Ideologi 3H dalam lagu Batak populer sebagai modal perjuangan orang Batak Toba.

(1)

ABSTRAK

Tesis ini membahas hubungan antara permasalahan hidup, perjuangan yang dikisahkan dalam syair lagu dan tujuan hidup yang bersifat ideologis. Orang Batak Toba sebagai identitas, hidup dalam praktik adat dan tradisi yang kuat baik mereka yang tinggal di kampung maupun mereka yang sudah meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Permasalahan ekonomi menjadi titik awal bagi orang Batak Toba untuk memulai perjuangan. Kisah perjuangan mereka termuat dalam syair-syair lagu Batak Toba populer. Lagu yang digambarkan dikemas dalam melodi yang sedih dan syair yang mengharukan. Pengalaman hidup yang dikisahkan dalam lagu dan syair justru dijadikan sebagai kekuatan untuk memberi motivasi positif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.

Responden sebagai subjek penelitian merepresentasikan pendengar lagu Batak Toba yang mengetahui atau mengalami kisah-kisah perjuangan dalam lagu-lagu Batak populer. Kehidupan orang Batak diperhadapkan dengan suatu pertarungan yang penuh dengan tantangan untuk mencapai kebutuhan material, simbolis dan ideologis. Untuk pengolahan data penelitian maka teori Pierre Bourdieu dijadikan sebagai kerangka acuan. Habistus dipakai untuk melihat kebiasaan yang dimiliki oleh orang Batak Toba dalam menjalankan tata aturan dalam adat. Arena dijadikan sebagai ruang untuk melihat wilayah perjuangan yang mungkin ditempuh, sedangkan modal dijadian sebagai kekuatan untuk mencapai tujuan. Adapun modal-modal yang ingin dimiliki untuk meraih tujuan yang ingin dicapai adalah melalui modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolik. Ideologi dijadikan sebagai modal dasar untuk mengentaskan permasalahan ekonomi yang pelik. Permasalahan hidup diatasi dengan perjuangan gigih melalui kekuatan ideologi. Untuk meraih keberhasilan tersebut diperlukan wadah perjuangan melalui pertarungan di arena pendidikan dan lapangan pekerjaan. Kedudukan dan kekuasaan seseorang dalam masyarakat Batak Toba tergantung berapa besar modal yang dimiliki.

Kata kunci: Habitus, arena, modal, adat, ideologi (hamoraon, hagabeon, hasangapon), dalihan natolu (hula-hula, dongan tubu, boru), andung, lagu Batak populer, Pierre Bourdieu.


(2)

ABSTRAK

This thesis is a study about the relationship between life’s problems and

struggles which are expressed in popular songs-lyrics and melodies and an ideology which expresses the purpose of life. Batak Toba people, both those who live in the village as well as those who have left their homeland, secure their identity in life by practicing their customs and strong traditions,

Economic problems have become the starting points for their struggle in life. Their stories are expressed in the lyrics of their popular songs. The songs described in this thesis interweave sad melodies and sorrowful poetry. The life experiences expressed in the music and lyrics are specifically used as a force which gives a positive motivation to deal with challenges.

Respondents in this research project represents Batak Toba song listeners who know or who have been experiencing the struggle which is described in these popular Batak songs. The lives of Batak people are confronted by complex challenges, symbolic and ideological, in their fight to satisfy their material needs.

The data collection for this research study uses Pierre Bourdieu’s theory as a

framework.“Habitus”is used to observe their customs in implementing the specific rules and social ordering in their traditions.In Bourdieu’s theory, “arena” refers to the space

in which the battle is pursued whereas“capital” describes the power needed to achieve the intended goal. The capital needed to reach the goal includes economic, cultural, social, and symbolic assets.

Ideology serves as the fundamental capital necessary to resolve the complicated economic problems. Struggles in life are overcome by the persistent appeal to the power of ideology. To achieve success, a person must enter and win in the educational and employment arenas. One's position and power in Batak Toba society depend on how much capital one has.

Keywords: habitus, arena,capital, culture, ideology (hamoraon, hagabeon, hasangapon), Dalihan Natolu (hula-hula, dongan Tubu, Boru), grandmother, popular Batak.


(3)

IDEOLOGI 3H DALAM LAGU BATAK POPULER

SEBAGAI MODAL PERJUANGAN

ORANG BATAK TOBA

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) Di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

MARSIUS PARLY TINAMBUNAN NIM: 116322001

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

IDEOLOGI 3H DALAM LAGU BATAK POPULER

SEBAGAI MODAL PERJUANGAN

ORANG BATAK TOBA

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) Di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

Marsius Parly Tinambunan NIM: 116322001

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

PENGESAHAN

TESIS

IDEOLOGI 3H DALAM LAGU BATAK POPULER SEBAGAI MODAL PERJUANGAN

ORANG BATAK TOBA Oleh:

Marsius Parly Tinambunan NIM: 116322001

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 21 Juli 2015

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Tim Penguji Tanda Tangan

Ketua : Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S., Ph.D. ..……..………

Sekretaris/Moderator : Y. Tri Subagya, M.A. ...………

Anggota : 1. Dr. des. Vissia Ita Yulianto ……….

2. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ……….

Yogyakarta 21 Juli 2015 Direktur Program Pascasarjana


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini Nama :Marsius Parly Tinambunan

NIM : 116322001

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan:

Judul :Ideologi 3H Dalam Lagu Batak Populer

Sebagai Modal Perjuangan Orang Batak Toba.

Pembimbing : Dr. G. Budi Subanar, S.J.

Tanggal diuji : 21 Juli 2015

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta 22 Juli 2015 Yang memberi pernyataan


(8)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama :Marsius Parly Tinambunan

NIM:NIM : 116322001

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

IDEOLOGI 3H DALAM LAGU BATAK POPULER SEBAGAI MODAL PERJUANGAN

ORANG BATAK TOBA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tangal: 22 Juli 2015 Yang menyatakan


(9)

KATA PENGANTAR

Adalah saat yang membanggakan ketika saya masih bisa diberi kesempatan untuk studi S2 oleh Universitas Kristen Duta Wacana, meskipun usia studi lanjut saya telah berakhir sesuai aturan. Saya merasa ini sebuah hadiah yang tidak boleh disia-siakan untuk itulah saya menerima tantangan ini dan kembali ke bangku kuliah dan jadi mahasiswa.

Ketertarikan saya pada bidang religi dan budaya, didasarkan atas pentingnya peran budaya dalam memahami agama. Budaya dan agama berjalan bersama, kadang terlihat ketidak keselarasan namun di sisi lain budaya dapat berperan dalam memahami ajaran mengenai Kabar Baik (Injil) bagi masyarakat tradisional yang masih begitu kuat memegang adat dan tradisi.

Kekayaan budaya dapat diolah menjadi pengetahuan dan ajaran yang bersifat ideologis sehingga dapat memberi makna bagi kehidupan masyarakat yang masih mengagungkan adat dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat tradisional dan modern. Penghargaaan terhadap budaya itulah juga yang memberi arti bagi kehidupan orang Batak Toba yang tetap menjunjung tinggi produk budaya seperti, ideologi: hamoraon, hagabeon, hasangapon, dan dalihan na tolu sebagai sistem musyawarah adat yang dijalankan oleh 3 unsur penting sebagai hula-hula, dongan tubu, dan boru.

Berkaitan dengan proses penulisan tesis ini tidak dapat saya lupakan mereka-mereka yang secara langsung atau tidak telah memberi kontribusinya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan dengan baik. Dan ucapan terima kasih yang tak terhingga patut saya sampaikan kepada Pembimbing saya, Dr. G. Budi Subanar, S.J. dan kepada Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J. yang memberi masukan yang berharga. Kepada seluruh pengajar IRB yang pernah memberi perkuliahan kepada saya, serta mbak Desy sebagai staf administrasi IRB yang banyak membantu dalam urusan administrasi.

Juga tidak lupa saya sampaikan banyak terima kasih kepada responden saya yang begitu bersemangat dalam wawancara, sekaligus berterima kasih atas penerimaan


(10)

responden di kediaman mereka dengan baik sehingga pelaksanaan wawancara dapat berlangsung dengan baik dengan suasana kekeluargaan yang menyenangkan. Adapun responden yang saya maksudkan adalah: Abidan Tinambunan, Dewi Pangaribuan, Doma Tumanggor, Hotran Simarmata, Hotman Sihaloho, Kardono Sinaga, Kaston Pakpahan, L.br Tinambunan, Lukder Tumanggor, M. Simangunsong, Mirando Damanik, N. Ambarita, Manosor Pangaribuan, M. Siahaan, M. Simanjuntak, S. Berutu.

Kesediaan dan dukungan mereka selama wawancara sangat berarti dan jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan saya memberi informasi dan pengetahuan yang menjadi bagian dalam tesis ini.

Hormat saya kepada Ayah (almarhum) dan Ibu yang saya cintai di kampung (Bona Pasogit - dulu Kabupaten Tapanuli Utara dan sekarang Kabupaten Humbang Hasundutan) yang sudah memperjuangkan saya untuk sekolah sejak dari SD sampai perguruan tinggi.

Akhirnya saya berterima kasih kepada istri dan anak-anak saya yang saya cintai, yang secara bersamaan berjuangan bersama-sama sebagai mahasiswa. Dewi Pangaribuan (istri) yang kuliah di Amerika di bidang: Music dan Counseling, dan kedua anak saya Christina Laviani Tinambunan (Via) di Universitas Sanata Dharma jurusan Sastra Inggris dan Verdy Lamson Tinambunan (Verdy), di Universitas Kristen Duta Wacana jurusan Teknik Informatika.


(11)

ABSTRAK

Tesis ini membahas hubungan antara permasalahan hidup, perjuangan yang dikisahkan dalam syair lagu dan tujuan hidup yang bersifat ideologis. Orang Batak Toba sebagai identitas, hidup dalam praktik adat dan tradisi yang kuat baik mereka yang tinggal di kampung maupun mereka yang sudah meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Permasalahan ekonomi menjadi titik awal bagi orang Batak Toba untuk memulai perjuangan. Kisah perjuangan mereka termuat dalam syair-syair lagu Batak Toba populer. Lagu yang digambarkan dikemas dalam melodi yang sedih dan syair yang mengharukan. Pengalaman hidup yang dikisahkan dalam lagu dan syair justru dijadikan sebagai kekuatan untuk memberi motivasi positif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.

Responden sebagai subjek penelitian merepresentasikan pendengar lagu Batak Toba yang mengetahui atau mengalami kisah-kisah perjuangan dalam lagu-lagu Batak populer. Kehidupan orang Batak diperhadapkan dengan suatu pertarungan yang penuh dengan tantangan untuk mencapai kebutuhan material, simbolis dan ideologis. Untuk pengolahan data penelitian maka teori Pierre Bourdieu dijadikan sebagai kerangka acuan. Habistus dipakai untuk melihat kebiasaan yang dimiliki oleh orang Batak Toba dalam menjalankan tata aturan dalam adat. Arena dijadikan sebagai ruang untuk melihat wilayah perjuangan yang mungkin ditempuh, sedangkan modal dijadian sebagai kekuatan untuk mencapai tujuan. Adapun modal-modal yang ingin dimiliki untuk meraih tujuan yang ingin dicapai adalah melalui modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolik. Ideologi dijadikan sebagai modal dasar untuk mengentaskan permasalahan ekonomi yang pelik. Permasalahan hidup diatasi dengan perjuangan gigih melalui kekuatan ideologi. Untuk meraih keberhasilan tersebut diperlukan wadah perjuangan melalui pertarungan di arena pendidikan dan lapangan pekerjaan. Kedudukan dan kekuasaan seseorang dalam masyarakat Batak Toba tergantung berapa besar modal yang dimiliki.

Kata kunci: Habitus, arena, modal, adat, ideologi (hamoraon, hagabeon, hasangapon), dalihan natolu (hula-hula, dongan tubu, boru), andung, lagu Batak populer, Pierre Bourdieu.


(12)

ABSTRAK

This thesis is a study about the relationship between life’s problems and

struggles which are expressed in popular songs-lyrics and melodies and an ideology which expresses the purpose of life. Batak Toba people, both those who live in the village as well as those who have left their homeland, secure their identity in life by practicing their customs and strong traditions,

Economic problems have become the starting points for their struggle in life. Their stories are expressed in the lyrics of their popular songs. The songs described in this thesis interweave sad melodies and sorrowful poetry. The life experiences expressed in the music and lyrics are specifically used as a force which gives a positive motivation to deal with challenges.

Respondents in this research project represents Batak Toba song listeners who know or who have been experiencing the struggle which is described in these popular Batak songs. The lives of Batak people are confronted by complex challenges, symbolic and ideological, in their fight to satisfy their material needs.

The data collection for this research study uses Pierre Bourdieu’s theory as a

framework.“Habitus”is used to observe their customs in implementing the specific rules and social ordering in their traditions.In Bourdieu’s theory, “arena” refers to the space

in which the battle is pursued whereas“capital” describes the power needed to achieve the intended goal. The capital needed to reach the goal includes economic, cultural, social, and symbolic assets.

Ideology serves as the fundamental capital necessary to resolve the complicated economic problems. Struggles in life are overcome by the persistent appeal to the power of ideology. To achieve success, a person must enter and win in the educational and employment arenas. One's position and power in Batak Toba society depend on how much capital one has.

Keywords: habitus, arena,capital, culture, ideology (hamoraon, hagabeon, hasangapon), Dalihan Natolu (hula-hula, dongan Tubu, Boru), grandmother, popular Batak.


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….…….i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………ii

LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI……….…….iii

SURAT ERNYATAAN KEASLIAN……….……….iv

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...v

KATA PENGANTAR……….……….…vi

ABSTRAK………......viii

DAFTAR ISI………...x

BAB I PENDAHULUAN……….....1

1. Latarbelakang Penelitian……….1

2. Rumusan Masalah……….…………..8

3. Tema………....8

4. Tujuan Penelitian………...8

5. Manfaat Penelitian………...…9

6. Studi Pustaka………...…11

7. Kerangka Teori………...21

7. 1. Habitus………...22

7. 2.Arena……….……23 7. 3. Modal (capital) Simbolik……….……...…...26

7. 4. Kekerasan Simbolik………...28

7. 5.Ideologi………...29


(14)

9. Sistematika Penulisan………...34

BAB II ETNIK BATAK DAN SUKU BATAK TOBA SEBAGAI IDENTITAS ……….……….………..39

1.Identitas Kebatakan Dipresentasikan dalam Lagu………...41

2. Etnik Batak………....46

3.Suku Batak Toba………...…53

4. Suku Batak Toba Sebelum Injil Masuk di Tanah Batak………...57

5. Masuknya Penginjil ke Tanah Batak………....59

5. 1. Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris………...…59

5. 2. Penginjil Utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission….61 5. 3. Penginjil Utusan Rheinische Missionsgesellschaft………...62

6. AdatBatak Toba………....67

7. Dalihan Natolu………...71

7. 1. Hula-hula………...75

7. 2. Dongan Tubu………...76

7. 3.Boru………..….77

8. Ideologi 3 H Sebagai Modal Perjuangan……….…….…79

9.Peta Kemiskinan……….………...84

BAB III LAGU BATAK TOBA POPULER……….....90

1. Lagu Batak Toba Populer Era-Sebelum 70-an……….……....92

1.1 Alat Musik Tradisional………...95

1. 1. 1.Gondang………...95

1. 1. 2. Uning-uningan………...…...96

1. 2. Musik Populer Batak Toba..………...………...98

1. 3. Musisi Batak Toba Era-Sebelum 70-an……….……...104

1. 3. 1. Tilhang Gultom (1896)-1973)………...…...105

1. 3. 2. Nahum Situmorang (1908-1969)……….………...107


(15)

2. Lagu Batak Toba Populer Era-Setelah 70-an………...114

2. 1. Kejayaan Musik Populer Batak………...117

3. Isi Syair Lagu Mengisahkan Pengalaman Hidup………....120

3. 1. Lagu Andung dan Lagu Batak Toba Populer……….……….122

3. 1.1. Lagu Andung………...122

3. 1. 2. Lagu 1: Andung-andung ni Anak Siampudan………...124

3. 1.3. Lagu 2: Andung Anak Buha Baju………...…………128

3. 1.4. Lagu 3: Andung Anak Sasada……….…………...130

4. Lagu Batak Populer dan Suara Perjuangan………...132 4. 1. Lagu Tentang Kemiskinan………....…………...133

4. 1.1. Lagu 4: Tapanuli Peta Kemiskinan………...134

4. 1.2. Lagu 5: Gotap sian Sikkola………...136

4. 1.3. Lagu 6: Tangis do Au……….………...138

4. 2.Lagu Perjuangan untuk Merantau……….………..140

4. 2.1. Lagu 7: Putus Sikkola………..141

4. 2.2. Lagu 8: Anak Parjalang……….…...142

4. 3. Lagu Perjuangan untukSekolah………..………...………....144

4. 3.1. Lagu 9: Anakkon hu……….………...145

4. 3.2. Lagu 10: Anakku Naburju………...146 4. 4.Lagu Tentang Anak Sebagai Kekayaan………...148

4. 4. 1. Lagu 11: Anakkonhi do Hamoraon di Au………...149

4.5. Lagu Tentang Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon………..…...151

4. 5. 1.Lagu 12: Alusi Au………...…....152 4. 5.2. Lagu 13: Hagabeon…………...………...154

BAB IV IDEOLOGI SEBAGAI MODAL PERJUANGAN...157

1. Ideologi sebagai Habitus yang Terinternalisasi………....…..158

1. 1. Ideologi Membentuk Habitus……….……....158

1. 2. Kekuatan Modal dalam Mencapai Tujuan……….……...162


(16)

3. Lagu Batak Toba Populer sebagai Ekspresi Perjuangan………....168

3. 1. Lagu Andung sebagai Model Ekspresi Kesedihan………...169

3. 2. Keterpurukan Modal Ekonomi………...175

3.3. Arena Pertarungan di Perantauan………...………....180

3. 4. Arena Pertarungan di Sekolah………...…...186

4. Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon sebagai Cita-cita Idealis Batak Toba…....190

4. 1. Pentingnya Ideologi bagi Orang Batak………...191

4. 2. Makna Modal Simbolik bagi Orang Batak………...198

4. 3. Pemaknaan Kekerasan Simbolik dalam Dalihan Natolu………...201

4. 4. Lagu Batak Toba Bermuatan Ideologi………...203

Bab V KESIMPULAN………..………....210

DAFTAR PUSTAKA………...……….……....224


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latarbelakang

Dalam mewujudkan cita-cita diperlukan suatu usaha dan kerja keras untuk meraihnya. Selain itu diperlukan suatu dorongan yang bersifat filosofis untuk memperkuat usaha tersebut. Tesis ini akan berfokus pada penelitian yang berhubungan dengan lagu-lagu Batak Toba poluler yang memuat ideologi sebagai modal dasar perjuangan, dan kisah-kisah yang menceritakan pergumulan hidup yang dituangkan pada syair-syair lagu sebagai narasinya. Untuk melengkapi penelitian tersebut, akan dijelaskan latarbelakang suku Batak Toba dari berbagai aspek: identitas, tempat tinggal, ideologi adat, pergulatan, dan perjuangan. Adapun bagian budaya yang masih kuat dipegang oleh orang Batak dan menjadi bagian dari penelitian ini menyangkut lagu, ideologi, adat.

Untuk melengkapi sumber data primer akan dilakukan wawancara kepada beberapa responden dan narasumber untuk memperoleh dan mengetahui pengalaman mereka menyangku lagu-lagu pergumulan hidup untuk mewakili pandangan orang Batak Toba. Lagu-lagu Batak populer dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengalaman hidup orang Batak Toba dari berbagai aspek menyangkut kemiskinan. Kisah pengalaman hidup ini dapat ditelaah melalui syair-syair lagu Batak Toba populer, yang menceritakan tentang kemiskinan, sekolah, putus sekolah, merantau, ideologi dan perjuangan. Bagi orang Batak Toba usaha untuk mewujudkan cita-cita tersebut dilandasi oleh ideologi sebagai modal dasar dan sekaligus menjadi motivasi.


(18)

Suku-suku Batak merupakan salah satu etnik terbesar yang ada di Indonesia. Suku-suku ini tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, dan melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, itu sebabnya kata Batak tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Etnik Batak sendiri terdiri atas enam sub-suku, yaitu: Toba, Simalungun, Karo, Pak-pak, Angkola Sipirok dan Mandailing.1 Sebagian dari enam sub-suku suku-Batak tersebut bermukim di wilayah daratan yang melintang di sepanjang pegunungan Bukit Barisan pedalaman provinsi Sumatera Utara, dan sebagian lagi berdiam di sekeliling Danau Toba. Adapun suku Angkola dan Mandailing bermukim menjauhi Danau Toba dan mendekati perbatasan Sumatera Barat. Dari keenam sub-suku ini, Batak Toba merupakan suku yang paling banyak jumlahnya. Dari hasil studi ditemukan, bahwa selain suku-suku Batak yang terdiri atas enam sub-etnis ada beberapa penulis yang menambahkan bahwa orang Alas, Gayo, orang Pardembang yang ada di pesisir Sungai Asahan, sebagian orang pesisir yang tinggal di pantai barat Pulau Sumatera juga merupakan keturunan orang Batak.2

Penggunaan kata ‘Batak’ bukan hanya untuk satu suku tertentu saja, tetapi menjadi milik semua suku-suku Batak. Namun, biasanya sebutan ‘batak’ lebih sering ditujukan kepada suku Batak Toba. Berdasarkan studi dan penelitian yang dilakukan beberapa ahli bahwa asal-usul dari suku Batak seperti yang digambarkan oleh Parlindungan tergolong proto Melayu.3 Hal tersebut disimpulkan karena karakteristik

1

Andaya, Leonard Y.The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the Batak. In: Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde 158 (2002) No: 3. Leiden. p.367-409.

2

Hodges, William Robert Jr. 2009. Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak (North Sumatra, Indonesia). Santa Barbara: Universiry of California. p. 74.

3


(19)

yang dimiliki oleh orang-orang proto Melayu yang gemar untuk tinggal dan menetap di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan serta menghindari daerah tepi pantai. Ketika mereka tiba di kepulauan nusantara, nenek moyang bangsa Batak ini langsung masuk jauh ke pedalaman hutan yang diperkirakan di daerah sekitar Danau Toba, seperti yang diungkapkan Parlindungan berikut ini:

“Cikal bakal suku bangsa Batak pertama sekali mendarat di muara sungai Sorkam, kemudian masuk terus ke dalam hutan, melewati daerah Dolok Sanggul dan terus sampai di kaki bukit pusuk buhit. Kemudian suku bangsa Batak pertama kali mendirikan kampung di kaki Pusuk Buhit, yang dikenal dengan nama Sianjur Sagala Limbong

Mulana”.4

Peneliti lain mencoba menemukan arti ‘Batak’ berdasarkan latarbelakang yang ada pada orang Batak itu sendiri, termasuk sumber cerita-cerita mitos. Seperti yang diungkapkan oleh Cunningham bahwa di dalam mitos Batak, nenek moyang orang Batak, Si Raja Batak diturunkan dari langit ke Pusuk Buhit (gunung Pusuk Buhit) di bagian Barat Pulau Samosir. “According to Batak myth, the Batak first ancestor, Si Raja Batak, descended from heaven to Mount Pusuk Buhit in the Samosir island, on the west shore of Lake Toba, North Sumatera”.5 Dari Pusuk Buhit ini diyakini orang Batak berpindah ke wilayah sekitar Danau Toba dan kemudian ke daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya suku Batak Toba, sebagai salah satu etnik Batak berdiam di wilayah Sumatera Utara. Adapun tempat yang mereka tinggali adalah daerah dataran rendah yang sangat cocok untuk lahan pertanian seperti persawahan, sedangkan dataran tinggi lebih cocok untuk lahan perkebunan.

4

Ibid. 5

Sihombing, Batara. 2004:Batak and Wealth: A Critical Study of Materialism the Batak Churches in Indonesia,©2004 Koninklijke Brill NV,Mission Studies.p.12.


(20)

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, kebanyakan orang Batak Toba memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari hasil pertanian, perkebunan dan peternakan. Berdasarkan data BPS 2005-20076 kondisi daerah yang ditempati orang Batak Toba masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena penghasilan yang diperoleh penduduk belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan yang layak. Karena untuk dikatakan layak dan maju, tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan pokok seperti: sandang, papan, dan pangan, tetapi juga harus diperjuangkan kemajuan dari sisi lain seperti pendidikan, pekerjaan, kedudukan di pemerintahan dan bila dimungkinkan terjun di dunia bisnis. Cita-cita kemajuan itu adalah impian semua orang, dan termasuk impian orang Batak Toba. Dalam mewujudkannya, diperlukan suatu perjuangan, perubahan pola pikir, dari tuntutan yang sekedar memenuhi kebutuhan pokok (primer) ke arah pemenuhan kebutuhan yang tidak pokok (sekunder).

Melalui hasil studi dan penelitian kebutuhan hidup orang Batak telah mendapat gambaran dan pemetaan. Melalui penelitian tingkat kelayakan hidup orang Batak Toba telah diketahui seperti apa posisinya bila diukur berdasarkan standar kebutuhan hidup secara Nasional maupun Internasional. Penelitian dan kajian yang sama telah dilakukan di Sumatera Utara khususnya Tapanuli Utara yang dijuluki sebagai daerah miskin, dan digolongkan kepada wilayah Peta Kemiskinan. Salah satu penelitian yang dihasilkan oleh Toga P. Sihotang adalah: “Analisa Penyebab Masalah Kemiskinan Di Kabupaten Tapanuli Utara”, 1996, USU. Hasil penelitian T. Sihotang ini memberi gambaran kelayakan hidup orang Batak Toba, yang tinggal di beberapa wilayah Kabupaten di

6


(21)

Sumatera Utara, disandingkan dengan Kabupaten-kabupaten yang dihuni oleh etnis Batak lain (Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, Angkola) dan etnis non-batak lainnya.

Penelitian Toga Sihotang yang diangkat pada tesis ini karena masih relevan digunakan sehubungan dengan pergumulan puluhan tahun yang lalu masih berhubungan dengan pergumulan masa kini. Isu kemiskinan yang menjadi topik hangat saat itu masih dialami sekarang ini. Lagu-lagu yang muncul yang mengisahkan pergumulan hidup orang Batak Toba masa lalu masih dikumandangkan sekarang.

Berhubungan dengan musik, aktivitas kehidupan seni musik orang Batak meliputi aktivitas mendengar musik, bermain musik, bernyanyi dan menari. Musik Batak tersebut dapat didengarkan dalam nuansa tradisional dengan iringan musik Gondang, musik rakyat (folk song) dengan iringan Uning-uningan atau gitar akustik, dan musik populer (Pop Batak Toba) yang diiringi dengan alat musik modern. Bermusik, baik sebagai pendengar, pemain alat musik, atau penyanyi sudah menjadi umum bagi masyarakat Batak di mana pun mereka berada. Kebiasaan menikmati musik orang Batak digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi dalam mengungkap perjuangan yang dilakukan oleh orang Batak Toba, baik melalui karya komposisi dari pecipta lagu maupun dari mereka yang aktif sebagai audien musik populer Batak Toba.

Untuk melengkapi penelitian ini maka ada dua unsur musik yang penting diperhatikan, yaitu: syair yang berisi kisah dan lagu sebagai unsur ekspresi. Peran lagu dan syair mengungkap fakta yang sesuai dengan tema-tema pada bahasan tesis. Berkaitan


(22)

dengan perkembangan musik populer Batak Toba yand dibahas mengenai unsur-unsur yang menjadi latarbelakangnya. Perkembangan musik Batak populer (termasuk musik folk Batak) telah dimulai awal tahun 60-an dan berkembang sampai sekarang. Sejak tahun 60-an peran musisi seperti Nahum Situmorang (1908-1969) mengembangkan musik yang beraliran populer, Gordon Tobing (1925-1993) beraliran folk, dan Tilhang Gultom (1920-1973) beraliran folk Opera Batak. Tokoh-tokoh musisi era-sebelum 70-an telah memberi kontribusi penting dalam pembentukan musik pop Batak pada era selanjutnya. Kontribusi musisi-musisi tersebut sangat berpengaruh dalam pembentukan citra musik baru di kalangan orang Batak Toba. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan musik setelah era 70-an, melalui peran musisi yang menciptakan lagu-lagu baru. Lagu-lagu yang mereka ciptakan dalam berbagai macam tema seperti: percintaan, perjuangan, keindahan alam, keindahan danau Toba bermunculan. Dan tema-tema lagu menarik lainnya adalah mengenai kisah kehidupan orang Batak, yang masih berada dalam kesulitan ekonomi sehingga dibutuhkan suatu perjuangan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Sorotan khusus dalam penelitian ini adalah berhubungan dengan Lagu Populer Batak Toba yang bernuansa lagu sedih dan isi syair yang bernafaskan kemiskinan dan perjuangan untuk sekolah atau merantau. Dalam pengamatan peneliti, lagu-lagu populer bernuansa kesedihan dan perjuangan masih sangat banyak dijumpai di rumah-rumah orang Batak, baik di desa-desa maupun di kota-kota. Untuk itulah peneliti tertarik untuk mendalami lagu-lagu yang sangat popular dan masih disukai orang Batak pada zaman yang sudah berubah sekarang ini. Apakah pertanyaan ini masih relevan bila dihubungkan


(23)

dengan pertanyaan yang sering muncul di kalangan orang Batak yang mempertanyakan: Apakah kemiskinan di Tapanuli Utara masih sebagai kenyataan? Hal menarik lainnya bagi peneliti adalah, meskipun hasil penelitian mengenai kemiskinan di Tapanuli Utara dilakukan Toga Sihotang pada tahun 1996, namun masih relevan digunakan sekarang ini mengingat persoalan yang sama masih dialami banyak orang Batak Toba. Selain penelitian Toga Sihotang sumber data yang lain diambil dari teks-teks lagu yang menceritakan tentang kehidupan dan pergumulan orang Batak Toba. Dua sumber penelitian dan teks-teks lagu menjadi data yang penting digunakan mengingat sumber-sumber tersebut lahir pada era yang bersamaan. Relevansinya, lagu-lagu yang diangkat menjadi karya musik populer yang masih digemari oleh orang Batak Toba.

Bagi orang Batak berjuang tanpa lelah adalah tantangan dalam hidup dan menjadi cita-cita untuk mencapai kemajuan (hamajuon). Untuk perubahan, orang Batak menekankan pada suatu gerak langkah untuk maju mencapai hidup yang lebih baik, sejahtera dan terhormat. Itulah sebabnya orang Batak Toba mempunyai cita-cita dan tujuan hidup mulia yang selalu ditanamkan kepada keturunanya, yang terkenal dengan ‘ideologi’ atau semboyan 3H: Hamoraon (kekayaan, kesejahteraan), Hagabeon

(mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan), Hasangapon (kehormatan-kemuliaan). Ideologi (semboyan atau cita-cita) sudah tertanam di lubuk hati orang Batak. Sampai sekarang nilai dan cita-cita tersebut tidak pernah dilupakan, dilestarikan, dan senantiasa disampaikan dalam setiap kesempatan dalam acara-acara adat.

Berhubungan dengan kehidupan kultural dan spiritual ada dua hal yang sangat penting dipegang oleh orang Batak Toba yaitu ideologi dan agama. Hal ini terbukti


(24)

bahwa mayoritas orang Batak Toba beragama Kristen Protestan atau Katolik. Namun dalam penelitian ini, hubungan dengan keyakinan beragama tidak akan dibahas lebih jauh. Adapun kepentingan pembahasan masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, adalah untuk mendapatkan gambaran pengaruh Barat terhadap musik Batak Toba yang dibawa oleh para Missionaris. Kajian utama pada tesis ini adalaha mengenai peran lagu-lagu populer Batak Toba membentuk kehidupan orang Batak dalam memperjuangkan cita-cita mereka dalam meraih kehidupan yang lebih baik.

2. Rumusan Masalah

2. 1. Bagaimana Identitas Orang Batak Toba Terbentuk?

2. 2. Bagaimana Lagu Batak Toba Populer Bermuatan Ideologi ?

2. 3. Bagaimana Pendengar Mengkonstruksi dan Mengapresiasi Ideologi sebagai Modal Perjuangan?

3. Tema

Ideologi 3H dalam Lagu Batak Populer sebagai Modal Perjuangan Orang Batak Toba.

4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana orang Batak Toba sebagai satu identitas suku, berjuang dalam hidup, menggunakan ideologi sebagai acuan hidup dan lagu sebagai ekspresinya.

Pertama. Uuntuk mengetahui bagaimana suku Batak Toba sebagai identitas dari salah satu etnik Batak membangun identitas secara unik. Suku Batak Toba dipengaruhi


(25)

oleh latarbelakang tempat tinggal secara geografis bermukin di sekitar Danau Toba sampai ke pedalaman lereng Bukit Barisan. Untuk mengetahui bagaimana orang Batak Toba membiasakan diri mendengar lagu-lagu populer yang berisi ekspresi dan ungkapkan kisah hidup. Untuk mengetahui pentingnya bagi orang Batak Toba mendengarkan lagu sedih dan syair yang bertemakan perjuangan. Untuk mengetahui lagu-lagu Batak Toba yang berisi tentang cita-cita luhur disuarakan dalam lagu populer, sehingga lagu model tersebut sangat dicintai orang Batak Toba.

Kedua, untuk memahami bagaimana ideologi hagabeon, hamoraon, hasangapon, berfungsi dalam menggerakkan semangat orang Batak Toba dalam mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mengetahui bagaimana ideologi dan lagu difungsikan dalam kaitannya dengan semangat dan inspirasi dalam menjalani perjuangan. Untuk mengetahui lagu populer Batak Toba yang berisi tentang cita-cita luhur yang disuarakan melalui lagu populer, sehingga lagu model tersebut masih dicintai orang Batak Toba.

Ketiga. Untuk menemukan gagasan positif dari lagu Batak Toba yang bermuatan ideologi sebagai karya seni yang dijadikan pendengar sebagai bagian dari pengalaman hidup di arena perjuangan. Untuk mengetahui, orang Batak sebagai pendengar lagu-lagu populer mengapresiasi ideologi hagabeon, hamoraon, hasangapon, sebagai inspirasi untuk mewujudkan cita-cita perjuangan mereka.

5. Manfaat Penelitian

Suku Batak Toba yang tinggal di wilayah Sumatera Utara, di sekitar danau Toba yang penduduknya memperoleh penghasilan dari pertanian, perkebunan, peternakan, pernah dicatat sebagai daerah tertinggal di Indonesia menjadi kajian dalam penelitian ini.


(26)

Adapun manfaat yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini bagi kalangan akademisi adalah dapat meneliti lebih jauh peran budaya yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Budaya dalam wujud ideologi dijadikan sebagai modal dalam mengatasi persoalan dalam kehidupan. Kehidupan masyarakat Batak Toba yang menjunjung tinggi adat menjadikannya terikat dengan aturan-aturan adat dan sekaligus mengaturnya untuk hidup dalam perjuangan bersama sebagai keluarga.

Bagi pemerintah daerah sendiri, khususnya daerah Tapanuli Utara dengan adanya hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan program untuk memajukan potensi daerah. Pemerintah daerah akan terbantu untuk mengetahui keadaan dan kondisi daerahnya, mengenai persoalan yang dihadapi dan kemungkinan untuk penyelesaian masalahnya.

Bagi orang Batak penelitian ini menjadi penting sehubungan dengan perjuang mereka tanpa lelah untuk mengubah keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sejahtera, makmur, bahagia, dan terhormat, orang Batak Toba melandasinya dengan cita-cita dan tujuan hidup yang terkenal dengan ‘ideologi’ atau semboyan 3H. Peneliti sendiri yang berasal dari latar belakang etnik Batak merasa bahwa, penelitian ini penting untuk mengetahui seberapa jauh lagu dan syairnya berisi nilai dan cita-cita dapat mempengaruhi pola pikir orang Batak dalam menunjang anak-anak mereka untuk memperoleh kemajuan secara ilmu dan ekonomi.

Bagi masyarakat Batak Toba, dan masyarakat pada umumnya dapat memetakan kondisi sebuah masyarakat yang ada di wilayahnya, sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadian sebagai dasar untuk melakukan pengembangan pembangunan.


(27)

6. Studi Pustaka

Sampai sejauh ini, buku-buku yang dikumpulkan sebagai sumber tertulis untuk menunjang penulisan tesis ini sudah cukup mendukung. Meskipun buku-buku dan artikel yang saya kumpulkan tidak secara langsung membahas hal yang sama dengan apa yang ditulis dalam tesis ini. Di samping saya sudah mengumpulkan buku-buku, dan artikel– artikel, saya juga akan melakukan penelitian lapangan sebagai bagian dari sumber primer untuk penulisan tesisi ini. Di antara sekian banyak buku-buku dan artikel-artikel sebagai sumber tertulis, telah dipilih beberapa buku yang sesuai dengan topik-topik bahasan seperti: Terbentuknya lagu andung dan diadaptasi menjadi lagu populer; Pembentukan musik populer Batak dari musik tradisional dan musik populer Barat; Perjumpaan kekritenan dan agama suku dan budaya Batak; Pembahasan mengenai teori Bourdieu dan Ideologi Althusser; Batak sebagai identitas yang mempraktikkan adat dan tradisi; Kekerabatan dan perjuangan bersama sebagai orang Batak. Beberapa di antara buku-buku penting tersebut disarikan berikut ini.

1. Hodges (2009). Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak North Sumatra, Indonesia. Sebuah buku hasil penelitian Hodges di Sumatera Utara selama beberapa tahun untuk penulisan desertasi, bidang etnomusikologi.7 Dalam Buku ini dijelaskan bagaimana proses andung diganti menjadi nyanyian pujian. Andung

(ratapan) adalah model kata-kata atau ungkapan dan tangisan yang disampaikan seseorang (biasanya perempuan) pada waktu ada di antara keluarga meninggal dunia

7


(28)

(terlebih orangtua). Dalam andung terkandung ratapan, kisah dan nyanyian. Kebiasaan ini secara turun temurun masih dipraktikkan di kalangan orang Batak sampai sekarang. Setelah kekristenan masuk di Sumatera Utara, dan banyak orang Batak menjadi Kristen, andung masih tetap menjadi praktik yang belum bisa ditinggalkan. Ada hal yang menarik dalam perjumpan kekristenan dan budaya Batak. Dalam perjumpaan tersebut terjadi kontradiksi ajaran kristiani dengan nilai-nilai yang dipegang oleh orang Batak sebelum kekristenan. Misalnya kepercayaan orang Batak ke pada yang ilahi, yaitu percaya kepada Mulajadi Nabolon.8

Bagi orang Batak, kematian adalah suatu peristiwa kesedihan yang sangat mendalam, karena terjadi perpisahan keluarga secara fisik. Memisahkan yang hidup dan yang mati, karena perpisahan itu menyebabkan anggota keluarga orang Batak biasanya meratap (mangandung). Hodges juga menemukan sesuatu yang menarik dalam penelitiannya bahwa ternyata orang Batak tidak bisa secara total meninggalkan kebiasaan pada praktik ritual tertentu, meskipun itu dianggap secara kristiani kurang sesuai, seperti contoh mangandung pada waktu kematian. Cara mengatasinya bukan dilarang, tetap justru diberi cara lain sebagai jalan tengah, dengan menggantikan nyanyian-nyanyian rohani gereja (dari Buku Ende9) menjadi bahan untuk ratapan rohani. Bila ada (seseorang) yang masih meratap sesuai dengan kebiasaan lama, akan dibiarkan dan keluarga yang lain dan pelayat yang datang akan mulai menyanyikan lagu-lagu gereja. Segi lain yang penting dari tulisan Hodges ini adalah pembahasan tentang, nilai budaya

(cultural values) hamoraon, hagabeon, hasangaponyang peneliti sebut sebagai ‘ideologi

8Nama ‘dewata’ dalam agama asli Batak.

9


(29)

3 H’.10 Dasar pemikiran yang ada pada tulisan Hodges ini yang peneliti gunakan untuk mengkaji terjadinya pengaruh andung dalam ekspresi lagu popular yang bertemakan kesedihan, perjuangan dan merantau. Dan bagaimana ideologi 3 H berfungsi dalam masyarakat Batak secara tradisional dan modern.

2. Hodges (2006). Referencing, Reframing, And (Re)presenting Grief Through Pop Laments In Toba Batak (North Sumatera, Indonesia mengulas tentang pembentukan

andung yang secara tradisional dinyanyikan oleh wanita, dan setelah terjadi perjumpaan barat dan kekristenan andung kemudian menemukan bentuk baru yang terwujud dalam model lagu populer Batak Toba, yang dinyanyikan oleh pria. Dengan masuknya pengaruh Barat dan kekristenan kemudian lahirlah model andung dalam lagu Batak populer

(andung pop) yang dipengaruhi oleh penggunaan instrumen dan unsur musik Barat. Seperti model andung yang baru: yaitu: Andung Anak Sasada (ratapan anak tunggal) yang dinyanyikan oleh artis Pop Batak Edy Silitonga pada acara penggalangan dana untuk pembanguna gereja di Bandung 1989 yang disaksikan Hodges.11

Perkembangan lagu pop daerah pada 1970-an, diikuti perkembangan musik Pop Batak yang sebelumnya diawali dengan musik drama teater rakyat, disebut‘Opera Batak’ kemudian diikuti dengan perkembangan musik Pop Batak. Peneliti memanfaatkan informasi ini sebagai pendukung untuk menerangkan penggunaan lagu yang sedih untuk

10

Hodges: William Robert Jr. 2009, Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak North Sumatra, Indonesia:University of California, Santa Barbara. p. 97-100.

11


(30)

mengekspresikan keadaan yang serba kekurangan dari segi ekonomi, namn tetap berjuang untuk mencapai kemajuan(hamajuon).

3. Wallach (2008). Modern Noise, Fluid Genres, Popular Music in Indonesia.

Sebuah penelitian etnografi yang dilakukan oleh Jeremy Wallach di beberapa kota di Indonesia, bertepatan pada saat gejolak politik dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia (1997-2001) telah menghasilkan sebuah buku yang membahas tentang Musik Populer Indonesia. Dalam penelitiannya ditemukan bagaimana proses musik pop Indonesia terbentuk pada zaman Orde Baru, apa hambatan yang dihadapi dan bagaimanan musik pop tersebut bertahan. Dan selanjutnya pada zaman sesudah Orde Baru bagaimanan musik pop Indonesia dikembangkan. Dari pembahasan dalam buku ini juga ditemukan bagaimana musik pop Indonesia yang disukai kalangan kelas atas anak muda, sedangkan musik lain seperti dangdut disukai oleh kelas menengah-bawah. Juga dalam buku ini dibahas mengenai adanya kategori musik lain yang berkembang di antara musik tradisional (local music), musik daerah (regional music), dan musik pop dunia (global music). Sejalan dengan pembahasan mengenai Musik Pop Indonesia dalam buku ini juga dibahas mengenai Musik Dangdut, Musik Daerah, Musik Underground, musik Hybrida, dan musik Etnik. Berdasarkan pembahasan musik dalam buku Wallach ini, saya gunakan buku untuk membantu menjelaskan mengenai istilah musik populer Batak yang perkembangannya sejalan dengan pembahasan yang sedang saya teliti.

4. Wall (2003). Studying Popular Music Culture. Dalam buku ini diilustrasikan bahwa musik populer dikatakan sebagai soundtrack dalam kehidupan kita, sebab kita


(31)

sangat mudah menemukannya lewat radio, CD, televisi, di toko penyalur rekaman musik. Sepertisoundtrackpada film, musik tersebut memunculkanmooddan perasaan kita. Kita mendengarkannya karena musik sebagai sumber kesenangan, kegembiraan, dan semangat. Hubungan antara musik, industri musik dan pendengar musik adalah hubungan yang menghasilkan budaya musik populer. Dalam buku ini juga dijelaskan apa yang dimaksud dengan budaya musik populer. Istilah ‘populer’ itu sendiri dalam buku ini dijelaskan berhubungan dengan 3 hal: sesuatu yang populer berarti disukai secara meluas; dihubungkan dengan nilai budaya rendah dan berhubungan dengan pendidikan rendah; dan sesuatu yang populer adalah milik dari orang biasa. Namun konsep populer tersebut dimaknai berbeda oleh orang dengan latarbelakang yang berbeda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula. Pengertian musik populer dengan sederhana dapat dihubungkan dengan musik yang direkam dan dijual secara besar-besaran dan memilik artis yang mempunyai pencita yang besar jumlahnya. Pengertian lain pada musik populer adalah musik yang sederhana dan dapat dinikmati oleh orang yang meskipun hanya mempunyai pengetahuan musik yang sangat terbatas. Proses musik populer terjadi dalam institusi-institusi budaya kita, di tempat-tempat kita mendengarkannya, menonton, membeli dan menari dengan musik, di perusahaan rekaman, di organisasi media yang memproduksi dan sekaligus mendistribusikannya. Institusi adalah sebagai organisasi yang mendirikan lembaga-lembaga seperti Sony Music atau Radio. Institusi-institusi budaya musik populer, pada level tertentu berpusat pada produksi dan distribusi dari rekaman musik populer. Perusahaan rekaman menciptakan, memproduksi musik populer sedangkan stasiun radio menggunakannya sebagai basis dari programa mereka. Isi dalam buku ini secara umum disarikan dalam empat bagian penting: Bagian pertama,


(32)

menyentuh latar belakang sejarah. Bagian kedua, membahas perusahaan dan institusi yang memproduksi musik. Bagian ketiga, bicara mengenai analisis lagu-lagu dan bagaimana karya tersebut dimengerti dan dimaknai. Bagian keempat, mengamati budaya musik populer dari pandangan audiennya dan bagaimanan musik tersebut difungsikan. Buku ini akan membantu dalam analisis perilaku audien sebagai penikmat musik. Seperti yang digambarkan oleh Hebdige dalam bahasannya dalam Subculture bagaimana ia menggarisbawahi tiga karakteristik dari konsumsi musik, yaitu: rasa dan pemilihan musik diperoleh secara kultural; makna yang ada dalam musik diproduksi dengan cara tertentu sesuai dengan kebutuhan kita; kebermaknaan dari suatu tindakan konsumsi dihubungkan dengan tindakan konsumsi lain untuk membentuk gaya yang utuh. Buku ini sangat bermanfaat dalam membahas mengenai budaya musik populer Batak, karena akan dibahas mengenai perilaku pencinta musik dan bagaimana musik tersebut dikembangkan dan dinikmati oleh audiennya.

5. Cohen (2006). Folk Music: Dalam buku ini dijelaskan bagaimana sejarah Musik Folk pada abad 19 dan 20 di Britania Raya dan Amerika Serikat berkembang. Biasanya musik Folk selalu ada pada wilayah terbatas, karena keterbatasan penyebarannya. Baru pada abad 20 terjadi perubahan yang cukup signifikan sejalan dengan kemajuan teknologi radio dan produksi studio rekaman, sehingga musik folk semakin mudah menyebar. Dalam buku ini juga diberi penjelasan mengenai ciri musik folk yang mencakup beberapa aspek seperti: keasliannya berlokasi pada tempat dan budaya atau daerah tertentu; penulisnya biasanya tidak dikenal; biasanya dimainkan oleh musisi non-profesional dengan alat musik sederhana; komposisinya biasanya sederhana; lagu-lagunya disebarkan melalui tradisi lisan. Dan tipe musik folk ini tidak punya alur


(33)

cerita, namun lirik-liriknya selalu menarik dan sederhana. Syair yang digunakan biasanya bersajak, isi lagunya berhubungan dengan pengalaman dalam pekerjaan, hubungan personal, mengenai kematian atau kehidupan, patriotisme, permainan anak, konteks religius dan sekuler. Alat musik pengiring pada musik folk pada latarbelakang musik di Britania Raya dan Amerika serikat menggunakan gitar akustik dan banjo. Kemudian berkembang dengan menambahkan alat musik lain seperti: biola, harmonika, mandolin, gitar elektrik, alat musik tiup ditambah dengan alat musik perkusi. Buku ini digunakan dalam menjelaskan bagaimanan kedudukan musik folkBatak di antara musik pop Batak. Meskipun dalam penelitian yang akan dilakukan musik folkBatak bukanlah tujuan utama tapi perlu menempatkan musik folk Batak di antara musik pop Batak yang akan diteliti.

6. Schreiner (2003). Adat dan Injil, Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen Di Tanah Batak. Buku ini mebahas mengenai perjumpaan agama Kristen dengan kebudayaan suku bangsa purba. Lalu bagaimanan perjumpaan itu dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif tapi berjalan beriringan. Artinya bagaimana orang Batak masih tetap melangsungkan upacara adat di tengah keberlangsungan ajaran agama. Disebutkan pula bahwa faktor penggerak batiniah dalam sejarah suku-suku bangsa purba yang sudah dikristenkan adalah kekristenan itu sendiri. Pengkristenan di tanah Batak membawa perubahan yang sangat besar bagi masyarakat yang terisolasi. Dan dengan tidak mengabaikan budaya, maka utusan Zending justru menyelamatkan budaya suku bangsa purba itu, dengan cara mempertahankan adat sepanjang tidak bertentangan dengan Injil. (Schreiner: pp.3, 4). Peneliti menggunakan sumber ini sebagai titik pangkal pada perubahan pemikiran baru yang terjadi di kalangan orang Batak. Hal yang sama juga terjadi pada perubahan konsep pada lagu yang kemudian


(34)

menjadi lagu pop Batak. Dimulai dari mendengarkan musik barat menyanyi di gereja dengan satu suara, atau menyanyi dalam empat suara dalam koor.

7. Jenkins (1992).Membaca Pikiran Pierre Bourdieu.Pada bagian awal buku ini dibicarakan pandangan Bourdieu sebagai antropolog dan etnografer mengenai pentingnya strukturalisme dalam mengembangkan kebudayaan dengan contoh kasus kehidupan masyarakat Kabyle di Aljazair. Pada bagian berikut buku ini ada beberapa bagian yang akan digunakan sebagai acuan tentang pandangan Bourdieu mengenai: habitus, arena, modal, dan kekerasan simbolik. Topik-topik yang disebutkan ini dijadikan sebagai bagian penting dari pemikiran Bourdieu yang akan digunakan sebagai dasar teori untuk menilik data yang terkumpul untuk menjawab apa yang dipertanyakan pada rumusan masalah pada tesis ini.

8. Bruner (1973). The Missing Tins of Chicken: A Symbolic Interactionist Approach to Culture. Dalam penelitiannya di kalangan orang Batak, Bruner mengindikasikan bagaimana perubahan terjadi di masyarakat Batak. Dari kehidupan tradisional di kampung berjumpa dengan modernitas di kota. Namun dalam praktik tradisi dan adat tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam pelaksanaannya baik di kampung maupun di kota. Namun yang berubah adalah hal-hal yang berhubungan dengan non-adat, yang tidak bersentuhan langsung dengan adat, seperti pandangan tentang pendidikan, ekonomi dan teknologi. Buku ini saya gunakan dalam melihat dasar perubahan polapikir orang Batak dari luar adat. Bagaimana perubahan terjadi ketika orang-orang desa bermigrasi ke kota. Ini yang kemudian berdampak pada polapikir


(35)

orang Batak untuk berubah, karena di kota terjadi interaksi budaya, lewat bahasa dan bentuk kultur lainnya.

9. Sihotang (1996). Analisa Penyebab Masalah Kemiskinan Di Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian ini memberi gambaran dasar mengenai kondisi masyarakat yang ada di Tapanuli Utara sehingga dapat disimpulkan bahwa Tapanuli Utara menjadi salah satu daerah miskin di Indonesia. Hasil penelitian Sihotang ini sangat berguna sebagai data penunjang dan sebagai bukti otentik bahwa Tapanuli Utara adalah wilayah tertinggal dan disebut sebagai daerah miskin.

10. Silaban (2008). Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon. Artikel ini sangat penting dalam membuat rumusan dan pengertian ideologi orang Batak, dan mengenai cita-cita apa yang diperjuangkan oleh orangtua Batak pada umumnya dan secara khusus terhadap keturunannya. Ideologi 3H ini merupakan cita-cita yang dipegang erat oleh orang Batak. Baik yang masih tinggal di huta (kampung halaman) maupun yang sudah merantau keluar dari kampung halamannya.

11. Andaya (2002). The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the 'Batak'.Buku ini membahas mengenai latarbelakang sejarah asal usul orang Toba. Untuk kepentingan tesis penting dilihat latarbelakang pergerakan dan perpindahan orang Batak dari satu daerah ke daerah yang lain melalui jalur bisnis dan perdagangan. Latarbelakang ini memberi manfaat untuk mengetahui bagaimana orang Batak berjuang mengubah keadaan ekonomi, untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak.

12. Sitanggang (2011). Analisis Kontrastif Istilah Kekerabatan, Dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Batak (Contrastive Analysis of Kinship Terms in Indonesian and


(36)

Batak Toba Language.)Dari buku ini diperoleh gambaran bagaimana sistem kekerabatan yang ada pada orang Batak Toba diatur. Bagi orang Batak kekerabatan adalah suatu ikatan kekeluargaan yang dapat berfungsi dalam setiap kesempatan di mana pun mereka berada. Sistem kekerabatan ini sering dimanfaatkan sebagai jalan bagi seseorang dalam mewujudkan perjuangannya. Bagi orang Batak kekerabatan adalah pertalian keluarga (marga) sebagai satu prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam praktiknya ke mana pun orang Batak pergi biasanya akan mencari orang Batak, apalagi masih ada pertalian hubungan keluarga seperti satu marga. Sampai saat ini, di mana pun orang Batak berada umumnya akan mencari dan bergabung dengan perkumpulan (punguan) marga. Perkumpulan keluarga semacam ini masih sangat kuat dipertahankan baik di daerah maupun kota, terlebih di luar kampung halaman(bona pasogit).

13. Irmawati (2007).Keberhasilan Suku Batak Toba, Tinjauan Psikologis Ulayat.

Artikel ini adalah hasil penelitian mengenai orang Batak Toba yang memuat cara mengupayakan kemajuan (hamajuon) sebagai salah satu prinsip mendasar bagi orang Batak Toba. Irawati melihat faktor yang tidak dapat diabaikan adalah sistem nilai yang ada pada ideologi Batak, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Menurut Irawati nilai bagi orang Batak adalah tujuan dan pedoman hidup ideal orang Batak, (Irawati: 3). Hasil penelitian ini relevan sebagai bahan yang digunakan sehubungan dengan pembahasan ideologi dan perjuangan orang Batak Toba.

14. Vergouwen (1986). Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Buku ini mengulas tentang seluk beluk hukum adat Batak Toba. Dimulai dari mitos asal usul, sistem kekerabatan dan struktur silsilah dan marga orang batak Toba. Juga dibahas


(37)

tentang konsep religius yang sudah dikenal oleh orang Batak, sejak awal kehidupan mereka. Uraian utama dalam buku ini adalah mengenai sistem hukum adat yang diuraikan secara lengkap. Misalnya hukum perkawinan, hukum warisan, hak kepemilikan tanah, hukum dalam pelanggaran, dan cara penyelesaiannya. Buku ini digunakan sebagai sumber dari asal usul orang Batak, dan sistem adat dan hukum yang berlaku untuk mengetahui bagaimana perubahan terjadi di kalangan orang Batak Toba dari segi adat, religi, yang dipengaruhi pihak luar, oleh modernisasi (westernisasi) dan agama yang baru masuk ke wilayah yang ditempati orang Batak di kawasan Sumatera Utara.

7. Kerangka Teori

Untuk membantu mengurai permasalahan yang dikemukakan dalam tesis ini diperlukan suatu teori sebagai dasarnya, untuk itu kerangka teori yang akan saya gunakan adalah teori Pierre Bourdieu (1930-2002) yang berhubungan dengan: habitus, arena, modal simbolik, dan kekerasan simbolik. Teori ini tepat untuk mengkaji ideologi 3 H dalam lagu Batak populer sebagai modal perjuangan orang Batak Toba. Dalam hubungan ini, arena perjuangan orang Batak melingkupi seluruh kehidupannya, yang ditantang untuk siap menghadapi segala kemungkinan di arena pertarungan yang ada di depan mata. Habitus yang seperti apa yang dimiliki oleh orang Batak dalam kehidupan sehingga mereka mempunyai prinsip bahwa perjuangan adalah sebagai satu cara untuk mencapai keberhasilan. Orang Batak berada pada arena yang mana dalam perjuangan, dan apa modal yang diandalkan sehingga pencapaian tujuan berjuang itu dapat terwujud. Konsep modal simbolik Bourdieu tetap relevan dalam melihat perjuangan yang


(38)

sedang dipertaruhkan orang Batak, supaya modal simbolik yang diperoleh tidak terjebak dan terjerumus ke dalam jurang kekerasan simbolik.

7. 1. Habitus

Habitus secara harafiah diambil dari bahasa Latin yang mempunyai arti kebiasaan (habitual). “Pengertian habitus berhubungan dengan kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh”.12 Kutipan ini ingin menjelaskan pandangan Bourdieu yang merumuskan habitus sebagai appearance atau dapat juga merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi yang digambarkan berikut ini bahwa habitus adalah:

…… “suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk memengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu, sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan

untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif ‘mengatur’ dan ‘teratur’ tanpa harus

menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-pen.) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi dari pengorganisasian tindakan oleh sang

konduktor”.13

Habitus adalah sistem disposisi yang disusun oleh agen. Sistem yang tahan lama dan, disposisi yang dapat berubah-ubah, yang dapat kita peroleh seperti nilai dan cara bertindak di dunia sosial.14Pada tingkat pertama habitus dapat kita temukan melalui

12

Jenkins, Richard. 2010.Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Bantu: Kreasi Wacana. p.107.

13

Mutahir, Arizal. 2011.Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana, p. 61. 14


(39)

pengaruh yang terjadi dalam keluarga, sedangkan pada tingkatan selanjutnya habitus dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. Dalam pemahamannya mengenai habitus Bourdieu melihat adanya beberapa aspek yang terkait. Habitus adalah pengetahuan yang dipakai oleh agen untuk mengerti dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Habitus yang dimiliki oleh agen yang didalamnya berhubungan dengan nilai dan cara bertindak dipengaruhi oleh latarbelakang kulturalnya. Habitus dibentuk oleh agen dalam praktik ketika menemui masalah dalam kehidupan. Habitus bekerja di bawah ketidaksadaran agen karena habitus menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh agen bahkan dalam gerak-gerik tubuh agen.15

7. 2. Arena (field)

Arena dalam pandangan Bourdieu merupakan suatu sistem dan relasi, arena tidak bisa dipisahkan dari ruang sosial, karena ruang sosial merupakan arena integral. Arena juga dikatakan Bourdieu sebagai arena kekuatan. Karena di dalamnya terdapat usaha perjuangan perebutan sumber daya (kapital) dan upaya memperebutkan kekuasaan. Perebutan tersebut berfungsi untuk menetapkan kedudukan dalam arena, karena kedudukan agen dalam arena sangat tergantung pada berapa banyak kapital yang dimilik oleh agen.

“……… suatu jaringan atau suatu konfigurasi hubungan-hubungan objektif antar berbagai posisi. Posisi secara objektif didefinisikan dalam keberadaannya dan dalam determinasi-determinasi yang dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, yang agen atau lembaga oleh situasi aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur pembagian kekuasaan (atau modal) itu membuka akses ke dalam suatu keuntungan

15


(40)

yang jadi taruhan di dalam arena. Dia pun juga didefinisikan oleh relasi objektifnya dengan posisi-posisi lain (dominasi, subordinasi, homologi dan lain sebagainya”.16

Karena itu bagi Bourdieu arena adalah arena perjuangan(“the field is also field of struggles…”).17Agen pada tatanan tertentu dapat mempertahankan kekuatannya atau bahkan dapat mengubahnya di dalam arena. Dua kata penting yaitu strategi dan pertarungan bagi Bourdieu harus dibedakan. Strategi dipakai individu untuk mengakumulasi modal simbolik untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, dan status. Mereka yang berada pada posisi dominan justru cenderung mempertahankan posisinya sedangkan mereka yang berada pada posisi terdominasi mencari strategi untuk memperbaiki kedudukannya. Sedangkan pertarungan berlangsung antara kolektivitas, sebagai dukungan heterodoksi melawan ortodoksi,18 yang akan membawa kepada perubahan sosial kultural. Dalam konsep kekuasaan simbolik seseorang dapat melakukan dominasi terhadap orang lain tanpa memperlihatkan simbol kekuasaannya. Dalam hal ini Bourdieu menyebutnya sebagai doxa, karena“doxa adalah sudut pandang penguasa atau dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang universal”.19

16

Ibid. p. 66

17

Bourdieu and Löic J.D Wacquant, 1996,An Innovation to Reflexive Sociology, Cambridge, UK: Polity Press. p. 101.

18

Bourdieu, Pierre. 1995.Outline of a Theory of Practice, translated by Richard Nice, Cambridge Printed in Great Britain at the University Press. p. 68-69.

19

Haryatmoko. 2010.Dominasi Penuh Muslihat, Akar kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta. Gramedia. p. 131.


(41)

Dapat dilihat pada diagram berikut ini.

Diagram20

Pada diagram di atas dapat kita perhatikan bagaimana representasi aktor dapat membuat negosiasi pada arena yang sudah ada. Para aktor memulai di dalam arena dari posisi yang berbeda didasarkan atas kesamaan habitus mereka cocok pada arena, dan seberapa banyak kapital yang mereka miliki (ekonomi, sosial, kultur, dan simbolik). Aktor selalu membuat strategi untuk menegosiasi posisi mereka di dalam arena. Pada diagram, ada dua kategori: heterodoxy pada sisi kiri dan orthodoxy pada sisi kanan. Istilah ini menunjukkan bahwa orthodoxy diadopsi oleh aktor yang memilih untuk mengikuti doxa. Pada sisi spektrum lain, minoritas aktor mungkin memilih untuk menyusun disekitar doxa, dan mereka akan termasuk dalamheterodoxy.

20

Bourdieu, Pierre. 1995.Outline of a Theory of Practice, translated by Richard Nice, Cambridge Printed in Great Britain at the University Press. p.168.


(42)

7. 3. Modal (capital) Simbolik

Konsep ‘modal’ meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu, Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap modal sebagai berikut:

“…capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only produces its effects in the field in which it is produced and reproduced, each of the properties attached to class is given its value and efficacy by the specific laws of each field”.21

Modal (capital) adalah suatu energi sosial yang terjadi hanya ada dalam arena perjuangan yang terus menerus sampai mendapatkan hasil. Modal mempunya sifat yang dapat diakumulasi melalui investasi, diperoleh sebagai warisan, dan modal dapat memberi keuntungna pada pemiliknya. Modal-modal ini dikatakan Bourdieu sebagai sesuatu yang harus dipertaruhkan dalam arena. Adapun modal22 yang menurut Bourdieu yang harus dipertaruhkan dalam arena adalah: modal ekonomi (alat-alat produksi-mesin, tanah, tenaga kerja), materi (pendapatan dan benda-benda); modal sosial (jaringan, hubungan yang mereproduksi kedudukan sosial); modal kultural (kualifikasi intelektual seperti ijazah, pengetahuan, nilai budaya, tatakrama) dan, warisan keluarga;

21

Dikutip oleh Fauzi Fashri dari Pierre Bourdieu, Distinction, (London: Routledge, 1984), Lihat Fauzi Fashri. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu.Yogyakarta: Juxtapose,. p. 97.

22


(43)

dan modal simbolik yang diperoleh secara fisik maupun ekonomi (rumah mewah, kantor di kawasan elit, dan mobil mewah).23

Bagi Bourdieu, setiap individu memiliki posisi dalam ruang sosial yang multi dimensional, ia tidak dikategorikan oleh keanggotaan dalam kelas sosial, tetapi dengan setiap jenis modal yang dia peroleh melalui hubungan sosial. Ia mendefinisikan modal sosial sebagai kumpulan dari sumber daya potensial dan atau aktual yang dikaitkan dengan kepemilikan suatu jaringan kerja pada waktu tertentu dari hubungan pokok terlembaga dari saling kenal dan saling mengakui. Keanggotaan dalam kelompok memberi kemudahan bagi anggotanya dengan memberi dukungan dari modal yang dimiliki secara kolektif. Modal sosial dibuat dari kewajiban sosial atau koneksi dan dapat dipertukarkan(convertible),pada kondisi tertentu, menjadi modal ekonomi.

Bourdieu menyatakan bahwa muatan modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung dari ukuran jaringan koneksi-koneksi yang dapat dia mobilisasi dan muatan modal ekonomi, kultural, dan simbolik yang dimiliki oleh orang yang menjadi koneksinya. Maka dengan demikian, modal sosial menurut Bourdieu disusun ulang menjadi dua unsur: pertama, hubungan sosial, yang memungkinkan individu untuk mengklaim sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki secara kolektif, dan, kedua, kuantitas dan kualitas dari sumberdaya-sumberdaya tersebut. Bourdieu memandang modal sosial sebagai investasi dari kelas dominan untuk menjaga dan mereproduksi solidaritas kelompok dan memelihara posisi dominan kelompok.

23


(44)

Modal kultural dapat eksis pada tiga keadaan: terkandung (pembawaan dari pikiran dan badan), terungkap secara objektif (benda-benda kultural), dan terlembaga (kualifikasi pendidikan). Beberapa modal kultural dinilai lebih tinggi daripada yang lainnya, dan setiap orang membawa kerangka disposisi yang berbeda-beda (habitus) ke lapangan (field) interaksi. Ruang sosial adalah lapangan bagi kekuatan dan usaha antara agen–agen yang memiliki cara dan tujuan yang berbeda. Lapangan ini dicirikan oleh ‘aturan permainan’, yang eksplisit maupun yang teratur secara sistemik. Karena lapangan ini dinamis, nilai–nilai yang membentuk modal kultural dan modal sosial juga dinamis dan arbitrer (dapat dipertukarkan).24

7. 4. Kekerasan Simbolik

Modal simbolik dimiliki agen ketika ia memiliki prestise, kehormatan, dan atensi. Modal simbolik ini bisa menjadi krusial dan berubah menjadi kekerasan simbolik ketika agen menggunakan kekuasaannya terhadap agen yang lebih lemah. Kekerasan simbolik dapat terjadi ketika ada dominasi dalam komunikasi yang tersembunyi. Penyampaian lemah lembut diterima tanpa sadar, tidak tampak namun ada maksud yang tidak disangka oleh si terdominasi.25 Kekerasan simbolik ini sering terjadi tanpa disadari oleh pihak yang terdominasi. Hal yang sama bisa terjadi kepada siapa saja, contohnya

24

Dika, Sandra L. and Kusum Singh. 2002. “Applications of social capital in educational literature: a critical synthesis. Journal of Educational Research”. London: SAGE Publication.

25

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta, Gramedia. p. 127-128.


(45)

dominasi orangtua terhadap anak-anaknya yang menunjukkan bagaimanan kekuasaan yang dimiliki oleh orangtua sehingga anak-anak hanya dapat tunduk dan menerima saja apa yang menjadi tuntutan orangtuanya.

7. 5. Ideologi

AdapunHagabeon, hamoraon, hasangapon (3H) akan dilihat sebagai ideologi pragmatis yang dibedakan dari ideologi doktriner. Karena di dalam ideologi doktriner terkandung ajaran-ajaran yang dirumuskan secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah seperti pada ideologi komunisme.26 Sedangkan pendekatan yang akan digunakan adalah ideologi yang pragmatis, yaitu mengenai ajaran-ajaran yang terkandung di dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya prinsip-prinsipnya saja dan disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik.

Ideologi 3H yang berwujud dalam nilai dan cita-cita bagi orang Batak Toba, diyakini berisi kebenaran dan dipraktikkan dalam kehidupan ritual budaya dalam upacara adat. Itu adalah sebuah kekuatan yang dapat digunakan untuk menggerakkan agen untuk mewujudkan cita-citanya dalam meraih kemajuan.

26


(46)

8. Metode Penelitian

Sumber data primer akan diperoleh dari syair lagu-lagu Batak yang tersedia dan dari tanggapan responden pada wawancara dan diskusi, sedangkan data sekunder akan diperoleh dari dokumen, karya tulis, dan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya.

Pengumpulan data lagu-lagu dan syair-syair diseleksi dari kumpulan lagu yang sudah terdokumentasi dalam rekaman elektronik dan melalui data non-elektronik. Data lagu dan syair yang dikumpulkan adalah yang berhubungan dengan perjuangan yang dilakukan orang Batak Toba, yang bertema ideologis, kemiskinan, perjuangan untuk anak, dan kehidupan di perantauan. Jenis musik yang menjadi data penelitian adalah musik Batak yang sudah dikategorikan sebagai genre musik populer, dan bukan musik tradisional Batak.

Untuk mengetahui respon terhadap permasalahan yang sedang dikaji dalam penelitian ini maka telah dilakukan wawancara terhadap beberapa responden dengan cara mendatangi tempat tinggal subjek penelitian. Model wawancara yang diterapkan adalah wawancara dengan pertanyaan terstruktur.27 Dengan pengertian bahwa peneliti telah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan pada bagian rumusan masalah dalam penelitian ini.

Selain wawancara perorangan terhadap responden juga dilakukan wawancara kelompok dengan model wawancara FGD(Focus Group Discussions). Wawancara FGD

27


(47)

dilakukan untuk memperdalam materi jawaban atas pertanyaan yang sudah ditanyakan secara mandiri.

“A focus group discussion is defined as a group of people brought together to participate in the discussion of an area of interest. The focus group discussion aims to provide an environment in which all members of the group can discuss the area of investigation with each other. A successful focus group discussion has the group members involved as participants in discussing the area of interest. They may argue with each other, try to persuade each other of their point of view, agree or disagree, ask each other questions and generally discuss the topic in an open and usually friendly manner. This results in a broad breadth of discussion as well as discussion in depth”.28

Dalam wawancara FGD pertanyaan terstruktur sama dengan wawancara perorangan, dimulai dengan melakukan pertanyaan kepada perorangan (dalam grup) secara bergiliran, baru setelah itu dilakukan diskusi untuk memperdalam jawaban dalam diskusi kelompok yang sama.

Model wawancara FGD ini digunakan untuk kepentingan pendalaman materi pokok tentang pengalaman responden mengenai pengetahuan mereka terhadap usaha mengatasi permasalahan ekonomi yang dialami di kampung halaman, yang dihubungkan dengan semangat ideologi yang termuat dalam syair-syair lagu Batak populer sebagai modal perjuangan orang Batak, dan dihubungkan dengan pengalaman kelompok diskusi dalam mengapresiasi lagu populer tersebut sebagai media ekspresi.

Adapun yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian adalah orangtua yang lahir dan berasal dari tanah Batak (Sumatera Utara), dan berdomisili di DIY dan Jawa Tengah.

28

Boddy, Clive.A rose by any other name maysmell as sweet but “group discussion” is not another name for a “focus group” nor should it be. London, UK Middlesex University Business School. Qualitative Market Research: An International JournalVol. 8 No. 3, 2005 pp. 248-255qEmerald Group Publishing. p. 248.


(48)

Para responden diseleksi berdasarkan kriteria: berasal dari Sumatera Utara; lahir dan dibesarkan di Kabutapen Tapanuli Utara; dan dari Kabupaten yang sudah dimekarkan dari Tapanuli Utara menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan. Responden yang mempunyai latarbelakang dengan tingkat pendidikan yang beragam; dan pekerjaan yang bermacam-macam. Responden yang diutamakan adalah orangtua yang sudah atau sedang menyekolahkan anak-anak mereka; masih fasih berbahasa Batak Toba; penyuka musik Batak dan sedikit banyak mengenal adat Batak Toba.

Pengkategorian ini disengaja mengingat kepentingan pada fokus penelitian adalah orang Batak yang pernah merasakan hidup di kampung halaman dan mengetahui kondisi daerah mereka secara baik, masih lancar berbahasa Batak dan sedikit banyak mengerti tentang adat Batak. Kategori orangtua penting bagi peneliti untuk memberi fokus pada subjek penelit ian karena kata‘orangtua’di sini untuk memenuhi kategori bahwa mereka (orangtua) sudah mempunyai anak (anak-anak) yang sedang atau sudah pernah menyekolahkan anak-anak mereka. Penentuan subjek penelitian berhubungan dengan tempat tinggal subjek penelitian menjadi pertimbangan, untuk membatasi wilayah penelitian sehingga tidak terlalu luas dan mudah dijangkau secara geografis. Mengarahkan penelitan ke kelompok orangtua juga menjadi pertimbangan penting lainnya, karena mereka adalah kelompok yang sudah mengalami, merasakan hal-hal yang menjadi pokok persoalan yang akan diteliti. Orangtua yang difokuskan untuk diteliti adalah orang Batak yang berasal dari Tapanuli Utara sudah merantau lebih dari 10 tahun dan sekarang berdomisili di kota Yogyakarta dan Wonosobo.


(49)

Untuk memenuhi jawaban pada rumusan masalah, maka peneliti melakukan wawancara perorangan terhadap 10 orang responden mandiri (nomor 1-10 dalam tabel) dan 6 orang narasumber dalam kelompok FGD (nomor 11-16 dalam tabel).29

Tujuan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah untuk menggali apa yang mereka alami, ketahui dan lakukan sesuai dengan keadaan yang mereka miliki sejak mereka masih di kampung halaman sampai sekarang mereka hidup dan tinggal di perantauan (umumnya di Jawa). Untuk melakukan pendalaman terhadap pertanyaan-pertanyan yang sama pada perorangan maka peneliti juga melakukan wawancara kepada responden dengan model diskusi FGD(Focus Group Discussion), dengan maksud supaya peneliti sendiri mendapat jawaban pembanding yang lebih mendalam atas materi pertanyaan yang sama yang diajukan kepada responden perorangan.

Untuk tidak menghalangi responden dalam mengekpresikan responnya dari segi bahasa, maka pada saat wawancara peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk menyampaikan tanggapan mereka dalam bahasa Batak atau bahasa Indonesia. Beberapa di antara mereka lebih memilih memberi jawaban dan keterangan dalam bahasa Batak, meskipun tidak jarang memberi jawaban dan keterangan dengan mencampurkan dua bahasa tersebut. Demi menjalin hubungan baik dengan responden, pelaksanaan wawancara dilakukan oleh peneliti dengan cara mendatangi rumah-rumah tinggal mereka di Yogyakarta dan Wonosobo. Selama wawancara berlangsung tidak terjadi kesenjangan antara peneliti dan responden, karena beberapa di antara mereka sudah dikenal sebelumnya. Sepanjang wawancara berlangsung responden dapat dengan bebas

29


(50)

mengungkapkan pandangannya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Selama wawancara, peneliti berusaha menghindari terlalu banyak mencatat, yang bisa mengakibatkan perhatian pada responden menjadi berkurang. Untuk itu peneliti telah menyiapkan alat perekam suara untuk merekam pembicaraan setelah mendapat persetujuan responden. Hasil rekaman tersebut sangat menolong peneliti dalam membuat transkrip dan dapat mengutip kata-kata responden sebagaimana adannya. Dari hasil perekaman, peneliti memperoleh kata-kata yang akurat dari responden, dan dapat mencatat secara detail apa yang disampaikan responden selama wawancara. Hasil rekaman yang sudah ditraskripkan ini memudahkan peneliti dalam mengolahnya untuk keperluan analisis berikutnya.

9. Sistematika Penulisan

Hal yang penting dari judul tesis“Ideologi 3H dalam Lagu Batak Populer sebagai Modal Perjuangan Orang Batak Toba” adalah keterlibatan budaya yang ikut menjunjung tinggi semangat untuk menemukan suatu cita-cita keberhasilan. Persoalan kemiskinan, dikaitkan dengan seruan dan ekspresi melalui lagu, yang ditopang oleh kekuatan ideologi untuk mencapai keberhasilan.

Tesis ini akan dibagi ke dalam lima Bab dan disertai dengan pembagian sub-sub babnya. Pada bagian Pendahuluan Bab I akan dibahas mengenai pokok-pokok sebagai berikut: 1. Latarbelakang penelitian, 2. Rumusan masalah, 3. Tujuan penelitian, 4. Manfaat penelitian, 5. Studi pustaka, 6. Kerangka teori, 7. Metode penelitian, dan 8. Sistematika penulisan.


(51)

Bab II Etnik Batak dan Suku Batak Toba. Bab ini akan membahas mengenai latarbelakang historis terbentuknya suku Batak Toba yang menjadi bagian dari 6 kelompok besar etnik Batak. Uraian dalam bab ini akan difokuskan pada etnik Batak Toba sebagai kajian utama, yang memiliki latarbelakang budaya yang khas dan memiliki keyakinan agama sebelum dan sesudah Injil masuk ke Tanah Batak.

Praktik ritual adat yang masih sangat kuat dipegang menjadikan budaya Batak Toba masih sangat eksis di kampung demikian juga di kota. Praktik kehidupan kultural orang Batak masih tetap kokoh dipegang meskipun telah terjadi perubahan dan perkembangan kemajuan dunia yang sangat cepat. Pengelolaannya sangat tergantung pada peran Dalihan Natolu dalam melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan adat. Peran Ideologi 3H(Hamoraon, hagabeon, hasangapon), sebagai modal perjuangan menjadi modal dasar dalam mewujudkan perjuangan untuk meraih cita-cita bagi orang Batak Toba. Ideologi sebagai produk budaya sangat besar perannya dalam membangun semangat orang Batak untuk berjuang. Sehubungan dengan keberadaan hidup orang Batak dalam kenyataan, memiliki persoalan kemiskinan yang memerlukan solusi. Adapun solusi yang dipilih adalah filosofi hidup perjuangan yang didasarkan atas semangat dan modal ideologi yang mengakar dalam hamoraon hagabeon hasangapon. Identitas kebatakan perlu ditelaah melalui praktik budaya yang terlukis dalam musik yang diekspresikan melalui pengalaman hidup yang dikisahkan dalam syair lagu-lagu Batak populer.

BAB III Lagu Batak Toba Populer: Pada Bab ini akan dibahas mengenai perkembangan lagu Batak Toba. Lagu-lagu populer telah mengadopsi musik tradisional


(52)

Batak dan musik populer Barat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan, tangga nada tradisional dan tangga nada diatonik Barat, penggunaan alat musik tradisional sampai penggunaan alat musik Barat.

Dua era yang sangat penting akan menjadi dasar kajian untuk melihat pembentukan musik Batak Toba yang sangat mengakar mendalam bagi orang Batak. Lagu Batak Toba Populer Era-sebelum 70-an, akan dilihat sebagai era pembentukan musik Batak populer yang diperankan oleh beberapa musisi Batak seperti Nahum Situmorang dan Tilhang Gultom, sedangkan Lagu Batak Toba Populer Era-setelah 70-an menjadi era kedua yang sangat penting dalam perkembangan musik Batak Toba. Perubahan pada musik terjadi pada instrumen yang tidak hanya menggunakan alat musik tradisional seperti, taganing, hasapi dan suling, tetapi sudah semakin luas penggunaan alat musik elektronik seperti gitar listrik, drum set, dan keyboard, walaupun tetap tidak meninggalkan ciri khas musik Batak Toba. Perkembangan pada era-setelah 70-an peran isi syair lagu menjadi sangat penting karena banyak syair lagu mengisahkan tentang perjuangan hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekolah bagi anak-anak, permasalahan pengangguran, dan usaha mencari pekerjaan. Tidak hanya di seputar lagu percintaan, atau keindahan alam, namun pencipta lagu Batak Toba telah memberi corak baru pada isi syair lagu dengan mengungkapkan kisah perjuangan orangtua dalam keadaan miskin. Juga digambarkan bagaimana anak-anak disekolahkan, pengalaman anak yang putus sekolah karena biaya yang tidak mencukupi, dan bagaimanan anak-anak yang dewasa atau menginjak dewasa yang tidak punya pekerjaan di kampung terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya untuk merantau.


(1)

101. Timbo Dolok Martimbang Rumba

102. Tuan So Manimbil

-103. Tudia Ho? Foxtrot

104. Tumagon Nama Mate Blues

105. Tumba Do Rumba

106. Tung Mansai Borat Rumba

107. Unang Sumolsong Di Pudi Waltz

108. Utte Malau Waltz

109. Namboru Unang Manarita

-110. Mariam Tomong Mariam Mortir Rumba

111. Di Na Rap Jolo Hita Na Dua

-112. Ala Ma Doge Calypso

113. Doge Ingot Ma i

-114. Sai Tudia Nama Ahu Namboru

-115. Molo Naeng Dohot Ho Ito Da

-116. Na Uli Do Hape Namarbaju Di Sarulla

-117. Tumba Goreng Rumba

118. Mitu Do Rumba

119. Gelorakan Semangat Pembangunan

-120. Guygun Laskar Rakyat Mars


(2)

LAMPIRAN 7: NAMA-NAMA PENCIPTA LAGU BATAK POPULER

ERA-SESUDAH 70-AN

1. Tagor Tampubolon 2. Tigor Gipsy Marpaung 3. Dakka Hutagalung 4. Anton Siallagan 5. Iran Ambarita 6. Bunthora Situmorang 7. Jack Marpaung 8. Johny S. Manurung 9. Robert Marbun 10.William Naibaho 11.Yamin Panjaitan 12. Gaols Naibaho 13. Abidin Simamora 14. Posther Sihotang 15.Tigor Panjaitan 16.Sakkan Sihombing 17. Soritua Manurung 18.John Ferry Sitanggang 19. Jennifer Simanjuntak 20. Joe Harlen Simanjuntak 21. Mangara T. Manik 22. Pangihutan Manik 23. Hady Rumapea 24. Anton Manik 25.Tagor Pangaribuan 26. Fredy Tambunan 27. Edison Sibuea 28. Korem Sihombing 29. Erick Silitonga 30.Anre Silaen

31. Edward Simangunsong

32. Retta Sitorus 33. Hadi Rumapea 34. Willy Hutasoit 35.Joeharlen Simanjuntak

36. Marlundu Situmorang 37.Bachtiar Panjaitan

38. Acon Sinaga 39. Don Kinol Simbolon 40. Richardo manurung 41. Soritua Manurung 42.Sudiarto Tampubolon

43. Dolok Simanjuntak

44. Dr. Alexander Manurung 45. Sutan Ompu Raja DL. Sitorus 46. Parihutan Manik

47. John Ferry Sitanggang 48. Benny Sinaga

49. Anoy Simanjuntak 50. Lans Hutabarat 51. Ismail Hutajulu 52. Muchtar Simanjuntak 53. A. Manalu

54. Lans Hutabarat 55. Mangara Manik 56. Johannes Hutasoit 57. Fendy Manurung 58. Gaols Naibaho 59.Abidin Simamora 60. Parihutan Manik 61.Soaloon Simatupang

62.Firman Marpaung 63.Annes Purba


(3)

LAMPIRAN 8: ALAT MUSIK BATAK TOBA

Figur 1: Gong: ihutan, oloan, panggora,doal

1

.

Figur 2: Taganing dan Gordang

2

Figur 3: Sarune bolon dan sarune etek.

3

Figur 4: Hesek

4

1

http://bonigorga.blogspot.com/2014_02_23_archive.html, 2

http://www.mahasiswabatak.com/2013/07/mengen-alat-musik-tradisional-batak-toba.html 3

http://www.mahasiswabatak.com/2013/07/mengen-alat-musik-tradisional-batak-toba.html 4


(4)

Figur 5: Uning-uningan:

5

hasapi, sulim, sarune etek.

Figur 6: Garantung.

5


(5)

(6)

LAMPIRAN 10: NAMA-NAMA RESPONDEN DAN NARASUMBER

No.

Nama-nama

responden

Umur

Laki/

Perem-puan

Lahir Di/

Asal

Pen-

didik-an

Pekerjaan

Anak

Laki/

Perem-puan

Tanggal Wawancara

1

Dewi br Pangaribuan

48/P

Jakarta

S2

Musisi

2: 1L+1P

8 Feb. 2014

2

Doma Tumanggor

65/L

Tapanuli

SMA

Pertamina

3: 1L+2P

3 Maret 2014

3

M. Simangunsong

64/L

Bandung

S1

Usaha Travel

4: 2L+2P

5 Maret 2014

4

Lukder Tumanggor

42/L

Tapanuli

S1

Pendeta

3: 2L+1P

5 Maret 2014

5

Mirando Damanik

66/L

Sidamanik

S1

Wiraswasta

3: 1L+2P

7 Maret 2014

6

Hotman Sihaloho

54/L

Siantar

SMP

Wiraswasta

4: 1L+3P

28 Maret 2014

7

N. br Ambarita

50/P

Samosir

SMA

Wiraswasta

4: 2L+1P

28 Maret 2014

8

S. Berutu

50/L

Tapanuli

S1

Guru

3: 1L+2P

29 Maret 2014

9

L. br Tinambunan

45/P

Tapanuli

SMA

Wiraswasta

3: 1L+2P

29 Maret 2014

10

M. Simanjuntak

48/L

Medan

S1

Guru

3: 2L+1P

29 Maret 2014

11

Kardono Sinaga

34/L

Tapanuli

SMA

Wiraswasta

0

29 Maret 2014

12

Manosor Pangaribuan

30/L

Tobasa

STM

Wiraswasta

2: 1L+1P

29 Maret 2014

13

Hotran Simarmata

45/L

Samosir

S1

Wiraswasta

2: 2L

29 Maret 2014

14

M. Siahaan

57/L

Siantar

S1

Wiraswasta

4: 2L+2P

30 Maret 2014

15

Kaston Pakpahan

53/L

Tapanuli

S1

Karyawan

4: 1L+3P

2 Feb. 2014

16

AbidanTinambunan

46/L

Tapanuli

SMA

Wiraswasta

3: 2L+1P

29 Maret 2014