mengeluarkan kebijaksanaan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Korp Cadangan Militer dan Kahar Muzakar pun diberi pangkat sebagai
letnan kolonel. Namun ternyata, uluran tangan pemerintah itu tidak mendapat tempat dihati Kahar Muzakar.
Tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar beserta segenap anak buahnya melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan militer. Pada tahun 1952,
Kahar Muzakar memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia NII di Sulawesi Selatan, dan menyatakan wilayah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari
NII pimpinan M.S. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pemerintah memutuskan untuk menumpas pemberontak itu. Operasi
penumpasan gerakan DITII Kahar Muzakar memakan waktu yang cukup lama, karena medan hutan yang sangat lebat dan sulit untuk menembusnya. Disamping
itu, para anggota gerakan pandai memanfaatkan suasana kedaerahan yang ada di Sulawesi Selatan. Namun berkat usaha yang gigih dari TNI, akhirnya pada bulan
Februari tahun 1965, Kahar Muzakar berhasil ditembak mati, maka berakhirlah petualangan DITII Sulawesi Selatan.
e. Gerakan DITII di Aceh
Tokoh gerakan DITII di Aceh adalah Daud Beureuh. Ia adalah seorang bekas Gubernur Militer Daerah Militer Aceh pada waktu terjadinya agresi militer
Belanda I pada tahun 1947. Adapun yang melatarbelakangi terjadinya gerakan DITII Aceh adalah bermula dari berubahnya status Daerah Istimewa Aceh
menjadi sebuah Keresidenan dari Provinsi Sumatera Utara. Tentu saja perubahan status ini mengakibatkan kedudukan Daud Beureuh yang tadinya sebagai
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Gubernur Militer menjadi turun. Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin lainnya.
Oleh karena itu, mereka tetap menuntut kepada pemerintah pusat agar Aceh dijadikan sebuah provinsi. Tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Daud
Beureuh dan kawan-kawannya merasa kecewa dengan keputusan pemerintah pusat itu. Daud Beureuh dan kawan-kawan menganggap pemerintah pusat tidak
menghargai jerih payah rakyat Aceh semasa perang kemerdekaan. Dengan latar belakang tersebut, maka tanggal 20 September 1955, Daud
Beureuh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh yang merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Setelah
proklamasi itu, Daud Beureuh segera menguasai kota-kota penting di Aceh. Dengan pengaruh yang dimiliki Daud Beureuh, banyak tokoh rakyat Aceh
yang membantu. Namun tokoh-tokoh ulama yang tidak tergabung dalam kelompok Daud Beureuh tidak menyetujui gerakan DITII ini.
Untuk menghentikan petualangan DITII Daud Beureuh, pemerintah menjalankan operasi militer. Namun karena sulit ditembusnya medan-medan
Aceh dan kuatnya pengaruh Daud Beureuh, operasi militer tidak memncapai hasil yang memuaskan. Itulah sebabnya, disamping melakukan operasi militer,
pemerintah pusat juga menempuh jalur diplomasi atau musyawarah. Panglima Kodam IIskandar Muda Kolonel Muhammad Yasin
memprakarsai musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang mempertemukan Daud Beureuh, tokoh-tokoh ulama Aceh, dan pemerintah. Dari musyawarah itu, Daud
Beureuh menyadari kekeliruannya. Akhirnya Daud Beureuh bersedia
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
menghentikan petualangannya dan kembali ke masyarakat. Dengan demikian, berakhirlah pemberontakan DITII di Aceh.
2 Republik Maluku Selatan RMS
Pada saat berlangsungnya pemerintahan fedral Republik Indonesia Serikat RIS, Maluku pun bergolak seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Pemberontakannya berupa gerakan separatis yang bertujuan memisahkan diri dari Negara Indonesia dan menamakan daerahnya sebagai Republik Maluku Selatan
RMS. Tokoh dari gerakan ini adalah Dr. Soumokil, seorang bekas Jaksa Agung
di Negara Indonesia Timur NIT, yang tidak menginginkan pembubaran NIT dan menolak bergabung ke wilayah Republik Indonesia. Soumokil juga turut berperan
dalam pemberontakan Andi Azis di Makassar. Setelah Andi Azis tertangkap, Soumokil melarikan diri ke Minahasa Sulawesi Utara dan dilanjutkan ke Ambon
Maluku Selatan. Di Maluku Selatan ia menghasut tokoh-tokoh KNIL dan KL untuk melepaskan diri dari APRIS dan RIS. Disamping itu, Soumokil juga
berhasil mempelopori rapat umum di Ambon yang dihadiri oleh anggota-anggota Persatuan Timur Besar, antara lain Ir, Manusama.
