2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna
Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna
dalam teks. Halliday 1975 dalam Sinar 2003:20 berpendapat bahwa belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-mengajar. Di
dalam hal ini, Halliday 1975:37 memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic
Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik. Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial
memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi
praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan
bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia sekaligus mempelajari budaya
melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.
2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan encode representasi dunia yang
dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya Halliday, 1978; Halliday Hasan, 1985. Bahasa sebagai salah satu
dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama¬sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba
menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan
makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik bentuk-
bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun bentuk- bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni,
misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai
seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu
kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran output yang disebut
tanda, tetapi tatanan-tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan-
jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang
secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim
dengan kebudayaan. Menurut Sinar 2003:21, “Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini
dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti
tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu
sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur
sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan
yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.
Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau
sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan
disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan
ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday 1975 dalam Sinar 2003:20-21, belajar bahasa adalah belajar memaknai yang
mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari
dalam sistem sosial kehidupannya.
2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual