“Across  the  USA,  thousands  are  victims  of  human  rights  violation.  Namun  pada  unit proyeksi selanjutnya yaitu
“Too often, human rights in the US are a tale of two nations __ rich  and  poor,  white  and  black,  male  and  female.”  Tidak  terlihat  klausa  pemroyeksi
projecting  clause.  Walaupun  demikian  dapat  diketahui  bahwa  unit  ini  juga  mempunyai jenis  proyeksi  lokusi  parataksis  karena  klausa  ini  adalah  kelanjutan  dari  klausa  pertama;
menggunakan proses verbal said dalam memproyeksi suatu pesan. Secara  keseluruhan  dapat  diketahui  bahwa  perbedaan  yang  dijumpai  dalam  ketiga
judul  cerita  rakyat  Melayu  tersebut  hanya  bersifat  kuantitas  bukan  kualitas;  dengan  kata lain  semakin  panjang  cerita  rakyat  tersebut  makin  banyak  data  proyeksi  yang  ditemukan.
Perbedaan yang demikian tidak memberi dampak yang signifikan pada bidang linguistik.
4.3 Diskusi
Dalam  sub-bab  ini  menjelaskan  faktor-faktor  pemicu  mengapa  lokusi  parataksis menjadi  dominan  di  ketiga  cerita  rakyat  yang    diteliti.  Ada  dua  hal  yang  penting  yang
menjadi faktor pemicu kehadiran proyeksi lokusi parataksis di teks-teks ini. Yang pertama berkaitan dengan sifat teks narasi dan yang kedua adalah penguatan penokohan dalam teks.
Teks  narasi  biasanya  berisikan    kutipan-kutipan    langsung  dari  dialog      para pemerannya. Kutipan-kutipan langsung itu menyebabkan banyaknya muncul jenis proyeksi
lokusi parataksis. Sebagaimana yang diketahui bahwa cerita rakyat adalah termasuk dalam genre Narasi.      Menurut Sinar  2003 genre narasi mempunyai struktur skematika, yaitu:
orientasi    absraks    komplikasi    resolusi    evaluasi  dan  diakhiri  dengan  koda.  Struktur skematika  narasi  pada  pendahuluannya;  yaitu  orientasi  dan  abstrak  adalah  struktur  yang
statis. Sedangkan struktur skematika yang dimulai dari komplikasi sangat dinamis. Hal ini dapat  dilihat  dari  ketiga  teks  narasi  yang  diteliti.  Adanya  konflikasi  yang  terjadi  diantara
pemain  adalah  merupakan  cara  penulis  mengemas  konflikasi  sehingga  konflik-konflik terkesan  lebih  hidup.  Dengan  kata  lain  dialog-dialog  yang  ada  di  narasi  yang  merupakan
cara  penulis  dalam  membawa    pembaca  akrab  pada    suasana  yang  ada  di  cerita  itu. Misalnya pada teks  narasi 1  yang  berjudul  ‘Hikayat Ketapel  Awang Bungsu’ ditemukan
komplikasi sebagai berikut: “Hai ...., Bauduri. Dengarkan kataku. Jangan gangu Datuk. Hentikan tindakanmu
yang  jahat  itu.  Kalian  terlalu  gegabah  dan  ceroboh.  Pemimpin  yang  berbudi kalian perlakukan kasar. Ayo, hentikan tindakanmu yang kurang pantas itu. Bila
kalian tidak mau mendengarkan cakapku akan ku ketapel kepalamu”, kata awang Bungsu dari atas bubungan.
“Jangan  berteriak  anak  ingusan.  Turunlah  nanti  kulemparkan  kau  ke  sungai sana.  Hai  ...,  pengikut-pengikutku.  Kita  tidak  perlu  takut  pada  anak  sebesar
kelingking jari itu. Senjatanya Cuma ketapel. Sedang kelompok kita lebih banyak. Kalau kita kalah memang malu benar. Apalagi lawan kita cuma anak kecil”, seru
Bauduri kepada  anak buahnya. Pada contoh di atas dapat dilihat konflik yang terjadi antara  Baiduri sebagai pemberontak
dengan  Si  Awang  Bungsu  sebagai  utusan  Datuk untuk  menyelamatkan  negeri.  Contoh  di atas adalah sekelumit dialog yang ada pada cerita rakyat ini yang memicu terjadinya jenis
proyeksi lokusi parataksis. Pada  teks  narasi  2  yang  berjudul  ‘Legenda  Pantai  Cermin,  konflik  yang  memicu
munculnya lokusi parataksis juga dapat terlihat di dialog-dialog sebagai berikut: “Pengulu Janggut Merah, bagaimana ini? Kita hampir kalah”
“Datuk Muda Indra bongsu junjungan mulia, jangan cemas dulu. Keluarkanlah senjata andalan tuan Lidah Tanah”
“Lidah Tanah” “Ya, Lidah Tanah Biar musuh kita terbakar habis”
“Ha... ha.. ha... bagus juga usulmu Pengulu”
Contoh kutipan dari pengulu rambut merah dan Datuk Indra Bongsu sebagai pemberontak pada  saat  menghadapi  konflik  dengan  Kemala  Putri  sebagai  anak  Datuk  yang  berkuasa
pada saat itu. Pada  narasi  3,  yang  berjudul  ‘Buyung  Besar’  juga  terjadi  konflik  yang  menjadi
penyebab munculnya banyak proyeksi lokusi parataksis, misalnya: “Buyung,  peti  apa  yang  kau  bawa  ini.  Indah  sekali,”  Datuk  Penghulu
takjub melihatnya. “Hoo .. itu Peti biasa. Datuk”, jawab Buyung sedikit gugup.
“Bagaimana  kalau  sekarang  kita  bagi  hasil  yang  hamba  dapatkan  ini”,
Buyung mengalihkan pembicaraan. “Barang  yang  kecil-kecil  ini  untuk  para  pekerja.  Sedangkan  kapal  emas
untuk Datuk dan peti emas untuk hamba”, sambung Buyung Besar dengan sedikit gentar. Datuk Penghulu amat berminat untuk memiliki peti emas tersebut.
“Sebelum kusetujui usulmu itu, boleh ku ketahui apa ini peti emas  itu?”, kata Datuk Penghulu.
Penguatan  tokoh  dalam  dalam  cerita  juga  menjadi  faktor  pemicu  munculnya  jenis proyeksi  lokusi  parataksis.  Dengan  ditampilkannya  cerita  dengan  mengguanakan  dialog-
dialog maka pembaca akan merasa karakter tokoh itu akan lebih hidup sehingga jalan cerita akan  lebih  menarik.  Galang
http:galang.bizdialog.html bahwa  dialog  dalam  sebuah
karangan  fiksi  berfungsi  sebagai:  1  penggerak  cerita,  2  memperkuat  karakter  dalam cerita,  3  membuat  cerita  lebih  dinamis,  4  menjadi  ‘cara  halus’  untuk  menyampaikan
pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui.
Selain  alasan  di  atas,  dikemukan  juga  alasan  lain;  yaitu  berhubungan  dengan pemaknaan  sebuah  teks.  Pemaknaan  sebuah  teks  itu  dilihat  dari    bagaimana  suatu  teks
dimaknai, mengapa seseorang memaknai dan menafsirkan teks wacana dengan pandangan
tertentu  atau  bagaimana  teks  dibentuk  dengan  cara  tertentu,  apa  yang  menyebabkan terjadinya pemaknaan semacam itu. Menurut Jhon Fiske dalam Eriyanto, 2001:87 bahwa
makna tidak intrinsik ada dalam teks itu sendiri. Seseorang yang membaca suatu teks tidak menemukan makna dalam teks, sebab yang dia temukan dan hadapi secara langsung adalah
pesan dalam teks.  Makna itu diproduksi lewat proses yang aktif dan dinamis, baik dari sisi pembuat  maupun khalayak pembaca. Pembaca dan teks secara  bersama-sama  mempunyai
andil  yang  sama  dalam  memproduksi  pemaknaan,  dan  hubungan  itu  menempatkan seseorang sebagai satu bagian dari hubungannya dengan sistem tata nilai yang lebih besar
dimana  dia  hidup  dalam  masyarakat.  Pada  titik  inilah  ideologi  bekerja.  Berdasarkan pemahaman  inilah,  penulis  mencoba  menyajikan  karya  tulisnya  sehingga  pembaca  bisa
memaknai  isi  dari  tulisannya  sebagai  suatu  bagian  dari  pembaca  yang  tidak  bisa terpisahkan.
Lokusi  parataksis  dengan  struktur  inversi  seperti  yang  banyak  digunakan  oleh penulis  dalam  ketiga  cerita  ini  dimaksudkan  sebagai  cara  untuk  menggiring  pikiran
pembaca  agar  bisa  memaknai  cerita  itu  dengan  lebih  baik.  Penempatan  pesan  sebagai pembuka  di  setiap  dialog  dianggap  sebagai  klausa  yang  terproyeksi  dimaksudkan  untuk
‘lebih  menonjolkan  pesan’  daripada  si  pemberi  pesan  itu  sendiri.  Hal  ini  senada  dengan pendapat  Halliday  2004:446  yang  mengatakan  bahwa  susunan  Proyeksi  Parataksis  bisa
dibalik tanpa merubah maknanya. Halliday menambahkan bahwa struktur seperti ini lebih sering muncul di bahasa lisan spoken daripada dalam bahasa tulisan written. Struktur ini
berimplikasikan  bahwa  klausa  pemroyeksi  projecting  clause  kurang  menonjol dibandingkan  dengan  klausa  yang  diproyeksi  atau  terproyeksi  projected  clause,
sebagaimana yang beliau katakan:
In spoken English, the projecting clause is phonologically less prominent than the projected: if it comes first, it is often proclitic non
– salient dan pre-rhythmic while if it follows all or part of the projected, instead o accupying a separate tone group, it appears
as  a  ‘tail’  Dalam  Bahasa  Inggris  lisan,  klausa  pemroyeksi  secara  phonologi  kurang menonjol dibandingkan dengan klausa terproyeksi apabila  ia  muncul di awal, keberadaan
sering tidak menonjol, sedangkan jika ia muncul setelah  klausa terproyeksi keberadaannya
hanya dianggap sebagai ‘ekor’ saja. Berdasarkan  keterangan  Halliday  di  atas  bahwa    klausa  yang  pemroyeksi  hanya
dianggap  sebagai  ‘ekor’  dari  sebuah  pesan  yang  ada  di  klausa  yang  diproyeksi  atau terproyeksi  sehingga pembaca lebih terfokus pada pesannya daripada siapa yang memberi
pesan  itu  dan  lebih  bisa  mengambil  teladan  dan  nilai-nilai  kebaikan  yang  ada  di  cerita- cerita  ini dengan  mudah. Namun dari keterangan  ini  juga tercatat dengan  jelas  bahwa  hal
ini bisa terjadi dalam bahasa lisan bukan bahasa tulisan, sebagaimana yang beliau katakan: “In spoken English, the projecting clause is........” 2004:446. Jadi pertanyaan selanjutnya
adalah  bukankah  cerita-cerita  yang  diteliti  merupakan  cerita-cerita  rakyat  dalam  bentuk tertulis  written  bukan  lisan  spoken  sehingga  tidak  cocok  bagi  peneliti  untuk  mengutip
pernyataan Halliday di atas sebagai jawaban dari pertanyaan tentang kenapa penulis dalam cerita ini menggunakan susunan terbalik dalam proyeksi parataksis?
Untuk  menjawab  pertanyaan  ini  ada  beberapa  buku  yang  sudah  dibaca  tentang penyajian dalam cerita pendek,  yang termasuk di  dalamnya  jenis cerita-cerita rakyat  yang
menyatakan  bahwa  cerita-cerita  tersebut  walaupun  di  tulis  dalam  bahasa  tulisan  namun sebenarnya  ujaran-ujaran  yang  ada  dalam  cerita-cerita  tersebut  adalah  bahasa  lisan  yang
digunakan  oleh  para  tokoh-tokohnya  untuk  berkomunikasi  antara  satu  dengan  yang lainnya. Dengan kata lain bahwa ujaran-ujaran tersebut adalah bahasa lisan yang dituliskan.
Hal ini dapat dilihat dari contoh-contoh dialog yang ada dalam cerita-cerita ini, diantaranya yaitu:
“Ayah,  hari  begini  baru  pulang.  Sejak  pagi  terus  pagi  terus  menerus  hujan, dinginnya  bukan  kepalang”,  kata  Awang  Bungsu  tatkala  melihat  ayahnya  baru
saja  pulang.
“Ya, Awang, ayah baru pulang. Hujan  seharian, ikan agak kurang.  Menangkap  ikan  yang  besar  agak  sulit.  Hari  ini  ayah  hanya
mendapatkan beberapa ekor ikan caru”, sahut ayahnya Dialog di atas mencirikan bahasa lisan bukan bahasa tulisan. Adapun ciri-ciri bahasa lisan
bila dibandingkan dengan bahasa tulis dijabarkan sebagai berikut:
Ciri-ciri  ragam  bahasa  lisan  yaitu:  1. Langsung;  Dalam  berkomunikasi,  seseorang diharapkan  dapat  bertemu  langsung  dengan  orang  yang  diajak  bicara.  Dalam  cerita  ini
dapat dibayangkan bahwa antara penutur dan petutur sedang berkomunikasi langsung, atau komunikasi  tatapmuka;  2.  Tidak  terikat  ejaan  bahasa  Indonesia  tetapi  terikat  situasi
pembicaraan.  Dalam  berkomunikasi,  seseorang  diharapkan  dapat  mengetahui  situasi  dan kondisi  dan  menggunakan  bahasa  sehari-hari  dengan  orang  yang  diajak  bicara;  3.  Tidak
efektif.  Dalam  berkomunikasi,  seseorang  terkadang  menggunakan  bahasa  sehari-hari sehingga  banyak  menggunakan kalimat  yang  bersifat basa-basi dengan orang  yang diajak
bicara;  4.  Kalimatnya  pendek-pendek.  Dalam  berkomunikasi,  seseorang  terkadang menggunakan  bahasa  yang  menurut orang  lain  sudah  mengetahui  maksudnya;  5.  Kalimat
sering  terputus  dan  tidak  lengkap.  Dalam  berkomunikasi,  seseorang  terkadang menggunakan  bahasa  yang  menurut  orang  lain  sudah  mengetahui  maksudnya;  6.  Lagu
kalimat  situasional.  Dalam  berkomunikasi,  seseorang  terkadang  harus  mengerti  situasi
yang ada pada dengan orang yang diajak bicara atau keadaan sekitarnya.
Adapun  ciri-ciri  ragam  bahasa  tulis,  yaitu:  1.  Santun.  Memenuhi  kaidah-kaidah yang ada dan pilihan kata atau istilah yang tepat dan cermat; 2. Efektif Hemat dan singkat,
tetapi kena dalam hal maksud yang diungkapkannya; 3. Bahasa disampaikan sebagai upaya komunikasi satu pihak.
Karena  tak  dapat  bertemu  langsung,  maka  kita  diharapkan
dapat  mengkomunikasikan  segala  apa  yang  ada  dengan  harapkan  orang  yang  menerima surat  tidak  salah  persepsi  atau  salah  paham;4.  Ejaan  digunakan  sesuai  dengan
pedoman.Dalam  penyampaian  bahasa  tulis,  memang  ada  pedoman  yang  harus  digunakan atau dipatuhi agar tidak  menimbulkan kesalahan  dalam pemakaian atau penulisan kata; 5.
Penggunaan  kosa  kata  pada  dasarnya  sudah  dibakukan.  Dalam  hal  ini,  penggunaan  kata atau pilihan kata harus tepat. Walaupun maksud kita sama, namun apabila kita salah dalam
memilih kata
maka akan
menimbulkan kerancuan
Imanuel Helsen:
http:helsenblogspot.com201110ragam-bahasa-lisan-dan-tulisan.html .
Dari segi struktur bahasa, yakni bentuk kata dan struktur kalimat, perbedaan ragam bahasa lisan daan ragam bahasa tulis dapat dicontohkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.12 :Perbedaan Ragam Bahasa Lisan dan Tulis dari Segi Struktur Bahasa dan Bentuk Kata
Sudut Pandang Ragam Bahasa Lisan
Ragam Bahasa Tulis 1. Bentuk Kata
Nia sedang baca surat   kabar.  a Nia sedang membaca surat kabar. b  Ari mau nulis surat.
b Ari mau menulis surat. Tapi,  kau  tak  boleh  nolak
lamaran itu. c  Tetapi,  engkau  tidak  boleh
menolak lamaran itu. 2. Bentuk Kalimat
Mereka tinggal di Menteng. Mereka  bertempat  tinggal  di
Menteng. b Jalan layang itu untuk mengatasi
kemacetan lalu lintas. b  Jalan  layang  itu  dibangun  untuk
mengatasi kemacetan lalu lintas. c Akan saya tanyakan soal itu.  c Saya akan menanyakan soal itu.
Hal  yang  perlu  diperhatikan  ialah  bahasa  dalam  ragam  bahasa  lisan,  pembicara dapat  memanfaatkan  peragaan  dramatisasi,  seperti  gerak  tangan,  airmuka,  tinggi  rendah
suara  atau  tekanan,  untuk  membuat  kepahaman  pengungkapan  diri –ide,  gagasan,
pengalaman,  sikap  dan  rasa,  sedangkan  dalam  ragam  bahasa  tulis,  peragaam  seperti  itu tidak dapat digambarkan dengan tulisan, oleh karena itu, dalam ragam bahasa tulis dituntut
adanya  kelengkapan  unsur  tata  bahasa,  baik  bentuk  kata  maupun  susunan  kalimat, ketepatan  pilihan  kata  dan  kebenaran  penerapan  kaidah  ejaan,  serta  tanda  baca  untuk
membantu kejelasan pengungkapan diri dalam ragam bahasa tulis.
Kejalasan  bahwa  ragam  bahasa  yang  digunakan  dalam  cerita-cerita  ini  adalah ragam bahasa lisan   dapat dilihat dari contoh di bawah ini:
“Dasar orang keras kepala, diberitahu malah membantah”, kata ibu tak mau kalah. Klausa
“Dasar  orang  keras  kepala,  diberitahu  malah  membantah”  adalah  klausa terproyeksi projected clause yang diproyeksikan oleh klausa kata ibu . Klausa kata ibu di
sini  bukan  dimaksudkan  oleh  penulis  cerita  sebagai  frase  nominal  melainkan  sebagai klausa  yaitu  ibu  berkata  yang  berfungsi  sebagai  klausa  pemroyeksi  projecting  clause.
Dengan  kata  lain  bahwa  klausa  kata  ibu  dan  ibu  berkata  adalah  dua  klausa  yang mempunyai  makna  yang  sama,  penggunaan  kata  ibu    adalah  ragam  bahasa  lisan  sebagai
representasi dari klausa ibu berkata yang merupakan ragam bahasa tulis. Pemilihan ragam bahasa  lisan  sebagai  bahasa  dalam  penuangan  isi  cerita  sekali  lagi  dimaksudkan  untuk
membuat cerita-cerita tersebut lebih hidup dan mudah dicerna oleh pembaca.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Setelah  melewati  proses  pemaparan  teori  dan  penelitian,  maka  didapat beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Dalam cerita rakyat yang berjudul ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ didapati 80 unit
proyeksi dengan distribusi dan proporsi sebagai berikut: a.
Proyeksi  Lokusi  Parataksis  PLP  berjumlah  74  unit  dengan  persentase  sebesar 92.50
b. Proyeksi Lokusi HipotaksisPLH tidak terdapat dalam cerita ini
c. Proyeksi Ide Parataksis PIP berjumlah 5 unit yang setara dengan 6,25
d. Proyeksi Ide Hipotaksis berjumlah 1 unit yang sebanding dengan 1,25
2. Dalam cerita rakyat yang berjudul ‘Legenda Pantai Cermin’ dijumpai 92 unit proyeksi
dengan perincian sebagai berikut: a.
Proyeksi Lokusi Parataksis masih mendominasi dengan dijumpainya 86 unit proyeksi yang sebanding dengan 93,48
b. Proyeksi Ide Parataksis ditemukan 6 unit yaitu sebanding dengan 6,52
c. Proyeksi Lokusi Hipotaksis dan Ide Hipotaksis tidak mempunyai data di cerita ini.
3. Pada judul cerita ‘ Buyung Besar’ ditemukan 112 data proyeksi dengan rincian sebagai
berikut: a.
Proyeksi Lokusi Parataksis berjumlah 110 yang sebanding dengan 98,22 b.
Proyeksi Lokusi Parataksis berjumlah 1 unit yang setara dengan 0,89 c.
Proyeksi Lokusi Ide Parataksis juga berjumlah 1yang sebanding dengan  0,89