Sulitnya Peningkatan Produksi Pangan

38 Tabel 3.6. Neraca Bahan Makanan Kedelai dan Daging Sapi 2012 ton Uraian Kedelai Daging Sapi Produksi Kotor 1 783.158 303.003 Pakan 7.509 Bibit 34.000 Tercecer 110.423 16.317 Produksi neto 631.226 286.687 Perubahan stok Impor 2 1.452.213 78.329 Suplai sebelum ekspor 2.083.439 365.016 Ekspor 26.905 Suplai domestik 2.056.534 365.016 Pengolahan makanan Pengolahan bukan makanan 125.262 Bahan makanan 1.931.272 365.016 Ringkasan: Produksi Neto 631.226 286.687 Kebutuhan domestik: 2.056.534 365.016 a Bahan makanan 1.931.272 365.016 b Pengolahan makanan c Pengolahan bukan makanan 125.262 SurplusDefisit -1.425.308 -78.329 -69,31 -21,46 Keterangan: 1 Untuk daging sapi adalah produksi sapi lokal 2 Untuk dagung sapi termasuk impor sapi bakalan ekivalen daging sapi

3.3. Sulitnya Peningkatan Produksi Pangan

Alih Fungsi Lahan Pertanian Terus Berlanjut Salah satu faktor yang menyebabkan produksi pertanian sulit meningkat, utamanya komoditas pangan, adalah terjadinya alih fungsi lahan secara terus- menerus, baik ke penggunaan non-pertanian maupun ke komoditas perkebunan. Faktor-faktor penyebab yang dimaksud adalah sebagai berikut. RPJM.indd 38 2112014 3:28:11 PM 39 1 Permintaan Akan Lahan Terus Meningkat Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian adalah meningkatnya permintaan akan lahan, sementara ketesediaan lahan relatif tetap statis. Meningkatnya permintaan akan lahan pertanian berpangkal dari meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi. Jumlah penduduk yang makin besar walaupun dengan laju pertumbuhan yang menurun, membutuhkan lahan yang makin besar untuk permukiman, baik dalam bentuk kompleks maupun bukan kompleks perumahan. Demikian pula, meningkatnya akitivitas ekonomi membutuhkan lahan makin luas untuk kompleks perkantoran dan pertokoan, kawasan industri, bandar udara, SPBU, restoran, perhotelan, prasarana jalan, dan lain-lain. 2 Kebijakan Alih Fungsi Lahan Tidak Tegas dan Tidak Konsisten Kebijakan alih fungsi lahan pertanian yang tidak tegas dan tidak konsisten atau bahkan kontradiktif juga merupakan faktor sangat penting yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian, utamanya lahan sawah, telah berlangsung sejak dekade 90-an Tabel 7, namun implementasi dari berbagai kebijakan telah dirumuskan tidak efektif. Menurut Nasoetion 2003 sebagaimana dikutip oleh Setyaki 2012, tidak efektifnya kebijakan alih fungsi lahan tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sebagai berikut: i Adanya kebijakan-kebijakan yang kontradiktif. Di satu sisi kebijakan pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor non-pertanian lainnya mendorong terjadinya alih fungsi. ii Cakupan kebijakan sangat terbatas. Kebijakan yang ada tentang alih fungsi lahan pertanian hanya mengatur alih fungsi lahan oleh perusahaan dan badan usaha, tetapi belum menyentuh alih fungsi lahan oleh perseorangan yang sebenarnya cukup banyak. iii Perencanaan penggunaan lahan pertanain tidak konsisten. Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi usaha adalah instrumen utama dalam pengendalian konversi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam prakteknya banyak RTRW yang ditujukan untuk mengkonversi lahan sawah beririgasi teknis menjadi non-pertanian. Menurut Winoto 2005, data Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional RPJM.indd 39 2112014 3:28:11 PM 40 menunjukkan bahwa seandainya arahan RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi sekitar 7,3 juta ha, hanya sekitar 4,2 juta ha atau 57,6 saja yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, seluas 3,01 juta ha atau 42,4 terancam teralihfungsikan ke penggunaan lain. Data dari Direktorat Pengelolaan Lahan Departemen Pertanian tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 187.720 ha sawah telah teralihfungsikan ke penggunaan lain setiap tahun, utamanya di pulau Jawa. Tabel 3.7. Daftar PeraturanPerundangan Terkait dengan Alih Fungsi Lahan Pertanian PeraturanPerundangan Garis Besar Isi Kepres No.531989 Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi Sawah Irigasi Teknis SITTanah Pertanian Subur Kepres No.331990 Pelarangan Pemberian Izin Perubahan Fungsi Lahan Basah dan Pengairan Beririgasi Bagi Pembangunan Kawasan Industri UU No.241992 Penyusunan RTRW Harus Mempertimbangkan Budidaya PanganSIT SE MNAKBPN 410-18511994 Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan RTR SE MNAKBPN 410-22611994 Izin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi Sawah Irigasi Teknis SIT SEKBAPPENAS 5334MK91994 Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Untuk Non Pertanian SE MNAKBPN 5335MK1994 Penyusunan RTRW Dati II Melarang Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian SE MNAKBPN 5417MK101994 Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan SE MENDAGRI 4744263SJ1994 Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan. SE MNAKBPN 460-15941996 Mencegah Konversi Tanah Sawah dan Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering b Peraturan perundangan yang berlaku juga mempunyai beberapa kelemahan Simatupang dan Irawan, 2002, yaitu: i Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan kondisi fisiknya, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah RPJM.indd 40 2112014 3:28:11 PM 41 dimanipulasi sehingga alih fungsi dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku. ii Peraturan yang ada lebih banyak bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang jelas bagi pelanggarnya, baik di dalam penentuan pihak yang dikenakan sanksi maupun besaran sanksinya. iii Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka sulit ditelusuri kembali lembaga mana yang paling bertanggungjawab untuk mengambil tindakan karena ijin konversi merupakan hasil keputusan kolektif berbagai instansi pemerintah. iv Petani sebagai pemilik lahan dan pemain di dalam kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif di dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan. v Belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, dan pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal di dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. c Pandangan beberapa Pemerintah Daerah terhadap urgensi pengendalian alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain, sebagimana diperlihatkan pada Tabel 8, menunjukkan bahwa 61,1 kisaran 25-100 menyatakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat mendesak, kecuali Kalimantan Barat; dan 37,8 kisaran 0-75 menyatakan belum mendesak, utamanya Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Sementara sisanya menyatakan tidak perlu karena berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi atau diserahkan kepada mekanisme pasar hanya Sumatera Selatan. d Pemahaman antar lembaga yang mempunyai tanggungjawab bersama tentang tujuan kebijakan telah terbentuk, namun target konkrit dari masing- masing lembaga bervariasi. Hal ini tercermin pada fakta adanya beberapa permasalahan di dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah, misalnya di D.I Yogyakarta yaitu: i Rendahnya pemanfaatan Rencana Tata Ruang sebagai acuan di dalam Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah. ii Lemahnya penerapan penegakan kebijakan atau peraturan yang menyebabkan alih fungsi lahan di masa depan terus berjalan tanpa hambatan perijinan perubahan penggunaan tanah. iiiLemahnya pengawasan di dalam pelaksanaan peraturanperundangan. RPJM.indd 41 2112014 3:28:12 PM 42 iv Kesadaran masyarakat di dalam mengajukan izin alih fungsi lahan masih tergolong rendah sehingga banyak perubahan fungsi lahan yang tidak terpantau. v Ada anggapan bahwa sawah yang sudah kering seolah-olah boleh dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. Tabel 3.8. Urgensi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Lain Responden Pengambil Kebijakan Daerah Provinsi Sangat mendesak 1 Belum mendesak 2 Tidak perlu 3 Tidak perlu 4 Sumatera Barat 78,6 21,4 Sumatera Selatan 56,3 31,3 6,3 6,3 Jawa Tengah 62,5 37,5 D.I. Yogyakarta 66,7 33,3 Jawa Timur 52,6 47,4 Bali 100,0 NTB 55,6 44,4 Kalimantan Barat 25,0 75,0 Sulawesi Selatan 50,0 50,0 Sulawesi Utara 75,0 25,0 Gorontalo 50,0 50,0 Rata-rata 61,1 37,8 0,6 0,6 Keterangan: 1 Karena menghambat peningkatan produksi padi; 2 Karena prioritas utama mendorong pertumbuhan industri dan jasa; 3 Karena potensial menghambat pertumbuhan ekonomi; 4 Serahkan saja kepada mekanisme pasar e Otonomi daerah dan desentralisasi juga mempunyai kontribusi mendorong alih fungsi lahan pertanian, dimana Pemerintah Daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya melalui pembangunan industri manufaktur untuk menciptakan Pendapatan Aseli Daerah PAD yang lebih tinggi. Akibatnya, pengembangan sarana dan prasarana fisik lebih diutamakan dengan menggunakan lahan pertanian produktif, utamanya RPJM.indd 42 2112014 3:28:12 PM 43 sawah, dan utamanya di pulau Jawa, dimana kondisi prasarana dan sarananya sudah bagus jalan, listrik, air bersih, komunikasi, pelabuhan, dan lain-lain. 3 Efek Generasi Kedua Terjadinya alih fungsi lahan pertanian di suatu wilayahlokasi dapat mendorong alih fungsi selanjutnya efek generasi kedua, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a Pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang lahan pertaniannya teralihfungsikan menyebabkan aksesibilitas di lokasi tersebut makin baik yang kemudian mendorong meningkatnya permintaan akan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah Irawan, 2005. Demikian pula pembangunan jalan raya, utamanya yang berskala “trans” Trans Sumatera, Trans Jawa, Trans Sulawesi, Trans Kalimantan, dan lain-lain, akan mendorong pertumbuhan permukiman, tempat usaha rumah makan, SPBU, kawasan industri, dll yang menggunakan lahan pertanian di sekitar jala raya yang dibangun tersebut. b Meningkatnya permintaan akan lahan di suatu lokasi menyebabkan harga lahan di sekitarnya meningkat, yang selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan pertanian Wibowo, 1996. 4 Fragmentasi Lahan Pertanian a Di Indonesia dikenal Sistem Waris Pecah-Bagi yang menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan. Dampak dari fragmentasi lahan pertanian adalah bahwa sebagian besar petani hanya mengusahakan lahan sangat sempit sehingga kurang mendukung pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Skala usaha yang sangat sempit menyebabkan hasil usahatani tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga usahatani hanya sebagai pekerjaan sambilan. Akibatnya, petani tidak terdorong untuk menerapkan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas, tetapi cenderung menjual lahannya kepada pihak lain untuk penggunaan non-pertanian, apalagi harga tanah sangat tinggi. Dengan asumsi luas lahan petani 0,25 ha, dengan harga Rp 100 ribu per m 2 , maka hasil penjualan tanah mencapai Rp 250 juta. Jika uang ini seluruhnya didepositokan saja di bank dengan bunga 5tahun, maka jumlah bunga adalah Rp 12,5 juta per tahun. Bunga ini lebih besar dibanding pendapatan bersih usahatani padi per 0,25 ha per tahun. RPJM.indd 43 2112014 3:28:12 PM 44 b Fragmentasi lahan secara spasial karena perkembangan permukiman pada ekosistem lahan basah menjadi persoalan penting jika terjadi pada ekosistem yang sangat rapuh dan terbatas keberadaannya yaitu ekosistem lahan basah Suprajaka, 2012. Di Jawa Timur, lebih dari 30 lahan basah saat ini terancam proses alih fungsi lahan, yang disertai dengan tingginya tingkat urbanisasi dan dinamika ekosistem lahan basah terutama di Delta Sungai Brantas dan Delta Bengawan Solo. Di daerah ini, minimal telah terjadi tiga kali perubahan, yaitu dari ekosistem basah alami menjadi sawah dan tambak, dan kini menjadi kawasan pemukiman. Saat ini aglomerasi perkembangan kota koridor Surabaya-Malang terus meluas, dan aspek fragmentasi spasial belum mendapatkan perhatian. Fragmentasi spasial ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya merupakan fenomena kompleks dari hasil konversi lahan, dan terdapat hubungan interaksi dinamis antara ketersediaan ruang yang makin terbatas dengan tuntutan permintaan ruang yang makin besar. Fragmentasi terjadi ketika sebuah kawasan bentang-lahan terpecah menjadi unit-unit lebih kecil dan dikelilingi oleh penggunaan lahan lainnya yang berbeda. Kondisi ini mendorong munculnya gangguan akibat adanya diskontinuitas dari bentanglahan. Di banyak negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar 1971 1 telah berhasil mengurangi atau bahkan menghentikan laju alih fungsi ekosistem lahan basah. Sementara di Indonesia, terjadi yang sebaliknya yaitu alih fungsi lahan basah terus meningkat, terutama pada periode tiga dasawarsa terakhir. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari strategi pembangunan yang lebih pro- pertumbuhan dibanding pro-ekologi. Pemahaman tentang multi fungsi sawah dan tambak sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah masih sangat kurang sehingga keberadaan kedua jenis lahan tersebut di Indonesia makin terancam. 5 Faktor Keuntungan dan Risiko Relatif Usahatani Usahatani komoditas pangan, termasuk padi, memberikan keuntungan lebih kecil tetapi mempunyai risiko lebih besar dibanding usahatani komoditas perkebunan, utamanya kelapa sawit Hadi et al, 2011. Risiko usahatani padi yang terkenal adalah serangan hamapenyakit, kekeringan atau kebanjiran. Disamping itu, kebun kelapa sawit setelah menginjak masa produktifnya berumur 4-25 1 Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Nama resmi konvensi ini adalah The Convention on Wetlands of International Importance, Especially as Waterflow Habitat. Konvensi ini disusun dan disetujui oleh negara-negara peserta sidang di kota Ramsar, Iran, pada 2 Februari 1971, dan mulai berlaku 21 Desember 1975. Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Ramsar melalui Keputusan Presiden RI No. 48 Tahun 1991 . RPJM.indd 44 2112014 3:28:12 PM 45 tahun dapat dipanen setiap 2 minggu sekali sepanjang tahun, sementara panen padi hanya 4 bulan sekali dan pada umumnya hanya 2 kali panen per tahun. Faktor ini menjadi pemicu utama bagi petani untuk mengalihfungsikan lahan sawahnya menjadi kebun kelapa sawit. Alih fungsi lahan sawah demikian terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Tingkat Kerusakan Prasarana Irigasi a Beberapa Definisi Terkait dengan Irigasi  Irigasi: adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak Anonim, 2011.  Sistem Irigasi: meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumber daya manusia.  Jaringan Irigasi: adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi.  Jaringan Irigasi Primer: adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran indukprimer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap dan bangunan pelengkapnya. Jenis saluran ini langsung berhubungan dengan saluran bendungan yang fungsinya untuk menyalurkan air dari waduk ke saluran lebih kecil, yaitu saluran irigasi sekunder. Bangunan saluran irigasi primer umumnya bersifat permanen yang sudah dibangun oleh pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum atau daerah setempat.  Jaringan Irigasi Sekunder: adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, saluran bagi, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap dan bangunan pelengkapnya. Fungsi saluran irigasi sekunder adalah membawa air yang berasal dari saluran irigasi primer ke saluran irigasi yang lebih kecil, yaitu saluran irigasi tersier.  Jaringan Irigasi Tersier: adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan irigasi dalam petak tersier. Jaringan irigasi tersier terdiri dari saluran tersier, saluran pembuang, boks tersier dan bangunan pelengkapnya. Fungsi jenis saluran ini menerima air dari saluran irigasi sekunder dan meneruskannya ke saluran-saluran irigasi kwarter atau langsung ke petak sawah. RPJM.indd 45 2112014 3:28:12 PM 46  Jaringan Irigasi Kuarter: adalah cabang dari saluran tersier dan berhubungan langsung dengan lahan sawah. Luas wilayah layanan jenis saluran irigasi kwarter adalah sekitar 8-15 ha per saluran.  Waduk Reservoir : adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai kebutuhan. Waduk dapat terjadi secara alami atau dibuat manusia. Waduk buatan dibangun dengan cara membuat bendungan yang kemudian dialiri air sampai waduk tersebut penuh.  Bendungan Dam : adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air sehingga menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Fungsi bendungan adalah untuk menangkap air dan menyimpannya di musim hujan pada waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar dan melebihi kebutuhan. Air yang ditampung di dalam bendungan ini digunakan untuk keperluan irigasi, air minum, industri, dan kebutuhan lainnya. Kelebihan dari sebuah bendungan adalah daya tampungnya yang besar sehingga sejumlah besar air sungai yang melebihi kebutuhan dapat disimpan di dalam waduk dan baru dilepas mengalir ke dalam sungai lagi di hilirnya sesuai dengan kebutuhan pada waktu diperlukan. Seringkali bendungan digunakan juga untuk mengalirkan air ke sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA. Kebanyakan bendungan juga mempunyai pintu air untuk membuang air yang tidak diinginkan secara bertahap atau berkelanjutan.  Bendung Weir : adalah struktur bendungan berkepala rendah lowhead dam , yang berfungsi untuk menaikkan muka air, biasanya terdapat di sungai. Air sungai yang permukaannya dinaikkan akan melimpas melalui puncak bendung overflow dan mengalirkan sebagian aliran air sungai ke arah tepi kanan dan tepi kiri sungai ke dalam saluran melalui sebuah bangunan pengambilan jaringan irigasi pintu sadap ke saluran-saluran pembagi menuju lahan pertanian Bendung dapat digunakan juga sebagai pengukur kecepatan aliran air di saluransungai dan bisa juga sebagai penggerak mesin penggilingan tradisional.  Peranan Irigasi: berkaitan dengan perkembangan teknologi budidaya dan produksi pangan, peranan irigasi adalah: i Penyedia air untuk tanaman dan dapat digunakan untuk mengatur kelembaban tanah; ii Membantu menyuburkan tanah melalui bahan pangan kandungan yang di bawa oleh air; iii Memungkinkan penggunaan obat-obatan dalam dosis tertentu; iv Menekan pertumbuhan gulma; v Menekan perkembangan hama tertentu; vi Memudahkan pengeolahan tanah; vii Memasok kebutuhan air tanaman; viii Menjamin ketersediaan air apabila terjadi betatan; ix RPJM.indd 46 2112014 3:28:12 PM 47 Menurunkan suhu tanah; x Mengurangi kerusakan akibat frost; dan xi Melunakkan lapis keras pada saat pengolahan tanah. b Tingkat Kerusakan Prasarana Irigasi Di Indonesia, waduk, bendungan, bendung dan jaringan irigasi sudah banyak yang rusak, sehingga fungsinya untuk mengairi lahan pertanian menjadi kurang maksimal, yang menyebabkan Intensitas Pertanaman IP dan produktivitas sulit untuk naik, serta terjadi kekeringan di musim kemarau atau kebanjiran di musim hujan. Beberapa data tentang kerusakan waduk, bendungan, bendung dan jaringan irigasi serta faktor penyebabnya ditunjukkan pada Tabel 9. Jaringan irigasi yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat pada tahun 2012- 2013 seluruhnya dalam kondisi baik. Sebaliknya, di wilayah yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota masih banyak yang rusak, walaupun ada kecenderungan menurun selama 2009-2013. RPJM.indd 47 2112014 3:28:12 PM 48 Tabel 3.9. Tingkat Kerusakan Jaringan Irigasi di Indonesia, 2009-2013 Wilayah Tahun Kondisi Baik Kondisi Rusak Total Juta Ha Juta Ha Juta Ha Pusat: 2009 1,25 54,0 1,07 46,0 2,32 2010 1,55 66,6 0,77 33,4 2,32 2011 1,83 78,9 0,49 21,1 2,32 2012 2,32 100,0 2,32 2013 2,32 100,0 2,32 Provinsi: 2009 0,87 39,0 0,55 61,0 1,42 2010 0,91 42,0 0,51 58,0 1,42 2011 0,97 46,2 0,45 54,0 1,42 2012 1,03 50,4 0,39 50,0 1,42 2013 1,10 54,8 0,32 45,0 1,42 KabKota: 2009 1,67 48,0 1,82 52,0 3,49 2010 1,77 59,9 1,72 49,0 3,49 2011 1,91 54,8 1,58 45,0 3,49 2012 2,05 58,8 1,44 41,0 3,49 2013 2,20 63,2 1,29 37,0 3,49 Nasional: 2009 3,79 52,4 3,44 47,6 7,23 2010 4,23 58,5 3,00 41,5 7,23 2011 4,71 65,1 2,52 34,9 7,23 2012 5,40 74,7 1,83 25,3 7,23 2013 5,62 77,7 1,61 22,3 7,23 Sumber: Audit Teknis SDA 2010 dan LAKIP 2010 dan 2011 Beberapa kasus kerusakan jaringan irigasi di beberapa daerah diperlihatkan pada Tabel 3.10. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan terjadi pada waduk, bendungan dan saluran irigasi. Faktor penyebab kerusakan atau tidak berfungsinya jaringan irigasi dapat dikelompokkan menjadi: 1 Musim hujanbanjir, kemaraukering; 2 Kerusakan DAS gundul; 3 Minimnya kawasan hutan; 4 Sedimentasi; 5 Pencemaran air; 6 Terbatasnya atau tidak adanya anggaran APBD untuk perbaikan; 7 Kesalahan desain dan buruknya mutu bangunan irigasi; 8 Kerusakan tanggul jebol; 9 Kerusakan pintu air; dan 10 Kekurangpedulian pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan. RPJM.indd 48 2112014 3:28:13 PM 49 Tabel 3.10. Kondisi Parasarana Irigasi yang Rusak di Sejumlah Lokasi No. Prasarana Irigasi Lokasi Kondisi Terakhir 1 71 Waduk di Indonesia Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Lampung. Kondisi 2012: hingga akhir Agustus 2012 terdapat 19 waduk normal ketinggian air normal, 42 waspada ketinggian air di bawah normal, dan 10 kering. Faktor penyebab banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau setiap tahun selain faktor musim adalah kerusakan DAS gundul, pencemaran air, minimnya kawasan hutan, dan sedimentasi waduk. 2 284 bendungan besar di Indonesia 257 di antaranya milik Kementerian PU. Kondisi 2012: kerugian mencapai US 84 juta per tahun karena tidak terpakainya air untuk energi listrik dan 2 US 2 juta untuk pasokan air baku dan irigasi. Faktor penyebabnya adalah laju sedimentasi pada hampir sebagian besar waduk di Indonesia sebagai akibat dari meningkatnya kerusakan lingkungan yang tidak terkendali yang ditandai oleh terus meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. 3 Jaringan irigasi di Indonesia Kondisi 2013: Sebanyak 52 irigasi rusak, membutuhkan anggaran Rp 21 triliun untuk memperbaikinya. Dari anggaran tersebut, hanya Rp 3 triliun yang menjadi kewenangan Kementan jaringan irigasi tersier, sementara Rp 18 triliun berada di KemenPU jaringan irigasi primer. 4 Jaringan irigasi di Kab Karawang, Prov Jabar. Kondisi 2013: Sebanyak 82 saluran irigasi tersier, sekunder dan primer dalam kondisi memprihatinkan, yaitu 55 rusak parah dan 27 rusak ringan. Terjadi pendangkalan dan ditumbuhi tanaman air. Hanya 18 yang kondisinya baik. 5 Bendungan Widoropayung di Kec Pringsewu, Kab Pringsewu, Prov Lampung Kondisi 2013: Bendungan ini dibangun tahun 1974. Sejak rehabilitasi 1989 belum pernah diperbaiki 24 tahun. Bagian dasar pada bangunan punggung gajah sudah pecah dan berlubang, sehingga kalau sudah tidak mampu lagi menahan air, maka bendungan akan jebol. 6 Waduk Kampung Timur di Kec Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, Prov Kaltim. Kondisi 2013: Waduk ini mengalami pendangkalan karena sedimentasi sehingga tiga kelurahan di wilayah Kec Balikpapan Utara terendam banjir ketika hujan turun. RPJM.indd 49 2112014 3:28:13 PM 50 No. Prasarana Irigasi Lokasi Kondisi Terakhir 7 Waduk Cengklik di Kec Ngemplak, Kab Boyolali, Prov Jateng. Kondisi 2010: waduk seluas 240 ha yang dibangun tahun 1942 ini mengalami pendangkalan sehingga daya tamoung air sangat menurun. Faktor penyebabnya adalah sedimentasi dan aktivitas karamba yang berlebihan maks 600 unit, yang ada 1.085 unit karamba. 8 Waduk besar Gondang dan Prijetan di Kab Lamongan, Prov Jatim Kondisi 2012: jaringan jaringan irigasi dari kedua waduk besar ini mengalami banyak kerusakan, yaitu 15 kerusakan berat, 20 kerusakan sedang, dan lainnya kerusakan ringan. Akibatnya, pasokan pengairan ke 2.800 ha areal persawahan terhambat sehingga target produksi beras tidak tercapai. Masalah: APBD tidak ada, dan Pemda setempat hanya mengandalkan APBN saja untuk melakukan rehabilitasi. 9 Waduk, bendungan dan cekdam di Kab Wonogiri, Prov Jateng. Kondisi 2010: Waduk, bendungan dan cekdam ini berjumlah sekitar 630, dan pintu airnya lebih dari 1.000. Sekitar 250 pintu air waduk, bendungan dan cekdam tersebut sudah rusak. Selain itu, sedimentasi di waduk mencapai 35 dan tumbuh ilalang di atas endapan saat air waduk surut. Jika endapan tidak segera dikeruk, endapan akan makin tinggi dan mengurangi daya tampung waduk sehingga air waduk bisa meluap menjadi banjir, apalagi sebagian pintu air sudah rusak. Masalah: APBD terbatas. 10 Bendungan Merancang, Kec Gunung Tabur, Kab Berau, Prov Kaltim. Kondisi 2013: Tanggul bendungan ini masih relatif baru, tetapi sudah banyak yang retak dan bocor nilai proyek Rp 9,5 miliar. Akibatnya, permukaan air di bendungan terus menyusut dari 7 m menjadi hanya 4 m, sehingga tidak bisa lagi mengairi sawah. Dikhawatirkan bendungan tersebut akan runtuh jika tanggulnya tidak segera diperbaiki. 11 Bangunan Jaringan Irigasi Air Ngalam di Kec Seluma, Kab Seluma, Prov Bengkulu. Kondisi 2013: Bangunan jaringan irigasi ini dibangun pada zaman Orde Baru, dan direhabilitasi pada tahun 2011. Proyek rehabilitasi tersebut tidak beres sehingga sekarang terjadi kerusakan sekitar 23 nilai proyek rehabilitasi Rp 1,9 miliar, APBD Kab Seluma. 12 Bendungan di Kec Samarinda Utara, Kota Kondisi 2013: Bendungan ini baru selesai dibangun tahun 2012 tetapi sekarang sudah rusak sehingga RPJM.indd 50 2112014 3:28:13 PM 51 51 No. Prasarana Irigasi Lokasi Kondisi Terakhir Samarinda, Prov Kaltim. tidak bisa difungsikan lagi. Diduga hal ini disebabkan oleh kesalahan perencanaan oleh konsultan. 13 Bendungan di Kec Tatapaan, Kab Mindanao Selatan, Prov Sulut. Kondisi 2011: Bendungan ini rusak berat sehingga selama dua tahun terakhir areal sawah seluas 700 ha di desa Tatapaan mengalami kekeringan. 14 Bendungan di Desa Binyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali Kondisi 2012: Bendungan ini dibangun pada tahun 2010. Namun bagian dasar bendungan ini jebol yang menyebabkan air tidak bisa naik sehingga tidak mampu mengalirkan air ke sawah petani. 15 Bendungan Waelata di Kec Waeapo, Kab Buru, Prov Maluku Kondisi 2012: Bendungan ini jebol tahun 2010 karena banji dan hingga kini belum diperbaiki. Akibatnya, sekitar 1.000 ha areal sawah di Desa Waelo, Waeleman, dan Unit 10 di wilayah Waeapo, belum bisa diolah kembali. 16 Bendungan di Kec Kuranji, Kota Padang, Provinsi Sumbar. Kondisi 2012: Bendungan ini rusak karena keterjang banjir bandang pada bulan September 2012 sehingga areal sawah puluhan kepala keluarga di Kecamatan Kuranji mengalami kekeringan. 17 Bendungan irigasi Lubuksariak, Kec Lengayang, Kab Pesisir Selatan, Prov Sumbar. Kondisi 2013: Bendungan ini rusak karena banjir bandang tahun lalu 2006, yang menyebabkan lahan sawah seluas 1.300 ha di daerah itu terganggu. Untuk perbaikan diperlukan anggaran sekitar Rp 38 miliar, sementara APBD Kab Pesisir Selatan terbatas. 18 Bendungan dan saluran irigasi di Kec Jatiroto, Kab Wonogiri, Prov Jateng. Kondisi 2011: Bendungan dan saluran irigasi ini rusak parah karena hujan deras pada Desember 2010. Kondisinya makin parah, sehingga untuk memperbaiki bendungan dan saluran irigasi, berikut dua rumah yang terancam longsor di dekatnya, diperlukan anggaran minimal Rp 1 miliar. 19 Bendungan Pamarayan di atas Sungai Ciujung, Kec Pamarayan, Kab Serang, Prov Banten Kondisi 2011: Bendungan ini dibangun untuk menggantikan bendungan lama yang dibangun Belanda tahun 1918 yang rusak berat setelah berusia hampir 80 tahun. Bendungan lama itu semula mampu mengairi 35.000 ha sawah di Kab Serang dan Kota Cilegon. Kerusakan terjadi pada bagian kolam olakan dan dam konsolidasi. Perbaikan kedua kerusakan itu malah lebih mahal, yaitu sekitar Rp 51 miliar. Kerusakan disebabkan oleh penambangan pasir selama bertahun-tahun yang menyebabkan dasar RPJM.indd 51 2112014 3:28:13 PM 52 52 No. Prasarana Irigasi Lokasi Kondisi Terakhir sungai turun. 20 Bendungan Penahan Banjir di lereng sekitar Gunung Merapi, Prov Jateng. Kondisi 2012: Bendungan penahan banjir di lereng sekitar Merapi ini rusak karena debu vulkanik dan lahar dingin yang dimuntahkan Gunung Merapi selama terjadinya erupsi. Ada 15 dari 244 bendungan yang ada rusak. Diperkirakan perbaikan akan menelan biaya sebesar Rp70 miliar. Diperlukan 2-3 bulan untuk normalisasi sungai di sekitar Merapi. Memerintah menganggarkan pembangunan 279 bendungan penahan banjir di sungai-sungai sekitar Merapi, namun hingga 2012 baru ada 244 bendungan yang telah selesai dibangun. 21 Saluran Irigasi Primer di Kec Kudu, Kab Jombang, Prov Jatim. Kondisi 2010: Pintu Air I sudah rusak cukup lama karena bagian atas kunci dipotong oleh pencuri. Akibatnya, masyarakat cekcok berebut air setiap musim kemarau yang sebelumnya tidak pernah terjadi. 22 Saluran irigasi di Kab Tulungagung, Prov Jatim. Kondisi 2013: Saluran irigasi primer dan sekunder sekitar 40 rusak karena sudah tua, bencana tanah longsor, dan perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya, pada musim kemarau ke dua, sekitar 1.200 ha sawah kekurangan air. 23 Irigasi teknis sayap kanan Krueng Susoh, Kab Aceh Barat Daya, Prov Aceh. Kondisi 2013: Jaringan irigasi ini rusak karena keterjang banjir pertengahan Desember 2012 sehingga pasokan air ke areal persawahan di 10 desa di Kec Blangpidie dan Jeumpa terganggu. Diperlukan anggaran Rp 3 miliar untuk perbaikan. Saluran irigasi sayap kanan Gunung Pudung, Kec Kluet Utara, Kab Aceh Selatan, Prov Aceh Kondisi 2013: Bangunan irigasi ini dibangun tahun 2012 tetapi sepanjang 50 meter sudah mulai roboh karena pelaksanaan pembangunannya kurang baik. 24 Irigasi dan bendungan Batang Tongar di Kab Pasaman Barat, Prov Sumbar. Kondisi 2013: Jaringan irigasi dan bendungan ini rusak karena banjir dan tanahbebatuan longsor sehingga saluran irigasi primer dan sekunder pada DAS sungai juga rusak. 25 Bendungan Mariat, Kab Sorong, Prov Papua Barat. Kondisi 2013: Bendungan ini sudah selesai dibangun, tetapi jaringan irigasinya belum bisa dibangun karena tidak ada anggaran untuk ganti rugi tanah dan lahan warga. Akibatnya ribuan ha sawah transmigran asal RPJM.indd 52 2112014 3:28:13 PM 53 No. Prasarana Irigasi Lokasi Kondisi Terakhir Jawa belum dapat diairi. 26 Jaringan irigasi di Kab Cianjur, Prov Jabar. Kondisi 2013: Dari sekitar 1.063 unit jaringan irigasi di Kab Cianjur, 44 baik, 25 rusak ringan dan 31 rusak berat karena keterjang banjir. Akibatnya sejumlah lahan pertanian di wilayah tersebut mengalami kesulitan air. Perubahan Iklim Kondisi iklim di dunia dan Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dan berdampak buruk terhadap pertanian. Fenomena pemanasan global global warming berupa naiknya rata-rata suhu permukaan bumi dan samudera di dalam beberapa dekade terakhir ini telah menyebabkan perubahan iklim ekstrim di dalam jangka waktu yang panjang. Laporan IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change 2012 menyatakan bahwa pemanasan global telah menyebabkan wilayah tropis meluas hingga 18 o LULS sehingga menjadi pemicu utama peningkatan bencana hidrometeorologi Utomo, 2013. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dipengaruhi aspek cuaca seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, cuaca ekstrem, dan puting beliung. Secara vertikal puncak awan-awan cumulonimbus yang menyebabkan hujan deras makin tinggi, yaitu dari semula hanya 13 km menjadi 17 km, sehingga energi dan volumenya bertambah. Di beberapa daerah di Indonesia seperti Kupang, Makassar dan Medan, menurut data di Stasiun Meteorologi Jakarta, telah terjadi kenaikan suhu rata-rata 0,6 o C dalam kurun 50-100 tahun. Jika dibandingkan dengan periode tahun 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di Indonesia selama 2020-2050 diproyeksikan akan meningkat 0,8 o -1,0 o C. Data dan Informasi Bencana Indonesia DIBI juga menunjukkan bahwa di Indonesia selama 1815-2011 terjadi 11.910 bencana yang menyebabkan 329.585 orang meninggal dan hilang serta lebih dari 15,8 juta orang mengungsi. Dari kejadian bencana tersebut, 77 adalah bencana hidrometeorologi, 3 bencana geologi, dan 20 bencana karena ulah manusia dan biologi. Peningkatan bencana hidrometeorologi di dunia, termasuk di Indonesia, dipicu oleh perubahan iklim, selain faktor kerusakan lingkungan. Musim kemarau menjadi lebih panjang, musim hujan menjadi lebih pendek tetapi dengan intensitas dan curah hujan yang lebih tinggi, dan kelembaban tanah pada musim kemarau berkurang sehingga akan menganggu produksi pertanian. Di Indonesia, pelanggaran tata ruang, penggunaan bantaran sungai dan lereng oleh penduduk untuk pemukiman ikut memberikan kontribusi pada peningkatan risiko bencana. RPJM.indd 53 2112014 3:28:13 PM 54 Bagi sektor pertanian di Indonesia, perubahan iklim tersebut telah menyebabkan degradasi lahan yang tidak hanya berupa erosi tanah, tetapi telah menjalar ke bentuk-bentuk lain seperti banjir, longsor, serta pencemaran dan kebakaran lahan. Kerusakan pertanaman terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi menimbulkan banjir, tanah longsor dan angin kencang. Kondisi demikian menjadi ancaman sangat serius bagi kelangsungan sistem pertanian di Indonesia karena degradasi lahan pertanian terjadi di dalam intensitas dan kualitas yang tinggi. Hasil kajian IPB di 26 komunitas petani dari 24 Kabupaten di Pulau Jawa menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh signifikan terhadap pertanian Ardhian, 2009. Salah satu dampak paling penting adalah ketidakpastian ketersediaan air bagi tanaman karena musim tidak lagi teratur, yaitu pada suatu saat terjadi musim kering panjang, tetapi pada saat lain terjadi musim hujan dengan intensitas sangat tinggi. Pada tahun 2007, musim kering panjang menyebabkan petani di wilayah paling utara daerah lumbung padi Karawang terpaksa menunda tanam sampai satu bulan. Namun ketika air mulai tersedia, curah hujan sangat tinggi sehingga petani terpaksa menanam 2-3 kali, karena pembibitannya rusak diterjang hujan. Pada tahun 2008, kejadian menjadi terbalik dengan tahun sebelumnya. Petani di wilayah yang sama terpaksa menunda tanam hingga hampir 3 bulan karena intensitas hujan yang tetap tinggi sampai bulan Februari. Penundaan tanam sampai 3 bulan membawa implikasi buruk bagi kehidupan petani, dimana buruh tani mulai kekurangan cadangan beras, sedangkan sumber pendapatan lain belum ada karena aktifitas pengolahan lahan dan tanam belum dimulai. Bagi petani kecil, cadangan gabah hanya cukup untuk 1-2 bulan ke depan, padahal mereka harus menunggu selama 4 bulan hingga masa panen. Kekacauan pola musim, dimana cuaca menjadi tidak menentu, membuat para petani sulit dalam memperkirakan waktu untuk mengelola lahan dan memanen. Dalam kasus serangan hama dan penyakit tanaman, kajian yang sama juga menemukan terjadinya pergesaran dominasi hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Beberapa jenis hama yang semula tidak diperhitungkan, berubah menjadi permasalahan yang serius bagi petani seperti penggerek batang merah jambu yang merupakan kategori hama minor untuk tanaman padi, ditemukan mulai dominan di Indramayu, Magelang, Boyolali, Kulon Progo dan Ciamis. Untuk tanaman lain seperti bawang merah, serangan penyakit jamur fusarium yang sebelum tahun 1997 bukan merupakan penyakit dominan, telah menjadi permasalahan serius bagi petani bawang merah di Brebes pada tahun tahun terakhir. RPJM.indd 54 2112014 3:28:13 PM 55 Laporan IPCC juga menyatakan bahwa fenomena pemanasan global tersebut telah berdampak negatif pada produksi pangan dunia. Perubahan iklim berpengaruh negatif pada produksi pangan karena organisme pengganggu tanaman dan kondisi tanah terganggu. Jika produksi pangan menurun, sementara permintaan terus meningkat, maka akan terjadi krisis pangan hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, pada saat ini negara-negara produsen pangan cenderung mengamankan produksinya untuk kebutuhan domestiknya sendiri. Pada sisi lain, menurut pandangan para ahli klimatologi dunia, salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah kegiatan pertanian sebagai sumber utama gas rumah kaca green house gasses . Namun kegiatan pertanian sebenarnya dapat memberikan peluang untuk memperkecil efek gas rumah kaca dengan teknologi budidaya yang sudah diketahui dan terbukti manfaatnya. Karena itu, pertanian seharusnya dijadikan prioritas utama di dalam perundingan internasional tentang perubahan iklim. Menyusul KTT iklim yang diselenggarakan oleh PBB di Durban yang berakhir bulan Desember 2012, para ilmuwan menyebutkan bahwa ada kemajuan besar di dalam perundingan untuk membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus mengurangi dampak pertanian terhadap pemanasan global. Pertanian harus menjadi lebih ekologis dan rendah emisi serta diposisikan sebagai jembatan untuk mengurangi dampak perubahan iklim mitigasi dengan memperkuat kapasitas dalam menghadapi iklim yang berubah adaptasi. Namun di Indonesia, program mitigasi dan adaptasi masih berjalan lambat. Pemerintah memang telah menunjukkan responnya terhadap ekses perubahan iklim pada pangan nasional dengan menyusun rencana adaptasi nasional untuk perubahan iklim, namun dokumen tersebut masih merupakan kerangka makro dan belum operasional Ardhian, 2013. Sebuah acara untuk mempromosikan cara tentang menghadapi perubahan iklim juga telah digelar dengan judul “Gerakan Nasional Mari Hadapi Anomali Iklim Bersama” di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dihadiri oleh Presiden, para Menteri dan pejabat daerah terkait Ardhian, 2011. Sementara untuk membantu para petani dalam mengelola lahan, dan melindunginya dari perubahan iklim, Badan Litbang Pertanian Kementan telah mengeluarkan Kalender Tanam Terpadu untuk semua wilayah di Indonesia di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Di dalamnya berisi informasi tentang waktu tanam yang tepat di setiap daerah di Indonesia sehingga petani mempunyai petunjuk pada saat akan memulai menanam. Selain itu juga telah tersusun strategi berdasarkan pengembangan inovasi teknologi yang adaptif, RPJM.indd 55 2112014 3:28:13 PM 56 misalnya rekayasa genetik agar tanaman bisa tahan kering, genangan air, berumur pendek, dan rendah emisi. Namun petani sebagai pelaku adaptasi masih sangat minim di dalam memahami proses adaptasi terhadap perubahan iklim yang berdampak sistematik bagi hasil pertanian. Kurangnya informasi yang komprehensif tentang perubahan iklim telah menghambat optimalisasi produksi pertanian di tingkat nasional. Petani masih sering mengalami risiko gagal panen karena kekeringan, banjir dan eksplosi hama dan penyakit. Adaptasi perubahan iklim jangan sampai hanya merupakan agenda ‘sisipan’ dalam kerangka pembangunan nasional sehingga ada jarak antara program adaptasi perubahan iklim dengan program pembangunan pertanian yang berlangsung seperti biasa bussiness as usual. Jika pemerintah memang sudah memutuskan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan, maka perlu gerak cepat merangkum informasi dari berbagai sektor, termasuk dari akar rumput. Sistem Penyuluhan Belum Efektif Di dalam proses diseminasi teknologi di Indonesia, lembaga penyuluhan dan tenaga penyuluh mempunyai peranan sangat penting, yang telah diatur di dalam UU No.162006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan SP3K. Menurut UU tersebut, penyuluh pertanian adalah sebagai aparat atau agen yang membangun pertanian, pendidikpenasehat yang mengabdi untuk kepentingan para petani-nelayan beserta keluarganya dengan memberikan motivasi, bimbingan dan mendorong para petani-nelayan mengembangkan swadaya dan kemandiriannya di dalam berusahatani yang lebih menguntungkan menuju kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera. Untuk itu, maka seorang penyuluh pertanian dituntut untuk dapat mengembangkan program dan materinya di dalam rangka melaksanakan penyuluhan agar kinerja penyuluh lebih maksimal. Pelaksanaan penyuluhan pertanian yang dilakukan harus sesuai dengan program penyuluhan pertanian. Program penyuluhan pertanian bertujuan memberikan arahan, pedoman, dan sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Menurut UU No. 162006 tersebut, program penyuluhan pertanian terdiri dari program penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan, kabupatenkota, provinsi dan nasional. Pasal 22 ayat 1 dan 2 UU No. 162006 tentang SP3K menyatakan bahwa: 1 Program penyuluhan pertanian disusun setiap tahun dan memuat rencana penyuluhan pertanian yang mencakup pengorganisasian dan pengelolaan sumberdaya untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian; 2 Program penyuluhan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus terukur, RPJM.indd 56 2112014 3:28:13 PM 57 realistis, demokratis, dan bertanggungjawab. Di dalam pelaksanaannya, penyuluhan pertanian dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dan melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi petani dan pelaku usaha pertanian. Pada prinsipnya, materi penyuluhan pertanian harus dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan petani dan pelaku usaha pertanian lainya, dengan memperhatikan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pertanian. Menurut UU No. 162006 pasal 26 tentang materi penyuluhan: 1 Materi penyuluhan pertanian yang akan disampaikan kepada petani dan pelaku usaha pertanian lainya harus diverifikasi terlebih dahulu oleh instansi yang berwenang di bidang penyuluhan pertanian; 2 Verifikasi materi penyuluhan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat; dan 3 Materi penyuluhan pertanian yang belum diverifikasi dilarang untuk disampaikan kepada petani dan pelaku usaha pertanian lainnya. Di dalam melaksanakan profesi penyuluhan pertanian, para penyuluh dapat memberikan suatu materi yang dapat mendorong peningkatan produktifitas dan efisiensi para petani, dan penciptaan teknologi dan pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan. Untuk itu perlu adanya partisipasi petani dan semua pihak untuk meningkatkan produktifitas. Penyuluh lapangan sebagai ujung tombak pemberdayaan masyarakat petani, memegang posisi kunci di dalam menghimpun, merangkum, menyaring dan menganalisis situasi sosial teknis petani setempat. Pada saat yang sama lembaga-lembaga sektoral merancang model dan kegiatan pemberdayaan dengan input dari seluruh stakeholder. Fase ini juga memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam peluang pemanfaatan entry-point di dalam memperlancar proses pemberdayaan. Beberapa komponen pokok yang perlu mendapat perhatian di dalam pelaksanaan pembangunan pertanian adalah pemerintah, organisasi non- pemerintah, sektor swasta dan petani. Pemerintah berperan sebagai perencana sekaligus pelaksana, sementara peran organisasi non-pemerintah LSM tidak kalah pentingnya di dalam konteks mikro spesifik lokasi. Peran swasta sangat strategis terutama di dalam penyediaan barang, jasa, modal dan pemasaran. Peran petani adalah sebagai pelaku utama dan sekaligus sebagai penerima manfaat. UU No. 162006 juga mengamanatkan bahwa sertifikasi bagi penyuluh pertanian merupakan keharusan karena penyuluh pertanian adalah suatu profesi. Sertifikasi penyuluh pertanian bertujuan untuk: 1 Meningkatkan mutu dan RPJM.indd 57 2112014 3:28:13 PM 58 proses penyuluhan pertanian dan meningkatkan profesionalisme penyuluh pertanian; 2 Melindungi profesi penyuluh pertanian dari praktek-praktek tidak kompeten yang dapat merusak citra penyuluh pertanian; 3 Melindungi masyarakat dari praktek-praktek penyuluh pertanian yang tidak bertanggungjawab; dan 4 Menjamin mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penyuluhan Pertanian merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, yang dihasilkan dari proses pendidikan profesi, pelatihan profesi dan atau pengalaman kerja, yang dibuktikan dengan Sertifikat Profesi Penyuluh Pertanian. Sertifikasi terhadap penyuluh pertanian merupakan penghargaan atas profesi maupun kompetensi yang dinilai berdasarkan kinerja mereka. Pada tahun 2012, jumlah tenaga penyuluh pertanian mencapai 51.000 orang, yang 27.000 orang di antaranya merupakan PNS, sementara 24.000 orang lainnya adalah Tenaga Harian Lepas THL atau honorer. Pemerintah telah menargetkan bahwa di seluruh desa di Indonesia yang berjumlah 70.000 desa akan terdapat satu orang penyuluh di setiap desa, atau 70.000 orang penyuluh secara keseluruhan. Dengan demikian, maka masih ada kekurangan sekitar 20.000 orang penyuluh pertanian. Kementerian Pertanian menargetkan bahwa pada tahun 2012 mampu melakukan sertifikasi terhadap 1.400 tenaga penyuluh pertanian. Pada saat ini kemampuan melakukan sertifikasi penyuluh baru mencapai sekitar 1.000 orang per tahun, sedangkan jumlah penyuluh pertanian sekitar 27.000 orang. Rendahnya kemampuan sertifikasi penyuluh pertanian tersebut disebabkan oleh keterbatasan anggaran. Sebagai indikator penilaian dalam sertifikasi bagi penyuluh pertanian antara lain adalah kunjungan lapangan, pembuatan peta wilayah, peningkatan akses petani pada sumber permodalan formal, peningkatan akses petani pada teknologi dan peningkatan produktivitas. Karena sertifikasi merupakan penghargaan dan bukan hak bagi penyuluh pertanian, maka jika penyuluh itu tidak berhasil, sertifikatnya bisa dicabut. Walaupun sudah ada UU No. 162006, permasalahan yang dihadapi di dalam kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia akhir-akhir ini masih sangat banyak, yang secara umum adalah sebagai berikut: a Fungsi penyuluhan pertanian di tingkat Provinsi belum berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan pertanian tidak tegas. b Bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di KabupatenKota sangat beragam 7 bentuk, yang menggambarkan bahwa persepsi KabupatenKota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di KabupatenKota masih beragam. Kondisi ini menyebabkan: RPJM.indd 58 2112014 3:28:14 PM 59 i Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk KantorBalai Sub DinasSeksi Kelompok Jabatan FungsionalUPTD menghadapi kesulitan di dalam mengkoordinasikan instansi-instansi terkait karena eselonnya lebih rendah daripada instansi yang akan dikoordinasikan. ii Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk Sub DinasSeksiKelompok Jabatan FungsionalUPTD menyebabkan fungsi penyuluhan masih bercampur dengan fungsi pengaturan dan pengendalian sehingga independensi penyuluh pertanian menjadi berkurang. iii Intervensi Pemerintah Pusat untuk mengatur bentuk dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian di KabupatenKota tidak mungkin dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c Belum semua Kecamatan mempunyai BPP Balai Penyuluhan Pertanian, dan BPP yang sudah adapun sekarang ini kurang difungsikan secara baik oleh KabupatenKota, bahkan di beberapa KabupatenKota dialihfungsikan untuk kegiatan lain. Kurang difungsikannya BPP mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi kurang terencana dan tidak terprogramkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini juga menyebabkan kurang atau tidak tersedianya biaya operasional penyuluhan pertanian di KecamatanDesa. d Dengan diserahkannya personil, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen P3D dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah ProvinsiKabupatenKota, maka kepemilikan aset kelembagaan penyuluhan pertanian beralih ke ProvinsiKabupatenKota. Di dalam kenyataannya, penggunaan aset ini tidak sesuai dengan keperluan untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian. Akibatnya, penyuluh pertanian tidak mendapatkan dukungan sarana penyuluhan pertanian yang memadai sehingga kinerjanya menurun. e Pimpinanpengelola kelembagaan penyuluhan pertanian di KabupatenKota banyak yang tidak mempunyai latar belakang penyuluhan pertanian. Pimpinanpengelola kelembagaan penyuluhan pertanian kurang memahami arti dan peran strategis penyuluhan pertanian di dalam pembangunan pertanian di wilayah kerjanya. Hal ini menyebabkan pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian sering tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian. f Belum ada kesepakatan bersama mengenai sistem penyuluhan pertanian. Hal ini menyebabkan hubungan antara kelembagaan penyuluhan pertanian RPJM.indd 59 2112014 3:28:14 PM 60 di tingkat Pusat, Provinsi dan KabupatenKota menjadi tidak jelas, sehingga struktur dan mekanisme pembinaan dan tata hubungan kerja juga menjadi tidak jelas. g KabupatenKota juga belum sepenuhnya menjalankan kewenangan wajibnya di dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menyebabkan masih banyaknya KabupatenKota yang belum menyusun program penyuluhan pertanian, belum melakukan pembinaan terhadap penyuluh pertanian dan minimnya biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di KabupatenKota. h Kelembagaan penyuluhan pertanian yang dimiliki dan dioperasionalkan, baik oleh petani maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah sebagai mitra kerja sejajar untuk melayani petani. i Penyebaran dan kompetensi tenaga penyuluh pertanian masih bias kepada sub sektor pangan, khususnya padi. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya pelayanan penyuluhan pertanian kepada petani yang mengusahakan komoditas non-pangan. j Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh pertanian di KabupatenKota yang mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah petanikelompok tani yang harus dilayani. Kondisi ini juga menyebabkan banyak penyuluh pertanian yang frustasi karena ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya. k Pada beberapa KabupatenKota, pengukuhan kembali penyuluh pertanian sebagai pejabat fungsional belum dilakukan sehingga penyuluh pertanian tidak diakui eksistensinya dan tunjangan fungsionalnya banyak yang tidak dibayarkan atau dibayarkan tidak sebesar yang seharusnya. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya motivasi penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik. l Kenaikan pangkat sering terlambat dan pola karir tidak jelas sehingga kondisi ini juga mengurangi motivasi dan kinerja para penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik dan seringkali menyebabkan frustasi. m Rekruitmen dan pembinaan karier penyuluh pertanian belum sepenuhnya berpedoman pada SK Menkowasbang PAN No.191999 dan ketentuan usia pensiun bagi penyuluh pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. RPJM.indd 60 2112014 3:28:14 PM 61 n Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui Diklat sudah jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh pertanian di dalam menjalankan tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata petani. o Penyetaraan penyuluh pertanian dari pendidikan SLTA ke D-III belum terselesaikan. Kondisi ini menyebabkan mereka dapat diberhentikan sebagai pejabat fungsional. p Usia penyuluh pertanian sebagian besar sudah di atas 50 tahun. Kondisi ini menyebabkan 10 tahun yang akan datang jumlah penyuluh pertanian menjadi sangat berkurang karena memasuki usia pensiun. q Penyuluh Pertanian Swakarsa dan Swasta belum berkembang secara baik, karena pembinaannya belum terprogram dan belum didukung oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan belum optimalnya peran-serta petani dan swasta di dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. r Biaya operasional untuk penyuluh pertanian yang disediakan oleh KabupatenKota tidak memadai. Hal ini menyebabkan frekuensi dan intensitas kunjungan penyuluh pertanian ke petani sangat kurang. s Penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan partisipatif dan belum dilaksanakan secara terpadu sebagai bagian dari suatu sistem pemberdayaan petani. Hal ini menyebabkan kurangnya peran-serta petani dan terputusnya jaringan kerjasama antara penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani lainnya penelitian, penyediaan sarana produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran. t Penyusunan program penyuluhan pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan serta belum didasarkan pada prinsip-prinsip penyusunannya. Kondisi ini menyebabkan program yang disusun tidak realistis dan belum mencerminkan kebutuhan petani. u Penyuluhan belum mendorong kemitraan dengan petani, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Keadaan ini menyebabkan keterlibatan dan penumbuhan penyuluh pertanian swakarsa dan swasta, sebagai bagian dari jaringan penyuluhan pertanian, kurang berjalan baik. v Penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih berorientasi pada keproyekan dan kegiatannya masih bersifat parsial serta belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan penyuluhan pertanian pada keberadaan proyek. RPJM.indd 61 2112014 3:28:14 PM 62 w Materi dan metode penyuluhan pertanian belum sepenuhnya mendukung pengembangan agribisnis komoditas unggulan di daerah karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan dinas-dinas lingkup pertanian merasa tidak mendapatkan dukungan kegiatan penyuluhan pertanian. x Sulit mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi karena terbatasnya kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan wawasan penyuluh pertanian untuk menyediakan materi penyuluhan yang dibutuhkan petani. y Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh pertanian di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan kurang optimalnya pelayanan terhadap petani. z Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan KabupatenKota, baik melalui dana dekonsentrasi, dana alokasi umum DAU, dan APBD maupun kontribusi dari petani dan swasta, masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak optimal, yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program

3.4. Pembiayaan Pertanian