23
BAB III ISU-ISU PENTINGMASALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN
3.1. Harga Komoditas Pertanian Berfluktuasi dan Terus Meningkat Komoditas Beras
Harga rata-rata beras medium di tingkat eceran selama 2004-2012 naik 14,39tahun, sedangkan harga beras paritas internasional naik 13,90tahun
Gambar 3.1. Namun fluktuasi harga beras di dalam negeri cenderung lebih rendah dibandingkan harga beras di pasar internasional. Pada saat terjadi krisis
global tahun 2007 dan 2008, harga rata-rata beras dalam negeri naik 5,29-7,38, sedangkan harga beras paritas internasional
Thai broken
5 berfluktuasi dengan lonjakan kenaikan mencapai 85,37 Kementan, 2012.
Gambar 3.1. Perkembangan Harga Beras Dalam Negeri dan Internasional Tahun 2004-2012 Sumber: Kementan, 2012
Pada periode tahun yang sama 2004-2012, harga beras di tingkat grosir naik 14,85tahun untuk beras medium dan 11,57tahun untuk beras premium
Gambar 3.2. Pola pergerakan harga beras medium dan premium di tingkat grosir cenderung sama, namun harga beras medium lebih fluktuatif dibandingkan
RPJM.indd 23 2112014 3:28:09 PM
24
dengan harga beras premium. Lonjakan harga tertinggi terjadi pada tahun 2006, baik untuk beras premium maupun medium, yang mencapai 28,94-31,58.
Penetapan Harga Pembelian Pemerintah HPP gabahberas dalam upaya mengendalikan stabilitas harga beras di dalam negeri cukup efektif. Selisih antara
HPP dan harga gabahberas aktual pasar pada musim raya relatif kecil sehingga Perum BULOG dapat melakukan pengadaan gabahberas Gambar 3.2. Selain
mempertimbangkan pengadaan beras dalam negeri oleh Perum BULOG, penetapan HPP juga telah memperhitungkan insentif harga bagi Petani.
Penetapan HPP secara bertahap disempurnakan, yang disesuaikan dengan perkembangan situasi perekonomian nasional dan internasional, perkembangan
harga beras di tingkat nasional dan internasional, upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, dan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Gambar 3.2. Perkembangan Harga Beras Dalam Negeri Tingkat Grosir tahun 2004-2012 Sumber: Kementan, 2012
RPJM.indd 24 2112014 3:28:09 PM
25
Gambar 3.3. Perkembangan Harga Pasar GKP dan HPP GKP Tahun 2004-2012 Sumber: Kementan, 2012
Fenomena lebih tingginya harga di dalam negeri tinggi daripada harga di pasar internasional disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah sebagai
berikut: 1 Ada kebijakan HPP. Setiap tahun pemerintah menaikkan HPP dahulu harga
dasar. Sasaran kebijakan ini adalah untuk menjaga agar harga gabah di tingkat petani tidak jatuh, terutama ketika panen raya. Selain untuk
mengkondisikan agar petani tidak merugi, kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan motivasi petani agar terus meningkatkan usahatani padi.
2 Struktur pasar gabah dan beras di Indonesia belum efisien. Hal ini ditunjukkan oleh masih tingginya margin pemasaran, yang berkisar 19-28
untuk gabah. Tingginya margin pemasaran disebabkan oleh: a Tingginya biaya transportasi dari sentra produksi ke sentra konsumsi; dan b Struktur
pasar gabah yang oligopsonistik, sedangkan struktur pasar beras cenderung oligopolistik. Struktur pasar demikian tidak terlepas dari kondisi berikut: i
tingkat sebaran wilayah produksi beras yang cukup beragam dan jumlahnya kecil-kecil, ii wilayah Indonesia sangat luas dan berupa kepulauan yang
menyebabkan biaya angkut produk mahal, dan iii tingkat penyebaran penduduk yang timpang antar pulau, dimana lebih dari dari 50 penduduk
terdapat di Pulau Jawa, sementara hamparan lahan yang memungkinkan untuk perluasan areal persawahan berada di Luar Pulau Jawa.
Dalam rangka mendukung stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen, Indonesia memupuk cadangan beras pemerintah yang pelaksanaannya
RPJM.indd 25 2112014 3:28:10 PM
26
dilakukan oleh Badan Urusan Logistik BULOG. Dalam melaksanakan tugasnya, BULOG melakukan pengadaan dalam negeri, dan impor jika pengadaan dalam
negeri tidak mencapai target. Pada kurun waktu 1983-2011, rata-rata pengadaan beras dalam negeri mencapai 1,83 juta ton, dengan angka paling rendah terjadi
pada tahun 1998 yaitu 250 ribu ton dan angka paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu 3,6 juta ton.
Sementara pengadaan beras dari luar negeri impor selama kurun waktu yang sama 1983-2011 mencapai rata-rata 744 ribu ton per tahun. Negara
pemasok utama beras ke Indonesia adalah Thailand dan Vietnam. Pada kurun waktu tersebut, tercatat pada tahun 1985, 1986, 1988, 1993, dan 2009 Indonesia
tidak mengimpor beras. Impor beras terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu 5,959 juta ton. Keadaan ini disebabkan produksi beras nasional pada tahun tersebut
menurun drastis akibat fenomena El Nino kekeringan selama April 1997 sampai dengan Agustus 1998, dan akibat krisis ekonomi 1998. Terjadinya kekurangan
pasokan beras dalam negeri menyebabkan harga beras melonjak dan untuk meredam gejolak harga maka dilakukan impor.
Komoditas Jagung
Meningkatnya harga-harga komoditas pertanian dunia menyebabkan harga jagung nasional juga meningkat. Peningkatan harga jagung selama periode tahun
2005-2011 di tingkat produsen, grosir perdagangan besar dan konsumen masing-masing adalah 10,13, 11,56 dan 11,72 per tahun Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen, dan Grosir Jagung, 2005-2011 Rpkg.
Tahun Harga
Produsen Harga
Grosir Harga
Konsumen Selisih Harga
Konsumen dan
Produsen Grosir dan
Produsen 2005
1.668 2.150
2.002 334
482 2006
1.802 2.333
2.221 419
531 2007
1.894 3.617
2.605 711
1.723 2008
1.986 4.000
3.123 1.137
2.014 2009
2.672 4.000
3.591 919
1.328 2010
2.153 4.000
3.732 1.579
1.847 2011
3.400 4.271
3.800 400
871 Trend
th 10,13
11,56 11,72
12,32 14,31
Sumber: BPS 2005-2011, diolah.
RPJM.indd 26 2112014 3:28:10 PM
27
Pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen atau pedagang dan di tingkat produsen petani umumnya bersifat asimetri. Selisih harga di tingkat
konsumen dan tingkat produsen berkisar Rp 334–Rp 1.579 per kg dengan kecenderungan peningkatan sebesar 12,32tahun. Sementara selisih harga di
tingkat grosir dan tingkat produsen berkisar Rp 482 – Rp 2.014 per kg dengan kecenderungan peningkatan sebesar 14,31tahun. Peningkatan harga jagung di
tingkat konsumen atau grosir tidak ditransmisikan secara sempurna ke harga di tingkat petani. Sementara penurunan harga jagung di tingkat konsumen atau
perdagangan besar ditransmisikan secara sempurna ke harga jagung di tingkat petani. Dengan demikian, fluktuasi harga jagung hanya menguntungkan
pedagang serta merugikan petani dan konsumen.
Sementara itu, terjadinya anomali iklim yang berakibat pada kurang berhasilnya produksi pertanian, termasuk jagung, telah mendorong harga jagung
misalnya di negara produsen jagung dunia USA FOB US ton meningkat dengan rata-rata 14,23tahun, yaitu dari US 98,41ton pada tahun 2005 menjadi US
291,78 pada tahun 2011 Tabel 3.2. Seiring dengan pergerakan harga FOB di negara produsen, maka harga jagung kuning asal impor juga meningkat signifikan
yaitu 12,14tahun. Harga jagung impor tahun 2005 mencapai Rp 1.260kg dan terus meningkat hingga mencapai Rp 3.213kg pada tahun 2008. Pada tahun
2009-2010 harga jagung impor sedikit menurun pada kisaran harga Rp 2.031 – Rp 2.200kg, kemudian meningkat kembali mulai tahun 2011 Tabel 3.2.
Selanjutnya pola pergerakan harga domestik pada perdagangan besar hampir sama dengan harga jagung impor asal USA di Indonesia Gambar 3.4.
Secara umum, bahwa harga jagung di tingkat grosir lebih tinggi dibanding dengan harga jagung asal impor. Selanjutnya bila dibandingkan dengan harga di tingkat
petani maka harga jagung impor tidak selalu lebih rendah. Selisih harga jagung asal impor dengan harga di tingkat pedagang besar sangat besar, dibandingkan
dengan selisih harga dengan di tingkat petani. Hal demikian jelas mencerminkan bahwa sesungguhnya harga jagung di tingkat petani sangat rendah dan
kecenderungannya secara umum rendah. Sementara fenomena harga jagung yang tinggi kerap terjadi di tingkat pedagang grosir atau bandar jagung.
Rendahnya harga jagung di tingkat petani bukan semata-mata karena tingkat efisiensi usahatani yang tinggi, melainkan harga jual jagung di tingkat petani
sering ditekan oleh para pedagang jagung.
RPJM.indd 27 2112014 3:28:10 PM
28
Tabel 3.2. Perkembangan Harga Jagung Impor di Dalam Negeri, 2005-2011.
Tahun Harga Jagung
US No.2 Yellow
FOB USMT Harga Jagung
Kuning Impor di Dalam Negeri
RpKg Selisih Harga
Jagung Impor dan Harga
Petani RpKg Selisih Harga
Jagung Impor dan Harga
Grosir RpKg 2005
98,41 1.260
-408 -890
2006 121,59
1.454 -348
-880 2007
163,26 1.990
96 -1.627
2008 223,25
3.219 1.233
-781 2009
165,54 2.031
-640 -1.969
2010 186,01
2.200 47
-1.800 2011
291,78 3.242
-158 -1.029
Trendth 14,73
13,16 -
- Sumber: FAO 2011 dan Pink Sheet 2012, diolah.
Gambar 3.4. Perkembangan Harga Jagung Domestik di Berbagai Tingkatan dan Harga Jagung Asal Impor, 2005-2011 RpKg
Lebih murahnya harga jagung asal impor dibandingkan dengan harga jagung domestik dapat disebabkan oleh beberapa keunggulan di negara
produseneksportir dibanding di Indonesia PSE-KP, 2012. Keunggulan tersebut diantaranya : 1 Tingkat efisiensi usahatani lebih tinggi; 2 Tingkat efisiensi
sistem distribusi dan pemasaran lebih tinggi; 3 Skala usahatani lebih besar; 4 Manajemen pengelolaan usahatani jauh lebih modern; 5 Sistem permodalan dan
Tahun Harga Jagung
US No.2 Yellow
FOB USMT Harga Jagung
Kuning Impor di Dalam Negeri
RpKg Selisih Harga
Jagung Impor dan Harga
Petani RpKg Selisih Harga
Jagung Impor dan Harga
Grosir RpKg 2005
98,41 1.260
-408 -890
2006 121,59
1.454 -348
-880 2007
163,26 1.990
96 -1.627
2008 223,25
3.219 1.233
-781 2009
165,54 2.031
-640 -1.969
2010 186,01
2.200 47
-1.800 2011
291,78 3.242
-158 -1.029
Trendth 14,73
13,16 -
- Sumber: FAO 2011 dan Pink Sheet 2012, diolah.
RPJM.indd 28 2112014 3:28:10 PM
29
dukungan kelembagaan usaha jauh lebih memadai, dan 6 Dukungan pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan komoditas jagung lebih kuat dan saling
bersinergi.
Komoditas Kedelai
Harga kedelai secara umum mengalami fluktuasi sebagai akibat dari pasokan yang tidak stabil. Harga kedelai di pasar internasional mengalami
lonjakan pada tahun 2007 dan 2008 Gambar 3.5 dan Tabel 3.3. Harga kedelai kuning AS pada 2007 dan 2008 meningkat drastis masing-masing 46 dan 43.
Meningkatnya harga kedelai di AS yang mencapai puncaknya US 461,7MT pada tanggal 11 Januari 2008 menyebabkan harga kedelai di dalam negeri meningkat
tajam sebesar 60. Kenaikan ini adalah yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Peningkatan harga kedelai di AS sesungguhnya telah terjadi sejak Mei
tahun 2007, dimana saat itu harga kedelai dunia mencapai US 283,3MT.
Paling sedikit ada tiga alasan kuat yang menyebabkan harga kedelai pada perdagangan dunia meningkat tajam, yaitu sebagai berikut:
1 Produksi kedelai dunia pada tahun 2007 menurun sekitar 14 juta ton dibandingkan dengan produksi tahun 2006 yang mencapai 221,6 juta ton.
Pada tahun 2008, produksi kedelai dunia kembali turun sebesar 6,5. Penurunan produksi ini dipicu oleh penurunan produktivitas dan areal tanam
karena perluasan areal tanam jagung sebagai sumber energi alternatif yang sedang digalakkan oleh Pemerintah AS.
2 Meningkatnya konsumsi kedelai dunia yang dipicu oleh naiknya konsumsi kedelai di Cina dan India.
3 Program pengembangan sumber energi alternatif, seperti di AS, yang mengembangkan bahan bakar nabati, yaitu bioetanol berbasis bahan baku
jagung. Kebijakan energi alternatif ini, khususnya di AS, menyebabkan harga jagung di perdagangan dunia meningkat. Hal ini memberikan harapan bagi
petani jagung di negara tersebut. Selain itu, untuk mendorong pengembangan energi alternatif ini, pemerintah AS juga memberikan subsidi
kepada petani jagung. Dua kebijakan ini menyebabkan petani AS beralih komoditas dari kedelai menjadi jagung karena jagung lebih menjanjikan
PSE-KP, 2012.
Pada tahun sebelumnya, yaitu 2000, produksi kedelai di AS melimpah sehingga pasar di negara ini sulit untuk menampung produksi domestiknya. Untuk
menjaga insentif bagi petaninya, maka pemerintah AS memberikan kredit ekspor. Melalui fasilitas kredit ini, importir Indonesia banyak mendatangkan kedelai dari
AS karena adanya selisih harga. Akibatnya, harga kedelai impor dari AS menjadi
RPJM.indd 29 2112014 3:28:10 PM
30
lebih murah sekitar Rp 550kg dibandingkan dengan harga kedelai produksi lokal. Selain faktor harga yang lebih murah, ada kecenderungan industri pengolahan
tahu dan tempe di Indonesia lebih menyukai kedelai impor karena ukurannya yang lebih besar. Kondisi demikian menjadi salah satu faktor yang menghambat
peningkatan produksi kedelai domestik nasional di Indonesia.
Makin tingginya impor kedelai, menyebabkan harga kedelai lokal sangat dipengaruhi oleh harga internasional. Meningkatnya harga kedelai impor dari AS
menyebabkan harga produsen dan konsumen kedelai lokal meningkat. Pada tahun 2007 dan 2008, harga produsen kedelai Indonesia meningkat masing-masing 13
dan 35, sedangkan harga konsumen kedelai meningkat 8 dan 61. Peningkatan harga ini telah mampu mendorong peningkatan produksi kedelai
domestik yang pada tahun 2007 hanya sebesar 592,6 ribu ton menjadi 775,7 ribu ton pada tahun 2008, dan kemudian meningkat lagi menjadi 974,5 ribu ton pada
tahun 2009. Namun, setelah harga kedelai kembali menurun pada akhir 2009, maka produksi juga kembali menurun.
Menurut hasil kajian PSE-KP 2012, tataniaga kedelai domestik pada periode 2000-2012 dimulai dengan memasuki era reformasi. Sebagai konsekuensi
penandatangan LoI dengan IMF, pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki institusi penyangga stok bagi komoditas pangan strategis. Monopoli impor, pemasaran dan
pengendalian harga oleh BULOG hanya berlaku untuk komoditas beras. Dengan mengacu pada LoI tersebut, maka pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres
Nomor 19 Tahun 1998 yang memberi tugas BULOG untuk mengendalikan harga hanya untuk beras. Tataniaga pangan makin merugikan petani karena pemerintah
membebaskan tarif bea masuk TBM pangan, termasuk kedelai menjadi 0. Padahal sebelumnya TBM sebesar 20. Pada saat itu, peran swasta dan BULOG
sederajat dalam importasi dan pemasaran. Kebijakan deregulasi tata niaga kedelai akhirnya melahirkan importir besar. Saat ini hanya ada 4 importir kedelai, yaitu PT
Cargill Indonesia, PT Teluk Intan, PT Liong Seng dan PT Gunung Sewu. Struktur pasar kedelai yang dikuasai 4 importir besar ini terbentuk karena unit terkecil
dalam penawaran lelang kedelai minimal 50.000 ton, sehingga hanya sedikit pengusaha yang sanggup menanggung biaya lelang, plus ongkos transportasi.
Struktur pasar impor kedelai ini akhirnya menimbulkan penilaian bahwa kenaikan harga kedelai di Indonesia, selain dipicu faktor naiknya harga kedelai di
perdagangan internasional, juga akibat praktek kartel yang dilakukan oleh empat importir tersebut.
Kebijakan kredit ekspor pemerintah AS juga memberikan kemudahan kepada importir Indonesia melalui sistem pembiayaan penjaminan
collateral management agreement
CMA. Mekanismenya adalah importir menandatangani
RPJM.indd 30 2112014 3:28:10 PM
31
perjanjian jual-beli komoditas melalui bank. Selanjutnya importir membayar uang muka yang disepakati, sekitar 10-20. Kemudian bank menunjuk surveyor di
gudang penerima melalui rekomendasi pemasok dari luar negeri. Pemasok kedelai dari luar negeri akan mengirim barang sebanyak yang dipesan dan dikirim ke
gudang importir. Bank tersebut yang kemudian membayar 100 kepada eksportirpenyalur dengan jaminan komoditas yang ada di gudang. Selanjutnya,
importir akan menjual secara bertahap sesuai dengan permintaan pasar domestik. Jumlah nilai cicilan yang dibayarkan ke bank adalah sesuai dengan volume
kedelai yang ditebus terjual atau yang dikeluarkan dari gudang importir.
Gambar 3.5. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, Januari 2005 – April 2012 Sumber: PSE-KP, 2012.
USMT Rpkg
Gambar 3.5. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, Januari 2005 – April 2012 Sumber: PSE-KP, 2012.
USMT Rpkg
RPJM.indd 31 2112014 3:28:10 PM
32
Tabel 3.3. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, 2005-2012 sampai April 2012.
Tahun Harga Produsen
Rpkg Harga Konsumen
Rpkg Harga Internasional
USMT
1
2005 3.894
4.228 223
2006 4.036
4.472 217
2007 4.588
4.847 317
2008 6.212
7.788 453
2009 6.588
8.411 379
2010 6.664
8.683 385
2011 7.236
8.641 484
2012 7.262
8.631 478
Trend thn 10,07
12,04 11,61
Sumber : PSE-KP 2012. Keterangan: 1 Jenis: Soybeans, U.S. soybeans, Chicago Soybean futures contract first
contract forward No. 2 yellow and par, US Dollars per Metric Ton.
Komoditas Gula
Jenis gula yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih GKP dan Gula Kristal Rafinasi GKR. GKP
merupakan jenis gula yang hanya untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran, dan hotel, dan sebagai bahan penolong oleh perajin makanan dan
minuman skala rumah tangga
home industri
. Sementara GKR merupakan jenis gula yang hanya digunakan oleh industri makanan, minuman dan farmasi skala
besar, dan dilarang masuk ke pasar gula GKP. Harga domestik GKP direpresentasikan oleh harga GKP di tingkat konsumen
di pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun terakhir 2008-2012, harga GKP di pasar domestik meningkat
tajam, yaitu dari Rp 6.539kg pada tahun 2008 menjadi Rp 13.212 pada tahun 2012 sampai dengan Juli Tabel 3.4. Hal ini berarti harga domestik naik lebih
dari 100 atau rata-rata hampir 20tahun.
RPJM.indd 32 2112014 3:28:11 PM
33
Tabel 3.4. Perkembangan Harga Gula GKP di Pasar Domestik dan Internasional, 2008-2012
Uraian Satuan
2008 2009
2010 2011
2012 1. Harga Domestik
Rpkg 6,539
8,691 8,440
10,624 13,123
2. Harga Internasional: a.Harga Impor CIF Ind
USkg 0,379
0,502 0,690
0,840 0,841
b.Nilai Tukar RpUS
9.772 10.356
9.078 8.773
9.255 c.Harga Impor ab
Rpkg 3.704
5.199 6.264
7.369 7.783
d.Tarif bea masuk Rpkg
790 750
490 400
790 e.Biaya pelabuhan angkut
Rpkg 278
390 470
553 584
f.Harga paritas impor c-d-e Rpkg
4.772 6.339
7.224 8.322
9.157 3. Selisih harga 1-2f
Rpkg 1,767
2,352 1,216
2,302 3,066
27.02 27.07
14.41 21.67
33.48 Sampai dengan Juli 2012
Sumber: PSE-KP 2012 Proses pembentukan harga domestik tidak terlepas dari Harga Patokan
Petani HPP dan Harga Lelang gula GKP. HPP gula GKP selama 2008-2012 mengalami peningkatan yaitu dari Rp 5.000kg pada tahun 2008 menjadi Rp
8.100 pada tahun 2012, yang berarti meningkat rata-rata sekitar 13tahun. Besaran HPP tersebut sangat ditentukan oleh BPP Biaya Pokok Produksi per kg
gula petani dan tuntutan petani melalui APTRI agar HPP gula petani tinggi. Dalam penghitungan BPP, nilai tetes tebu milik petani menjadi faktor koreksi terhadap
BPP. Selama 2009-2012, BPP selalu meningkat tiap tahun, yaitu dari Rp 5.103kg pada tahun 2009 menjadi Rp 7.902 pada tahun 2012 atau meningkat sekitar
15,8tahun Tabel 3.5. Rasio HPP terhadap BPP hanya berkisar 1,016-1,048 atau rata-rata 1,034. Rasio ini menunjukkan bahwa rata-rata laba petani minimal
adalah 3,4 dari BPP jika harga lelang tepat sebesar HPP, di luar nilai tetes yang menjadi bagian petani.
Dalam rentang waktu 2008-2012, harga lelang mengalami peningkatan 21,0tahun yaitu dari Rp 5.255kg pada tahun 2008 menjadi Rp 10.982 pada
tahun 2012. Harga lelang ini berada pada rata-rata 21,4 di atas HPP. Perbedaan yang jauh antara HPP dan harga lelang tersebut disebabkan oleh keinginan
pedagang besar peserta lelang yang hanya berjumlah 3 orang disebut ‘samurai’ untuk memperoleh jumlah lelang yang besar agar stok gula di gudangnya cukup
dalam kondisi produksi gula yang selalu terbatas setiap tahunnya. Harga eceran berada pada rata-rata sekitar 21,4 di atas harga lelang.
RPJM.indd 33 2112014 3:28:11 PM
34
Tabel 3.5. Pekembangan BPP, HPP dan Harga Lelang Gula, 2008-2012 Tahun
Harga Rpkg Rasio Harga
BPP HPP
HL HPPBPP
HLHPP HEHL
2008 5,000
5,255 1.051
1.244 2009
5,103 5,350
7,056 1.048
1.319 1.232
2010 6,246
6,530 7,723
1.045 1.183
1.093 2011
6,891 7,000
8,142 1.016
1.163 1.305
2012 7,902
8,100 10,982
1.025 1.356
1.195 Keterangan: BPP = Biaya Pokok Produksi gula petani; HPP = Harga Patokan Petani; dan
HL = Harga lelang gula; Tidak dipeperoleh data BPP tahun 2008 Sumber: PSE-KP, 2012.
Pada kurun waktu 2008-2012, konsumsi GKP cenderung menurun karena menurunnya konsumsi per kapita, sementara konsumsi GKR terus meningkat
karena berkembangnya industri makanan, minuman dan farmasi. Namun total konsumsi GKP dan GKR terus meningkat yaitu dari 4.218 ribu ton pada tahun
2008 menjadi 4.557 ribu ton pada tahun 2012 atau meningkat sekitar 2tahun.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi GKP, sebenarnya produksi GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor.
Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula GKP dan GKR, produksi masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan defisit
cenderung membesar, yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012, yang masing-masing merupakan 36,7 dan 42,9
dari produksi masing-masing tahun tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar. Untuk menutup defisit tersebut
dilakukan impor. Selama 2008-2010 volume impor gula berbagai jenis gula tebu terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton
pada tahun 2010, yang berarti meningkat 20,1tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai 181.60 ribu ton dan 1.150 ribu
ton.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga paritas impor GKP terus meningkat, yaitu dari Rp 4.772kg pada tahun 2008 menjadi Rp 9.157 pada tahun
2012 sampai dengan Juli. Hal ini berarti harga internasional gula GKP meningkat sekitar 18tahun. Meningkatnya harga paritas impor yang merepresentasikan
harga internasional tersebut disebabkan terutama oleh meningkatnya harga impor dalam US, dimana lonjakan harga terjadi pada tahun 2011. Nilai tukar US
terhadap rupiah berfluktuasi dan tidak menunjukkan penguatan yang signifikan sehingga tidak berdampak meningkatkan harga impor dalam rupiah. Tarif bea
RPJM.indd 34 2112014 3:28:11 PM
35
masuk TBM terus menurun selama kurun waktu 2008-2011 tetapi kemudian meningkat signifikan pada tahun 2012.
Perbedaan antara harga domestik dan harga internasional yang direpresentasikan oleh harga paritas impor selama kurun waktu 2008-2012
berfluktuasi yaitu sekitar Rp 1.216 sampai dengan Rp 3.066kg atau rata-rata Rp 2.459kg. Perbedaan harga tersebut secara rata-rata mencapai 31,7 dari harga
paritas impor. Hasil kajian PSE-KP 2012, bahwa perbedaan harga tersebut disebabkan oleh: 1 Kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat
besar dan cenderung meningkat; 2 HPP gula petani yang tinggi dan terus meningkat karena biaya pokok produksi BPP gula petani tinggi dan terus
meningkat, serta tuntutan petani agar HPP tinggi; 3 Tarif bea masuk TBM yang cukup tinggi, walaupun harga domestik sudah tinggi; dan 4 Terbatasnya
pasokan gula GKR yang menyebabkan industri makanan dan minuman menggunakan gula GKP.
Daging Sapi
Dalam kurun waktu tiga tahun 2009-2011 harga daging sapi cenderung stabil. Perkembangan harga rata-rata daging sapi bulanan pada periode tersebut
di sentra produksi dan konsumsi menunjukkan adanya pergerakan harga yang seirama di sentra produksi dan konsumsi daging. Kenaikan atau penurunan harga
daging di sentra produksi secara umum diikuti secara proporsional di sentra konsumsi. Dari perkembangan harga selama 3 tahun terakhir terlihat bahwa harga
rata-rata umumnya akan tinggi di bulan-bulan pelaksanaan ibadah puasa hingga idul fitri AgustusSeptemberOktober. Permintaan akan daging di bulan tersebut
cenderung meningkat sehingga mempengaruhi tingkat harga.
Hasil kajian PSE-KP 2012 menunjukkan bahwa perkembangan harga sapi berat hidup di tiga kota yaitu Bandung, Semarang, dan Mataram menunjukkan
bahwa secara rata-rata selama tahun 2008-2010 harga daging sapi tertinggi adalah di kota Bandung yaitu Rp 22.929kg, diikuti Mataram Rp 22.681kg dan
Semarang Rp 20.275kg berat hidup Gambar 3.6 dan Gambar 3.7.
Harga sapi hidup mencapai puncak dengan harga Rp 28.000kg pada bulan April-Mei 2009 di kota Bandung. Sementara harga terendah pernah terjadi di
Semarang pada bulan Februari 2008 yaitu Rp 11.340kg. Harga sapi hidup cenderung berfluktusi sepanjang tahun, kecuali di Mataram yang relatif stabil. Jika
dibandingkan antara dua kota konsumen daging sapi yaitu Bandung dan Surabaya terlihat bahwa harga bulanan daging sapi di Bandung selalu lebih tinggi dibanding
Surabaya kecuali pada Februari 2011. Hal ini mudah dipahami karena Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat, merupakan daerah
net consumer
defisit, sedangkan Surabaya berada di Jawa Timur adalah propinsi dengan jumlah
RPJM.indd 35 2112014 3:28:11 PM
36
populasi ternak sapi terbesar di Indonesia
net supplier
. Sebagai daerah
net consumer
, Bandung harus mendatangkan ternakdaging sapi dari daerah lain impor sehingga memerlukan biaya tataniaga yang lebih besar.
Gambar 3.6. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi, 2009-2011 Sumber: PSE-KP, 2012
Gambar 3.7. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi di Sentra Produksi dan Sentra Konsumsi, 2009-2011 Sumber: PSE-KP, 2012
RPJM.indd 36 2112014 3:28:11 PM
37
3.2. Defisit Kedelai dan Daging Sapi Sangat Tinggi