SISTEM PERKAWINAN LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK

54 ketiga pihak tersebut Zuska, 1995:20. Posisi orang dalam kaitannya dengan asas dalihan na tolu tidak pernah tetap. Seseorang dapat bertukar posisi dan menjadi anggota salah satu tungku tergantung dengan siapa orang itu berhubungan dan bagaimana hubungan kekerabatannya Dalimunthe, 1995:15.

2.6. SISTEM PERKAWINAN

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Pernikahan juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Hubungan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah hubungan asymetric connubium perkawinan sepihak, perkawinan yang tidak boleh timbal balik Maria, 1995:18. Misalnya pemuda marga Pasaribu mengambil gadis marga Tambunan, pemuda marga Tambunan tidak boleh mengambil gadis dari marga Pasaribu tetapi harus dari marga purba, demikian seterusnya. Pada dasarnya pernikahan di dalam kebudayaan Batak pernikahan yang ideal bagi orang Batak Toba ialah antara seorang pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya. Sistem ini dinamakan marboru ni tulang atau kawin “pariban”. Demikian juga bila seorang pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah atau maranak ni namboru, disebut juga kawin “pariban”. Dulu sebenarnya maksud orang Batak menjodohkan anak mereka untuk menjaga keutuhan harta keturunan mereka, agar harta yang mereka miliki jatuh kepada saudaranya sendiri bukan pada orang lain, untuk memperat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga ayahibu tidak terputus. Lagu “ tabo na marpariban” juga melukiskan betapa enaknya punya pariban. Universitas Sumatera Utara 55 Sebaliknya, kawin dengan putri dari saudara perempuan ayah atau boru ni namboru merupakan hal terlarang. Larangan ini sesuai dengan struktur sosial dalihan na tolu bahwa bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari kelompok hula- hula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikuti upacara adat. Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu” atau tidak dapat dilalirkan kembali ke hulu. Dalam persoalan ini hula-hula keluarga mempelai perempuan adalah sumber asal boru. Oleh karena itu, tidak mungkin proses itu diputar balik. Artinnya, boru menjadi sumber keturunan secara simbolik adalah pohon kehidupan bagi hula-hula. Secara ideologis hula-hula merupakan personifikasi dewata Batara Guru dan banua ginjang dunia atas, sedangkan boru adalah personifikasi dewata Balabulan dan banua toru dunia bawah. Itulah sebabnya kedudukan yang tinggi dari hula-hula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabulan. Secara realigi hal ini tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu adat yang menjadi bagian dan kepercayaan keagamaan harus mematuhinya. Dilihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak orangtua dan kerabat dekat, namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud dalam tanggungjawab masing- masing kepada pengantin, kedua orangtua pengantin, serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang berhadapan secara langsung. Universitas Sumatera Utara 56 Dalam upacara perkawian peranan kerabat dalihan na tolu dari kedua pihak mempunyai peranan penting. Orangtua pengantin wanita tidak boleh sendirian menerima uang mahar tuhor dari pihak laki-laki, mereka haurs mengundang secara lengkap kerabat dalihan na tolu dan membagi tuhor tersebut sesuai dengan adat. Pihak pengantin laki-laki, sinamot harus dibayar bersama-sama oleh kerabat dalihan na tolu pihak laki-laki. Orangtua perempuan bersama dalihan na tolu harus menyerahkan kain adatulos kepada orangtua laki dan kepada kedua mempelai. Dimaksudkan sebagai lambang ikatan yang erat antara dalihan na tolu dengan menantu baru antara kerabat kedua belah pihak, sekaligus sebagai pelambang keharmonisan yang didambakan oleh kedua mempelai Maria, 1995:18. Batak mengenal dua perkawinan, kawin larimangalua dan kawin secara biasa mengikuti semua prosedur yang ada yaitu kawin lari dan kawin resmi. Kawin lari adalah membentuk rumah tangga tanpa upacara adat umumnya, hal ini terjadi karena adanya ketidak setujuan dari satu pihak, tetapi sering terjadi karena tidak adanya biaya. Karena untuk mendakan pesta, dibutuhkan biaya yg tidak sedikit. Secara adat pasangan ini dianggap belum resmi kawin. Untuk meresmikan harus melalui upacara adat yang disebut dengan mangadati diadatkan. Selama belum diadatkan pasangan ini belum boleh menyelenggarakan upacara adat. Perkawinan biasa adalah membentuk rumah tangga yang baru dengan mengikuti prosedur adat yang mendahului hadirnya upacara dan beberapa perkataan adat marhata antara kerabat dalihan kedua belah pihak. Suatu upacara perkawinan dianggap resmi bila dihadiri oleh semua unsur dari dalihan natolu dan diselengrakan menurut prinsip dalihan. Menyangkut sistem perkawinan pada masyarakat Batak Toba, akan menjadi hal yang menarik perhatian, serta mungkin akan menjadi suatu pertanyaan apabila kata kawin dikaitkan dengan nilai hubungan anak dengan orangtua. Orangtua masih Universitas Sumatera Utara 57 mengharapkan anaknya harus menikah dengan paribannya, sedangkan si anak tidak mau, dan masih banyak lagi fenomena yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang menyangkut dengan pernikahan. Nilai pernikahan bagi masyarakat Batak Toba adalah pertumbuhan. Pernikahan adalah alat untuk melanjutkan keturunan yang tentunya kelahiran keturunan sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Orangkeluarga yang tidak memiliki keturunan adalah suatu ‘kekurangan’ di dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini dianggap karena tidak bisa meneruskan silsilah. Keluarga yang tidak memiliki keturunan merupakan aib bagi keluarga. Keluarga tersebut akan biasanya akan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat.

2.7. SISTEM PEWARISAN