Nilai IS yang rendah ini disebabkan karena dua komunitas yang dibandingkan bukan pada tempat yang sama akan tetapi mengamati hutan yang sudah
dilakukan penebangan dan pembuatan jalur tanam kemudian dibandingkan dengan hutan primer. Selain itu juga yang menyebabkan nilai IS ini kecil
adalah adanya perbedaan komposisi baik jenis maupun jumlah individu antara dua komunitas yang dibandingkan. Berdasarkan jumlah nilai IS-nya, yang
memiliki IS rata-rata paling tinggi adalah pada plot kelerengan 15-25 yaitu sebesar 46,98 kemudian plot di kelerengan 25-40 yaitu sebesar 46,59.
E. Stratifikasi Tajuk
Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individu- individu dari suatu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai
kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan
lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan Soerianegara dan Indrawan 1988.
Menurut MacKinnon 1988 kanopi dari dari hutan hujan tropika ini terdiri dari tiga lapisan utama yaitu emergen, lapisan tajuk utama atau rata-rata
tajuk dan lapisan tajuk bawah. Di Kalimantan pohon tertinggi atau lapisan emergen terbentuk hampir seluruhnya oleh famili Dipterocarpaceae atau
Leguminosae. Pada Lampiran 6 dapat dilihat stratifikasi tajuk baik yang terdapat di
hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan. Terdapat perbedaan yang jelas pada hutan primer terdapat pohon-pohon emergen yang merupakan
pohon dengan diameter yang besar dengan tinggi pohon diatas rata-rata kanopi tajuk. Pohon seperti ini biasanya memiliki tajuk yang besar dan lebar
sehingga menutupi pohon yang berada di lapisan bawahnya sehingga membuat pohon lain menjadi tertekan.
Pada areal hutan bekas tebangan terlihat bahwa strata tajuknya hampir seragam atau terdiri dari 3 lapisan saja yaitu strata A, B dan C. Pada areal
hutan bekas tebangan strata A merupakan pohon emergen yang dilindungi seperti jenis tengkawang rambut Shorea meciscopteryc, ulin Eusideroxylon
zwageri , ataupun jenis-jenis komersial tetapi tidak ditebang karena tidak
memenuhi persyaratan misalnya karena pohonnya bengkok atau berlubang.
F. Keterbukaan Lahan
Keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan terbagi menjadi dua yaitu keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan baik itu untuk
penebangan pohon produksi ataupun untuk pembuatan jalur tanam yaitu menebang pohon-pohon yang berada pada jalur tanam selebar 3 m. Penyebab
keterbukaan lahan yang kedua adalah kegiatan penyaradan dalam rangka menarik keluar kayu produksi dari areal penebangan menuju TPK.
Berdasarkan hasil pengukuran pada plot pengamatan besarnya keterbukaan lahan lebih banyak diakibatkan oleh kegiatan penebangan baik itu tebangan
produksi dan juga penebangan jalur. Pengukuran keterbukaan lahan akibat penyaradan dilakukan dengan mengukur luas jalan sarad yang melewati plot
penelitian. Luas keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan dapat dilihat dalam Tabel 15.
Pengukuran keterbukaan lahan akibat pemanenan dan pembuatan jalur tanam dilakukan pada semua plot di areal penebangan ditiap kelerengan.
Karena dalam penelitian ini tidak diketahui kondisi penutupan lahan pada saat penebangan. Maka diasumsikan bahwa penutupan lahan sebelum adanya
kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam adalah 100. Dari Tabel 15 terlihat bahwa keterbukaan hutan bekas tebangan
kelerengan 0 – 15 yang disebabkan oleh penebangan 14 pohon produksi dan 32 penebangan pohon untuk jalur tanam adalah sebesar 25,44 atau
seluas 7632,12 m
2
. Yang terbagi atas keterbukaan akibat penebangan seluas 5766,81 m
2
dan luas lahan terbuka akibat kegiatan penyaradan yaitu dengan pengukuran luas jalan sarad yang berada di dalam plot adalah 1865,31 m
2
. Pada plot kelerangan 15 - 25 keterbukaan lahan diakibatkan oleh
penebangan 20 pohon produksi dan 16 pohon untuk pembuatan jalur tanam keterbukaan lahan sebesar 7558,95 m
2
, dengan luas jalan sarad yang adalah 2629 m
2
. Dengan demikian kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur yang
dilakukan pada kelerengan 15-25 menyebabkan keterbukaan seluas 10188,2 m
2
atau 33,96 seluruh areal pengamatan. Tabel.15. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan
Pada plot hutan bekas tebangan kelerengan 25-40 intensitas penebangan sebanyak 21 pohon produksi dan 31 pohon untuk pembuatan jalur
meyebabkan keterbukaan lahan seluas 8581,945 m
2
. Sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan dengan mengukur luas jalan sarad yang melalui plot
pengamatan adalah 1810,1 m
2
. Sehingga total luas areal terbuka pada plot di kelerengan 25-40 sebesar 34,64.
Keterbukaan areal akibat kegiatan pemanenan ini paling banyak diakibatkan oleh kegiatan penebangan produksi hal ini dimungkinkan karena
diameter, tinggi luas tajuk pohon lebih besar dibandingkan dengan penebangan pohon untuk pembuatan jalur tanam. Hal ini dibuktikan dengan
luasan pohon yang terbuka akibat penebangan di kelerengan 15-25 dan 25- 40. Meskipun keterbukaan lahan pada kelerengan 25-40 menunjukkan
angka yang paling besar 8581,945 m
2
dengan intensitas penebangan pohon untuk produksi sama tetapi intensitas pohon yang ditebang untuk pembuatan
jalur tanam lebih banyak dibandingkan dengan plot di kelerengan 15-25. Sehingga jika dirata-ratakan satu pohon ditebang di kelerengan 25-40
menyebabkan keterbukaan lahan sebesar 168,27 m
2
. Sedangkan di kelerengan 15-25 dimana jumlah pohon yang ditebang lebih sedikit tetapi rata-rata
Kelerengan No
plot Intensitas Penebangan
Keterbukaan Lahan m³ Persen
Keterbukaan lahan
Produksi Jalur
20 cm up Penebangan
Penyaradan 0 - 15
1 4 6 1599,02 434,73 20,34
2 5 6 1631,44 607,38 22,39
3 6 20 2536,35 823,2 33,60
Total 5766,81 1865,31
25,44 15 - 25
1 3 6 1639,74 480
21,20 2 12
7 3701,39 1388,25 50,90
3 5 5 2217,82 761
29,79 Total 7558,95
2629,25 33,96
25 - 40 1 4
12 2443,49 418 28,61
2 13 8 3560,295 974,05 45,34
3 4 11 2578,16 418,05 29,96
Total 8581,945 1810,1
34,64
keterbukaan lahan akibat dari penebangan satu pohonnya lebih besar yaitu 198,92 m
2
. Triyana 1995 yang melakukan penelitian di HPH PT. Industries et
Forest Asiatiques PT. IFA menyatakan bahwa keterbukaan lahan akibat penebangan 13 pohon menyebabkan keterbukaan lahan 5,25 akibat
penebangan dan 30,98 akibat penyaradan sehingga total keterbukaan lahan adalah 36,23 dalam satu hektar. Berbeda dengan hasil penelitian Triyana
1995, dalam penelitian ini keterbukaan lahan akibat penebangan jauh lebih besar dibandingkan dengan penyaradan hal ini diakibatkan karena pada
kegiatan penyaradan ini hanya dilakukan untuk menarik pohon produksi saja dan tidak menarik atau menyarad kayu yang ditebang untuk jalur tanam.
Selain itu yang menyebabkan keterbukaan lahan akibat penyaradan ini kecil yaitu dalam pengukuran keterbukaan lahan akibat penebangan ini hanya
memperhitungkan luas jalan sarad yang melewati pada plot pengamatan saja tanpa memperhitungkan pohon-pohon yang tumbang atau tergusur akibat
traktor. Dan juga berdasarkan pengamatan ketika melakukan penyaradan, traktor diusahakan tidak terlalu banyak melakukan manuver dan diharuskan
berjalan pada arah yang sudah ditentukan. Arah jalan sarad ini sudah direncanakan sebelum kegiatan penebangan dimulai dalam tahap penataan
areal kerja. Menurut Johns 1997 kerusakan tegakan pada umumnya terutama
disebabkan oleh kegiatan penyaradan kayu antara blok tebangan ke tempat pemuatan atau TPK. Sedangkan menurut Suhartana 1996 mengemukakan
bahwa gerakan-gerakan traktor pada saat mendatangi dan menyarad kayu di dalam setiap petak tebangan senantiasa akan menabrak dan menggusur pohon-
pohon yang masih berdiri, mendongkel dan mengupas serta memadatkan tanah.
G. Kerusakan Tegakan Tinggal