Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan manusia bersifat tidak terbatas dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal tersebut membuat manusia perlu bersikap rasional dalam melakukan konsumsi atau berbelanja. Namun, Bayley dan Nancarrow dalam Herabadi, Verplanken, dan Knippenberg, 2009 menyatakan bahwa dewasa ini berbelanja tidak hanya untuk mendapatkan kegunaan dari barang tersebut atau untuk memenuhi kebutuhan, tetapi berbelanja menjadi sesuatu yang pokok untuk mengisi waktu luang dan merupakan aktivitas gaya hidup. Herabadi, Verplanken, dan Knippenberg 2009 menambahkan bahwa banyak perilaku konsumen dalam berbelanja yang tidak dipertimbangkan dengan hati-hati. Gaya spontan konsumen dalam berbelanja tersebut dikenal sebagai pembelian impulsif. Pembelian impulsif impulsive buying dideskripsikan sebagai pembelian yang ditandai dengan terjadi secara tiba-tiba, kuat, sering keras hati, mendorong pada pembelian secara spontan, dan disertai perasaan senang dan kegembiraan Rook, 1987. Konflik psikologis yang muncul dari konsumen adalah ketika mereka berada pada pilihan untuk menyimpan uang mereka atau mengeluarkan uang untuk pembelian impulsif Rook, 1987. Perilaku pembelian impulsif ini didasari oleh suatu ideologi yaitu konsumtivisme. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Hadi 2010 yang 2 menjelaskan bahwa konsumtivisme merupakan suatu ideologi yang menjadikan seseorang membeli barang atau menggunakan jasa secara berlebihan tanpa adanya skala prioritas kebutuhan. Berdasarkan penjelasan Hadi 2010 bahwa konsumtivisme merupakan ideologi yang menjadikan seseorang membeli barang secara berlebihan maka peneliti menyimpulkan bahwa konsumtivisme merupakan landasan berbagai perilaku konsumsi yang berlebihan termasuk pembelian impulsif. Tinarbuko 2006 menjelaskan bahwa hidup dalam pola dan arus konsumtivisme membuat orang merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkannya belum dimiliki. Masyarakat mengutamakan gaya hidup bertolak pada felt need ketika membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang sangat diperlukan real need. Pola hidup seperti itu mendorong orang untuk selalu ingin berlebihan, tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya. Samhadi 2006 menambahkan gejala konsumtivisme yang berlebihan dapat mematikan atau memperlemah industri nasional. Selain itu, dapat juga berdampak menghancurkan nilai-nilai luhur budaya lokal, lunturnya identitas bangsa dan kesetiakawanan sosial, serta menghancurkan lingkungan. Hal ini dikarenakan konsumtivisme sudah seperti virus yang bukan hanya menghinggapi orang kaya di perkotaan namun juga masyarakat kecil yang belum berkecukupan. Herabadi dkk 2009 menjelaskan bahwa pasar orang Indonesia sebagian besar digerakkan oleh pembelanjaan konsumen. Hal tersebut dikuatkan oleh Samhadi 2006 yang menyatakan bahwa konsumtivisme 3 sudah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia yang separuh lebih penduduknya masih miskin diukur dari standar kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari. ACNielsen dalam Samhadi ,2006 menyatakan bahwa 93 konsumen Indonesia berbelanja bukan karena kebutuhan tetapi lebih untuk kesenangan. Melihat perekonomian Indonesia yang sedang sulit, seharusnya masyarakat dapat berhemat dan menabung. Namun pada kenyataannya Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik Samhadi, 2006. Dari fenomena tersebut dapat dilihat bahwa gaya hidup konsumtivisme ada pada berbagai lapisan masyarakat. Menjelaskan hal ini, Verplanken dan Sato 2011 menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang termotivasi untuk mencari kesenangan dan menghindari luka atau hal yang menyakitkan, pembelian impulsif dapat memenuhi motif hedonistik ini. Hal tersebut dikarenakan pembelian impulsif dapat memunculkan perasaan positif. Sejalan dengan ini Rook dan Gardner dalam Vohs dan Faber, 2007 menjelaskan bahwa perasaan yang paling sering muncul mendahului pembelian impulsif adalah rasa senang diikuti riang tidak ada pikiran sama sekali, dan bersemangat. Perasaan senang dan suasana hati yang baik sangat menentukan dalam pembelian impulsif. Hal tersebut erat kaitannya dengan faktor emosional yang dimiliki konsumen. Rook 1987 menambahkan adanya faktor emosional membuat konsumen merasa di luar kontrol ketika melakukan pembelian impulsif. Dalam hal ini, Bakewell dan Mitchell dalam Gasiorowska, 2011 menjelaskan bahwa konsumen wanita memiliki 4 kecenderungan yang lebih untuk berbelanja secara emosional dibandingkan laki-laki. Hal senada dinyatakan oleh Dittmar dkk dalam Lin dan Lin, 2005 bahwa wanita cenderung melakukan pembelian impulsif dikarenakan alasan emosional. Artinya, hal tersebut memungkinkan wanita untuk ditarik pada suatu barang dan menginginkan kepuasan dengan segera. Peneliti menemukan beberapa fenomena pembelian impulsif melalui observasi di lapangan dan wawancara dengan subjek wanita pelaku pembelian impulsif. Subjek pertama seorang wanita berusia 20 tahun berinisial “C”. Subjek “C” sering melakukan pembelian yang spontan dan tiba-tiba saat memasuki toko favoritnya. Seperti pada contoh kejadian pembelian tas pada tanggal 26 Juli 2012 saat subjek sedang berjalan-jalan di Ambarukmo Plaza. Subjek memasuki toko tas favoritnya dan melihat sebuah tas limited edition yang dipajang pada manekin di depan toko. Subjek segera membeli tas bermerek Guess seharga Rp 1.500.000,- itu tanpa berpikir panjang. Subjek mengungkapkan bahwa tas tersebut menarik perhatiannya karena model, warna, dan barangnya yang limited edition. Subjek merasa senang setelah tas yang ia suka itu sudah menjadi miliknya. Sebelumnya subjek tidak bertujuan membeli apa-apa karena hanya ingin mengantar kakaknya melakukan perawatan wajah di salah satu salon kecantikan yang ada di dalam mall tersebut. Subjek kedua seorang wanita berinisial “I” berusia 23 tahun. Subjek “I” juga sering melakukan pembelian yang tidak terencana hanya karena menuruti keinginannya. Pembelian impulsif yang baru saja dilakukannya 5 adalah ketika memasuki toko tas kesukaan subjek pada tanggal 5 Agustus 2011. Sebelumnya subjek tidak berniat melakukan pembelian namun hanya tertarik untuk melihat-lihat koleksi tas di dalam toko tersebut. Namun akhirnya subjek membeli sebuah dompet bermerek Guess yang menarik perhatiannya karena subjek menyukai modelnya. Kemudian subjek mengetahui bahwa dompet tersebut berpasangan dengan clutch tas pesta yang memiliki motif dan warna yang sama akhirnya subjek juga membeli clutch tersebut. Subjek merasa puas setelah melakukan pembelian tersebut, namun subjek akhirnya menyesalinya ketika beberapa hari kemudian subjek kembali ke toko tersebut dan menemukan model dompet baru yang lebih bagus dari dompet yang sudah dibelinya. Subjek ketiga berinisial “D” seorang wanita berusia 22 tahun. Subjek ini juga sering melakukan pembelian impulsif. Hal yang subjek lakukan pada 23 Juni 2012 adalah melakukan transaksi pembelian sampai dengan Rp 450.000,- karena memasuki sebuah butik dan tidak dapat mengontrol diri untuk tidak membeli barang yang ia sukai. Setelah melakukan pembelian berbagai macam pakaian subjek merasakan kepuasan karena pakaian yang subjek ambil adalah model-model update terbaru. Subjek kemudian merasa menyesal setelah sampai di rumah kos-nya. Hal ini dikarenakan subjek tidak dapat mengontrol diri saat berbelanja. Subjek baru menyadari bahwa ia telah menghabiskan uang sakunya untuk berbelanja. Hanya saja penyesalan itu tidak berhenti, tanggal 20 Juli 2012 lalu subjek juga baru saja memakai uangnya untuk membeli sebuah sepatu di Centro hanya karena sepatu itu 6 sedang special price. Padahal subjek tidak sedang membutuhkan sepatu dan sebelumnya ia memasuki mall hanya untuk membeli sebuah handbody lotion. Wanita memang memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini didukung oleh sebagian besar hasil penelitian yang menunjukkan bahwa wanita memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi dan melakukan pembelian berdasarkan impulse yang lebih sering daripada laki-laki Verplanken Herabadi, 2001; Lin dan Lin, 2005; Gasiorowska, 2011. Hal tersebut juga muncul dalam hasil penelitian Lin dan Lin 2005 yang menunjukkan bahwa wanita memiliki nilai pembelian impulsif yang signifikan lebih tinggi daripada laki-laki. Secara lebih khusus, Dittmar dkk dalam Lin dan Lin, 2005 menjelaskan bahwa wanita cenderung melakukan pembelian impulsif dengan alasan yang lebih emosional daripada laki-laki, jadi sangat memungkinkan bagi wanita untuk ditarik pada suatu barang dan menginginkan kepuasan dengan segera. Terdapat perbedaan gaya belanja antara wanita dan laki-laki menurut paparan beberapa ahli dalam Gasiorowska, 2011, antara lain: wanita biasanya menikmati proses berbelanja dan senang mengeluarkan waktu dan tenaga yang banyak, sedangkan laki-laki lebih memilih berbelanja cepat dan sebisa mungkin menghindari banyaknya energi yang keluar untuk berbelanja. Selain itu, wanita berbelanja lebih lama dan lebih terlibat dalam kegiatan berbelanja daripada laki-laki Dholakia, 1999 dalam Gasiorowska 2011. Bagi wanita, berbelanja adalah salah satu bagian dari pengalaman, suatu hal yang bisa menjadikan orang merasa lebih baik, dan menjadikan orang merasa 7 lebih ideal. Hal ini memiliki faktor emosional dan psikologis yang jarang muncul pada laki-laki Underhill, 2000 dalam Gasiorowska 2011. Wanita biasanya berbelanja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati walaupun untuk barang biasa yang tidak membawa kesenangan dan sensasi istimewa Dholakia, 1999; Underhill, 2000; dalam Gasiorowska 2011. Jadi, wanita memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk berbelanja secara emosional daripada laki-laki, sedangkan laki-laki kurang terlibat dalam kegiatan berbelanja dibandingkan wanita dan bingung dengan pilihan produk yang banyak Bakewell Mitchell, 2004 dalam Gasiorowska 2011. Selain perbedaan gender yang berkaitan dengan pembelian impulsif, usia juga berkaitan dengan pembelian impulsif. Wood dalam Lin dan Lin, 2005 menyatakan bahwa pembelian impulsif akan meningkat pada usia 18- 39 tahun, dan akan menurun setelah usia itu. Hal senada juga diungkapkan oleh Bellenger dkk dalam Lin dan Lin, 2005 bahwa konsumen di bawah usia 35 tahun lebih mudah untuk melakukan pembelian impulsif dibandingkan yang usianya lebih tua. Hal tersebut didukung oleh Eysenck dkk dalam Lin dan Lin, 2005 yang menyatakan bahwa orang yang lebih muda memiliki pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Parboteeah dalam Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite, 2009 menambahkan bahwa usia konsumen berpengaruh pada pembelian impulsif. Pernyataan Parboteeah dalam Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite, 2009 ini didasari oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang muda merasa tidak terlalu beresiko untuk membelanjakan uang. Secara 8 lebih khusus, Kahn dkk dalam Lin dan Chuang, 2005 menjelaskan bahwa remaja cenderung menjadi impulsif dengan melakukan sesuatu pada saat itu juga tanpa memperhitungkan tanggungan resiko. Dijelaskan lebih lanjut oleh Lin dan Chuang 2005 bahwa berbelanja merupakan suatu keseharian bagi banyak remaja. Pembelian impulsif pada remaja membuat remaja menjadi sasaran strategi pemasaran. Latif, Saleem, dan Abideen 2011 menambahkan bahwa hal tersebut dikarenakan remaja dapat mempengaruhi pola pembelanjaan orangtua, sehingga dapat mempengaruhi pembelanjaan ke depannya dengan mengutarakan pilihan produk yang mereka sukai. Senada dengan hal tersebut, Kotler dkk 2005, dalam Latif dkk, 2011 menyatakan bahwa remaja memiliki pengaruh yang kuat dalam keluarga dan merupakan konsumen yang penting bagi pemasar. Dalam teori belajar sosial, dikemukakan bahwa perilaku umum individu adalah berkembang dan sikapnya meniru orang lain Bandura, dalam Latif dkk, 2011. Bagi remaja, ada orang-orang yang menyebarkan pendapat dan ada orang-orang lain yang menekan mereka untuk mengikuti gaya mereka, sehingga pada akhirnya remaja menjadikan mereka standar pengambilan keputusan untuk pembelian mereka. Bagi remaja, referensi kelompok itu antara lain, figur entertainment, tokoh olahraga, pemimpin politik, orangtua, pegawai, guru, dan teman sebaya Makgosa dan Mohube, dalam Latif dkk, 2011. Disebutkan oleh Lin dan Lin 2005 bahwa sebagian besar penelitian mengenai pembelian impulsif menggunakan subjek dewasa sebagai sampel 9 sedangkan masih sedikit penelitian yang menggunakan remaja sebagai sampel. Selain itu, Parboteeah dalam Virvilaite dkk, 2009 menyatakan bahwa jenis kelamin juga mempengaruhi pembelian impulsif. Penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih impulsif daripada laki-laki. Jadi penelitian ini fokus pada remaja dengan gender wanita. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi remaja wanita melakukan pembelian impulsif adalah adanya stimulasi dari lingkungan. Salah satu stimulasi dari lingkungan yang berpengaruh pada perilaku konsumsi seseorang adalah perkembangan inovasi marketing. Rook 1987 mengungkapkan bahwa inovasi marketing yang berkembang saat ini seperti kartu kredit, mesin uang tunai ATM, toko 24 jam, jaringan tempat-tempat belanja, dan telemarketing membuat konsumen lebih mudah untuk melakukan pembelian impulsif daripada dulu. Pernyataan Rook 1987 tersebut mendukung fenomena yang terjadi pada masyarakat modern saat ini. Fenomena tersebut yaitu hadirnya kartu kredit sebagai salah satu inovasi marketing yang telah menjadi pilihan alat pembayaran favorit masyarakat. Kartu kredit sebagai salah satu metode pembayaran mulai merebak di masyarakat Indonesia. Siamat 2005 menjelaskan bahwa kartu kredit merupakan salah satu jenis dari kartu plastik yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau jasa di mana pelunasan atau pembayarannya dapat dilakukan sekaligus atau dengan mencicil sejumlah minimum tertentu. Penggunaan kartu kredit yang semakin digemari dalam transaksi jual beli berkaitan dengan faktor-faktor yang ditawarkan kartu kredit 10 antara lain keamanan, kenyamanan, kemudahan, dan unsur prestise bagi pemegangnya. Sejalan dengan hal tersebut, Risma 2011 menyatakan tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan selembar kartu kredit memang dapat menyelesaikan semua transaksi pembelian dan pembayaran dengan cepat sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi pengguna kartu kredit card holder. Seiring perkembangannya, para perusahaan penerbit kartu kredit issuer menjadi semakin ketat dalam bersaing. Persaingan ini membuat persyaratan keanggotaan untuk menjadi card holder diperlonggar. Hal ini terutama berkaitan dengan ketentuan tingkat minimum penghasilan yang cenderung lebih diturunkan Siamat, 2005. Hal tersebut membuat kartu kredit yang dahulu termasuk barang premium di mana tidak semua orang dapat memilikinya kini dapat dimiliki dengan mudah. Kartu kredit bahkan sudah menjadi salah satu barang kebutuhan yang sulit dihindari terutama bagi masyarakat di perkotaan Risma, 2011. Menurut Bank Indonesia saat ini terdapat 20 penerbit kartu kredit di Indonesia Risma, 2011. Hal ini menunjukkan peningkatan pertumbuhan kartu kredit di Indonesia. Perbankan mencatat bahwa selama semester pertama 2006 terjadi kenaikan kredit konsumsi yang disertai kenaikan penggunaan kartu kredit hingga 20 Samhadi, 2006. Dari data yang ada berdasarkan kutipan dari Detik.com dalam Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, 25 Januari 2012 menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kartu kredit yang diterbitkan di Indonesia dari tahun ke tahun. Dari tahun 2007 11 sampai dengan 2011 terdapat rerata peningkatan jumlah kartu kredit sebesar 12,233 juta kartu yang diterbitkan di Indonesia. Peningkatan jumlah penerbitan kartu kredit juga disertai dengan meningkatnya transaksi kartu kredit. Total rerata transaksi kartu kredit yang terjadi sepanjang tahun 2007 sampai tahun 2011 sebesar Rp 132,162 triliun Detik.com dalam Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, 25 Januari 2012. Penelitian sebelumnya menurut Bernthal, Crockket, dan Rose 2005 menyebutkan jika kartu kredit telah menjadi teknologi yang semakin penting. Namun hal yang menyertainya adalah kemampuan kartu kredit untuk mendorong konsumen melintasi gaya hidup bebas sekaligus berkendala. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa analisis rekening yang telah mereka lakukan pada konsumen, konselor kredit, dan para peserta pada sebuah konseling seminar kredit bertujuan untuk mengembangkan perbedaan teori gaya hidup melalui praktek fasilitas kartu kredit. Kartu kredit dapat membantu melihat perbedaan gaya hidup pemilik budaya modal tinggi dan budaya modal rendah. Perbedaan gaya hidup berasal dari wacana budaya yang terkait dengan hak dan berhemat. Dari penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa kartu kredit sendiri memang menawarkan dua hal yang saling bertolak belakang. Di satu sisi kartu kredit menawarkan fungsional yang jelas dengan manfaat yang memudahkan. Namun di sisi lain, kartu kredit juga dapat menyebabkan kerugian seperti kehilangan citra diri, kehilangan mobilitas pasar, akumulasi hutang berat, dan bahkan kecanduan Bernthal, Crockket, Rose, 2005. 12 Rook 1987 menyatakan bahwa kartu kredit memiliki peran yang cukup besar dalam berkembangnya pembelian impulsif masyarakat. Hal senada dinyatakan oleh Koski dalam Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite, 2009 bahwa penggunaan kartu kredit telah menjadi salah satu faktor yang mendorong pembelian impulsif. Terjadinya fenomena tersebut dapat dipengaruhi oleh potongan harga yang ditawarkan kartu kredit bekerja sama dengan toko atau merchant. Stern 1962 memperkuat pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa harga yang lebih rendah mempengaruhi pembelian impulsif. Senada dengan hal tersebut Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite 2009 menyatakan bahwa diskon atau potongan harga membuat konsumen cenderung untuk melakukan pembelian impulsif. Selain itu, Stern 1962 menyatakan bahwa iklan dapat menjadi media pemberi informasi mengenai produk yang ditawarkan termasuk informasi mengenai potongan harga. Hal ini membuat keberadaan iklan juga mempengaruhi pembelian impulsif Stern, 1962. Oleh karena itu, iklan potongan harga yang melekat pada kartu kredit dapat menjadi media untuk menarik perhatian konsumen. Iklan tersebut ditawarkan oleh pihak merchant pedagang, toko-toko, hotel, restoran, travel biro, dan sebagainya bekerjasama dengan pihak issuer penerbit kartu kredit. Iklan potongan harga yang melekat pada kartu kredit ditawarkan oleh pihak merchant bekerjasama dengan issuer terkait. Kerjasama tersebut berupa pemotongan harga yang diberikan oleh pihak merchant pada card holder yang melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit issuer terkait. Hal 13 tersebut dapat dilihat dari beberapa contoh iklan potongan harga yang melekat pada kartu kredit berikut; The Body Shop Company bekerjasama dengan Citibank memberikan diskon hemat 35 untuk pembelanjaan semua produk favorit dan ekstra hemat hingga 15 dengan Citi Rewards Points “Belanja Natal lebih istimewa hemat 35”, 2011. Penawaran lain dilakukan Optik Seis dengan Citibank dengan memberikan ekstra hemat 20 pembelian produk di Optik Seis “Sale Up To 50 + 20”, 2012. Selain itu, dalam sebuah bazaar fashion beberapa brands seperti Boss, Mango, Red Valentino, Ferragamo, dan lain-lain bekerja sama dengan Bank Mega memberikan tambahan potongan harga 10 untuk pembayaran dengan Mega Card “Spectacular Premium Fashion Bazaar Sale up to 70 off, get add disc 10 0 installment”, 2012. Fakta lain adalah berita bahwa PT Garuda Indonesia Tbk GIAA saat ini telah bekerjasama dengan PT Bank Mandiri TBK BMRI dalam mendorong penjualan kartu kredit. Perseroan meluncurkan program pembelian tiket pesawat Garuda rute internasional tertentu dan diskon hingga 20 untuk seluruh rute domestik Azhari, 2011. Kerjasama tersebut merupakan langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan kartu kredit mengingat saat ini penggunaan kartu untuk melakukan transaksi perjalanan terus meningkat. Iklan yang pada dasarnya memiliki prinsip untuk mengubah perilaku tentunya dapat dengan mudah membuat card holder mengutamakan felt need ketika membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang diperlukan real need Tinarbuko, 2006. Iklan sebagai aspek 14 informasi yang penting dalam bisnis erat kaitannya dengan perkembangan konsumtivisme dalam masyarakat karena kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu mempengaruhi kecenderungan mengkonsumsi dalam masyarakat Bram, 2005. Asad dalam Atfiati, 2009 menyebutkan bahwa prinsip iklan adalah bisa mengubah perilaku, yaitu dengan komunikasi baik melalui tayangan atau demo langsung. Madjadikara 2004 menyatakan bahwa pesan dalam iklan biasanya berupa ajakan atau himbauan kepada masyarakat untuk mengubah suatu kebiasaan atau perilaku masyarakat “yang tidak baik” supaya menjadi lebih baik maka harapannya dapat terjadi perubahan perilaku dari masyarakat ketika iklan sudah menyebar di berbagai media. Samhadi 2006 menambahkan bahwa pada dasarnya iklan hanya sebagai iming-iming. Iklan yang persuasif dan berbagai strategi pemasaran agresif membuat masyarakat semakin dalam terjebak arus konsumtivisme atau kecanduan belanja yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional. Widyatama 2005, menyatakan bahwa iklan menciptakan hasrat dalam diri konsumen dan menawarkan produk sebagai jawabannya. Iklan telah menggeser sikap tradisional seperti hemat dan sederhana menjadi sikap hidup yang hedonis mengedepankan kesenangan duniawi yang mengutamakan belanja. Fitriana, Nina, dan Koentjoro 2009 menambahkan jika iklan diskon atau potongan harga memberikan daya tarik tersendiri bagi para calon konsumen. Mereka akan tergiur oleh harga yang ditawarkan dan membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan bahkan tidak 15 mereka rencanakan. Mereka mengedepankan harga yang murah dan kepuasan saat membeli tanpa memikirkan faktor kegunaan dari barang yang dibeli. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Virvilaite, Saladience, dan Bagdonaite 2009 bahwa salah satu yang memotivasi pembelian adalah adanya diskon. Parboteeah dalam Virvilaite dkk, 2009 menambahkan jika harga suatu barang adalah faktor penting dalam pembelian impulsif. Konsumen cenderung menjadi impulsif pada saat ada diskon. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh iklan potongan harga yang melekat pada kartu kredit terhadap pembelian impulsif remaja putri pengguna kartu kredit.

B. Rumusan Masalah