HAL-HAL PENTING DALAM ADAT BATAK MENYANGKUT MARGA 1. Sistem Sapaan

59 apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat Batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerahlah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. 2.8. HAL-HAL PENTING DALAM ADAT BATAK MENYANGKUT MARGA 2.8.1. Sistem Sapaan Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atasnya yang disebut martarombomartutur. Masyarakat Batak yang tidak tahu martutur dianggap kurang baik oleh masyarakat Batak lainnya. Bila dua orang Batak kebetulan berasal dari marga yang sama bertemu di perantauan dapat diduga keduanya akan berusaha mencari hubungan kekerabatan dengan menarik garis keturunan. Hal yang dibicarakan adalah nama opung dan kampung asal. Dari dialog ini mereka dapat menentukan hubungan kekerabatan siapa yang harus memanggil saudara tua, atau saudara muda melalui ikatan nenek moyang leluhur. Nama marga biasanya ditempatkan dibelakang nama panggilan seseorang, sebagai penunjuk kesatuan keturuanan yang tersusun atas dasar hubungan darah dan Universitas Sumatera Utara 60 ditarik secara patrilineal. Demikian pentingnya fungsi marga dalam adat Batak Toba sehingga keberadan individu tidak terlepas dari konteks marga. Orang Batak yang hidup tanpa mengetahui dan mengenai marganya bagikan kacang lupa kulitnya cunningham dalam Dalimunthe, 1995. Pola interaksi antar marga dan inter marga tercermin juga dalam dalihan na tolu:  Tungku1: pihak yang memberikan anak perempuannya untuk dinikahkan dengan laki-laki dari marga lain  Tungku2: pihak yang menerima anak perempuan dari marga tertentu yang menikah dengan laki-laki dari marga mereka  Tungku3: mereka yang dilahirkan dan berasal dari satu keturunan dan puya marga yang sama. Sebagai contoh penulis akan cantumkan untuk memperjelas sistem marga dalam masyarakat Batak Toba. Penulis adalah bermarga, yang dalam hal ini adalah boru, yaitu boru Tambunan, berjumpa dengan boru Tambunan juga lalu bersapaan dan pasti akan martutur. Marga Tambunan terbagi lagi kedalam sub marga yang lebih kecil kedalam tiga bagian yaitu Pagar Aji, Lumban Pea, Lumban Raja. Penulis masuk dalam sub marga Pagar Aji. Dalam partuturan tadi dapat diketahui bahwa lawan bicara penulis tadi boru Tambunan dari sub marga Lumban Pea. Dia akan memanggil atau menyebut penulis dengan sebutan kakak dan saya menyebut dia dengan adik. Karena dia berasal dari sub marga Lumban Pea yang dalam silsilah Silahisabungan adalah adik dari Pagar Aji. Pagar Aji merupakan sub marga Tambunan yang paling besar. Dilihat dari generasi itu, maka dia pantas memanggil kakak terhadap penulis walaupun misalnya umur penulis lebih muda dari padanya. Oleh karena itu, perilaku Universitas Sumatera Utara 61 kami pun dalam pembicaraan akan menyesuaikan diri pada silsilah Silahisabungan sesuai dengan moral kekerabatan dalihan na tolu. Pada dasarnya, sekalipun dikalangan suku Batak terjadi banyak perselisihan, mereka tetap sadar bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang hidup menurut satu adat yang harus dijunjung tinggi. Mereka yakin bahwa semua orang Batak merupakan turunan dari satu nenek moyang, yaitu si Raja Batak Lumbantobing, 1996:28. Karena itulah, apabila terjadi pertemuan antara dua orang Batak yang baru saling mengenal, yang pertama mereka ingin tahu adalah soal marga; supaya dapat menentukan sikap terhadapnya sesuai dengan kedudukannya dalam tata laksana adat. Kebiasaan itu dianggap suatu keharusan, seperti yang diungkapkan dalam sebuah peribahasa: Jolo tinitip sanggar, bahen huru-huruan, jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan Artinya: Dipotong dahulu pimping, untuk dijadikan sangkar ditanya dahulu marga, agar jelas hubungan kekeluargaan Orang Batak tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu kesatuan Bangso Batak. Oleh karena itu, dia kan berpikir dalam bentuk “kami”, bukan dalam bentuk “aku”, karena dia merasa dirinya satu dengan semua orang Batak. Faktor pengikat yang terpenting dalam sistem pemikiran seperti itu adalah hubungan darah dan kesamaan negeri asal bona pasogit yang dianggap sebagai tempat lahirnya. Oleh sebab itu, mereka merasa dirinya Universitas Sumatera Utara 62 sebagai anggota dari satu keluarga besar yang wajib mengalami setiap kesenangan dan kesusahan secara bersama-sama. Penutup Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tanah Batak adalah kampung halaman orang Toba, yang masih membutuhkan perhatian semua pihak terlebih para perantau yang sukses di tanah rantau untuk perlu membenahi bona pasogitnya. Demikian juga dengan kota Medan, sebuah kota yang berpenduduk heterogen yang menerima keberadaan orang Toba untuk hidup dan menetap hingga sekarang. Di kota Medan orang Toba bertumbuh dengan semua kebudayaan dan adat istiadatnya. Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat tindakan terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan kewajiban yang ditaati dan dijalankan. Adat bukan hanya sekedar kebiasaan atau tertib sosial, melainkan sesuatu yan mencakupi seluruh dimensi kehidupan:jasmanai, dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan dengan sesama maupun hubungan dengan ‘sang pencipta’. Sistem kekerabatan yang ada dalam kebuadayaan orang Toba dalihan na tolu menggambarkan keseimbangan. Dalihan na tolu sebagai lambang aturan hidup dan sikap hidup orang Toba. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup diantara unsur-unsur dalihan na tolu. Untuk menjaga keseimbangan tersebut orang Toba tidak hanya berada dalam satu posisi saja. Semua orang Toba akan pernah jadi hula-hula, akan menjadi boru, dan menjadi dongan tubu. Intinya adalah adanya ajaran untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling menolong. Universitas Sumatera Utara 63 Dalam pembagian warisan dalam kebudayaan orang Toba, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari suaminya. Pembagian harta warisan untuk laki-laki tidak sembarangan karena pembagian warisan tersebut dikhususkan kepada anak laki-laki terkecil yang disebut siapudan. Dewasa ini, adat seperti itu tidak lagi sepenuhnya dilakukan, maka pembagian warisan sudah berdasarkan keinginan dari keluarga masing-masing, yang perempuan berhak mendapatkan warisan orangtuanya. Hal positif yang boleh diambil adalah adanya keadilan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Universitas Sumatera Utara 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Dari berbagai falsafah kehidupan masyarakat Batak Toba, salah satunya adalah kehidupan yang berhasil baik di dalam hal perekonomian, jabatan maupun di dalam hal pendidikan. Falsafah tersebut menjadi patokan yang mendasari atau memotivasi orangtua mendidik anak-anaknya. Orangtua menganggap anak harus lebih maju dari orangtua. Orangtua ayah dan ibu yang bersusah payah banting tulang demi menyekolahkan anak-anaknya adalah potret yang biasa di masyarakat tersebut 1 Dari situasi seperti diatas, tercermin suatu kondisi bahwa nilai anak dari berbagai aspek dan perspektif adalah sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Khususnya dalam konteks hubungannya dengan orangtua, maka anak menjadi sesuatu yang sentral posisinya. Keberadaan anak, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, bahkan menjadi suatu parameter di dalam mengukur keberhasilan suatu keluarga, dengan kata lain anak memiliki nilai budaya. Nilai dalam konteks ini . Oleh karena itu, banyak orangtua yang begitu tekun mempersiapkan anaknya di bidang pendidikan akhirnya ‘memetik’ hasil yang gemilang di hari tuanya karena keberhasilan anak-anaknya. Banyaknya anak dalam keluarga Batak Toba yang berkat bimbingan dan hubungan yang baik dengan orangtua, anaknya berhasil menjadi dokter, pengacara, pengusaha, birokrat penguasa daerah, bankers, penulis, artis, politisi, gurudosenprofessor, diplomat dan profesi lainnya. 1 Contohnya, Tiurma Nainggolan seorang janda dengan dengan empat orang anak. Demi menghidupi keluarga, dia berjuang menjadi partaganing perempuan penabuh taganingdi kota Medan. Diundang untuk mengisi acara pesta adat menjadi partaganing. Perempuan ini sangat mahir layaknya partaganing laki-laki dalam menabuh taganing. Semua dilakukannya demi menyekolahkan anaknya. “Tiurma, Perjuangan Partaganing Perempuan,” Tapian, edisi September, 2009 ,hal 44 Universitas Sumatera Utara