seiring perkembangan tehnologi dan komunikasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin sedikitnya generasi muda yang tidak mengetahui cerita-cerita daerahnya sendiri.
Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik
bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu luang, serta penyalur perasaan, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan
dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat. Hal ini juga dijadikan alasan kenapa memilih cerita-cerita rakyat Melayu sebagai objek penelitian
mengingat banyak sekali manfaat yang akan didapat dalam proses penelitian cerita-cerita ini. Adapun cerita-cerita itu adalah: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai
Cermin, dan Buyung Besar. Selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan sebagai alasan pemilihan judul, ada
satu hal lagi yang paling mendasar yaitu di dalam cerita-cerita rakyat Melayu yang sudah dipilih terdapat banyak sekali data-data proyeksi yang berupa klausa-klausa kompleks yang
dikonstruksikan untuk membangun cerita dalam dialog-dialog yang dipaparkan pada cerita- cerita ini.
1.2 Ruang Lingkup Penelitian
Pada dasarnya, proyeksi mempunyai inti ‘mengutip atau melaporkan’ apa yang telah dikatakan atau disampaikan orang. Dari sekian banyak pengertian proyeksi yang ada,
penelitian ini secara khusus hanya memfokuskan pada Proyeksi yang ada pada cerita-cerita rakyat Melayu yang masing-masing judulnya adalah:
a. Hikayat Ketapel Awang Bungsu b. Legenda Pantai Cermin, dan
Universitas Sumatera Utara
c. Buyung Besar.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dikemukakan di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan agar mendapatkan hasil
penelitian yang terarah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Jenis-jenis proyeksi apa yang terdapat dalam cerita rakyat Melayu yang berjudul: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai Cermin, dan Buyung Besar?
2. Jenis proyeksi apa yang paling dominan digunakan atau dipakai dalam ketiga cerita
rakyat tersebut? 3.
Mengapa jenis proyeksi tertentu itu dominan?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai usaha melestarikan bahasa daerah, dalam hal ini cerita-cerita rakyat Melayu yang semakin hari makin sedikit
penuturnya. Apabila hal demikian berlangsung secara terus menerus bukan tidak mungkin suatu saat nanti budaya Melayu akan punah begitu saja ditelan arus globalisasi yang
semakin tidak terbendung. Terkait dengan hal tersebut penggalian ragam bahasa proyeksi yang terdapat dalam
bahasa ini juga dimaksudkan untuk mengetahui keindahan yang terdapat di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian akan terciptalah rasa kebanggaan memiliki karya sastra ini yang pada gilirannya akan bermuara pada kebanggaan sebagai orang Melayu.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat Melayu.
2. Menemukan jenis proyeksi yang mana yang mendominasi dalam cerita-cerita rakyat tersebut.
3. Menjelaskan alasan mengapa jenis proyeksi tertentu itu mendominasi ketiga cerita rakyat tersebut.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan Teori Linguistik Fungsional Sistemik dalam kajian sastra daerah.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model dalam penelitian ragam proyeksi pada bahasa daerah lain selain bahasa Melayu.
3. Hasil penelitian ini dapat menstimulasi untuk diadakannya penelitian dalam semantik logis yang lain yaitu ekspansi dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penikmat dan pembaca sastra daerah Melayu tentang keindahan bahasa ini yang diwujudkan dalam proyeksi yang
beraneka jenis.
Universitas Sumatera Utara
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan semangat dan kebanggaan bagi masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai usaha untuk melestarikan
bahasa daerah.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA
“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” Sinar, 2003:13. Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic
Functional Linguistics dalam menganalisis teks-teks dalam cerita-cerita rakyat Melayu, yaitu: 1. Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2 Legenda Pantai Cermin; 3 Buyung Besar.
Ketiga teks ini diteliti untuk mengetahui jenis-jenis proyeksi yang terdapat di dalamnya.
2.1 Teori Systemic Functional Linguistics
Teori Systemic Functional Linguistics mulanya berasal dari Aliran Neo Firthian Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik
sistemik systemic linguistics, atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada, teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood
Halliday MAK Halliday yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang
mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar http:bangpek-kuliahsastra.blogspot.com201112aliran-neo-firthian.html.
Teori Systemic Functional Linguistics merupakan teori yang dipilih dalam menganalis data pada penelitian ini. Pemilihan ini didasarkan pada 5 lima keunggulan
TSFL bila dibandingkan dengan teori atau mahzab linguistik lain: 1 objek kajian dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa; 2 keberpijakan pada
konteks sosial dalam mengkaji teks; 3 keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa, yang penekanan kajian kepada unsur bentuk atau artin ini telah menjadi masalah dan bahkan
pertentangan dalam perkembangan linguistik; 4 kajian sintagmatik yang diatautkan dengan paradigmatik untuk menerangkan dasar kefungsionalan dan motivasi dalam satu
uni tata bahasa; dan 5 keberagaman kriteria multicriteria yang digunakan dalam mendeskripsikan atau mengukur satu unit tata bahasa, yang dalam tata bahasa formal hanya
ada dua, yakni benar atau salah Saragih, 2006:i. Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua
penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional LSF oleh Tengku Silvana
Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional terbit 2003 dan dicetak ulang 2008. Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik LFS
oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana 2006 dan Fungsi Tekstual dalam
Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema 2007. Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K. Halliday.
