Kebijakan Perberasan PEMIKIRAN BARU DALAM RPJMN 2015-2019

357

BAB IX PEMIKIRAN BARU DALAM RPJMN 2015-2019

9.1. Kebijakan Perberasan

Beras adalah komoditas pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Karena itu, sejak zaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia selalu bercita-cita mencapai swasembada beras. Cita-cita telah tercapai pada pada tahun 1979-1986, yang tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Orde Baru yang pada awalnya cukup serius membangun sektor pertanian padi. Banyak pihak yang mengatakan bahwa pencapaian swasembada beras pada waktu itu adalah sebuah prestasi gemilang, dan itu diakui oleh dunia internasional. Namun ada catatan bahwa pencapaian swasembada beras pada saat itu tidak berdampak meningkatkan kesejahteraan petani karena harga beras ditekan dengan harga rendah kebijakan harga beras murah, sementara harga pupuk dan obat-obatan meningkat. Swasembada beras tersebut tidak bertahan lama karena dukungan terhadap pertanian termasuk beras berkurang sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendorong sektor industri. Sejak krisis ekonomi 1997-1998, Indonesia mengalami defisit beras dalam jumlah besar sehingga perlu dilakukan impor dalam jumlah besar yang sangat menguras devisa negara. Melihat fenomena tersebut, pemerintah bertekad untuk mencapai swasembada beras kembali. Produksi beras cenderung meningkat melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas, namun swasembada masih belum tercapai hingga 2013. Walaupun demikian, pemerintah tetap bertekad mencapai swasembada beras tahun 2014 dan bahkan surplus beras 10 juta ton. Namun target tersebut diprediksi belum akan dapat dicapai karena masih adanya berbagai persoalan yang menyangkut ketersediaan lahan, kerusakan jaringan irigasi, perubahan iklim, dan lain-lain. Pertanyannya sekarang adalah: “Apakah Indonesia Harus Tetap Berswasembada Beras?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pandangan yang perlu dilihat, yaitu: 1 Menolak swasembada; 2 Mendukung swasembada; dan 3 Antara menolak dan mendukung, yaitu mencapai ketahanan pangan. Pandangan yang pertama, yaitu menolak swasembada dan memproduksi beras, mempunyai alasan ekonomi yang didasarkan atas teori keunggulan komparatif comparative advantage . Teori ini mengatakan bahwa suatu negara RPJM.indd 357 2112014 3:29:16 PM 358 lebih baik mengembangkan komoditas yang dayasaingnya tinggi dan mengimpor komoditas yang dayasaingnya rendah, sehingga ekonomi nasional lebih efisien dan kesejahteraan masyarakat lebih tinggi. Sebagai contoh, Indonesia sukses dalam pengembangan komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, kopi, dan lain-lain, tetapi kurang berhasil dalam pengembangan komoditas pangan seperti padiberas, jagung, kedelai, gula dan sapi potong. Karena itu, beras, jagung, kedelai dan daging sapi lebih baik diimpor saja karena harganya lebih murah. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi OECD termasuk yang menganut paham ini yang menilai bahwa perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada adalah salah arah 9 . Dikatakan bahwa Indonesia lebih baik fokus pada komoditas yang berdaya saing tinggi dan mempunyai keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di pasar global dalam produk ekspornya. Menurut OECD, pemerintah Indonesia sebaiknya mulai meninggalkan tujuan swasembada karena dinilai justru membutuhkan dana sangat besar jika dipaksakan pada komoditas yang dayasaingnya rendah. Dana yang besar dibutuhkan untuk untuk pembangunanrehabilitasi infrastruktur pertanian, subsidi pupuk dan benih, perlindungan pasar, dan lain-lain. Sebaliknya, pandangan yang kedua, yaitu mendukung swasembada beras mempunyai alasan sosial-politis. Argumentasi utama pandangan ini adalah bahwa Indonesia harus dapat mencukupi kebutuhan pangannya dengan memproduksi sendiri tanpa tergantung pada negara-negara lain. Swasembada perlu karena jika pasokan beras di pasar dunia tipis dan tidak menentu, maka Indonesia akan menemui kesulitan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Apalagi jika negara-negara eksportir utama beras dunia Thailand dan Vietnam menaikkan harga jual berasnya, maka Indonesia akan memerlukan devisa lebih besar lagi untuk impor beras. Pandangan yang ketiga, yaitu ketahanan pangan, dimana Indonesia tidak harus mencapai swasembada, tetapi defisit dapat ditutup dengan impor. Yang sangat penting dalam konsep ketahanan pangan adalah: 1 Pasokan pangan harus cukup, yang dapat dipenuhi melalui produksi sendiri dan impor ketergantungan pada impor tidak boleh terlalu besar; 2 Distribusi lancar sehingga beras mudah diakses dan aman dikonsumsi oleh semua penduduk di 9 Disampaikan dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2012. RPJM.indd 358 2112014 3:29:16 PM 359 seluruh wilayah Indonesia; dan 3 Harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, maka tidak ada lagi rumah tangga yang mengalami kekurangan pangan, baik secara kuantitas dan kualitas, sepanjang waktu. Anekdot “stomach cannot wait” sangat kompatibel dengan paham ketahanan pangan ini. Ke depan, sebaiknya Indonesia menganut paham Ketahanan Pangan , dimana Indonesia tetap memproduksi beras dan berupaya meningkatkan produksi beras, tetapi tidak harus ngotot mencapai swasembada. Beberapa alasannya adalah sebagai berikut: 1 Upaya pencapaian swasembada beras secara mati-matian at all costs memerlukan biaya terlalu besar, yang akan menghilangkan kesempatan bagi komoditas-komoditas lain yang berdaya saing tinggi di pasar ekspor dan pasar domestik untuk berkembang. Sebagai contoh, pada APBN 2013 dialokasikan Rp 200 triliun untuk program swasembada beras untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, subsidi pupuk dan benih, dan lain-lain. 2 Luas lahan sawah terus mengalami konversi ke penggunaan lain, baik untuk non-pertanian maupun beralih ke komoditas non-beras. Kecenderungan ini akan terus terjadi karena sulit dicegah. Sementara itu, pencetakan sawah baru berjalan lambat karena berbagai persoalan. Walaupun terdapat lahan terlantartidur sangat luas, lahan tersebut tidak serta-merta dapat digunakan untuk pembuatan sawah karena masalah status pemilikanpenguasaan lahan yang rumit. 3 Hasil-hasil riset hingga saat belum dapat menghasilkan varietas padi dengan produktivitas tinggi diatas 7 ton GKGha. Produktivitas padi yang ada di Indonesia sebenarnya sudah jauh melebihi produktivitas padi di Thailand dan Vietnam, sehingga sulit dinaikkan. 4 Swasembada on-trend sebesar 70-80 dari kebutuhan beras nasional dipandang sudah memadai. Selebihnya, 20-30 dapat diimpor dari negara- negara lain. Yang penting adalah memenuhi prinsip ketahanan pangan sebagaimana telah disampaikan dimuka. Upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperoleh jaminan pasokan beras dari Vietnam melalui penandatanganan MoU nota kesepahaman 18 September 2012 yang berisi bahwa Vietnam siap memasok beras sebanyak 1,5 juta ton per tahun jika Indonesia membutuhkannya sewaktu-waktu untuk cadangan beras nasional. Kesepakatan dengan Vietnam itu berlaku untuk 2013-2017. Sebelumnya, Indonesia juga telah menandatangani MoU dengan Thailand dan Kamboja dengan komitmen masing-masing menyediakan 1,1 juta ton per tahun. RPJM.indd 359 2112014 3:29:16 PM 360

9.2. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan