menyidir pada tokoh lain. Adapun faktor kebahasaan yang ditemukan dalam penelitian drama komedi saduran, yaitu pemakaian bahasa kias, pemakaian
ungkapan gaya bahasa penghalus, pemakaian tuturan yang berbeda dengan maksud penyampaian dan penggunaan tuturan implisit. Hal ini karena dalam
drama komedi saduran tuturan-tuturan yang digunakan para tokoh banyak mengandung pelanggaran bidal prinsip kesantunan yang berupa satire sehingga
para tokoh menggunakan tuturan bentuk tertentu agar bahasa yang digunakan terasa santun. Faktor kebahasaan yang dapat menentukan kesantunan tersebut
dapat dideskripsikan sebagai berikut.
4.2.1.1 Pemakaian Bahasa Kias
Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas. Pemakaian kata-
kata kias adalah bagian penting dari kegiatan berbahasa. Kata kias adalah gabungan kata yang membentuk arti baru dimana tidak berhubungan dengan kata
pembentuk dasarnya. Bahasa Indonesia memiliki banyak makna kiasan untuk kata-katanya. Kalau pemakai bahasa Indonesia paham betul dengan kata kias,
tentu bahasa akan dapat dipergunakan dengan penuh kesantunan dan keindahan. Dengan begitu, peristiwa bahasa yang tidak menyenangkan seperti kata-kata yang
tidak sopan, berbahasa dengan semaunya, dan berbahasa tidak santun, akan dapat diminimalisasi. Dalam konteks kesantunan, kata kias cenderung memiliki tingkat
kesopanan lebih tinggi dibandingkan dengan kata-kata lugas karena kadar keterusterangannya yang tidak tinggi.
Penggalan wacana drama komedi saduran yang menggunakan kata kias yang tidak santun tampak pada tuturan sebagai berikut.
37 Tidak Tuan tidak tahu Tuan ini orang kampung, orang tak tahu adat Data 11
Tuturan 35 yang dikatakan oleh Nyonya Martopo terasa tidak santun karena menggunakan kata lugas orang kampung, orang tak tahu adat. Kata-kata
itu mengndung makna bahwa orang kampung biasanya tidak tahu sopan santun atau tidak tahu adat.
Ada pula pemakaian bahasa kias yang terasa santun tampak pada tuturan sebagai berikut.
38 KONTEKS : AGUS MENGHINA PAK RUKMANA KARENA MERASA DIRINYA DIANGGAP BODOH.
RUKMANA : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu: “Juragan Muda“
Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Juragan Muda. Dan
kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ...
AGUS : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan
mentertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan
bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana
Kholil ... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat
RUKMANA : Apa katamu, Agus? Lintah darat? Data 69
Tuturan 36 yang dikatakan oleh Agus tersebut terasa lebih santun karena
menggunakan kata ungkapan lintah darat. Sekalipun sebenarnya Agus menghina
Tuan Rukmana tetapi penggunaan ungkapan tersebut terasa santun, sekalipun
makna dari lintah darat itu jelek. Lintah darat yang mengandung makna
penghisap darah. Penghisap darah dalam tuturan Agus kepada Pak Rukmana ini dimaksudkan dengan pemakan uang rakyat.
39 KONTEKS : AGUS TIDAK SANGGUP MENDENGAR CACIAN RATNA DAN PAK RUKMANA KEMUDIAN
MEMUTUSKAN UNTUK HENDAK PULANG. AGUS
: Oooohh ... Kakiku sudah lumpuh Kalian orang-orang berkomplot Tukang komplot Oh ... Mataku berkunang-
kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintunya? Aku mau pulang ...
RATNA : Jahat, Licik, Memualkan
RUKMANA : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau
Data 71 Tuturan 37 yang dikatakan oleh Pak Rukmana tersebut terasa lebih santun
karena menggunakan kata ungkapan berkepala dua. Sekalipun sebenarnya Pak
Rukmana menjelek-jelekkan Agus tetapi penggunaan ungkapan kiasan tersebut terasa cukup santun daripada sekadar dengan kata berumur 20-an.
4.2.1.2 Pemakaian Ungkapan Gaya Bahasa Penghalus