Menurut Sinar 2003:14, teori ini menyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih 2007:1, teori ini dikembangkan
oleh Halliday 2004 dan para pakar lainnya, seperti Martin 2003, Halliday dan Matthiessen 2001, serta Kress 2002. Teori ini berkembang di Inggris, tetapi
perkembangannya sangat pesar terutama sejak Linguistics Department dibuka di University of Sydney pada tahun 1976.
Sinar 2003:14
menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka
penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi fenemona analisis wacana
mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin.
Selanjutnya, Sinar 2003:15 bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan
hubungan sistemik dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di
samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di
atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi. Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahwa analisis
wacana memberi perhatian kepada 1. Realisasi fungsional dari sistem dalam struktur- struktur dan pola-pola, yang secara strurtur bersifat horizontal dan sinitagmatis, 2 fungsi-
fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan 3 fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada beropperasi di dalam tingkat dan demensi bervariasi dalam bahasa
yang dikaji. Menurut Saragih 2007:1-6, pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang
saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur
berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks text. Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan
peristiwa narasi terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa laporan, kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks
fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan.
Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial
memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas
konteks situasi register dan budaya culture yang di dalamnya termasuk ideologi ideology.
Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar
pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan 1985 konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1
medan field. Yakni apa –what yang akan dibicarakan dalam interaksi, 2 pelibat tenor,
yakni siapa--- who yang dibicarakan dalam interaksi, dan 3 cara mode, yakni bagaimana- ---how interaksi dilakukan.
Lebih lanjut, Halliday 1974 dalam Saragih 2007:2 menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan
pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata
lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara
teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu
saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu merujuk dan membentuk konteks sosialnya.
Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu 1 memaparkan atau menggambarkan
ideational function, 2 mempertukarkan interpersonal function, dan 3 merangkai textual function pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa
metafunction, yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa lexicogrammar merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang
mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia. Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap
unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam
grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional
Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari 1 unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya
itu unit linguistik itu menjadi elemen konstituen, 2 unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemenkonstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan 3 unit
yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Teori Systemic functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai demensi
analisis dalam teks dan wacana. Dalam demensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga
strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna direalisasikan ke dalam tata bahasa
atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.
Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial selalu menyertai teks dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Halliday menistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut
Halliday 1978 dalam Saragih 2007:2, konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi register, konteks budaya genre, dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur
yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.
Konteks budaya genre yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang beroerientasi pada tujuan di mana penulispenutur melibatkan diri
sebagi anggota-anggota dari bidaya itu sendiri Sinar, 2003:68. Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikonstruksikan secara sosiial menjadi
konsep yang dinyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna semantik, tata bahasa leksikogramatika dan bunyi fonologi mempunyai
konteks situasi budaya di atasnya, Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram berikut:
Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks Saragih, 2006:3
Ideolog i
Buday a
Situasi Semanti
k Tata
Bahasa Tata Bahasa
Bahasa Fonologi
Selanjutnya, Martin 1993 dalam Sinar 2003:8-9 menjelaskan dalam rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuensinya, untuk
memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.
Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial adaptasi dari Martin, 1993:142
B
Selain itu, Matthiessen 1993 dalam Sinar 2003:17 merancang stratifikasi bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna semantik, di dalam
makna terdapat leksikogrammatika, dan di dalam leksikogramatika terdapat fonologi. Dengan demikian, bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogramatika,
dan fonologi.
Kontek Sosial
Bahasa
Gambar 2.3: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227
ooooooooooo
Situasi
Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar:
Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2003:55
Konteks Halliday
1964 Gregory
1967 Ure Elis
1977 Halliday
1978 Fawcett
1980 Martin
1982
Budaya Genre
Situasi Medan
Wacana Medan
Wacana Medan
Wacana
Medan
Wacana
Pokok Persoalan
Medan Wacana
Pelibat Wacana
Personal Formalitas
Pelibat Wacana
Tujuan Hubungan
Pelibat Wacana
Pelibat Wacana
Fungsional Peran
Tujuan Pragmatik
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi
Bahasa Isi
semantik Fonologi
ekspresi leksikogramatika
Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,
pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat
wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi
pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.
2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa