Latar Belakang Penerapan Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Dalam Penyelesaian Gerakan Separatis di Indonesia Yang Menggunakan Self Determination Sebagai Dasar Gerakan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan untuk dapat melakukan kehendaknya tanpa adanya suatu tekanan atau paksaan dari pihak lain yang dianggap akan menghalangi kebebasan kehendak tersebut. Tuntutan kemerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis banyak terjadi, hal ini membuat kita berpikir untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya, padahal pihak yang meneriakkan kemerdekaan itu merupakan bagian dari suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Pada umumnya pihak-pihak yang menginginkan kemerdekaan tersebut adalah pihak-pihak yang merupakan golongan minoritas atau suatu etnik atau sebagian penduduk di suatu Negara yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang berkuasa. Pada umumnya wilayah yang menginginkan kemerdekaan terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian ataupun keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling sering terdengar adalah pembentukan suatu Negara baru dengan cara melakukan pemisahan dari Negara asalnya, atau yang lebih sering disebut dengan istilah plebiscite. Plebiscite merupakan salah satu bentuk pengalihan wilayah melalui pilihan penduduknya menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk. Huala Adolf 4 Martin Dixon berpendapat bahwa plebisit merupakan peralihan suatu wilayah bukan antar Negara berdaulat dengan Negara berdaulat lainnya, tetapi peralihan terjadi antara Negara berdaulat dengan penduduk di suatu wilayah. 5 Masyarakat ataupun rakyat memiliki legitimasi secara Hukum Internasional untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti tercermin dalam piagam PBB berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan plebisit ini sebagai “penentuan nasib sendiri” self-determination. Mahkamah Internasional dalam sengketa the case concerning East Timor Portugal vs Australia tahun 1995 berpendirian bahwa penentuan nasib sendiri adalah satu prinsip penting dalam Hukum Iinternasional. 6 Jaminan terhadap hak asasi manusia atas kemerdekaan individu dan suatu bangsa yang lebih dikenal dengan hak untuk menentukan nasib sendiri the right of self determination….. hak asasi manusia dalam menentukan nasib sediri ini yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan individu, dan tidak ada suatu pihak pun yang dibenarkan untuk menghalangi ataupun mengganggu usaha-usaha dari suatu bangsa untuk memerdekakan diri, namun hak ini menjadi suatu polemik disebabkan oleh adanya suatu friksi antara keinginan dari suatu pihak atau bangsa yang pada mulanya merupakan bagian dari suatu Negara yang berdaulat untuk memerdekakan diri dengan peranan dan kedudukan dari kedaulatan Negara induknya. 4 Huala Adolf., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 130-131. 5 Ibid., hal 131. 6 Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara secara tegas diakui…..dalam Convenant on Civil and Political Rights 1966 dan Convenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, 7 Hak menentukan nasib sendiri self-determiation telah menjadi prinsip dasar Hukum Internasional umum yang diterima dan diakui sebagai sutau norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan Jus Cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas Negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah Hukum Internasional yang mengancam invaliditas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh Negara yang bertentangan dengan …… Dalam pasal pertamanya menyebutkan “All people have the right of self-determination, By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and natural development”. Dan dalam pembukaan piagam PBB yang menyatakan “To develop friendly relations among nations based on the respect for the principile of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace”. Revolusi terpenting dalam Hukum Internasional dewasa ini terjadinya hubungan yang semakin nyata antar Negara yang mengikat nilai-nilai universal yang dituangkan dalam pranata Hukum Internasional, terkristalisasi sebagai kaedah-kaedah Hukum Internasional yang mengikat dan mengatur persetujuan Negara-negara termasuk dalam hal menentukan nasib sendiri self-determination. 7 http:www.kompas.comkompas-cetak990830OPINIthe4.htm Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Hukum Internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak asasi yang harus dihormati 8 Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu Negara akibat adanya tuntutan kemerdekaan dari pihak separatist ada yang bersifat internasional atau yang bukan bersifat internasional non-international armed conflicts atau international armed conflicts. Mengenai non-international armed conflicts diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. dalam situasi-situasi tertentu dapat juga suatu non-international armed conflicts berubah menjadi international armed conflicts. Hal yang terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflicts. . Dalam Hukum Internasional terdapat suatu asas yang telah diterima oleh semua Negara bahwa kejadian-kejadian dalam suatu Negara adalah urusan intern Negara tersebut dan pihak-pihak asing tidak berhak turut campur. Tetapi adakalanya di dalam suatu Negara terjadi pemberontakan atau gerakan separatis dan gerakan itu telah mencapai suatu keadaan tertentu, sehingga Negara-negara lain tidak boleh begitu saja mengabaikan keadaan-keadaan tersebut. Oleh karena itu Negara-negara lain kemungkinan dapat memberikan perhatian dengan cara-cara tertentu. Seringkali dalam suatu gerakan separatis telah terjadi bentrokan yang merupakan peristiwa berdarah yang menggunakan senjata serta terjadi pertempuran antara pasukan pemberontak dengan pasukan pemerintah. Disamping itu, mungkin terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum separatis. 8 Whisnu Situni,. Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional,. Bandung: Mandar Maju. 1998. hal 100. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Hukum Internasional tidak menghukum adanya pemberontakan atau gerakan separatis. Hukum Internasional juga tidak menganggap separatis di suatu Negara tersebut adalah penjahat-penjahat kriminal biasa apabila dilihat dari kedudukan hukumnya. Hukum Internasional memberikan kedudukan tertentu terhadap kaum separatis ini di bawah konsep pengakuan sebagai pemberontak recognition of insurgency 9 1. United Nations Charter; . Instrumen-instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri untuk dapat merdeka dan bebas dari kekuasaan asing antara lain sebagai berikut: 2. Universal declaration of Human Rights, 1948; 3. International Covenant of Civil and Political Rights; 4. International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights; 5. UNGA Resolution 1514 XV 1961: Declaration on The Granting Of Independence to Colonial Countries and Peoples; 6. UNGA Resolution 2625 XXV 1970: Declaration on Principles of International Law Friendly Relations And Co-operation Among State In Accordance With The Charter Of The United Nations. Fenwick 10 9 Huala Adolf, Op. cit., hal 91. 10 Bachtiar Hamzah Sulaiman Hamid. Hukum Internasional II. Medan: USU PRESS. hal. 30. mendefenisikan pemberian pengakuan pemberontakan gerakan separatis sebagai pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai pengacau, jika mereka tertangkap dan bahwa kaum pemberontak berhak untuk menerima perbekalan dari Negara-negara netral. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Pemberian pengakuan sebagai pemberontak menurut Hukum Internasional, tidaklah berarti Negara yang memberikan pengakuan itu berpihak kepada kaum pemberontak. Pemberian pengakuan sebagai pemberontak, bukan hanya menuntut perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan, tetapi juga meletakkan kewajiban kepada Negara yang memberikan pengakuan itu untuk mengambil sikap netral dalam konflik yang terjadi antara kaum pemberontak dengan pemerintah yang sah. Adanya prinsip dan ketentuan dalam hukum internasional yang menjamin terhadap usaha kemerdekaan suatu bangsa tidak menjadikan setiap usaha untuk mencapai kemerdekaan itu diperbolehkan oleh Hukum Internasional. Maraknya gerakan separatis atau keinginan untuk memisahkan diri dari Negara induk juga terjadi di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang pernah melewati masa kolonialisme ditambah dengan lahirnya PBB yang secara tidak langsung membawa dampak bagi tatanan dunia baru. Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat yang salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, perlu mengambil tindakan yang tegas dalam menyelesaikan masalah gerakan separatis ini sebagai salah satu upaya aktif dalam memelihara perdamaian. Indonesia sebagai Negara yang heterogen yang terdiri dari multi etnis, multi agama, dan multi kultur pada satu sisi menjadi kebanggaan tersendiri sebagai sebuah bangsa yang besar, akan tetapi jika tidak dikelola secara baik dengan menegakkan prinsip toleransi, saling menghormati dan saling menghargai, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara adanya perbedaan justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi konvensi Internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, dan konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik. Komitmen yang kuat tersebut tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan konvensi-konvensi tersebut. Jika hanya dengan komitmen secara retorika akan sia-sia belaka. Inilah yang terjadi sekarang ini. Ditambah lagi Indonesia adalah Negara hukum, dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap tersebut dapat dillihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, UUD Republik Indonesia tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan hak asasi manusia yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan alenia pertama Pembukaan UUD Republik Indonesia tahun 1945. Namun dalam Deklarasi atas Pasal 1 ayat 1 ICCPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang pengesahan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik berbunyi: “….istilah hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak berlaku untuk bagian rakyat atau bangsa dalam suatu Negara merdeka yang berdaulat dan tidak boleh diartikan sebagai pengesahan atau mendorong tindakan yang memecah belah atau merusak seluruh atau sebagian dari integritas wilayah atau kesatuan politik dari Negara yang berdaulat dan merdeka. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Namun dalam kenyataan mengenai gerakan separatis yang terjadi di Indonesia selalu menggunakan self determination sebagai dasar gerakan, untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Maka, dalam penyelesaian permasalahan gerakan separatis ini, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan norma dasar Hukum Internasional umum yang secara tidak langsung juga mempengaruhi kedaulatan Negara dalam hal kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang akan diambil. Hal di atas membuat penulis tertarik untuk membahas masalah gerakan separatis yang menggunakan self determination sebagai dasar gerakan dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah