keterbukaan lahan akibat dari penebangan satu pohonnya lebih besar yaitu 198,92 m
2
. Triyana 1995 yang melakukan penelitian di HPH PT. Industries et
Forest Asiatiques PT. IFA menyatakan bahwa keterbukaan lahan akibat penebangan 13 pohon menyebabkan keterbukaan lahan 5,25 akibat
penebangan dan 30,98 akibat penyaradan sehingga total keterbukaan lahan adalah 36,23 dalam satu hektar. Berbeda dengan hasil penelitian Triyana
1995, dalam penelitian ini keterbukaan lahan akibat penebangan jauh lebih besar dibandingkan dengan penyaradan hal ini diakibatkan karena pada
kegiatan penyaradan ini hanya dilakukan untuk menarik pohon produksi saja dan tidak menarik atau menyarad kayu yang ditebang untuk jalur tanam.
Selain itu yang menyebabkan keterbukaan lahan akibat penyaradan ini kecil yaitu dalam pengukuran keterbukaan lahan akibat penebangan ini hanya
memperhitungkan luas jalan sarad yang melewati pada plot pengamatan saja tanpa memperhitungkan pohon-pohon yang tumbang atau tergusur akibat
traktor. Dan juga berdasarkan pengamatan ketika melakukan penyaradan, traktor diusahakan tidak terlalu banyak melakukan manuver dan diharuskan
berjalan pada arah yang sudah ditentukan. Arah jalan sarad ini sudah direncanakan sebelum kegiatan penebangan dimulai dalam tahap penataan
areal kerja. Menurut Johns 1997 kerusakan tegakan pada umumnya terutama
disebabkan oleh kegiatan penyaradan kayu antara blok tebangan ke tempat pemuatan atau TPK. Sedangkan menurut Suhartana 1996 mengemukakan
bahwa gerakan-gerakan traktor pada saat mendatangi dan menyarad kayu di dalam setiap petak tebangan senantiasa akan menabrak dan menggusur pohon-
pohon yang masih berdiri, mendongkel dan mengupas serta memadatkan tanah.
G. Kerusakan Tegakan Tinggal
1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon
Pengukuran kerusakan akibat penebangan satu pohon ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan
kerusakan pada tegakan atau pada pohon non target yang berdiameter lebih dari 10 cm. Dalam pengukuran kerusakan akibat penebangan satu
pohon ini, pohon contoh yang diambil adalah pohon yang ditebang untuk keperluan produksi bukan untuk penebangan pembuatan jalur. Sehingga
pohon yang ditebang ini memiliki diameter yang besar dan tinggi dan biasanya merupakan pohon yang menempati starata tajuk A atau pohon
yang emergen. Tabel 16. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu
Pohon.
Pohon di tebang
Tinggi m
Diameter cm
Bentuk kerusakan Total
Kerusakan Patah
roboh Rusak
tajuk Rusak
batang Rusak
banir Condong
Majau 32
83 12,66
13,92 2,53
1,27 30,38
Markabang 35 80 4,48 14,93 5,97 0
2,99 28,36
Keruing 24 64 7,94 17,46
1,59 0 1,59 28,57
Dari tabel dapat dilihat kerusakan yang paling besar terjadi pada penebangan pohon majau Shorea palembanica dengan persentase
kerusakan 30,38. Sedangkan yang terkecil pada penebangan pohon keruing Dipterocarpus sp. 28,36.
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap 3 buah pohon contoh tersebut, bentuk kerusakan paling banyak terjadi adalah kerusakan tajuk.
Dimana persentase kerusakan bervariasi mulai dari 13,92 sampai dengan 17,46. Bentuk kerusakan yang terbesar kedua adalah kerusakan
batang patah atau roboh dimana semua kerusakan ini termasuk kedalam tingkat kerusakan yang berat. Bentuk kerusakan patah ini nilainya berkisar
antara 4,48 sampai dengan 12,66. Bentuk kerusakan lain yang di temukan pada plot pengamatan adalah rusak batang dengan persentase
antara 1,59 dan 5,97, pohon condong dengan persentase antara 1,59 sampai 2,99. Dan bentuk kerusakan yang paling sedikit adalah kerusakan
pada banir yang hanya ditemukan pada penebangan pohon ke-1 yaitu pohon majau dengan persentase 1,27.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa besarnya diameter dan tinggi pohon tidak selalu berbanding lurus dengan persenetase kerusakan
tegakan tinggal. Hal ini seperti yang terjadi penebangan pada pohon
keruing dengan diameter yang lebih kecil yaitu 64 cm menyebabkan kerusakan terhadap tegakan tinggal lebih besar yaitu 28,57
dibandingkan dengan penebangan pohon yang lebih besar markabang diameter 80 cm yaitu 28,36. Hal ini bisa diakibatkan oleh beberapa
faktor diantaranya yaitu pada plot pengamatan penebangan pohon keruing kerapatan tegakannya lebih rapat dibandingkan pada penebangan pohon
markabang, selain itu juga pemilihan arah rebah yang dilakukan oleh chainsawman
juga berpengaruh. Dalam pemilihan arah rebah selain memperhatikan kerapatan tegakan juga ada faktor-faktor lain yang
menjadi pertimbangan diantaranya adalah arah condong pohon, intensitas penutupan tajuk, kemiringan lahan, dan biasanya yang paling penting
adalah mengutamakan keselamatan penebang dan juga pembantunya. Sedangkan berdasarkan tingkat kerusakan terhadap tegakan tinggal
yang terdapat dalam plot pengamatan dapat dilihat dalam Tabel 17. Tabel 17. Persentase Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan satu pohon
Berdasarkan Tingkat Kerusakannya
Pohon ditebang Ringan
Sedang Berat
Total Majau 12,66
3,80 13,92
30,38 Markabang 11,94 5,97 10,45
28,36 Keruing 9,52 7,94
11,11 28,57
Dari tabel di atas dapat dilihat kerusakan tegakan tinggal yang paling banya adalah kerusakan ringan dan berat. Kerusakan ringan
berkisar antara 9,52 dan 12,66 sedangkan kerusakan berat persentasenya antara 10,45 sampai dengan 13,52. Kerusakan ringan pada
tegakan dapat berupa kerusakan tajuk 30, luka batangkulit 14 keliling pohon, rusak banir 14. Sedangkan kerusakan berat berupa
pohon mengalami patah batang atau roboh, tajuk rusak 50, luka batang lebih dari setengah keliling pohon.
2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan