77
mereka dalam menyediakan jaminan
collateral
sesuai dengan prinsip kehati-hatian bank
prudential banking,
dan karena suku bunga komersial yang terlalu tinggi. Mulai tahun 2006, Kementerian Pertanian
melalui Pusat Pembiayaan Pertanian telah menyiapkan program untuk maksud tersebut.
Upaya Tindak Lanjut
Dalam rangka revitalisasi perbenihan dan perbibitan, dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1 Menata kembali kelembagaan perbenihanperbibitan nasional
mulai dari tingkat pusat sampai daerah; 2 Melindungi, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya genetik nasional untuk pengembangan varietas unggul
lokal; 3 Memperkuat tenaga pemulia dan pengawas benih tanaman; 4 Memberdayakan penangkar dan produsen benih berbasis lokal; 5 Meningkatkan
peran swasta dalam membangun industri perbenihan perbibitan; 6 Membangun industri perbenihan dengan arah kemandirian industri benih nasional yang
mencakup kemandirian produksi benih; 7 Mengharuskan importir pedagang benih mengembangkan perbenihan di dalam negeri sehingga menjadi importir produsen
benih dalam upaya untuk menahan laju benih impor dan mendorong berkembangnya industri benih di dalam negeri; 8 Menyediakan sumber bahan
tanaman perkebunan melalui pembangunan dan pemeliharaan kebun indukentres serta penguatan kelembagaan usaha perkebunan; dan 9 Membangun perbibitan
ternak dengan mengarahkan peran swasta pada kelangsungan perbibitan ayam ras mulai dari keberadaan
grand parent stock, parent stock
sampai
final stock.
3.6. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pergeseran Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai
dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia utamanya adalah beras. Meskipun konsumsi beras menurun,
tingkat konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia tergolong tinggi bahkan menduduki peringkat atas dunia. Penurunan konsumsi beras menjadi salah satu
target program percepatan diversifikasi pangan, yaitu penurunan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 1,5tahun. Selain itu juga bertujuan untuk
RPJM.indd 77 2112014 3:28:16 PM
78
memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman B2SA yang ditunjukkan dengan peningkatan skor Pola
Pangan Harapan PPH dari tahun ke tahun.
Konsumsi pangan pokok di Indonesia sampai saat ini masih cenderung bias ke beras. Konsumsi beras per kapita dalam rumahtangga di Indonesia ditargetkan
untuk menurun, namun penurunan konsumsi beras tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi pangan lokal umbi-umbian. Sebaliknya justru
terjadi peningkatan konsumsi terigu yang bukan merupakan pangan lokal. Selama 1996-2011 konsumsi beras per kapita rumahtangga di Indonesia terus menurun,
dengan tingkat penurunan di kota sebesar 5,0tahun, lebih tinggi dibanding di perdesaan 3,8tahun.
Sementara dilihat dari pangsa pengeluaran, selama periode yang sama pangsa pengeluaran padi-padian paling dominan, namun dalam
perkembangannya, cenderung menurun diikuti dengan peningkatan pangsa makanan-jadi, dan pada akhir 2011 makanan-jadi mempunyai pangsa terbesar
dibanding kelompok pangan lainnya. Selama periode tersebut pangsa makanan- jadi terus meningkat dengan laju 9,6tahun, sebaliknya pangsa pangan padi-
padian menurun dengan laju 2,7tahun. Pangsa umbi-umbian yang sudah sangat relatif kecil juga menurun dengan laju 5,9tahun. Demikian pula pangsa
pangan sumber protein yang berasal dari ternak dan ikan juga cenderung menurun dengan laju 2,5tahun untuk ternak dan 1,2tahun untuk ikan.
Pangsa pangan sumber mineral dan vitamin yang berasal dari sayuran dan buah-buahan pada periode yang sama juga cenderung menurun dengan laju
masing-masing 3,9tahun untuk sayuran dan 1,7tahun untuk buah-buahan Gambar 3.10. Sebagai ilustrasi, selama periode 1996-2011 pangsa pengeluaran
padi-padian turun dari 21,24 pada tahun 1996 menjadi 17,28 pada tahun 2011, sementara pangsa pengeluaran makanan-jadi pada periode yang sama dari
17,39 meningkat menjadi 24,37. Tingginya pengeluaran makanan-jadi, antara lain karena berkembangnya industri makanan-jadi, baik industri besarmenengah
dan kecil maupun industri rumah tangga pengolahan makanan-jadi dalam merespon perubahan selera masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat, di
antaranya makin banyak wanita bekerja yang menuntut kepraktisan dalam penyajian makanan. Pangsa pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan
pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: padi-padian 17,28, Umbi-umbian 0,98, Pangan asal ternak 5,11, Ikan 8,51, Sayuran 7,68, Buah-buahan
4,25, dan makanan-jadi mempunyai pangsa terbesar yaitu 24,37.
RPJM.indd 78 2112014 3:28:16 PM
79
Gambar 3.10. Pangsa Pengeluaran Pangan menurut Kelompok Pangan, 1996-2011
Sumber: Susenas BPS terbitan beberapa tahun, diolah
Di dalam kelompok pangan padi-padian sendiri, pangsa pengeluaran untuk beras menurun, sebaliknya konsumsi terigu yang merupakan pangan asal impor
meningkat. Demikian pula konsumsi pangan lokal umbi-umbian semakin ditinggalkan dan beralih ke terigu dan produk olahannya. Hal ini tercermin dari
semakin tingginya pangsa pengeluaran untuk terigu dan produk olahannya. Jenis pangan produk terigu yang paling populer adalah mie instan, karena produk
pangan ini relatif murah dan mudah dijangkau, tidak hanya di perkotaan namun juga di perdesaan di berbagai agroekosistem Susilowati et al, 2012.
Selama periode 1996-2011 pangsa pengeluaran untuk terigu meningkat dengan laju 7,55tahun, sementara produk olahan terigu yang terpopuler, yaitu
mie instant, meningkat dengan laju 5,95tahun Gambar 3.11. Sebaliknya, jenis makanan mie basah dan macaroni cenderung menurun dengan laju masing-
masing 20,0tahun dan 1,27tahun. Laju penurunan pangsa mie basah yang cukup tinggi dan sebaliknya laju peningkatan pangsa mie instan tersebut semakin
menunjukkan pergeseran preferensi masyarakat yang menuntut kepraktisan dalam penyajian makanan. Sebagai ilustrasi, pangsa pengeluaran terigu dan
produk turunannya terhadap pengeluaran pangan 1996-2011 berturut-turut adalah 1,55 untuk terigu, 1,81 untuk mie instan, 0,01 untuk mie basah,
0,03 untuk macaronimie kering dan 0,51 untuk mie instan makanan-jadi. Mie instan mempunyai pangsa pengeluaran tertinggi setelah terigu disusul oleh
mie instan makanan-jadi. Hal ini berimplikasi bahwa mengembangkan produk olahan pangan non-beras berbahan baku lokal seperti tepung mocaf dari
ubikayu dan untuk meningkatkan preferensi konsumen kepada produk olahan
RPJM.indd 79 2112014 3:28:16 PM
80
pangan non-beras berbahan baku local tersebut, hendaknya produk dikemas menjadi produk instan atau produk yang mudah diolah menjadi makanan siap saji.
Gambar 3. 11. Pangsa Pengeluaran Terigu dan Produk Turunannya terhadap Pengeluaran Pangan 1996-2011
Sumber: Susenas, BPS terbitan beberapa tahun, diolah
Pergeseran Konsumsi Pangan Pokok Sumber Karbohidrat
Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1996 secara agregat, pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di perdesaan
beras telah menjadi pola pangan pokok tunggal. Dalam perkembangannya, konsumsi beras semakin menurun. Gambar 3.12 dan Gambar 3.13 menyajikan
perkembangan tingkat konsumsi beras, umbi-umbian, sagu dan terigu pada rumahtangga di Indonesia menurut wilayah. Selama 1996-2011 konsumsi beras
per kapita dalam rumahtangga di Indonesia secara konsisten menurun, tingkat penurunan konsumsi beras selama kurun waktu tersebut lebih tinggi di kota
5,0tahun dibanding di perdesaan 3,8tahun. Konsumsi beras, dalam hal ini beras dan produk turunannya kumulatif setara beras, yang meliputi beras,
ketan, tepung beras dan bihun belum termasuk ke dalam makanan matang yang dikonsumsi oleh pendudukrumahtangga.
Penurunan konsumsi beras tidak berarti konsumsi pangan lokal meningkat. Konsumsi pangan lokal seperti ubi kayu, ubi jalar dan umbi-umbian
lainnya secara agregat juga menurun. Selama periode 1996-2011 tingkat konsumsi ubi kayu menurun 4,4tahun di perkotaan sementara di perdesaan
RPJM.indd 80 2112014 3:28:16 PM
81
10,0tahun. Yang cukup mengkhawatirkan adalah laju penurunan konsumsi kelompok umbi-umbian lainnya di perdesaan jauh lebih tinggi dibandingkan laju
penurunan di perkotaan, yaitu masing-masing 21,4tahun dan 1,2tahun. Konsumsi ubi jalar di perkotaan menurun 9,8tahun namun di perdesaan
meningkat lambat yaitu 2,5tahun. Namun yang menarik adalah penurunan konsumsi kelompok ubi dan umbi-umbian lainnya terkompensasi dengan
peningkatan konsumsi sagu, yang semula merupakan tanaman liar, dewasa ini sudah semakin banyak dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya di pulau
Kalimantan dan pulau Irian. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya untuk kelompok masyarakat, baik di perdesaan maupun di perkotaan, secara konsisten
meningkat dengan laju peningkatan konsumsi di perdesaan jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan, yaitu masing-masing 19,4tahun dan
8,7tahun.
Gambar 3.12. Tingkat Konsumsi Beras, Umbi-umbian, Sagu dan Terigu di Wilayah Perkotaan, 1996-2011
Sumber: Susenas BPS, beberapa tahun diolah
Gambar 3.13. Tingkat Konsumsi Beras, Umbi-umbian, Sagu dan Terigu di Wilayah Perdesaan, 1996-2011
Sumber: Susenas BPS, beberapa tahun diolah
RPJM.indd 81 2112014 3:28:16 PM
82
Bila dikaitkan tingkat konsumsi per kapita dengan pendapatan diproksi dari pengeluaran, masing-masing komoditas mempunyai pola yang berbeda.
Konsumsi beras awalnya meningkat sampai dengan kelompok pengeluaran V Rp 300,000 – 499,999 per kapita per bulan, setelah itu semakin tinggi pendapatan
konsumsi beras semakin rendah Gambar 3.14. Artinya pada batas kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan Rp 300,000 – 499,999 per kapita per
bulan, beras sudah dapat dipandang sebagai barang inferior, dimana semakin tinggi tingkat pendapatan, maka tingkat konsumsi beras semakin rendah.
Sebaliknya konsumsi terigu dan produk turunannya, semakin tinggi pendapatan maka konsumsi terigu juga semakin tinggi, dimana komoditas ini
belum termasuk makanan-jadi bahan baku terigu seperti roti tawar, roti manis, biskuit dan lain-lain, yang diduga juga semakin tinggi Gambar 3.15. Sementara
itu, konsumsi umbi-umbian dan sagu menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka konsumsi komoditi tersebut semakin rendah. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa kelompok pangan jenis ubi dan kelompok umbi-umbi lainnya dipandang sebagai barang inferior Gambar 3.16, kecuali untuk kelompok umbi-
umbian lainnya seperti kentang, talas, dan sebagainya dimana semakin tinggi pendapatan konsumsi komoditas tersebut semakin besar.
Gambar 3.14. Konsumsi Beras pada Rumahtangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2011
Sumber: Susenas BPS, beberapa tahun, diolah
RPJM.indd 82 2112014 3:28:16 PM
83
Gambar 3.15. Konsumsi Terigu dan Produk Turunannya pada Rumahtangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2011
Sumber: Susenas BPS, beberapa tahun, diolah
Gambar 3.16. Konsumsi Ubikayu, Ubijalar, Sagu dan Umbi Lainnya pada Rumahtangga Indonesia menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2011
Sumber: Susenas BPS, beberapa tahun, diolah
Perkembangan Diversifikasi Konsumsi Pangan dan PPH
Salah satu target sukses Kementerian Pertanian adalah peningkatan diversifikasi pangan yang dicerminkan melalui penurunan konsumsi beras per
kapita 1,5tahun dan target skor PPH Pola Pangan Harapan pada tahun 2015 sebesar 95. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Perpres Nomor 22 Tahun
2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan Perpres tersebut adalah memfasilitasi dan
mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman B2SA yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Dalam
pelaksanaan Perpres tersebut, Menteri Pertanian menindaklanjuti dengan
RPJM.indd 83 2112014 3:28:17 PM
84
mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43PermentanOT.1402009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal. Ini juga tercermin bahwa Diversifikasi pangan merupakan salah satu target sukses Kementerian Pertanian 2010-2014. Untuk mencapai
tujuan tersebut, Badan Ketahanan Pangan BKP, Kementerian Pertanian, melaksanakan kegiatan gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan P2KP
yang dimulai pada tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang
dan aman yang diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator
outcome
adalah meningkatnya skor PPH dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras
1,5 per tahun BKP, 2012.
Penilaian kualitas pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Pola Pangan
Harapan PPH. Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung pada peranan pangan dari
masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Semakin tinggi nilai skor PPH mendekati 100 maka akan semakin baik, dalam arti
diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus mempunyai skor 100. Gambar 3.17 menunjukikan perkembangan pencapaian diversifikasi konsumsi
pangan yang diukur dengan PPH.
Gambar 3.17. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut PPH Tahun 2002-2011 Sumber: Hardinsyah
2012, diolah.
RPJM.indd 84 2112014 3:28:17 PM
85
Dalam kurun waktu 2002-2011, skor PPH sebenarnya meningkat, bahkan pada tahun 2007-2008 mencapai lebih dari 80, namun tahun berikutnya
mengalami penurunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi PPH selain pendapatan juga pengetahuan tentang gizi, selera atau kesadaran tentang pangan yang
berkualitas dan kualitas sumberdaya manusia itu sendiri. Namun demikian secara umum hasil kajian Hardinsyah et al 2012 menunjukkan bahwa PPH pada
rumahtangga di perkotaan relatif lebih baik dibanding dengan rumahtangga di perdesaan. Bila dikaitkan dengan pendapatan, maka semakin tinggi pendapatan
rumahtangga cenderung pola konsumsi pangannya mendekati PPH.
Target skor PPH pada tahun 2015 sebesar 95 tampaknya masih jauh dari kenyataan, dimana pada tahun 2011 baru mencapai 77,3. Perlu upaya keras untuk
pencapaian target tersebut melalui kampanye penganekaragaman pangan dan sumber gizi masyarakat. Pola konsumsi pangan masyarakat berdasarkan PPH yang
dicapai aktual dan PPH yang semestinya harapan disajikan pada Gambar 3.18. Tampak bahwa pola konsumsi masyarakat belum mengacu pada pedoman PPH.
Pola konsumsi pangan masyarakat masih dominan pada kelompok padi-padian, yang sudah kelebihan 39,4 gramkapitahari, demikian pula halnya dengan
kelompok minyak dan lemak 2,6 gramkapitahari. Defisit sangat besar terjadi pada kelompok umbi-umbian 61,2 gramkapitahari, pangan hewani 57,8
gramkapitahari dan kelompok sayur serta buah yang mencapai 38,6 gramkapitahari.
Konsumsi kelompok umbi-umbian perlu ditingkatkan. Dalam rangka mendorong konsumsi pangan lokal umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat
perlu dilakukan secara sinergis penanganan di sisi produksi dan ketersediaan pangan berbasis sumberdaya lokal dan sisi permintaan melalui sosialisasi, edukasi
dan advokasi tentang pentingnya konsumsi beragam, bergizi, seimbang dan aman. Kampanye “
One Day No Rice
” yang dilakukan oleh Kota Depok dan kota- kota lain, paling tidak baru untuk lingkungan terbatas, perlu dilakukan secara
konsisten dan diikuti secara masal di lingkungan masyarakat sekitar.
RPJM.indd 85 2112014 3:28:17 PM
86
Tabel 3.18. Pola Konsumsi Pangan: Harapan dan Kenyataan gram kapitahari Sumber: Hardinsyah et al, 2012
Program lain yang harus digalakkan dan dikampanyekan secara luas pelaksanaannya adalah Program “Gemar Ikan” yang telah diinisiasi oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Demikian pula salah satu agenda yang perlu dilakukan segera untuk meningkatkan penggunaan bahan pangan lokal non beras
adalah dengan menginstruksikan penggunaan pangan berbahan baku lokal pengganti beras untuk kudapan saat rapat, dimulai dari lingkungan instansi
pemerintah, sekolah-sekolah agar menginstruksikan penjualan penganan jajanan di lingkungannya dengan jajanan berbahan baku pangan lokal, dan pada saat
yang sama mendidik para pelajar untuk mengkonsumsi pangan berbahan baku lokal.
Selain itu konsumsi buah dan sayur harus ditingkatkan melalui berbagai program pemanfaatan perkarangan yang dapat memberikan sumbangan untuk
konsumsi rumahtangga. Salah satu program terkait adalah program Kawasan Rumah Pangan Lestari KRPL yang kegiatan utamanya adalah intensifikasi
pemanfaatan perkarangan, serta menggalakkan pertanian di perkotaan sebagai sumber bahan pangan rumah tangga sekaligus sumber pendapatan keluarga serta
pengembangan pertanian di wilayah perkotaan.
3.7. Kesejahteraan Petani