ekonomi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2002), hal. 63.

14

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2005), hal. 1.


(20)

uang tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya sekaligus.15

Kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk meningkatkan kelangsungan usaha bank secara sehat. Kelangsungan usaha bank secara sehat dapat menjamin keamanan simpanan nasabahnya serta meningkatkan peran bank sebagai penyedia dana pembangunan dan pelayanan jasa perbankan.

Dalam menentukan tingkat kesehatan suatu bank, pada mulanya Bank Indonesia menilai atas dasar 3 (tiga) kelompok faktor penilaian, yaitu:16

1. Faktor Penambah (CAMEL Reward System)

Aspek yang dinilai mencakup 5 (lima) faktor yang meliputi aspek permodalan (capital), kualitas aktiva produktif (assets quality), manajemen, rentabilitas (earnings) dan likuidasi sebagai faktor CAMEL. Setiap faktor yang dinilai terdiri dari beberapa komponen yang dikualifikasi dan diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan bank. Penilaian terhadap faktor CAMEL tersebut dilakukan dengan mengkualifikasikan beberapa komponen penting dari masing-masing faktor yang seluruhnya berjumlah 9 (sembilan) komponen dengan nilai kredit 0 sampai dengan 100.

2. Faktor Pengurang (Compliance/ Violation Penalty)

15 Ibid. 16

HLB Hadori & Rekan, Studi Keuangan Bantuan Likuidasi Bank Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2002), hal. 29.


(21)

Aspek yang meliputi penilaian atas pemenuhan (compliance) dan pelanggaran (violation) terhadap ketentuan kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking regulation) yang terdiri dari:

1. Pelanggaan ketentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) 2. Pelanggaran ketentuan PDN (Posisi Devisa Neto)

Pelanggaran atas BMPK dan PDN akan dikenakan sebagai faktor pengurang terhadap total nilai kredit.

3. Faktor Professional Judgement

Pada proses penilaian tingkat kesehatan bank, penilaian secara professional (professional judgement) berupa analisis dan pengujian tambahan atas aspek tertentu usaha bank yang belum dimasukkan dapat dilakukan untuk memperoleh tingkat kesehatan bank yang sebenarnya.

Berdasarkan tindakan penilaian yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap seluruh bank yang ada di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia telah berusaha untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hal yang harus dijaga agar industri perbankan tetap eksis adalah menciptakan landasan utama hubungan antara bank dengan masyarakat berdasarkan pada prinsip kepercayaan fiduciary relationship.17

Dimana prinsip tersebut diperlukan dalam hubungan timbal balik.18

17

Try Widiono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hal. 13.

18 Ibid.


(22)

Apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank dimaksud tidak dapat dilanjutkan, bank dimaksud menjadi bank gagal19 yang berakibat dicabut izin usahanya. Oleh sebab itu, baik pemilik dan pengelola bank gagalpun berbagai otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan atau pengawasan bank, harus bekerja sama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

Hal ini dapat dilihat banyak negara sepakat bahwa salah satu pendekatan yang diperlukan untuk membangun suatu sistim perbankan yang sehat dan kuat adalah dengan memberikan jaminan yang eksplisit bagi nasabah penyimpan.20 Uraian tersebut menunjukkan peran LPS sangat diperlukan dalam dunia perbankan. Meskipun penjaminan seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) berdasarkan Keputusan Presiden No 26 Tahun 199821 di masa lalu, berhasil mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan pada masa krisis moneter dalam perbankan. Namun, penjaminan yang sangat luas ini juga membebani anggaran negara dan menimbulkan moral hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank.

Pengelola bank tidak terdorong untuk melalukan usaha bank secara prudent (prudential banking), sementara nasabah bank tidak memperhatikan atau mementingkan kondisi kesehatan bank dalam bertransaksi dengan bank. Hal ini

19

Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan: “Bank Gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh LPP sesuai dengan kewenangan yang dimiliki”.

20

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, Op.cit., hal. 1.

21


(23)

menunjukkan tidak adanya tanggungjawab bank terhadap nasabah di dalam mengelola aset-aset yang datang dari nasabah. Di samping itu, penerapan penjaminan secara luas yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan.

Mengacu kepada Pasal 37B Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan22, maka ditetapkan bahwa penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Keberadaan LPS tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.23 Hal ini dirasakan sangat penting karena kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga.24

22

Pasal 37B Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:

(1) Setiap Bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

(2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

(3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimkasud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

23

Try Widiono, Op.cit., hal. 113. 24


(24)

LPS merupakan sarana perlindungan konsumen, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.25 Adapun yang menjadi alasan dasar (rationale) bagi pemerintah untuk memfasilitasi pendirian LPS adalah kepercayaan pada industri perbankan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pada sistem perbankan yang diawasi secara baik dapat meminimalkan terjadinya kebangkrutan bank, dan kebangkrutan itu sendiri dapat diprediksi dan merupakan kejadian yang dapat dicegah.26 Hal ini juga dirasakan sesuai dengan fungsi bank sentral sebagai

lender of last resort yang menyediakan likuiditas apabila diperlukan, maka bank runs

akan hilang dan tinggal sejarah.

LPS itu sendiri juga mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank gagal.27 Hal ini juga sesuai dengan tujuan pendirian lembaga tersebut, yaitu untuk mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang mengalami kolaps.28

Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Karena perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab merupakan suatu pendekatan yang adil dan tepat.29 Akan tetapi, hal ini akan menimbulkan masalah lain bagi nasabah yang tidak dijamin oleh LPS. Perlindungan hukum apa yang dapat diberikan Pemerintah

25

Ibid., hal. 170. 26

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, Op.cit., hal. 2.

27

Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

28

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 174. 29

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, Loc.cit.


(25)

kepada nasabah tersebut. Meskipun simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Hal ini tetap membuat nasabah tersebut menjadi khawatir.Oleh karena itu, lembaga ini sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum terhadap para penyimpan dana pada bank, terkait adanya risiko yang dihadapi nasabah terhadap kemungkinan rush dan atau pembekuan izin usaha suatu bank.30

LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor keuangan Indonesia atau yang disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN). Di samping itu, Bank Indonesia melalui mekanisme sistem pembayaran, akan mendeteksi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan dapat menjalankan fungsinya sebagai lender of last resort.

Apabila kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini, penyelesaian dan penanganan bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu mempertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank terhadap perekonomian nasional. Dalam hal ini dapat diketahui peran LPS sangat diharapkan untuk membantu Bank Indonesia menangani masalah-masalah yang timbul dalam dunia perbankan.

30


(26)

Di samping mengingat fungsinya yang sangat penting, LPS harus independen, transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.31

Eksistensi LPS lebih dirasakan mempunyai manfaat yang jauh lebih penting lagi pada saat terjadi krisis global yang untuk pertama kalinya melanda Amerika Serikat pada bulan Oktober 2008. Krisis tersebut disebabkan oleh anjloknya nilai saham yang ada di Amerika Serikat dibarengi dengan besarnya tingkat kredit macet yang terjadi di Amerika Serikat sebagai dampak dari gagalnya bisnis property di sana. Pada saat itu, Indonesia juga merasa khawatir dengan keadaan krisis yang menimpa Amerika Serikat tersebut. Hal ini ditandai dengan menurunnya semua harga saham yang diperjual belikan di bursa saham sehingga mengakibatkan hampir seluruh investor yang berkecimpung di dalam dunia pasar modal sibuk untuk menjual saham yang dimiliki.

Hal ini dirasakan semakin memburuk pada saat Bursa Efek Indonesia menutup penjualan saham. Kekhawatiran ini juga yang ditakutkan oleh pemerintah, sehingga pemerintah harus segera mencari cara untuk mengantisipasi terjadinya rush

di dalam dunia perbankan. Hal tersebut dapat menyebabkan dampak yang fatal terhadap perekonomian negara seperti sejarah pahit pada tahun 1998 yang dialami dengan banyaknya bank yang dilikuidasi.

Atas dasar alasan tersebut maka pada tanggal 13 Oktober 2008, pemerintah menerbitkan 2 (dua) Perpu yang mana diharapkan dapat dipergunakan sebagai

31

Lihat Ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.


(27)

langkah antisipasi dampak krisis global tersebut.32 Perpu tersebut yaitu Perpu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Perpu No.66 Tahun 2008 yang mengatur perubahan tingkat penjaminan simpanan dari Rp.100 juta menjadi Rp.2 Miliar per nasabah.33

Lahirnya Undang-Undang No.24 Tahun 2004 beserta Perpu No.3 Tahun 2008 dan Perpu No.66 Tahun 2008 ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan kepada setiap nasabah yang akan menyimpan uangnya di bank. Apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan di dalam dunia perbankan, maka dana nasabah yang terdapat di dalam bank akan tetap aman dan dapat di ambil kembali melalui LPS.

Mantan Kepala Eksekutif LPS, Krisna Wijaya, menyebutkan yang menjadi tujuan utama dari pendirian LPS yaitu untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga para nasabah tetap menyimpan uangnya di bank.34 Apabila tujuan dari LPS ini telah berjalan dengan baik, maka dimungkinkan perekonomian negara akan berjalan dengan baik. Sehingga perwujudan dari cita-cita luhur bangsa pun dapat dilaksanakan dengan semaksimal mungkin.

32

Media Indonesia, 13 Oktober 2008, hal. 1. 33

Kompas, 15 Oktober 2008, hal.1. 34


(28)

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian 35 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa suatu bank dinyatakan sebagai bank gagal oleh Bank Indonesia? 2. Bagaimana pertanggungjawaban bank terhadap nasabah dalam hal bank gagal? 3. Apakah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sudah memberikan perlindungan

hukum terhadap nasabah dalam hal bank gagal?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui penyebab suatu bank dinyatakan sebagai bank gagal oleh Bank Indonesia.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban bank terhadap nasabah dalam hal bank gagal.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terhadap nasabah dalam hal bank gagal.

35

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal. 35.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1.Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan ilmu hukum perbankan dan diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih mendalam.

2. Secara praktis

Manfaat penelitian ini dapat mmberikan masukan bagi pemerintah dan Bank Indonesia maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam mengatasi kendala-kendala yang di temui di lapangan dan juga dapat menjadi masukan atau referensi bagi pihak bank dan nasabah dalam pelaksanaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang pertanggungjawaban bank terhadap nasabah dalam hal bank gagal dihubungkan dengan undang-undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini


(30)

merupakan sesuatu yang baru dan asli,36 karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Industri perbankan merupakan salah satu cabang industri yang paling banyak diatur oleh Pemerintah karena stabilitas sistem perbankan dan keuangan merupakan prasyarat mutlak bagi pertumbuhan dan stabilitas perekonominan secara keseluruhan.37 Jadi sudah sewajarnya Pemerintah ikut campur tangan di dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam dunia perbankan. Hal ini dapat dilihat pada banyak negara setuju dengan mendirikan lembaga penjaminan diharapkan dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Perlindungan hukum terhadap nasabah yang berlaku pada waktu sebelum krisis tahun 1998 telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian karena pengembalian dana yang disimpan nasabah belum tentu dapat dibayarkan kepada

36

Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 383.

37

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 68.


(31)

nasabah bank apabila suatu bank dilikuidasi.38 Sedangkan pada prinsipnya suatu bank hidup dari dana yang disimpan nasabah kepadanya.39

Untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan tercermin dari keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan perbankan seperti menyimpan atau menginvestasikan uang, mendepositokan dan meminjam uang untuk memulai atau memperluas usaha.40 Hal ini menuntut pengurus bank untuk berhati-hati di dalam menjalankan kegiatan usahanya, terutama dalam bentuk penyaluran kredit agar disalurkan dengan tepat.41

Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa bank hanya terikat secara hukum dan bertanggung jawab apabila perbuatan pengurus sesuai dengan maksud dan tujuan bank sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.42Jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan pribadi pengurus yang tidak ada kaitannya dengan bank, maka pertanggungjawabannya pribadi.43 Namun, hal tersebut belum dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Hal ini juga yang melatarbelakangi pemerintah untuk memberikan suatu jaminan kepada masyarakat dalam bentuk peraturan mengenai penjaminan terhadap simpanan nasabah.

38

Ibid, hal. 119. 39

Ibid. 40

Ibid, hal.25. 41

Zulkarnain Sitompul,”Bankir Perlu Berhati-Hati”, hal. 1. dalam http://zulsitompul.wordpress.com/category/artikel/ diakses tanggal 10-8-2008.

42

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2007), hal. 122.

43


(32)

Hukum yang baik adalah hukum yang seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum.44 Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil, ia seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.45 Karena hubungan di dalam industri perbankan merupakan hubungan kepercayaan, maka suatu hubungan menjadi hubungan kepercayaan apabila satu pihak secara nyata tergantung atau percaya pada pihak lainnya.46

Pembentukan peraturan LPS dirasakan semakin penting dengan tujuan untuk mengantisipasi agar tidak terulang kembali pengalaman buruk pada tahun 1998. Pengalaman tersebut telah menunjukkan dengan tidak efektifnya hukum telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Asia yang disebut-sebut sebagai keajaiban berubah menjadi kehancuran.47 Hilangnya kepercayaan masyarakat akan membawa dampak yang sangat serius bagi kelangsungan usaha bank dan pada gilirannya mengakibatkan krisis ekonomi yang parah.48 Sedangkan keberhasilan reformasi perekonomian tergantung pada berfungsinya sistem hukum dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah segera membentuk perundang-undangan mengenai penjaminan simpanan nasabah yang dikenal dengan Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

44

Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (NewYork: Harper &Row, 2003), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Op.cit. hal.59.

45

Ibid. hal.60. 46

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op.cit. hal.33. 47

Ibid.hal.161-162. 48


(33)

Pendirian LPS merupakan cerminan dari teori utilitarianisme. Teori tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832)49 dengan tulisannya yang amat penting adalah Introduction to the Principles of morals and Legislation (1789), ia menjelaskan teori moralnya yang mendasarkan diri pada konsep utilitarian.50

Moral biasanya selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.51 Di samping itu, moralisme hukum paling baik dipahami sebagai pola alami dari institusional, yakni pola dari upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan arahan bagi tingkah laku manusia.52 Moral dilegalisasi ketika ideal-ideal kebudayaan diidentikkan dengan suatu gambaran pasti mengenai tatanan sosial.53 Sehingga moralisme hukum bergerak ke arah hukum punitif, yakni dengan memasukkan suatu kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum.54

Teori utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.55

49

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93.

50

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 60.

51

Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,1987), hal.19.

52

Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (NewYork: Harper &Row), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Op.cit. hal.39.

53 Ibid. 54

Ibid.hal.40 55


(34)

Teori Utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes (1588-1679)56. Filsafat hukum Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip utilitas.57 Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman sebagai hal yang bermanfaat.58 Hal ini dapat di pahami dari salah satu fungsi LPS tersebut yaitu untuk menjamin simpanan nasabah.

Dikeluarkannya Perpu No.3 Tahun 2008 dan Perpu No.66 Tahun 2008 telah menunjukkan implementasi dari teori utilitarianisme tersebut. Berdasarkan Perpu No. 66 Tahun 2008 tentang besaran nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Pasal 1 menyatakan bahwa:

Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Ketentuan tersebut bertujuan untuk melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan sebagian besar nasabah bank di Indonesia. Karena LPS dirasakan dapat bermanfaat untuk banyak orang apabila masyarakat lemah mendapatkan perlindungan dari Pemerintah dalam bentuk penjaminan.

56

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 63.

57

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: PNM, 2004), hal.109.

58 Ibid.


(35)

Di setiap negara fungsi bank merupakan jantung dari pasar uang, maka kepercayaan masyarakat sangat penting bagi bank.59 Paling tidak ada 2 (dua) alasan, antara lain:60

1. Meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi 2. Mencegah terjadinya bank runs and panics.

Hal tersebut menunjukkan betapa besar peranan industri perbankan di dalam menjaga stabilitas perekonomian suatu negara. Sehingga memberikan jaminan kepada nasabah merupakan salah satu unsur yang paling penting. Apabila suatu bank dilikuidasi maupun dinyatakan sebagai bank gagal, cepat lambatnya penyelesaian pengembalian simpanan nasabah sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Hilangnya kepercayaan masyarakat juga dapat berdampak buruk bagi industri perbankan yaitu dengan terjadinya rush.61

Diberlakukannya Undang-Undang No.24 Tahun 2004, pemerintah dianggap berhasil untuk mengatasi masalah dalam bidang perekonomian. Di samping itu, Undang-Undang No.24 Tahun 2004 juga dimaksudkan untuk menciptakan kemudahan, keamanan, kebahagiaan dan keadaan yang lebih baik, yang untuk itu tentunya hukum harus mengandung unsur kepastian, keadilan dan efisiensi.62

Uraian di atas sesuai dengan pendapat Burg’s mengenai hukum dan pembangunan. Terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak

59

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op. cit. hal. 2. 60

Ibid. 61

Ibid. hal.119. 62

Ibid. sebagaimana dikutip dari Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, 1, W.W. Norton and Company, New York, 1984, hal.2.


(36)

menghambat pertumbuhan ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi

(preditability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer).63

Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama, kedua dan ketiga merupakan prasyarat utama agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing (conflict of interest), dan prediksi merupakan suatu kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perekonomian suatu negara.64 Sedangkan keadilan mempunyai suatu gagasan tersendiri, yaitu menghilangkan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan ketidakadilan.65

Keadilan sebagai fairness, menunjukkan posisi kesetaraan asal berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial.66 Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.67 Sedangkan tugas utama keadilan sebagai

fairness adalah menentukan prinsip keadilan mana yang akan dipilih dalam posisi asal.68 Sehingga ketika prinsip-prinsip keadilan dianggap sebagai peningkatan dari

63

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 37-38. sebagaimana dikutip dari Leonard J. Theberg, Law and Economic Development, Journal of International Law and policy, (Vol.9, 1980):232.

64 Ibid. 65

Morris Ginsberg, Keadilan Dalam Masyarakat, (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), hal.53. 66

John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 1995) hal.13. 67

Ibid., hal.15. 68


(37)

kesepakatan awal dalam situasi yang setara, maka akan terbuka pertanyaan mengenai prinsip utilitas apakah akan diakui.69

Sejalan dengan pendapat Burg’s diatas, J.D. Nyhart juga mengatakan untuk menjaga stabilitas perekonomian negara juga ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain:70

1. Hukum harus bisa membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku ekonomi dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.

2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam penyelesaian sengketa.

3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum hanya semata-mata bertujuan untuk pembangunan negara.

4. Setelah hukum memiliki keabsahan, dan agar hukum mempunyai kemampuan maka pendidikan (education) harus diselengarakan dan selanjutnya disosialisasikan.

5. Hukum itu harus dapat berperan dalam upaya menciptakan keseimbangan

(balance), yang dalam hal ini peran hukum berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi.

69 Ibid. 70

Bismar Nasution, Op. cit., hal.38-39. sebagaimana dikutip dari Burg’s dalam Leonard J. Theberg, Op. cit. dan J.D. Ny Hart, The Role of Law in Economic Development, dalam Erman Rajaguguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal.365-367.


(38)

6. Hukum itu juga berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas

(definition and clarity of status).

7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accommodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

8. Harus ada pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan, yaitu stabilitas

(stability).

Berdasarkan pendapat Burg’s dan Nyhart diatas, dapat dipahami bahwa ketiga unsur yang telah disebutkan di atas memang memegang peranan yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan terhadap ke-3 (tiga) unsur tersebut yaitu stabilitas

(stability), prediksi (predictability) dan keadilan (fairness). Oleh karena itu, implementasi ketiga unsur tersebut harus diterapkan di dalam undang-undang sehingga dapat menjaga stabilitas pertumbuhan dan perkembangan ekonomi negara secara keseluruhan.

2. Landasan Konsepsi

Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memberikan definisi dari istilah-isitlah tersebut, antara lain:


(39)

a. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.71

b. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku.72

c. Bank Gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) adalah Bank Indonesia atau lembaga pengawasan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.73

d. Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga atau skim lainnya.74

e. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatunya, jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.75

71

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat (2). 72

Ibid, Pasal 1 ayat (17). 73

Undang-Undang N0. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, pasal 1 ayat (7).

74

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat (24). 75

Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Eska Media Press, 2005), hal. 224.


(40)

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap norma-norma hukum. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian ini menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.76 Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang ada dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research), yang didasarkan pada buku-buku literatur yang berkaitan dengan tesis ini.

2. Sumber Data

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

76

Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 17.


(41)

a. Bahan Hukum Primer berupa Undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang-Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo Undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perpu No.3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Perpu No.66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, Perpres No.2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan hukum perbankan dan ekonomi, hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.77

77

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41.


(42)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan studi kepustakaan (library research), artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.

4.Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh, dikumpulkan untuk selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban bank terhadap nasabah dalam hal bank gagal dihubungkan dengan Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Sehingga dapat menjadi acuan dan pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul.


(43)

BAB II

KETENTUAN BANK DINYATAKAN SEBAGAI BANK GAGAL OLEH BANK INDONESIA

A. Faktor-Faktor Penyebab Bank Dinyatakan Sebagai Bank Gagal Oleh Bank Indonesia

Kebijakan moneter dapat dilaksanakan secara efektif untuk mencapai sasaran yang diinginkan apabila didukung oleh adanya lembaga-lembaga dan sarana-sarana antara lain sistem keuangan.78 Sistem keuangan meliputi perbankan, perusahaan pembiayaan dan lembaga keuangan lainnya.79 Sektor perbankan memiliki peranan yang kritikal dalam perekonomian Indonesia karena mendominir sistem finansial.80 Hal ini dapat dilihat dari fungsi bank tersebut, yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.81 Dana masyarakat biasanya digunakan apabila bank mengalami kesulitan untuk memperoleh dana dari luar.82 Oleh karena itu, sangat diharapkan peran Bank Indonesia di dalam setiap kegiatan yang dilakukan bank karena dana yang digunakan bank tersebut berasal dari masyarakat.

Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI mempunyai tugas:

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran

78

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op. cit. hal. 246. 79

Ibid. 80

Ibid. 81

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 3. 82

Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on Funding and Liability Management, (Jakarta: Gramedia,2008), hal. 56.


(44)

3. Mengatur dan mengawasi bank.

Untuk dapat menjalankan tugas tersebut, maka berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI juga mempunyai kewenangan, yaitu:

1. Memberikan dan mencabut izin usaha bank

2. Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank 3. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank

4. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Peran BI dirasakan menjadi begitu penting dalam dunia perbankan, mengingat dampak dari krisis perbankan yang dimulai tahun 1998 yang menyebabkan 16 bank dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya sehingga dinyatakan sebagai Bank Gagal.83 Hal itu dilakukan untuk membantu menjaga nilai aset bank untuk kepentingan kreditur dan sekaligus dapat menjaga kredibilitas regulator sehingga pada gilirannya mengurangi risiko systemick risk.84

Pencabutan ijin usaha bank dan proses likuidasi yang cepat merupakan bukti ketegasan regulator sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan secara keseluruhan.85 Kecepatan penyelesaian bank bermasalah juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya dampak menular terhadap bank lainnya.86

83

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 131-132. 84

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 251. 85

Ibid., hal.233. 86


(45)

Untuk mengetahui kriteria Bank Gagal dapat dilihat pada penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan, yang menyatakan bahwa:

(1) Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, apabila berdasarkan penilaian BI, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas dan rentabilitas serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat

(2) Kriteria membahayakan sistem perbankan yaitu apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.

Kriteria Bank Gagal tersebut juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank yang menyatakan bahwa:

“Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya adalah bank yang memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:

a. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8%

b. Rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank, dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian BI mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar.”

Dalam hal BI menilai suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus87 BI. Terhadap bank dengan status pengawasan khusus, maka ada beberapa tindakan BI yang diambil, antara lain:88

1. Memerintahkan bank dan/atau pemegang saham untuk mengajukan rencana perbaikan permodalan secara tertulis kepada BI

87

Pengawasan khusus yaitu pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

88


(46)

2. Memerintahkan bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan

3. Memerintahkan bank dan/atau pemegang saham bank untuk melakukan tindakan antara lain:

a. Mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank

b. Menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modal bank

c. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank

d. Menjual bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank

e. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain

f. Menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain

g. Membekukan kegiatan usaha tertentu bank

Adapun larangan dan pembatasan bank dalam pengawasan khusus, antara lain:89

a. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal (pembagian dividen atau pemberian bonus)

89


(47)

b. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh BI

c. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset

d. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi e. Bank dikenakan pembatasan kompensasi kepada pihak terkait

Apabila bank dalam pengawasan khusus tidak dapat membaik kondisinya, maka BI akan mencabut izin usaha. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 PBI No.6/9/PBI/2004 yang menentukan:

a. Bank Indonesia menetapkan bank untuk dicabut izin usahanya apabila memenuhi persyaratan:

1. Kondisi bank menurun sehingga:

1) Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8%

2) Memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku

2. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% dan kondisi bank tidak mengalami perbaikan

b. Bank Indonesia menetapkan untuk mencabut izin usaha apabila Komite Koordinasi merekomendasikan pencabutan izin usaha

Bank yang mengalami kegagalan dapat menimbulkan dampak yang luas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvetasikan modalnya di bank.90 Akan tetapi kegagalan bank merupakan petunjuk sehat yang menggambarkan bahwa inovasi telah mengenyampingkan perusahaan yang buruk atau kompetisi telah menyebabkan perusahaan yang tidak

90

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Bank Bersubsidi Yang Membebani, (Jakarta: E Publishing Company, 2008), hal. 19.


(48)

efisien keluar dari pasar.91 Karena pada dasarnya, ada dua hal yang menyebabkan bank dijauhi oleh nasabah, yaitu ketidakpercayaan pada kemampuan pengurus bank atau pengawas dalam memprediksi perubahan kualitas pinjaman dan nasabah mempertanyakan kemampuan pengurus bank dalam mengawasi pengambilan risiko investasi.92

Jadi, apabila bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya tidak dapat memenuhi Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% dan Rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank, maka bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus BI. Apabila bank dalam pengawasan khusus tersebut tidak dapat membaik kondisinya, maka BI akan mencabut izin usahanya dan menyerahkan kepada LPS. LPS yang akan memutuskan kebijakan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank yang di cabut izin usahanya dengan memperkirakan dampak pencabutan izin usaha bank terhadap perekonomian nasional.93

Apabila LPS memutuskan untuk menyelamatkan bank yang dicabut izin usahanya, maka bank tersebut dinyatakan sebagai Bank Gagal. Akan tetapi, apabila LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap bank yang dicabut izin usahanya, maka bank tersebut dinyatakan sebagai bank likuidasi.94

91

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op. cit. hal. 46. 92

Ibid., hal. 276. 93

Penjelasan Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan 94


(49)

BI secara atributif diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut ijin usaha bank.95 Adapun faktor-faktor penyebab bank sebagai bank gagal, antara lain:

1. Adanya jaminan terselubung (Implicit Guarantee) 2. Lemahnya pengawasan bank

3. Lemahnya manajemen bank

Ad.1. Adanya Jaminan Terselubung (Implicit Guarantee)

Jaminan terselubung (implicit Guarantee) adalah bantuan yang diberikan pemerintah terhadap bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.96 Hal ini dilakukan karena belum adanya suatu sistem yang jelas mengenai status dana nasabah apabila bank dilikuidasi yang tentunya berdampak sangat buruk bagi bank, yaitu akan menimbulkan bank panic.97 Jaminan terselubung tersebut dilakukan dengan memberikan blanket guarantee terhadap bank-bank yang mengalami kesulitan. Karena tidak adanya jaminan secara eksplisit (LPS) bagi nasabah penyimpan apabila bank dilikuidasi mengakibatkan munculnya jaminan terselubung.98 Hal ini mengakibatkan ketidakhati-hatian pengurus dalam mengelola bank.99 Adanya jaminan terselubung bersama-sama dengan crony capitalism telah menyebabkan terjadinya pembiayaan investasi yang tidak produktif.100 Hal ini menyebabkan

95

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 137. 96

Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 47.

97 Ibid. 98

Ibid., hal. 46. 99

Ibid., hal. 47. 100


(50)

berpalingnya nasabah tradisional bank kepada penerbitan saham dan atau obligasi sebagai sumber pembiayaan yang menyebabkan kegagalan bank.101

Nasabah bank merupakan salah satu sumber dana bagi bank untuk menjaga kecukupan modal bank tersebut. Dana dari nasabah merupakan sumber dana yang paling memperoleh perhatian bagi bank, di samping mudah mencarinya juga tersedia banyak di masyarakat.102 Hal ini menyebabkan bank wajib memiliki modal inti minimum yang dipersyaratkan untuk mendukung kegiatan usahanya, mengingat kompleksitas kegiatan usaha bank yang semakin meningkat dan berpotensi menyebabkan meningginya risiko yang dihadapi.103

Modal inti meliputi modal disetor dan modal cadangan tambahan modal.104 Bank diwajibkan untuk memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPPM) sebesar 8% yang dihitung dari perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).105 Untuk menentukan besarnya Modal Minimum bagi suatu bank dapat dilakukan beberapa tahap, yaitu:106

1. Menentukan Dasar Perhitungan Kebutuhan Modal

2. Menetapkan Bobot Risiko Aktiva yang terdapat pada Neraca Bank 3. Menetapkan Bobot Risiko Aktiva Administratif.

101

Ibid., hal. 5. 102

Soetanto Hadinoto, Op. cit. hal. 59. 103

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Op. cit. hal. 118. 104

Ibid. 105

Ibid., hal.119 106


(51)

Pada saat ini, bank wajib memenuhi modal inti paling kurang sebesar Rp. 80 Miliar dan pada 31 Desember 2010 wajib memenuhi paling kurang Rp. 100 Miliar.107 Bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut dapat melakukan tindakan agar pemegang saham menambah modal108 dengan melakukan merger, konsolidasi maupun akuisisi dengan bank lain. Dan apabila tetap membahayakan sistem perbankan, maka BI mencabut ijin usaha bank tersebut sehingga menjadi Bank Gagal.

Dalam menentukan porsi dana, bank juga harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:109

1. Biaya dana yang rendah dengan mengatur komposisi sumber dana agar cost

minimal

2. Sumber dana stabil dan volatilitas rendah untuk mendukung manajemen likuidasi

3. Komposisi sumber dana diprioritaskan untuk membiayai aktiva yang produktif termasuk komitmen pemberian kredit

4. Memenuhi regulasi internal maupun eksternal bank yang ada.

Hal tersebut harus menjadi perhatian bank, karena salah satu penyebab bank dinyatakan sebagai bank gagal juga disebabkan oleh ketidakmampuan bank

107

Ibid. hal. 118. 108

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 37 ayat 2 (a). 109


(52)

mengelola konsentrasi dana dengan efektif.110 Di samping itu, buruknya kondisi perbankan di Indonesia setidaknya juga disebabkan oleh enam faktor, yaitu:111

1. Penyaluran kredit yang terlalu ekspansif yang dipicu oleh pemasukan dana luar negeri yang bersifat rentan karena sifatnya jangka pendek.

2. Pemberian kredit tanpa melalui proses analisis kredit yang sehat.

3. Konsentrasi kredit yang berlebihan kepada suatu kelompok usaha atau individu baik yang terkait dengan bank maupun tidak

4. Moral hazard karena belum tegasnya mekanisme exit policy dan berlarut-larutnya penyelesaian bank-bank bermasalah

5. Campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank 6. Lemahnya aspek supervisi dan regulasi perbankan.

Oleh karena itu, untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang secara tegas dinyatakan sebagai single objective dari BI, maka BI harus ketat dalam memantau indikator perbankan yaitu rasio kecukupan modal (CAR) yang juga ditentukan oleh perkembangan risiko kredit dan faktor likuiditas di dunia perbankan.112 Karena dengan permodalan yang kuat bank dapat mengemban risiko yang tinggi.113

110

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 95. 111

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op. cit. hal. 64. sebagaimana dikutip dari Widigdo Sukarman, “Upaya Penyehatan Perbankan dan Sektor Rill,” Bisnis & Ekonomi Politik Quarterly Review of the Indonesia Economy, (Vol. 3, No. 1, Januari 1999), hal. 21.

112

Kompas, 24 November 2008, hal.19. 113

Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan

Kebijakan Single Presence Policy”, hal. 1. dalam

http://zulsitompul.Wordpress.com/2008/07/09/merger-akuisisi-dan-konsolidasi perbankan.htm. diakses tanggal 8-10-08.


(53)

Ad.2. Lemahnya Pengawasan Bank

Salah satu faktor penyebab Bank Gagal adalah lemahnya pengawasan dari BI.114 Pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh BI masih kurang efektif terutama karena lemahnya law enforcement.115 Hal ini disebabkan pengawasan internal bank dan sistem informasi yang relatif terbatas sehingga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pada perbankan yang mendorong peningkatan risiko kegagalan bank.116 Kelemahan tersebut juga mendorong pemberian kredit yang terkonsentrasi hanya kepada beberapa debitur, khususnya pada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank.117 Padahal pengawasan terhadap bank sangat penting paling tidak karena beberapa alasan, antara lain:118

1. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap integritas industri perbankan dan individual bank

2. Pemeriksaan berkala merupakan langkah terbaik untuk menentukan tingkat kesehatan bank terhadap peraturan perundang-undangan

3. Membantu mencegah munculnya masalah dan memperbaiki suatu masalah sebelum semakin memburuk sehingga biaya penyelamatan tidak menjadi mahal

114

Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 131. sebagaimana dikutip dari Susidarto,”Reposisi Pengawasan Bank”, dalam http://www.Kompas.com/Kompas-cetak/0204/26/opini/menu33.htm.

115

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op. cit. hal. 66. 116

Ibid., hal. 65 117

Ibid. 118


(54)

4. Memberikan masukan tentang bentuk, tingkat keseriusan dan akibat dari suatu masalah dan memberikan masukan tentang langkah-langkah perbaikan yang tepat.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan bank, BI dapat menggunakan sistem pengawasannya dengan 2 (dua) pendekatan, antara lain:119

1. Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) yaitu menekankan pada kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank.

2. Pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision) yaitu pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking)

Lemahnya pengawasan dapat menyebabkan banyaknya Bank Gagal yang mengakibatkan kerugian pada penyimpan dana, pemegang saham dan dunia usaha.120 Hal ini semakin diperburuk lagi dengan masih terbatasnya informasi yang tersedia bagi masyarakat mengenai kondisi keuangan suatu bank sehingga kontrol masyarakat terhadap perkembangan perbankan tidak berjalan dengan semestinya.121 Kondisi ini menyebabkan rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.122

Oleh karena itu, BI selaku lembaga yang mempunyai wewenang pengawasan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha bank harus tegas di dalam mengawasi jalannya industri perbankan. Karena pada dasarnya pengawasan bank dimaksudkan

119

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Op.cit. hal. 109. 120

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, Op.cit., hal. 12.

121

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Loc. cit. 122


(55)

untuk mencapai 4 tujuan yaitu kompetisi dan efisiensi operasional, keamanan dan kesehatan, kebijakan moneter dan efisiensi alokasi serta melindungi nasabah kecil.123 Pengawasan merupakan instrumen penting untuk menekan bank dalam pengambilan risiko, bila hal ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya akan dapat mengancam stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.124 Di samping itu, pengawasan juga harus dilengkapi dengan disiplin internal dan eksternal dari perbankan.125 Dengan melibatkan internal governance, pendekatan pengawasan memasukkan dan memelihara praktik manajemen yang sehat.126

Pengawasan internal terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat kritis dalam mencapai praktek perbankan yang sehat. Karena kepemilikan secara mayoritas memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank.127 Oleh karena itu, BI selaku pengawas eksternal harus mengefektifkan pengawasan sebagai upaya meningkatkan kesehatan perbankan.128

Tingkat kesehatan bank dinilai dengan pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas, aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuidasi yang disingkat dengan CAMEL.129 Penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan dengan mengkuantifikasi komponen dari

123

Ibid. hal. 252. 124

Zulkarnain Sitompul, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan”, Op.cit., hal. 10.

125

Ibid. hal. 1. 126

Ibid. 127

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 112. 128

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op.cit. hal. 256. 129


(56)

masing faktor.130 Hasil kuantifikasi dari komponen tersebut dinilai lebih lanjut dengan memperhatikan informasi dan aspek-aspek lain yang secara materil berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan masing-masing faktor.131 Kemudian faktor dan komponen diberikan bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan bank, dan penilaiannya dilakukan dengan “reward system” yang dinyatakan dalam nilai kredit 0 sampai 100.132 Atas dasar penilaian tersebut ditetapkan empat golongan predikat tingkat kesehatan bank, yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat.133

Pendekatan tersebut diharapkan dapat membantu BI di dalam menilai apakah suatu bank masih layak untuk dipertahankan atau tidak. Karena salah satu penyebab ambruknya bank swasta antara lain disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan BI terhadap operasi perbankan nasional.134 Di samping itu, kecepatan proses penyelesaian bank bermasalah merupakan salah satu kunci efektifitas pengawasan dan dapat mengurangi biaya yang akan ditanggung pemerintah.135

Ad.3. Lemahnya Manajemen Bank

Faktor lain penyebab Bank Gagal yaitu lemahnya manajemen bank.136 Hal ini telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produkif dan peningkatan risiko yang

130

Ibid.hal. 131. 131

Ibid. 132

Ibid. 133

Ibid. 134

Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, Op. cit. hal. 80. 135

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 231. 136


(57)

dihadapi bank.137 Buruknya kondisi perbankan di Indonesia juga disebabkan campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank, bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank.138 Hal ini menyebabkan perilaku para pengelola dan pemilik bank yang cenderung mengeksploitasi dan atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha.139

Seharusnya pengurus bank wajib mematuhi semua aturan main agar bank terhindar dari kemungkinan kerugian yang dapat mengancam kelangsungan usahanya dan pada gilirannya merugikan masyarakat.140 Hal ini penting untuk diperhatikan, karena penyebab utama Bank Gagal di Indonesia adalah kelalaian pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka lakukan karena nasabah sangat sulit untuk mendeteksinya.141 Sedangkan kegagalan terbesar dari pengurus bank adalah kegagalan dalam mengurus resiko yang pada dasarnya akan selalu dihadapi bank.142 Menurut Timoty W Koch, resiko dasar dari bank yaitu credit risk, liquidity risk, interest rate risk, operational risk dan capital or solvency risk.143

137

Burhanuddin Abdullah, “Peran Kebijakan Moneter Dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia”, disampaikan pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas, Jakarta, tanggal 13 Januari 2003, hal. 7.

138

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 111-112. 139

Adrian Sutedi, Loc.cit. 140

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Op. cit. hal. 101. 141

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Op.cit. hal. 5-6. 142

Gunarto Suhardi, Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuhan Perbankan Di Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hal. 3.

143

Ibid., sebagaimana dikutip dari Timoty W Koch, Bank Management, (New York: The Dryden Press, 1992), hal. 111. Credit risk adalah resiko yang paling besar karena aktiva bank dengan penghasilan bunga yang terbesar ditempatkan pada pemberian kredit kepada para nasabah debitur. Liquidity risk adalah keseimbangan antara kebutuhan likuiditas dan penempatan alat likuid. Gagal dalam menjaga keseimbangan tersebut berarti gagal memperoleh pendapatan yang mencukupi atau gagal dalam meberikan pelayanan kepada para nasabahnya dan runtuhlah kepercayaan masyarakat kepada banknya. Interest rate risk, naik turunnya suku bunga menimbulkan resiko bagi bank karena


(1)

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005. Husein, Yunus, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Umum, Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universita Indonesia, 2003.

Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.

Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003.

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Books Terrace & Library, 2007.

Nurhayati, Tri Kurnia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Eska Media Press, 2005.

Nonet, Phillippe & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New York: Harper & Row, 2003.

Rawls, John, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, 1995.

Rizky, Awalil dan Nasyith Majidi, Bank Bersubsidi Yang Membebani, Jakarta: E Publishing Company, 2008.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007.

Sitompul, Zulkarnain, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

________________, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

________________, Lembaga Penjamin Simpanan, Bandung: Books Terrace & Library, 2007.


(2)

Suhardi, Gunarto, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta: Andi Offset, 2002.

______________, Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuhan Perbankan Di Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 2004.

Surya, Indra & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008.

Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Syahrin , Alvi, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003.

Widiono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006.

B. Makalah, Artikel, Surat Kabar, dan Website 1. Makalah

Abdullah, Burhanuddin,”Peran Kebijakan Moneter Dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas, Jakarta 13 Januari 2003. Nasution, Bismar,”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pencegahan

Penyalahan Kredit”, Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Perkreditan PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan 12-13 Maret 2002.

_____________,”Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Corporate: Suatu Kajian Dari Pandangan Hukum Dan Moral”, Makalah disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,”Reformasi Hukum Di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Corporate”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik


(3)

Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Magister Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 1-2 Oktober 2003.

Sitompul, Zulkarnain, “Penjaminan Dana Nasabah Bank: Dari Balnket Guarantee ke Limited Guarantee (Menyambut Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan)”, Jurnal Hukum Bisnis. No.3. Vol.23. 2004

__________________, “Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan: Dalam Sistem Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenai Mekanisme Lembaga Penjamin Simpanan Serta Peran Pentingnya Dalam Menunjang Industri Perbankan, Jakarta 24 Januari 2007, yang diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika.

2. Artikel

Djiwandono, J. Soedradjad,”Masih Bergulat Dengan Masalah BLBI”.

http://www.pacific.net.id/pakar/sj/masih_sekitar_masalah_blbi2.html. (diakses 17 November 2008)

Idris, Tedy Fardiansyah,”Lembaga Penjamin Simpanan, Jangan Sampai Lahir Prematur”.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/09/finasial/613585.htm. (diakses 10 Agustus 2008)

Nugroho, Ugie,”Konsolidasi, Pola Merger, Akuisisi dan Pola Kemitraan”. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0506/07/financial/1775875.htm.

(diakses 10 Agustus 2008)

Prasetiantono, A. Tony,”Beda Krisis 2008 Dengan 1998”.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/05/00353788/beda-krisis-2008-dengan-1998.

(diakses 5 November 2008)

Ramadhani, Rizal,”Likuidasi Terhadap Bnak Yang berbentuk Hukum: Suatu Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Kepentingan Lembaga PenjaminSimpanan Dalam Pelaksanaan Program Penjaminan Simpanan”.

http://hukum-perbankan,blogspot.com/2008/11/likuidasi-terhadap-bank-yang-berbentuk-hukum.

(diakses 17 November 2008)

Sitompul, Zulkarnain,” Bankir Perlu Berhati-Hati”. Dalam http://zulsitompul.wordpress.com/category/artikel/ (diakses 10 Agustus 2008)


(4)

________________,”Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya Dengan Kebijakan Single Presence Policy”.

http://zulsitompul.wordpress.com/2008/07/09/merger-akuisisi-dan-konsolidasi perbankan.htm.

(diakses 8 Oktober 2008) 3. Surat Kabar

Kompas, 14 Januari 2006, 14 Oktober 2008, 15 Oktober 2008, 30 Oktober 2008, 5 November 2008, 21 November 2008, 22 November 2008, 24 November 2008, 25 November 2008.

Kontan, Mingguan II Januari 2008

Kontan, 14 Maret 2009, 28 Maret 2009, 9 April 2009 Media Indonesia, 10 Oktober 2008, 13 Oktober 2008 4. Website

http://www.infowars.com.id/failed-bank-list/ diakses 29-3- 2009.

http://www.detikfinance.com diakses 24-3-2009

http://www.pojokberita.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=176 &homid=182. diakses 31-3-2009

http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=26 diakses 8-10-2008

http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35 diakses 8-10-2008

http://www.bangkapos.com diakses 14-5-2009

http://www.antarasumut.com diakses 14-5-2009

http://www.swaberita.com diakses 10-6-2009

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No.10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia


(5)

Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.66 Tahun 2008 tentang Besaran

Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan

Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Peraturan Presiden No.2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Peraturan Bank Indonesia No.5/23/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan (Fit and Proper Test)

Peraturan Bank Indonesia No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank

Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance)


(6)

Dokumen yang terkait

Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

5 79 130

Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Perlindungannya Terhadap Nasabah Bank.

7 112 101

Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap Nasabah Dan Bank.

5 74 107

Penerapan Kelembagaan Kompensasi Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

4 76 91

Analisis yuridis perlindungan nasabah penyimpan dana dalam likuidasi bank ditinjau dari undang undang nomor 24 tahun 2004 tentang lembaga penjamin simpanan

0 8 150

Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Perlindungan Nasabah Bank Dihubungkan Dengan Undang-undang No.24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

0 0 3

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH ATAS PEMBERIAN CASH BACK OLEH BANK UMUM YANG TELAH DILIKUIDASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG - UNDANG PERBANKAN DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMB.

0 0 1

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Deposan Dengan Rewards dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

0 0 2

TINJAUAN YURIDIS PERANAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN BANK GAGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN.

0 0 14

Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 12