Setelah merasa dirinya memperoleh banyak dukungan rakyat, Dr. Soumokil yang nama lengkapnya Cristian Robert Steven Soumokil
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan RMS tanggal 24 April
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
1950. Ia bertindak sebagai presiden. Dalam pernyataan proklamasinya dinyatakan bahwa RMS merupakan Negara yang merdeka dan tidak memiliki hubungan
sedikitpun dengan Republik Indonesia, atau Negara Indonesia Timur NIT. Tokoh-tokoh federalis yang membantu Soumokil dalam memimpin RMS
adalah Ir. Manusama, Manuhutu, dan para rajapati penguasa desa. Dengan demikian RMS dapat semena-mena menjalankan kekuasaannya. Banyak aksi-aksi
terror yang dilakukan pasukan-pasukan RMS terhadap rakyat. Penculikan, pembunuhan, dan pembakaran rumah-rumah rakyat sering terjadi. Sementara itu,
tokoh-tokoh Maluku dan NIT yang anti RMS banyak yang dipenjarakan bahkan dibunuh.
Untuk mengatasi pemberontakan RMS, pemerintah menempuh dua cara, yaitu cara diplomasi dan operasi militer. Tokoh-tokoh pemerintah pusat yang
berasal dari Maluku seperti Dr. Leimena, Ir. Putuhena, Pellaupessy, dan Rehatta ditugaskan untuk melakukan perundingan dengan RMS. Namun, kedatangan
mereka ditolak. Setelah gagal menempuh jalan damai, pemerintah akhirnya melakukan
operaasi militer dengan membentuk pasukan ekspedisi pimpinan colonel A.E.Kawilarang yang juga sebagai panglima tentara dan teritorium Indonesia
Timur. Pasukan ekspedisi itu dilengkapi oleh pasukan dari divisi Siliwangi yang terdiri dari tiga batalyon, yaitu Batalyon Lucas, Batalyon A3W, dan Batalyon 3
Mei. Kawilarang memimpin pendaratan tentara pada tanggal 14 Juli 1950 di Loho, Pulau Buru. Setelah Pulau Buru dikuasai, pasukan APRIS bergerak menuju
Pulau Seram, Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, dan pulau-pulau lainnya.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan penyerangan ke Ambon, pasukan APRIS terbagi menjadi tiga yakni Grup I dipimpin oleh Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Grup
II dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin oleh Mayor Surjo Subandrio.
Setiap grup berhasil menduduki tempat-tempat yang strategis. Ambon berhasil dikuasai pada tanggal 3 November 1950. Dengan dikuasainya daerah-
daerah penting terutama Ambon, pasukan RMS sudah terkepung rapat dan tidak dapat melakukan perlawanan yang berarti. Banyak tokoh RMS melarikan diri ke
hutan-hutan sekitar pulau Seram dan melakukan pengacauan dan terror terhadap rakyat. Tetapi akhirnya pada tanggal 2 Desember 1963, Peleton II Kompi I dari
Batalyon 320 pimpinan Pelda Ruhiyat berhasil menangkap hidup-hidup Dr. Soumokil, Soumokil memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menyerahkan
diri kepada pemerintah. Sejak saat itu berakhirlah gerakan separatis RMS.
3 Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik IndonesiaPerjuangan Rakyat Semesta PRRIPERMESTA
Pemberontakan PRRIPermesta pada dasarnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari pemerintahan RI yang sah. Latar belakang
pemberontakan ini adalah : a
anggapan bahwa pembangunan hanya dipusatkan di Pulau Jawa; b
pertengkaran politik yang berlarut-larut, dimana setiap partai politik berusaha untuk saling menjatuhkan;
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
c lahirnya konsepsi Presiden Soekarno tahun 1957 tentang pelaksanaan
demmokrasi terpimpin yang secara tidak langsung konsepsi tersebut memberi kemungkinan kepada PKI untuk tumbuh subur.
Akibat dari hal-hal tersebut, dibeberapa daerah lahirlah gerakan-gerakan berbentuk dewan, antara lain sebagai berikut
55
a Dewan Banteng di Sumatera Tengah yang dipimpin oleh letnan colonel
Ahmad Husen; :
b Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh letnan colonel Simbolon;
c Dewan Garuda di Sumatera Selatan;
d Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan;
e Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Berdirinya dewan-dewan dibeberapa daerah itu menunjukkan bahwa di dalam tubuh angkatan perang terdapat perpecahan. Untuk itu, KSAD Kepala
Staff Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution melarang dewan- dewan itu mengadakan pertemuan. Sebagai gantinya tanggal 9-14 September
1957 pemerintah mengadakan musyawarah nasional yang dihadiri oleh tokoh- tokoh politik dan militer dari seluruh pelosok tanah air. Musyawarah nasional itu
dimaksudkan untuk menyelesaikan semua persoalan politik dan militer yang pada waktu itu dinilai tidak sehat. Namun, musyawarah itu tidak membuahkan hasil.
Gerakan separatis terus saja berlangsung.
55
Ibid, hal. 23
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 10 Februari 1958, ketua Dewan Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husen mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya
sebagai berikut
56
a Dalam waktu 5x24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandate kepada
Presiden atau Presiden mencabut mandate Kabinet Djuanda; :
b Presiden menugaskan Drs. Moh. Hatta dan Sri Suultan Hamengku buwono IX
untuk membentuk zaken cabinet; dan c
Meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden konstitusional.
Pemerintah menjawab ultimatum Ahmad Husen tersebut dengan memecat dengan tidak hormat dari keanggotaan TNI terhadap kolonel Simbolon, kolonel
Zulkifli Lubis, kolonel Dahlan Jambek, dan letnan kolonel Ahmad Husen. Disamping itu, pemerintah juga memutuskan untuk menangkap dan
mengajukannya ke pengadilan. KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, pada tanggal 12 Februari 1968 memutuskan untuk membekukan komando dan
staff komando daerah militer Sumatera Tengah KDMST dan menyita seluruh persenjataannya. Selanjutnya, semua tugas dan jabatannya berada langsung di
bawah KSAD. Sebagai reaksi dari keputusan ini, Dewan Banteng membentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia PRRI pada tanggal 17 Februari 1958 dan mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
56
Ibid, hal 23.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Demikian pula halnya dengan yang terjadi di Sulawesi Utara. Tanggal 17 Februari 1958 bersamaan dengan berdirinya PRRI letnan kolonen DY. Somba,
Komandan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara KDMSU menyatakan mendukung berdirinya PRRI di Sumatera Barat Padang dan memutuskan
hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Kemudian, pemerintah menjawabnya dengan memecat dengan tidak
hormat tokoh-tokoh militer yang terlibat di KDMSU, seperti Letkol DY. Somba, Letkol Vence Sumual, dan Mayor Runturambi. DY. Somba dan kawan-kawan
menjawab pemecatan terhadap dirinya itu dengan membentuk piagam Perjuangan Rakyat Semesta Permesta. Dengan demikian sejak tanggal 17 Februari 1958
meletuslah pergolakan sepparatis bersenjata PRRIPermesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.
Untuk menanggulangi gerakan separatis PRRIPermesta, pemerintah menempuh jalan damai dan menghindari peperangan. Namun, usaha-usaha damai
pemerintah tidak memperoleh hasil. Akhirnya, ditempuhlah upaya operasi militer dengan membentuk empat operasi sekaligus, yakni :
a Operasi Tegas, dimaksudkan untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak
asing di Riau. Operasi ini dapat mencegah campur tangan asing yang berdalih akan menyelamatkan warga Negara dan hartanya. Pada tanggal 23 Maret
1958, pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution berhasil menguasai Pekanbaru.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
b Operasi 17 Agustus diarahkan ke Sumatera Barat. Kolonel Ahmad Yani
memimpin operasi yang berhasil menguasai kota Padang dan Bukit Tinggi pada tanggal 17 April.
c Operasi Saptamarga dipimpin oleh Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk
daerah Sumatera Utara. d
Operasi Sadar di Sumatera Selatan dipimpin oleh Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
Pada akhirnya, gerakan separatis PRRIPermesta berhasil dilumpuhkan pada bulan Agustus 1958.
Konflik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis DITII, RMS dan PRRIPermesta yang telah dipaparkan di atas, belum melibatkan
masyarakat internasional, artinya bahwa konflik yang terjadi untuk menghadapi gerakan separatis tersebut masih bisa ditangani sendiri oleh pemerintah Indonesia.
Dari uraian yang memaparkan tentang gerakan separatis yang tidak berhasil mewujudkan hak menentukan nasib sendiri, maka kita dapat melihat
adanya pengaruh-pengaruh sebagai akibat dari kegiatan gerakan tersebut terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik secara internal maupun eksternal.
3. Gerakan Separatis Yang Berhasil Mewujudkan Hak Menentukan Nasib Sendiri Self Determination