Luckman Sinar Basarshah II, T. Silvana Sinar dan kawan-kawan. Ketiga judul cerita rakyat Melayu itu adalah:
1. Hikayat Ketapel Awang Bungsu HKAB
2. Legenda Pantai Cermin LPC
3. Buyung Besar BB
4.1.1 Hasil Penelitian Pada Hikayat Ketapel Awang Bungsu
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan anak nelayan yang bernama Awang Bungsu AB. Bapak awang bungsu adalah seorang nelayan yang tangguh dan pemberani.
Dia selalu memberi contoh teladan kepada anaknya untuk selalu tabah dan rajin bekerja. Dia juga selalu menanamkan rasa cinta kepada laut dan menyemangati dengan sering
mengatakan bahwa keturunan mereka adalah pelaut yang gagah berani dan tidak kenal takut.
Pada saat menjelang remaja kedua orang tuanya meninggal dan dia harus tinggal bersama pamannya. Keingintahuann yang menggelora mengantarkannya ke sebuah
kampung dan tinggal bersama dengan kedua orang tua angkatnya. Ketangguhannya dalam memberantas pemberontakan yang terjadi di kampung itu
dengan senjata ‘Ketapel’ membuatnya diangkat menjadi Panglima walaupun usianya masih belia.
4.1.1.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi pada Hikayat Ketapel Awang Bungsu
Berikut ini adalah contoh pengklasifikasian jenis proyeksi dan penghitungan untuk masing-masing jenis proyeksi yang terdapat dalam HKAB. Data analisis selengkapnya
dapat dilihat di lampiran laporan penelitian ini.
Tabel 4.1 : Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu
No Unit
Jenis Proyeksi dan Notasi Jumlah
1. “Ayah, hari begini baru pulang. Sejak
pagi terus pagi terus menerus hujan, dinginnya bukan kepalang”, kata Awang
Bungsu tatkala melihat ayahnya baru saja pulang.
Lokusi Parataksis “1 2
1
2. “Ya, Awang, ayah baru pulang. Hujan
seharian, ikan agak kurang. Menangkap ikan yang besar agak sulit. Hari ini ayah
hanya mendapatkan beberapa ekor ikan
caru”, sahut ayahnya sambil terus mengepul-ngepulkan asap api rokoknya.
Lokusi Parataksis “1 2
1
3. “Kalau hari ini hujan mengapa tidak
segera pulang. Bukankah hari hujan badai laut sangat besar dan berbahaya.
Lagipula pergi ke laut saat gelombang pasang
itu membahayakan.
Kalau keadaan tidak menguntungkan dan
cuaca dingan begini mengapa tidak cepat pulang. Tubuh tidak menjadi
dingin seperti ini. Coba lihat, badan
ayahmu menggigil kedinginan”, kata ibu menyela sambil membawa secangkir teh
panas untuk ayah. Lokusi Parataksis
“1 2 1
4. “Tak bisalah ayah cepat pulang. Mau
membawa apa kalau ke laut hanya sejam dua jam. Tidak ada artinya sama sekali
pulang dengan tangan hampa. Mana mungkin bisa hidup layak kalau ke laut
hanya seperti main-
main”, sahut ayah sambil melihat itu yang sedang memulai
menganyam tikar bambu. Lokusi Parataksis
“1 2 1
5. “Dasar orang keras kepala, diberitahu
malah membantah”, kata ibu tak mau kalah.
Lokusi Parataksis “1 2
1
6. “Benar, Awang anakku. Ayah bangga
dan berharap kelak engkau juga seorang pelaut yang tangguh. Ayah berharap
hendaknya
kelak engkau
berjasa terhadap laut. Tetapi hendaknya jangan
menjadi nelayang seperti ayah. Engkau boleh menjadi Panglima Angkatan Laut,
Lokusi Parataksis “1 2
1
Nakhoda Laut atau pekerjaan lain yang ada hubungan dengan laut. Lautan masih
menjanjikan jaminan hidup yang lebih leluasa. Lautan
masih menyimpan
kekayaan alam yang melimpah. Di sana masih tersimpan harta karun yang belum
banyak diambil. Sebab itulah engkau hendaknya rajin-rajin belajar, menuntuk
ilmu. Agar bisa mengolah kekayaan laut perlu ilmu yang cukup. Kobarkan
semangat belajarmu, cita-citamu pasti
tercapai”, demikian kata-kata ayah yang sering kepada Awang Bungsu.
7. “Ah ...., di tempat ini bukan
penampungan anak-anak
merantau. Siapa saja tidak boleh lewat di pintu
gerbang ini. Siapa yang hendak berlalu, pasti merasakan bogem mentahku ini”,
kata pengawal itu sambil berkecak pinggang.
Lokusi Parataksis “1 2
1
8. “Boleh saja anak menginap di gubukku.
Bahkan untuk sementara waktu boleh juga bekerja membantu aku ke sawah
atau ke ladang, bahkan sesekali ke laut
mencari ikan”. Lokusi Parataksis
“1 2 1
9. “Biarlah dia belajar dulu secara leluasa.
Siapa tahu kelak dapat dipetik hasilnya. Belajar adalah penting bagi anak-
anak”, demikian pendapat Datuk Syahperi
selaku pempinan yang bijaksana. Lokusi Parataksis
“1 2 1
10. “Oh, laut. Laut di sana tersimpan
kekayaan alam yang melimpah. Cita-cita itu semakin dekat. Ia sudah diangkat
menjadi Panglima Bandar Serapuh. Tugas itu akan banyak hubungannya
dengan
lautan. Disanalah
akan dibuktikan diriku untuk kepentingan
orang banyak”, demikian hati Awang Bungsu bergejolak keras.
Ide Parataksis ‘1 2
1
Dari analisis di atas dapat diamati bahwa kemunculan proyeksi Lokusi Parataksis sangat sering terjadi. Dapat dilihat juga bahwa struktur atau susunan pada Parataksis yang
digunakan juga tidak seperti yang biasa; yaitu klausa primer klausa pemroyeksi yang
meninisiasi yang selanjutnya oleh klausa sekunder, namun susunan klausa yang dominan dalam cerita ini adalah klausa sekunder terlebih dahulu dan selanjutnya disusul oleh klausa
primer, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh di bawah ini: “Ah ...., di tempat ini bukan penampungan anak-anak
merantau. Siapa saja tidak boleh lewat di pintu gerbang ini. Siapa yang hendak berlalu, pasti merasakan bogem mentahku
ini”, kata pengawal itu sambil berkecak pinggang.
Proyeksi Lokusi Parataksis di atas dimulai dengan sebuah klausa sekunder, yaitu : “Ah ...., di tempat ini bukan penampungan anak-anak merantau. Siapa saja tidak boleh
lewat di pintu gerbang ini. Siapa yang hendak berlalu, pasti merasakan bogem mentahku ini” yang merupakan klausa terproyeksi projected clause dan kemudian dilanjutnya
dengan klausa pemroyeksi projecting clause yaitu kata pengawal itu, sebagai klausa primer. Klausa pemroyeksi merupakan klausa pengantar kata pengawal itu, sedangkan
klausa terproyeksi adalah isi dari apa yang disampaikan oleh pengantar “Ah ...., di tempat
ini bukan penampungan anak-anak merantau. Siapa saja tidak boleh lewat di pintu gerbang ini. Siapa yang hendak berlalu, pasti merasakan bogem mentahku ini”. Dari hasil
penelitian terhadap cerita HKAB telah ditemukan bahwa susunan klausa seperti inilah yang dipakai oleh penulis cerita dalam penyajian ceritanya.
4.1.1.2 Distribusi Proyeksi pada Hikayat Ketapel Awang Bungsu