Komposisi Jenis HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif TPTII merupakan modifikasi dari sistem silvikultur yang sudah ada, Terutama sistem silvikultur tebang pilih dan Tanam Indonesia TPTI dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ. Sistem Silvikultur tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati dilakukan pada areal bekas tebangan dimana merupakan areal bekas tebangan yang baru dikonversi dari hutan primer. Diameter penebangan pohon produksi pada sistem silvikultur TPTII adalah pohon komersial dengan diameter 50 cm. Setelah dilakukan penebangan suatu areal yang ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan TPTII ini dilakukan pembuatan jalur tanam selebar tiga meter yang diperlukan untuk jalur tanam. Jarak antar tepi jalur tanam ini adalah 17 m yang merupakan jalur konservasi. Kegiatan pemanenan ini baik penebangan, penyaradan dan pembuatan jalur tanam tentu saja memberikan dampak pada lingkungan seperti tegakan tinggal, tanah dan juga iklim mikro yang ada di sekitarnya.

A. Komposisi Jenis

Hutan tropis dataran rendah Kalimantan merupakan kawasan yang didominasi oleh flora dari famili Dipterocarpaceae. Berdasarkan hasil inventarisasi jenis pada plot pengamatan di setiap kelerengan baik di hutan primer maupun pada areal hutan bekas tebangan menunjukkan komposisi jenis yang tinggi. Pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah jenis yang ditemukan pada areal pengamatan baik di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada hutan bekas tebangan mengalami penurunan jumlah jenis pada semua kelerengan apabila dibandingkan dengan hutan primer. Pada kelerengan 0-15 jumlah jenis yang ditemukan untuk vegetasi tingkat semai di areal hutan bekas tebangan sebanyak 32 jenis, di hutan primer 43 jenis. Di kelerengan 15-25 areal hutan bekas tebangan 32 jenis dan hutan primer 45 jenis, sedangkan pada kelerengan 25-40 di hutan primer 47 jenis dan areal hutan bekas tebangan 35 jenis. Komposisi jenis yang menurun terjadi juga pada hutan kelerengan 25- 40 pada semua tingkat vegetasi. Dimana pada tingkat semai jumlah jenis di hutan primer ditemukan sebanyak 47 jenis sedangkan di areal hutan bekas tebangan 35 jenis. Untuk vegetasi tingkat pancang di hutan primer ditemukan 56 jenis, di areal hutan bekas tebangan 36 jenis. Vegetasi tingkat tiang di hutan primer ditemukan 39 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 28 jenis. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pohon pada kelerengan 25-40 ditemukan 58 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 33 jenis. Penurunan jumlah jenis di suatu areal hutan yang dilakukan penebangan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat intensitas penebangan atau kerusakan tegakan. Tabel 7. Jumlah Jenis yang ditemukan di Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan pada Berbagai Kelerengan Tabel 8 menunjukkan komposisi permudaan jenis dilihat dari kerapatan NHa dan frekuensinya yang terdapat pada plot pengamatan dimasing-masing kelerengan. Dari tabel terlihat adanya penurunan jumlah kerapatan apabila dibandingkan antara hutan primer dengan areal hutan bekas tebangan. Hal ini diperkirakan dikarenakan adanya dampak dari kegiatan pemanenan yaitu penebangan dan penyaradan maupun penebangan untuk pembuatan jalur tanam. Tabel 8. Komposisi Pohon dan Permudaan Jenis Komersial di Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan Dilihat dari Penyebaran Frekuensi dan Kerapatannya NHa Keadaan hutan Kel Semai Pancang Tiang Pohon F K F K F K F K primer 0 -15 1,00 17533,33 1,00 2421,33 1,00 354,67 0,99 66,33 15-25 1,00 18800,00 0,99 1888,00 1,00 368,00 0,99 76,00 25-40 0,95 20200,00 0,99 2101,33 0,95 197,33 1,00 64,67 Areal bekas tebangan 0 -15 0,93 15700,00 0,87 1018,67 0,92 228,00 0,76 37,33 15-25 0,87 13500,00 0,87 1680,00 0,97 274,67 0,93 55,67 25-40 0,81 11000,00 0,83 1344,00 0,96 237,33 0,89 43,00 Kondisi hutan Kelerengan Jumlah jenis Semai Pancang Tiang Pohon Primer 0 - 15 43 47 17 30 15 - 25 45 38 22 36 25 - 40 47 56 39 58 Bekas tebangan 0 - 15 32 34 33 39 15 - 25 32 42 40 41 25 - 40 35 36 28 33 Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa permudaan jenis komersial di areal hutan bekas tebangan umumnya memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer kecuali pada vegetasi tingkat tiang kelerengan 25-40, dimana kerapatan pada hutan primer 197,33 batangHa sedangkan di areal hutan bekas tebangan 237,33 batangHa. Berdasarkan nilai frekuensi untuk permudaan jenis komersial pada tingkat semai, pancang dan tiang memiliki nilai diatas 75. Frekuensi pohon komersial baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan sebagian besar menunjukkan nilai 75 tetapi kurang dari 100, kecuali pada hutan primer kelerengan 25- 40 frekuensinya 100. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat dalam Gambar 4. Gambar 4. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Komersial Ditebang Pada Areal Pengamatan Menurut Wyatt-Smith 1963 permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40 stocking permudaan tingkat semai 1000 petak ukur milliacre per hektar, 60 tingkat pancang 240 petak ukur milliacre per hektar dan 75 tingkat tiang 75 petak ukur milliacre per hektar dari jenis komersial. Serta SK Dirjen PH No. 564KptsIV-BPHH1989 mengenai Pedoman TPTI dimana disana disebutkan permudaan alam dianggap cukup Kerapatan Jenis Komersial NHa 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 0 -15 15-25 25-40 0 -15 15-25 25-40 primer Areal bekas tebangan Kondisi hutan K e ra p a ta n N H a Semai Pancang Tiang Pohon 25000 20000 10000 15000 Frekuensi Jenis Kom ersial 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 -15 15-25 25-40 0 -15 15-25 25-40 primer Areal bekas tebangan Keadaan Hutan fr eku en si Semai Pancang Tiang Pohon Kerapatan Jenis Komersial ditebang NHa Frekuensi Jenis Komersial ditebang NHa Kondisi hutan Kondisi hutan apabila terdapat paling sedikit 400 batang tingkat semai atau 200 batang tingkat pancang atau 75 batang tingkat tiang. Berdasarkan kriteria tersebut vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang memenuhi dari kriteria Wyatt-Smith dan pedoman TPTI. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Untuk vegetasi tingkat pohon kerapatan pohon komersial pada seluruh petak pengamatan 25 pohonHa berarti memenuhi kriteria pedoman TPTI. Sedangkan untuk frekuensi nilainya menunjukkan nilai di atas 75 tetapi kurang dari 100 kecuali pada kelerengan 25-40 frekuensinya 100. Hal ini berarti frekuensi pohon komersial pada petak pengamatan tidak memenuhi kriteria Wyatt- Smith dimana vegetasi tingkat pohon jenis komersial tidak tersebar merata. Tetapi dari kerapatan NHa memenuhi syarat karena dengan berjalannya waktu kerapatan pohonHa akan meningkat dan memenuhi syarat Indrawan, 2000. Kerapatan pohon per hektar yang ditemukan di dalam plot pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 5. Kerapatan Pohon Hutan Primer NHa 5 10 15 20 25 30 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 - up diameter J u m la h poh on pe rh e k ta r 0 - 15 15 - 25 25 - 40 Kerapatan Pohon Hutan Areal Bekas Tebangan NHa 5 10 15 20 25 30 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 Diameter jum la h p ohonH a 0-15 15 - 25 25 - 40 Gambar 5. Kerapatan Pohon pada Masing-masing Lokasi Pengamatan Dari Gambar 5 terlihat bahwa plot hutan primer memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan. Sedangkan perbandingan antara pohon komersial pada areal bekas tebangan dan hutan primer pada setiap kelerangan dapat dilihat pada Gambar 5. Kerapatan pohon komersial kelerengan 0-15 5 10 15 20 25 30 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-up kelas diameter K e ra pa ta n N H a H.Primer H.Bekas Tebangan Kerapatan Pohon Komersial Kelerengan 15-25 5 10 15 20 25 30 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-up Selang diam eter cm K e ra pa ta n N H a H.Primer H.Bekas Tebangan Kerapatan Pohon Komersial Kelerengan 25-40 5 10 15 20 25 30 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90 up Kelas diam eter cm H. Primer H. Bekas Tebangan Gambar 6. Kerapatan Pohon Komersial pada Tiap Kelerengan Dari Gambar 6 dapat dilihat pada umumnya terjadi penurunan kerapatan pada hutan bekas tebangan ditiap kelerengan. Penurunan terbesar terbesar terlihat pada perbandingan hutan di kelerengan 25-40. Penurunan ini diakibatkan karena adanya kegiatan pemanenan maupun pembuatan jalur tanam lihat Tabel 18.

B. Dominasi jenis

Dokumen yang terkait

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

3 21 271

Analisis komposisi jenis dan struktur tegakan di hutan bekas tebangan dan hutan primer di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber Kalimantan Tengah

0 14 110

Struktur Dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Tptj) (Di Areal Iuphhk Pt. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

3 30 125

Petubahan KOihposisi Dan Struktut Tegakan Hutan Produksi Alam Dengan Menggunakan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Ema Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 15 229

Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 19 70

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Perkembangan tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 11 232

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

2 16 96

Struktur, Komposisi Tegakan dan Riap Tanaman Shorea parvifolia Dyer. pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

0 2 160

Kualitas Tanah pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat

0 6 30