Studi Hubungan Sikap Dan Perilaku Mengkonsumsi Produk Minyak Sawit Di Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

(1)

STUDY OF THE CONSUMPTION OF RED PALM OIL PRODUCTS IN RELATION TO

THE ATTITUDE AND BEHAVIOUR IN SINARSARI VILLAGE, DRAMAGA DISTRICT,

BOGOR

Vendryana Ayu Larasati, Feri Kusnandar, and Waysima

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West

Java, Indonesia

Phone: +62896 300 600 29, E-mail: vendryana@gmail.com

ABSTRACT

Deficiency of vitamin A and xerophtalmia is one of the main nutritional problem in Indonesia. Indonesian commodity which contain highest vitamin A is red palm oil. To be made as transparent-color cooking oil, the crude palm oil shall through a bleaching process, of which that process will destruct the carotenoids contained in the crude palm oil. Therefore, the government have issued a regulation which stipulates that the producers of cooking oil must add vitamin A as fortificant. The objectives of this study were to determine and analyze respondents’ attitude and behaviour of SawitA products consumption in Sinarsari Village. This study was conducted in 3 steps, i.e (1) socialization of the products (2) distribution of products (3) monitoring of respondents. The results showed that the socialization of palm oil, its products and benefits increased the knowledge of respondents. There is a significant and strong relationship between knowledge about health and respondents’ attitude. There is also a significant relationship between the tendency of consumers to consume palm oil products with frequency of palm oil products usage. The respondents in Sinarsari Village preferred red palm oil without fractination products to CPO products.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia adalah kekurangan vitamin A (KVA) yang banyak diderita anak-anak. Pada tahun 1995 terdapat kurang lebih 250 juta anak balita di seluruh dunia yang menderita KVA, tiga juta diantaranya menunjukkan gejala kerusakan mata seperti kebutaan. Sekitar 10% kasus orang buta di negara berkembang, termasuk Indonesia disebabkan oleh KVA (Khomsan 2004). Prinsip dasar untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A di Indonesia adalah menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami, misalnya konsumsi sayur-sayuran yang mengandung vitamin A dan sumber minyak nabati yang kaya akan vitamin A seperti minyak kelapa sawit.

Minyak sawit asli (CPO) adalah produk dari kelapa sawit yang telah melewati beberapa proses seperti perebusan, ekstraksi dan klarifikasi. CPO disebut juga minyak sawit asli karena pada produk tersebut masih mengandung komponen-komponen alami yang ada pada kelapa sawit seperti karotenoid, tokoferol, tokotrienol dan rendah kolesterol (Winarno 1999). Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai sekitar 5,5 juta Ha dan lahannya tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit asli Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan produksi CPO mencapai 7% per tahun (Kurniawan 2011).

Salah satu faktor yang mendorong peningkatan volume produksi tersebut adalah bertambahnya luas areal perkebunan kelapa sawit. Tahun 2006, Indonesia memproduksi CPO sebesar 15,67 ton.Dari hasil tersebut 11,90 juta ton diekspor, dan hanya 3,77 ton yang digunakan untuk konsumsi lokal. Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan konsumsi minyak kelapa sawit terendah di antara negara-negara yang sedang berkembang. Pada tahun 2011, jumlah produksi minyak kelapa sawit Indonesia adalah sebanyak 25,2 juta ton, sedangkan Malaysia hanya sebanyak 18,8 juta ton. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2012 (Nasrun 2011).

Pemanfaatan CPO di Indonesia masih terbatas untuk produk berupa minyak goreng, margarin, dan minyak salad. CPO yang digunakan pada industri minyak goreng selama ini telah mengalami proses pemucatan (bleaching). Pada proses bleaching, terjadi penghancuran karotenoid secara besar-besaran untuk membuat warna minyak goreng menjadi jernih. Proses ini juga mempengaruhi kandungan vitamin E, dimana jumlahnya berkurang sangat banyak setelah proses pemucatan (Zakaria et al. 2011).

Langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengantisipasi jumlah vitamin A pada minyak goreng adalah dengan mewajibkan fortifikasi vitamin A (Suryaningsih 2011). Akibat yang akan timbul adalah masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli minyak goreng padahal tidak semua masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Permasalahan kekurangan vitamin A khususnya di Indonesia dapat diatasi dengan penggunaan produk berbasis CPO sebagai solusi dalam bentuk makanan, suplemen, bumbu masak, dan minyak tumis yang murah dan praktis untuk diterapkan.

Salah satu upaya pemanfaatan produk CPO di Indonesia, diciptakan produk SawitA yang dikemas sedemikian rupa untuk dapat digunakan langsung oleh masyarakat. Sebagai produk yang belum diluncurkan di masyarakat, perlu dilihat apakah masyarakat menerima dengan baik


(3)

konsumen mengkonsumsi produk SawitA. Hal ini disebabkan karena di dalam keadaan yang sesuai, sikap dapat meramalkan perilaku konsumen (Setiadi 2003).

Penelitian ini menitikberatkan pada hubungan antara sikap dan perilaku mengkonsumsi produk SawitA. Dari hasil yang diperoleh, diharapkan dapat dilakukan pengembangan selanjutnya terhadap produk SawitA. Dengan pengembangan produk yang lebih baik, masyarakat Indonesia terutama yang memiliki kekurangan dalam mengakses sumber vitamin A dapat mengkonsumsi produk SawitA sehingga dapat membantu mengurangi masalah KVA di Indonesia.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis sikap dan perilaku mengkonsumsi produk SawitA pada keluarga di Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui pandangan responden terhadap manfaat minyak sawit dan produknya, mengidentifikasi sikap dan perilaku mengkonsumsi produk SawitA, mengidentifikasi produk SawitA yang lebih diterima di keluarga responden dan menganalisis hubungan sikap dan perilaku responden mengkonsumsi produk SawitA.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai produk-produk minyak sawit, manfaat dari produk-produk tersebut, dan memberikan alternatif sumber vitamin A bagi masyarakat. Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan penulis dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku perkuliahan kepada masyarakat luas terutama di tingkat keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan juga informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang memiliki penelitian mengenai minyak sawit.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA SAWIT

Kelapa sawit adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan jenis lainnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil kelapa sawit pertama di dunia. Taksonomi dari tanaman kelapa sawit dapat dilihat padaTabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Taksonomi tanamankelapa sawit

Kerajaan Plantae

Divisi Tracheophyta

Subdivisi Pteropsida

Kelas Angiospermae

Subkelas Monocotyledoneae

Ordo Cocoideae

Famili Palmae

Subfamili Cocoideae

Genus Elaeis

Spesies Elaeis guineensisJacq.

Sumber: Lubis 2008

Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) merupakan tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dengan kisaran suhu 22-32 °C. Masa berbuah tanaman ini setelah berumur 2,5 tahun dan pemanenan didasarkan pada saat kadar minyak mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum, yaitu pada saat buah mencapai tingkat kematangan dengan ciri-ciri buah yang lepas atau jatuh sekurang-kurangnya 5-10 buah per tandan (Hartley 1977).

Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang. Sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh di daerah tropis (15° LU-15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Tanaman sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan sekitar 2000 mm per tahun (Ketaren 1986).

Secara anatomi bagian buah kelapa sawit terdiri atas perikarp dan biji. Pada Gambar 1 dapat dilihat anatomi kelapa sawit. Perikarp tersusun atas epikarp dan mesokarp. Epikarp merupakan kulit buah yang licin dan keras, sedangkan mesokarp adalah daging buah yang berserabut dan mengandung minyak dengan rendemen tinggi, menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Biji tersusun oleh endokarp, endosperm, dan lembaga embrio. Endokarp adalah tempurung kulit biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah daging biji yang berwarna putih dan dari bagian ini dihasilkan minyak inti sawit (Anonim 2009).


(5)

Gambar 1. Anatomi kelapa sawit (Anonim 2009)

Bagian yang paling sering digunakan untuk diolah lebih lanjut adalah buah kelapa sawit. Buah sawit umumnya berukuran 2-5 cm dan beratnya 3-30 g, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi 1992). B. MINYAK SAWIT ASLI (MSA)

Minyak sawit asli (MSA) merupakan minyak yang dihasilkan dari mesokarp atau daging buah kelapa sawit, sedangkan minyak yang dihasilkan dari inti kelapa sawit disebut minyak inti sawit (MIS). Perbedaan kedua jenis minyak ini terutama terletak pada kandungan karotenoid, dimana MSA mengandung pigmen karotenoid sehingga berwarna jingga-kemerahan, sedangkan MIS tidak mengandung karotenoid (Muchtadi 1992). Choo et al. (1989) menjelaskan bahwa komponen utama dari MSA adalah trigliserida (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%) dan komponen minor (1%) yang terdiri atas karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, glikolipid, squalen, gugus hidroksi alifatik, dan elemen sisa lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen minor MSA

Komponen Minor Konsentrasi (ppm)

Karotenoid 500-700

Tokoferol dan tokotrienol 600-1000

Sterol 326-527

Fosfolipid 5-130

Squalen 200-500

Alkohol alifatik 100-200

Sumber: Choo et al. 1989

Dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak kelapa, minyak jagung, dan minyak kedelai, minyak sawit asli mengandung karotenoid yang besar begitu pula kandungan vitamin E yang berupa tokoferol dan tokotrienol. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit asli merupakan sumber vitamin A dan sumber vitamin E yang baik bagi tubuh dan tersedia secara melimpah di alam Indonesia. Perbandingan komposisi minyak sawit asli dengan minyak nabati lain dapat dlihat padaTabel 3.


(6)

Tabel 3. Perbandingan komposisi minyak sawit asli dengan minyak nabati lain Komponen dalam minyak Minyak sawit asli Minyak Kelapa Minyak Jagung Minyak Kedelai

Karotenoid (ppm) 800 - - -

Vitamin E (ppm) - Tokoferol - Tokotrienol 642 530 11 25 782 - 958 - Asam Lemak (%)

- Jenuh - Tidak Jenuh

0 49 94 5.9 16 83 14 85

Fitosterol (ppm) 18 14 50 28

Sumber: De Witt & Chong 1998

Kandungan komponen pada minyak kelapa sawit tersebut mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Komponen trigliserida sering disebut neutral oil. Dalam CPO, trigliserida campuran merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang (Devine & Williams 1961). Standar kualitas CPO menurut Standar Nasional Indonesia (1998) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Standar kualitas CPO

No. Karakteristik SNI 01-0016-1998 (%)

1 Asam lemak bebas (sebagai palmitat) (b/b) Maks 5,0

2 Kadar air (b/b) Maks 2,0

3 4

Kadar kotoran (b/b) Bilangan Iod

Maks 0,02 Min 56 Sumber: BSN 1998

Menurut Purwanto (1997), proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO terdiri atas tahap berikut:

1) Proses penerimaan buah

Pada proses ini dilakukan penimbangan dan penampungan sementara TBS (tandan buah segar).

2) Proses perebusan

Perebusan dilakukan untuk menonaktifkan enzim-enzim lipase yang menyebabkan kerusakan buah melalui reaksi enzimatik.

3) Proses penebahan

Proses ini bertujuan memisahkan buah dari tandannya sehingga memudahkan proses pelumatan dan ekstraksi minyak dari buah.

4) Proses pelumatan dan ekstraksi minyak

Pada proses ini dilakukan pengambilan minyak dari berondolan kelapa sawit dengan cara melumat buah (digesting) untuk melepaskan sel minyak dan mengempa (pressing) untuk memisahkan minyak kasar dari ampas.

5) Proses pemurnian/klarifikasi minyak

Pada proses ini dilakukan pemisahan antara minyak kasar, air, dan sludge (kotoran) sehingga diperoleh minyak yang bebas dari kotoran, memiliki kadar air yang sesuai (0,1%). Kadar air merupakan salah satu parameter mutu minyak sawit yang mempengaruhi keasaman. Apabila konsentrasi air semakin tinggi, maka akan berpengaruh pada proses hidrolisis yang dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas.


(7)

C. MINYAK SAWIT MERAH

Minyak sawit merah merupakan minyak sawit asli kaya karotenoid yang diproses secara minimal sehingga secara alami mengandung tokoferol, tokotrienol dan karotenoid yang memberikan warna merah pada minyak. Minyak sawit merah juga merupakan sumber dari beberapa antioksidan termasuk vitamin E dan provitamin A karotenoid yang berperan dalam mencegah penyakit kanker dan penyakit kronis lainnya (Zeba et al. 2006). Minyak sawit merah tidak hanya merupakan sumber vitamin A, tetapi juga mengandung lemak dalam jumlah terbatas yang mempengaruhi efektivitas asupan karotenoid. Secara umum, proses produksi minyak sawit merah prinsipnya sama dengan proses produksi minyak sawit asli komersial (minyak goreng). Satu hal yang membedakan adalah pada proses produksi minyak sawit merah tidak ada tahapan

bleaching (pemucatan) sehingga minyak masih tetap berwarna merah. Dibandingkan dengan minyak goreng biasa, minyak sawit merah memiliki aktivitas provitamin A dan vitamin E yang jauh lebih tinggi. Karakter ini membuat minyak sawit merah sangat baik dipandang dari segi nutrisi (Jatmika & Guritno 1997). Kandungan karotenoid pada masing-masing fraksi dari beragam jenis minyak sawit juga berbeda-beda seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Kandungan karotenoid pada fraksi beragam minyak sawit

Fraksi minyak sawit Turunan karotenoid (ppm)

Crude palm oil 630-700

Crude palm olein 680-760

Crude palm stearin 380-540

Residual oil from fibre 4000-6000

Second pressed oil 1800-2400

Red palm oil 500-700

Sumber: Zeb & Mehmood 2004

Minyak sawit merah mengandung 15-300 kali retinol ekuivalen lebih besar dibandingkan dengan wortel, sayuran daun, dan tomat (Canfield et al. 2001). Di alam telah diisolasi 600 jenis karotenoid (Ong & Tee 1992). Karotenoid yang terkandung di dalam minyak sawit merah sebesar 91,18%, di antaranya merupakan -karoten dan α-karoten yang mempunyai aktivitas provitamin A yang tinggi (Naibaho 1990). Kadar karoten minyak sawit merah 60 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak goreng (Jatmika & Guritno 1997).

Menurut Naibaho (1990), MSM mengandung karotenoid total 600-1000 ppm dengan presentase α-karoten 36,β%, -karoten 54,4%, -karoten 3,3%, likopen 3,8%, dan xantofil 2,2%. Kandungan karotenoid yang tinggi menyebabkan MSM berwarna kemerahan. Menurut Olson (1991), pemberian 7 ml MSM dianjurkan untuk nutrisi anak-anak pra sekolah. Sebanyak kurang lebih 800 ppm tokoferol terdapat dalam minyak sawit. Kelompok senyawa tokoferol ini tidak hanya penting karena peranannya sebagai antioksidan alami, tetapi secara fisiologis juga aktif sebagai vitamin, yaitu vitamin E. MSM mulai dikembangkan seiring dengan semakin disadarinya peranan penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Di Malaysia, MSM telah dikembangkan menjadi produk baru, tetapi sampai saat ini belum ada MSM yang dijual secara komersil.

Pada umumnya, pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan. Menurut Muchtadi (1992), sekitar 90% minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya, sedangkan 10% sisanya digunakan untuk produk-produk non pangan. Menurut Meridian (2000), proses pengolahan minyak sawit merah adalah sebagai berikut:


(8)

1) Degumming

CPO ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam reaktor, larutan asam oksalat ditambahkan sebanyak 7%, setelah itu ditambahkan 5-10% CPO. Lalu CPO dipanaskan pada suhu 60 °C kondisi vakum selama 20 menit sambil terus diaduk.

2) Netralisasir

Minyak dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian suhu proses diatur sehingga mencapai 30-40 °C. Selanjutnya, larutan NaOH ditambahkan dalam jumlah tertentu, kemudian diaduk dengan kecepatan 65-75 rpm tekanan <1 atm selama 30 menit. Sabun yang terbentuk dipisahkan dengan pencucian.

3) Deodorized

Minyak dimasukkan kedalam deodorizer, kemudian dipanaskan sampai mencapai suhu 180 °C selama 30 menit dengan tekanan 5 torr. Setelah itu, injeksikan uap sebanyak 4% dari berat minyak setelah mencapai waktu deodorisasi. Selanjutnya, minyak didinginkan sampai suhu 120 °C dan dilakukan filtrasi dengan menggunakan kertas Whatman no 42.

4) Fraksinasi

Proses fraksinasi dilakukan berdasarkan prinsip pendinginan dibawah kontrol tanpa penambahan bahan kimia, kemudian diikuti dengan proses filtrasi. Gliserida jenuh dari minyak dipisahkan dengan suhu rendah, pemisahan dilakukan dengan filtrasi.Dari proses ini dihasilkan minyak dengan asam lemak bebas 0,23% dan karotenoid sebesar 256,55 ppm dengan karotenoid awal 850 ppm.

D. MINYAK SAWIT MERAH TANPA FRAKSINASI (MSMTF)

Proses pembuatan minyak sawit merah tanpa fraksinasi dilakukan hampir sama dengan proses pembuatan MSM pada umumnya. Hal yang membedakan dalam proses pembuatan MSMTF ini adalah pada pembuatan MSMTF tidak dilakukan proses degumming (pemisahan gum) dan fraksinasi antara fraksi padat dan cair. Hal ini dikarenakan pada proses degumming

digunakan air panas dan asam mineral pekat yang dapat menurunkan kandungan beta karoten. Adanya gum pada produk tidak akan menimbulkan bahaya karena gum merupakan serat yang dapat larut sehingga dapat dikonsumsi dengan baik. Selain itu, stearin atau fraksi padat dapat memberikan rasa gurih pada produk minyak ini. Pada pembuatan MSMTF di program SawitA, MSMTF berasal dari MSA yang dinetralisasi untuk memisahkan asam lemak bebas dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lain yang membentuk sabun. Pada proses ini, digunakan soda kaustik (NaOH) 16 °Be ke dalam MSA selama 26 menit sambil diaduk. Sabun tersebut membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan membentuk emulsi. Penambahan air panas bertujuan melarutkan sabun yang terbentuk. Proses ini dilakukan tiga kali hingga sabun terbuang semuanya.

Penghilangan bau dilakukan dengan proses yang dinamakan deodorisasi dalam keadaan vakum pada suhu 140-150 °C selama satu jam. Deodorisasi dilakukan dengan proses penyulingan minyak menggunakan uap panas pada tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Menurut Zakaria et al. (2011), nilai intensitas odor minyak sawit merah sebesar 3,3 merupakan kategori netral untuk produk minyak sawit merah yang masih memiliki aroma sawit. Hasil tersebut dapat diperoleh apabila suhu yang digunakan pada proses deodorisasi sebesar 140 °C selama satu jam. Kondisi tersebut mampu mempertahankan total karotenoid hampir 70% dan menghasilkan aroma khas sawit yang netral, yaitu sebesar 3,3. Proses pembuatan MSMTF dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Gambar 2.


(9)

E. KAROTENOID DAN VITAMIN A

Karotenoid adalah suatu pigmen alami berupa zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang disusun oleh 8 unit isopren, 4 gugus metil dan selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi di antaragugus metil tersebut. Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten, yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati seperti pada sayuran hijau, buah-buahan berwarna kuning dan merah serta minyak sawit. Tubuh mempunyai kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten ini disebut provitamin A (Winarno 1991).

Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten (100%), alfa karoten (53%) dan gamma karoten. Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh menurut Tan (1987) dan Muhilal (1991). Manfaat beta karoten antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, proses penuaan yang terlalu dini, meningkatkan sistem imun tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Tabel 6 memperlihatkan kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati.

Tabel 6. Kandungan karotenoid beberapa pangan nabati

Jenis tanaman Kandungan karotenoid RE/100gr

Minyak sawit merah 30.000

Wortel 2.000

Daun sayur-sayuran 685

Aprikot 250

Tomat 100

Pisang 20

Air Jeruk 8

Sumber: Choo et al.1989 50 kg CPO

Netralisasi NaOH teknis 16

°

Be,

26 menit

Pencucian Menghilangkan sabun

yang terbentuk Deodorisasi 140

°

C

60 menit

Diamkan hingga dingin

36.7 kg MSMTF


(10)

Bentuk -karoten mempunyai aktivitas 100% vitamin A, α-karoten memiliki aktivitas 50-54% vitamin A, dan -karoten memiliki 40-50% vitamin A. Sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzen, karbondisulfida, dan proteleum eter, tidak larut dalam metanol dan etanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, juga mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Beta karoten mempunyai tugas sebagai provitamin A karena adanya cincin beta ionon yang tidak terhidrolisis (Olson 1991). Beta karoten murni lebih cepat rusak oleh cahaya dengan adanya iodin atau asam. Faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen maupun perubahan struktur oleh panas. Panas akan mendekomposisi karotenoid danmengubah stereoisomer.

Dalam tubuh, vitamin A berperan dalam penglihatan, permukaan epitel, serta membantu proses pertumbuhan. Peran retinol untuk penglihatan normal sangat penting karena daya penglihatan mata sangat tergantung oleh adanya rodopsin, suatu pigmen yang mengandung retinol. Di Indonesia, anak penderita xeroftalmia kornea aktif diperkirakan lebih dari 60.000 setiap tahunnya. Sebanyak 20.000-30.000 penderita itu akan mengalami kebutaan selama hidupnya (Winarno 1991). Beta karoten mempunyai efek positif dalam mereduksi plak dalam pembuluh nadi sehingga beta karoten bersifat anti arterosklerosis (Gazianoet al. 1990). Kemampuan ini menyebabkan beta karoten dapat digunakan untuk mencegah penyakit kardiovaskuler.

Karotenoid tersebar luas di alam, pada umumnya memberikan warna kuning, merah, atau jingga. Karotenoid disintesis oleh bakteri, jamur, dan tanaman tingkat tinggi. Karotenoid merupakan prekursor vitamin A yang membantu metabolisme dan pertumbuhan. Produk nabati yang mengandung karotenoid antara lain wortel, tomat, dan jeruk. Sementara itu, pada produk hewani sumber beta karoten antara lain dari kuning telur, hati, lemak, lobster, salmon, dan lemak susu (Zeb & Mehmood 2004).

Dalam tubuh, beta karoten yang berasal dari makanan akan mengalami absorpsi dalam pencernaan. Sekitar 23% dari beta karoten yang diabsorpsi oleh mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedangkan 7% sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim karotenoid dioksigenase (Fennema 1996). Pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri atas α,

, karoten dan likopen diperlukan oleh tubuh sebagai prekursor vitamin A (Winarno 1991). Tanaman sawit merupakan penghasil karotenoid tertinggi di dunia. Minyak sawit yang diperoleh berwarna merah pekat dan mengandung beta karoten provitamin A sebanyak 600-1000 mg per kg atau ppm. Jika kebutuhan manusia dewasa per hari akan vitamin A sebanyak 900 µgram, dengan mengambil nilai vitamin A sebesar 600 mg per kg, maka hanya diperlukan 1.5 ml atau setengah sendok teh minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan vitamin A setiap orang dewasa per hari. Karotenoid yang terdapat pada minyak sawit menyebabkan provitamin A sangat mudah diserap. Pada sel mukosa saluran pencernaan, karotenoid diubah menjadi retinol atau vitamin A, dimana satu unit beta karoten diubah menjadi dua unit retinol (Zakaria et al. 2011).

Vitamin A merupakan vitamin yang esensial untuk pertumbuhan, bahkan vitamin A disebut pula sebagai vitamin penunjang pertumbuhan (Sherman & Smith 1922). Beta karoten memiliki beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain menanggulangi kebutaan karena xeropthalmia, mencegah proses penuaan dini, dan meningkatkan imunitas tubuh, serta antioksidan yang dapat memusnahkan radikal bebas yang dapat mencegah timbulnya kanker.Vitamin A dalam hati disimpan dalam bentuk retinol, sedangkan dalam darah retinol terikat dalam protein spesifik disebut retinol binding protein yang akan diangkut ke jaringan


(11)

seperti mata, usus, dan kelenjar ludah (Winarno 1991). Recommended Dietary Allowance (RDA) vitamin A dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Recommended Dietary Allowance (RDA) vitamin A

Umur dan jenis kelamin FAO/WHO (IU)

0-1 tahun 350

1-6 tahun 400

6-10 tahun 400

10-12 tahun 500

12-15 tahun 600

Laki-laki, 15-18 tahun ke atas 600

Perempuan, 15-18 tahun ke atas 500

Hamil 600

Menyusui 850

Sumber: Bloomhoff 1994

Menurut Winarno (1991) konsumsi vitaminA yang dianjurkan untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 350 retinol ekivalen (RE) perhari, sedangkan untuk anak dan orang dewasa sebesar 10 µg retinol/kg berat badan per hari. Sementara itu untuk ibu hamil dan menyusui perlu ditambah masing-masing sebanyak 200 RE dan 400 RE per hari. Defisiensi vitamin A dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tubuh dan karena tubuh tidak sanggup mensintesis rhodopsin tanpa retinol, kemampuan melihat dalam sinar yang kurang akan terganggu dan akhirnya menyebabkan buta senja (night blindness). Kekurangan vitamin A juga dapat mempengaruhi kesehatan kulit dan menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehubungan dengan kondisi yang jelek dari selaput lendir saluran pernafasan. Defisiensi yang lama dapat mengakibatkan terjadinya pemborokan pada kornea mata yang menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab umum kebutaan di negara-negara berkembang yang makanan sehari-harinya adalah serealia dan tidak tersedia sayuran dan buah-buahan yang mengandung karotenoid.

F. TOKOFEROL

Komponen minor minyak nabati yang mempunyai aktivitas vitamin E adalah tokoferol. Tokoferol dibagi menjadi dua tipe yaitu tokoferol dan tokotrienol. Struktur kimia keduanya merupakan turunan homolog dari 6-hidroksi kroman. Kelompok tokoferol mempunyai rantai samping isopren jenuh yang dibedakan menjadi alfa, beta, gamma, dan sigma tokoferol. Sedangkan kelompok tokotrienol mempunyai rantai samping isopren tidak jenuh. Tokoferol tersusun atas cincin aromatik tersubstitusi oleh metal dan rantai panjang isoprenoid sebagai rantai samping. Aktivitas keempat jenis tokoferol ini berdasarkan urutannya dari aktivitas terbesar adalah alfa, beta, dan terendah adalah gama-tokoferol (Lehninger 1982).

Fungsi utama tokoferol adalah sebagai zat antioksidan yang sangat penting bagi tubuh karena adanya ikatan jenuh pada tokoferol yang menyebabkan senyawa ini mudah teroksidasi. Dahulu vitamin E hanya dikenal dalam kaitannya dengan fertilitas,tetapi belakangan ini diketahui berfungsi pula sebagai antioksidan. Asam lemak tidak jenuh mengandung tokoferol paling tinggi. Tokoferol dipercaya dalam pencegahan penyakit jantung dan kanker. Pemberian alfa tokoferol pada anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A ternyata dapat menaikkan konsentrasi retinol dalam plasmanya. Hal ini berhubungan dengan kerja vitamin E yang mencegah oksidasi vitamin A. Selain berfungsi sebagai antioksidan, vitamin E juga berperan dalam sintesis asam nukleat, pembentukan sel darah merah dan sintesis koenzim A yang penting dalam proses pernafasan (Winarno 1991).


(12)

Dalam jaringan, tokoferol juga mencegah terjadinya oksidasi asam lemak tidak jenuh dan membantu mempertahankan fungsi membran sel. Tokoferol dapat mencegah proses oksidasi dengan memberikan elektron sehingga melindungi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel dari kerusakan karena oksidasi. Oleh sebab itu, istilah antioksidan digunakan untuk menunjukkan peran vitamin E dalam melindungi sel dan membran sel dari kerusakan tersebut (Williams 1973). Kekurangan tokoferol dapat menyebabkan kerusakan hati dan perubahan fungsi membran (Lehninger 1982). Menurut Winarno (1991), kekurangan vitamin ini pada manusia dapat menyebabkan terjadinya peningkatan hemolisis butir darah merah. Dampak kekurangan vitamin E pada manusia dapat menyebabkan jangka hidup butir darah merah menjadi lebih pendek, yaitu hanya 110 hari dibandingkan dengan 123 hari pada kondisi normal. Menurut Recommended Dietary Allowances (RDA), kebutuhan tubuh akan vitamin E bagi orang dewasa berkisar antara 2,6-15,4 mg per hari dengan rata-rata 7,4 mg per hari.

Tokoferol ditemukan pada minyak sayuran, terutama kecambah (Lehninger 1982). Sumber vitamin E lainnya adalah minyak tumbuh-tumbuhan, susu, telur, daging, ikan, padi-padian, dan sayuran hijau. Kandungan vitamin E tinggi ditemukan dalam jaringan hijau yang gelap, masa pertengahan tumbuhan, daun-daun hijau, dan buah-buahan berwarna. Produk hewani seperti daging, ikan, unggas, dan produk-produk hewani turunan seperti susu, telur memiliki kandungan tokoferol yang lebih rendah dibandingkan dengankan produk serealia dan sayuran. Tokoferol adalah senyawa minor yang terdapat pada CPO. Menurut Wong et al. (1988), crude palm oil

mengandung tokoferol sebesar 794 ppm, refined, bleached, and deodorized (RBD) sebesar 563 ppm, RBD palm oil sebesar 643 ppm, dan RBD palm stearin sebesar 261 ppm.

G. KEKURANGAN VITAMIN A DI INDONESIA

Telah diperkirakan lebih dari 254 juta anak-anak usia pra sekolah mengalami risiko KVA dan 50% dari anak-anak tersebut berasal dari Asia Tenggara. Adanya kasus KVA di seluruh dunia menyebabkan kematian pada anak-anak setiap tahunnya dan menyebabkan kebutaan pada lebih dari setengah juta anak-anak di seluruh dunia. Pada tahun 1970, sebanyak 2-7% penduduk Indonesia menderita xeropthalmia. Program penanggulangan KVA di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an, namun sampai saat ini masalah KVA masih menjadi salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Pada tahun 1988, WHO menyebutkan bahwa terdapat 23 negara di seluruh dunia yang memiliki risiko kekurangan vitamin A yang tinggi. Empat di antaranya yaitu India, Indonesia, Bangladesh, dan Filipina memiliki masalah yang serius dalam permasalahan KVA ini (Gillespie& Mason 1994).

KVA tingkat berat (xeroftalmia) yang dapat menyebabkan kebutaan sudah jarang ditemui, tetapi KVA tingkat sub-klinis, yaitu KVA yang belum menampakkan gejala nyata masih diderita oleh sekitar 50% anak-anak usia pra sekolah di Indonesia. Sampai saat ini strategi penanggulangan KVA masih bertumpu ada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi. Kapsul vitamin A biru (100.000 IU) diberikan kepada bayi (6-11 bulan) satu kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari atau Agustus, sedangkan kapsul A merah (200.000 IU) diberikan kepada anak balita (1-5 tahun) setiap bulan Februari dan Agustus, serta kepada ibu nifas paling lambat 30 hari setelah melahirkan (Depkes 2009).

Hingga saat ini, isu gizi yang marak timbul adalah masalah kekurangan gizi mikro menyangkut defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B. Rendahnya asupan zat gizi mikro tersebut menyebabkan tingginya kasus penyakit kurang zat gizi mikro (KGM). Dampaknya dapat dilihat jelas dengan meningkatnya angka kematian ibu dan anak serta penyakit infeksi, menurunnya kecerdasan anak serta produktivitas kerja. Prevalensi


(13)

kurang zat gizi mikro di Indonesia sebesar 50-60%, dengan 9% angka kematian anak dan 13% kematian ibu disebabkan oleh kekurangan vitamin A. Pada tahun 2004, 10 juta anak balita di Indonesia mengalami KVA. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mengalami KVA dengan risiko yang sangat mengkhawatirkan (Siswanto 2007).

Apabila dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia (1,5%) merupakan yang tertinggi, kemudian diikuti oleh Bangladesh (1%), India (0,7%) dan Thailand (0,3%). Sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengalami kebutaan berasal dari keluarga status ekonomi kurang mampu dan belum memiliki akses langsung dengan pihak pelayanan kesehatan (Astuti 2008). Apabila seorang anak mengalami kekurangan vitamin A, anak yang bersangkutan akan menderita penyakit rabun ayam dan yang lebih parah lagi dapat menimbulkan kebutaan. Berdasarkan hasil survey indera penglihatan dan pendengaran tahun 2007 yang dilakukan di delapan propinsi menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Sebesar 0,78% disebabkan oleh katarak, glaukoma 0,20% dan kelainan refraksio sebesar 0,14% (Siswanto 2007).

H. SIKAP KONSUMEN

Sikap disebut sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam psikologi sosial kontemporer. Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami konsumen (Engel et al. 1994). Menurut Gordon Allport dalam Setiadi (2003), sikap adalah suatu mental dan syarat sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sumarwan (2004), yaitu sikap adalah ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut. Hasil belajar, pengalaman, kehidupan dalam kelompok mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan dalam periode waktu yang cukup lama akan dapat menjadi sifat kepribadian seseorang.

Definisi lainnya mengenai sikap adalah sebagai evaluasi, perasaan, dan kecenderungan seseorang yang relatif konsisten terhadap suatu obyek atau gagasan. Sikap menempatkan seseorang kedalam suatu pikiran menyukai atau tidak menyukai sesuatu, bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu tersebut (Kottler & Armstrong 1995). Penataan skala sikap (attitude scaling) merupakan istilah yang biasa dipakai untuk mengacu kepada proses pengukuran sikap. Penataan skala sikap cenderung berfokus pada pengukuran keyakinan responden tentang atribut-atribut produk (komponen kognitif) dan perasaan respon tentang daya tarik atribut-atribut-atribut-atribut ini (komponen afektif). Berapa kombinasi keyakinan dan perasaan biasanya diasumsikan untuk menentukan niat membeli (komponen perilaku) (Kinnear & Taylor 1991).

Daniel Kazt dalam Setiadi (2003) mengklasifikasikan empat fungsi sikap, yaitu: 1) Fungsi utilitarian

Fungsi yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar imbalan dan hukuman. Disini konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas dasar apakah suatu produk memberikan kepuasan atau kekecewaan.

2) Fungsi ekspresi nilai

Konsumen mengembangkan sikap terhadap suatu merek produk bukan didasarkan atas manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas kemampuan merek produk itu mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya.


(14)

Sikap yang dikembangkan oleh konsumen cenderung untuk melindunginya dari tantangan eksternal maupun perasaan internal, sehingga membentuk fungsi mempetahankan ego. 4) Fungsi pengetahuan

Sikap membantu konsumen mengorganisasikan informasi begitu banyak yang setiap hari dipaparkan pada dirinya. Fungsi pengetahuan dapat membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan kebingungan dalam memilah-milih informasi yang relevan dan tidak relevan dengan kebutuhannya.

Selain itu, perlu diketahui mengenai tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif (kepercayaan terhadap produk), komponen afektif (evaluasi produk) dan komponen konatif (maksud untuk mengkonsumsi atau membeli). Hubungan antara ketiga komponen tersebut menunjukkan keterlibatan tinggi (high involvement) yaitu kepercayaan produk mempengaruhi evaluasi produk, dan evaluasi produk mempengaruhi maksud untuk membeli atau mengkonsumsi (Setiadi 2003).

Sumarwan (2004) menjelaskan ketiga komponen sikap sebagai berikut. Pertama, yaitu komponen afektif. Komponen ini menggambarkan perasaan dan emosi seseorang terhadap suatu produk atau merek. Perasaan dan emosi tersebut merupakan evaluasi menyeluruh terhadap objek sikap (produk atau merek). Komponen afektif mengungkapkan penilaian konsumen kepada suatu produk apakah baik atau buruk,”disukai” atau “tidak disukai”. Perasaan dan emosi seseorang tersebut terutama ditujukan kepada produk secara keseluruhan, bukan perasaan dan emosi kepada atribut-atribut yang dimiliki produk. Perasan dan emosi digambarkan dengan ungkapan dua kata sifat yang berbeda untuk mengevaluasi suatu produk.

Kedua, yaitu komponen kognitif. Komponen ini menggambarkan pengetahuan dan persepsi terhadap suatu objek sikap. Pengetahuan dan persepsi tersebut diperoleh melalui pengalaman langsung ke objek sikap tersebut dan informasi dari berbagai sumber lainnya. Pengetahuan dan persepsi tersebut biasanya berbentuk kepercayan (belief), artinya konsumen mempercayai bahwa suatu objeksikap memiliki berbagai atribut dan perilaku yang spesifik akan mengarahkan kepada hasil yang spesifik. Ketiga, yaitu komponen konatif. Komponen ini menggambarkan kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap (produk atau merek). Komponen konatif juga bisa meliputi perilaku yang sesungguhnya terjadi. Komponen konatif dalam riset konsumen biasanya mengungkapkan keinginan membeli dari seorang konsumen (intention to buy).

I. PERILAKU KONSUMEN

Perilaku adalah suatu kegiatan organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yaitu rangsangan yang merupakan faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) seperti lingkungan baik fisik maupun non fisik, serta respon yang merupakan faktor dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor non fisik yang berupa sosial budaya dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal yang menentukan seseorang itu merespon stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi dan motivasi (Engel et al. 1994).

Menurut Loudon dan Bitta (1998), perilaku konsumen lebih ditekankan sebagai suatu proses pengambilan keputusan. Mereka mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau barang dan jasa. Pendapat lain menurut Engel et al. (1994) mengenai perilaku konsumen adalah segala kegiatan yang secara langsung ditujukan untuk mendapatkan,


(15)

mengkonsumsi, dan menyimpan atau membuang produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mengawali dan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengambil keputusan pembelian menurut Setiadi (2003) antara lain faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi dari konsumen. Faktor kebudayaan merupakan faktor penentu paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Faktor kebudayaan terdiri dari faktor sub-budaya (kelompok nasionalisme, kelompok keagamaan, kelompok ras, dan area geografis) dan faktor kelas sosial yang relatif homogen dan bertahan lama dalam suatu masyarakat sehingga masyarakat memiliki nilai, minat, dan perilaku yang sama.

Faktor-faktor sosial terdiri dari kelompok referensi, keluarga, peran dan status. Kelompok referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Misalnya keluarga, teman, tetangga, teman sejawat (kelompok primer) dan kelompok sekunder, yaitu kelompok yang cenderung lebih resmi dan interaksinya kurang berkesinambungan. Keluarga sebagai faktor sosial terdiri dari keluarga orientasi dan keluarga prokreasi.

Faktor pribadi terdiri dari umur, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian. Pada umur, orang-orang dewasa biasanya mengalami perubahan atau transformasi tertentu pada saat mereka menjalani hidupnya. Pekerjaan dikelompokkan berdasarkan minat di atas rata-rata terhadap produk tertentu. Keadaan ekonomi terdiri dari kemampuan untuk meminjam, sikap terhadap lawan menabung dan pendapatan yang akan dibelanjakan, mulai dari tingkatnya, stabilitasnya, dan polanya. Sementara itu faktor psikologi berupa motivasi dan persepsi. Gaya hidup seseorang adalah pola hidup yang diekspresikan oleh kegiatan, minat, dan pendapat seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan kepribadian adalah karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif konsisten. Hubungan antara sikap dan perilaku menunjukkan sejauh mana sikap konsumen mampu dijadikan dasar untuk memprediksi perilakunya (Setiadi 2003).

Menurut Theory Planned Behavior (TPB), perilaku dapat disengaja dan direncanakan. TPB dapat membantu memahami bagaimana perilaku seseorang dapat diubah dan diprediksi. Perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga pertimbangan, antara lain:

1) Behavior beliefs, mengenai kemungkinan konsekuensi dari perilaku tersebut. 2) Normative beliefs, mengenai keyakinan tentang harapan normatif orang lain.

3) Control beliefs, mengenai keyakinan tentang keberadaan faktor yang dapat memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku seseorang.

Pada Gambar 3, dapat dilihat bagaimana perilaku seseorang menurut Theory Planned Behavior.

Pengetahuan

Sikap terhadap perilaku Norma subjektif

Kontrol adanya perilaku

Keinginan untuk berperilaku

Perilaku


(16)

Dalam agregat masing-masing, behavior beliefs menghasilkan sikap yang baik ataupun tidak baik terhadap perilaku. Normative beliefs menghasilkan norma subjektif atau tekanan sosial dan

control beliefs menimbulkan kontrol perilaku yang dirasakan seseorang. Dalam kombinasi ketiganya, sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi dari kontrol perilaku berperan dalam pembentukan keinginan untuk berperilaku. Semakin baik sikap dan norma subjektif serta semakin baik kontrol, semakin kuat keinginan seseorang untuk menghasilkan perilaku yang baik (Ajzen 1991).

J. UJI SENSORI DI RUMAH (HOME USE TEST)

Evaluasi sensori merupakan evaluasi berdasarkan indera manusia terhadap produk pangan. Evaluasi sensori digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan menginterpretasikan respon terhadap suatu produk berdasarkan yang ditangkap oleh indera manusia seperti penglihatan, penciuman, perasa, peraba dan pendengaran (Stone & Sidel 2004). Ada tiga jenis metode dalam evaluasi sensori,yaitu uji deskriptif, uji pembeda, dan uji afektif.

Uji deskriptif merupakan uji yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur sifat-sifat sensori. Uji pembeda adalah uji yang dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan dari produk-produk yang diuji dan mengukur kemampuan panelis untuk mendeteksi suatu sifat sensori (Lawless & Heymann 1998). Sedangkan uji afektif merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui produk yang disukai atau produk yang lebih disukai dari yang lain oleh panelis. Uji afektif meliputi uji kesukaan dan uji mutu hedonik (Resurreccion 1998).

Berdasarkan lokasi pengujian, uji afektif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengujian di laboratorium (sensory laboratory test), pengujian di pusat konsumen (central location test), dan pengujian di rumah (Home Use Test = HUT). Pengujian di laboratorium merupakan pengujian yang keadaannya dapat dikontrol oleh peneliti karena berlokasi di laboratorium. Pengujian di pusat konsumen dilakukan di tempat-tempat umum seperti sekolah, pusat perbelanjaan, swalayan, dan rumah sakit. Sedangkan pengujian di rumah melibatkan kondisi natural dari konsumen dan produknya karena mengikuti keadaan penggunaan aktual oleh konsumen itu sendiri.

Pada HUT, pengujian dilakukan di rumah responden dimana kondisi dari pengujian tidak dikontrol oleh peneliti. Hasil pengujian dapat berupa data yang memiliki hasil yang sangat beragam. HUT digunakan untuk menentukan atribut produk, penerimaan, dan penyajian pada kondisi seaktual mungkin. Sampel produk diujikan pada kondisi normal, selain itu dapat menghasilkan data tambahan ataupun informasi yang berharga yang tidak dapat diperoleh dari uji lainnya. Produk-produk yang diuji dengan metode HUT adalah produk-produk yang sulit diuji pada laboratorium atau central location test (Moskowitz et al. 2006).

Resurreccion (1998) menyatakan bahwa biasanya jumlah panelis yang dibutuhkan antara 50 hingga 100 panelis per produk. Prosedur HUT secara umum adalah dua produk dibandingkan, tetapi kedua produk tersebut tidak disediakan secara bersamaan karena dapat tercipta kemungkinan penggunaan produk yang salah atau terjadi kesalahan penggunaan dalam evaluasi produk. Pada penelitian ini, produk didistribusikan secara bertahap dan dalam jangka waktu tertentu. Pemberian produk pertama dilakukan pada bulan pertama setelah dilakukan sosialisasi mengenai manfaat dan pengetahuan produk. Selanjutnya produk kedua diberikan pada bulan berikutnya setelah dilakukan sosialisasi tahap berikutnya.Produk diuji pada keadaan seaktual mungkin sesuai dengan cara responden menggunakan produk tersebut di rumah mereka masing-masing.


(17)

pun bersifat unik dan tidak dapat diperoleh dari uji lainnya. Tingkat kepercayaan terhadap daya terima produk yang dihasilkan HUT lebih tinggi daripada daya terima yang dihasilkan oleh uji lainnya. HUT juga baik untuk pengembangan produk baru, dimana uji ini menghasilkan informasi mengenai karakteristik sensori sebuah produk pada tahap persiapan, penyajian, dan evaluasi dalam keadaan yang tidak terkontrol (Resurreccion 1998).

Secara lebih rinci, keuntungan menggunakan metode HUT menurut Resurreccion (1998) antara lain:

1) Produk yang diuji di bawah lingkungan seaktual mungkin atau dalam keadaan penggunaan normal.

2) Informasi yang didapatkan dari metode ini lebih banyak, karena diperoleh tanggapan dari seluruh anggota keluarga.

3) Metode pengujian ini dapat digunakan di tahap awal fase formulasi suatu produk, dimana tidak hanya diuji mengenai penerimaan dan preferensi responsen, tetapi juga mengenai performa dari produk tersebut.

4) Informasi mengenai produk kompetitor lainnya dapat diperoleh, karena dapat dilihat jenis produk tersebut di rumah responden selama tes, pola penggunaannya dan informasi lain yang berguna dalam memasarkan suatu produk.

5) Responden dapat memberi informasi mengenai perilaku pembelian berulang suatu produk yang terjadi pada keluarga mereka.

Kekurangan menggunakan metode HUT antara lain:

1) Metode HUT membutuhkan waktu yang cukup lama dalam implementasi, dalam pendistribusian produk ke responden, dan untuk mengumpulkan respon dari responden. 2) Kurangnya kontrol dari peneliti dapat menyebabkan respon yang bervariasi dari responden. 3) Desain pengujian harus mudah dan hanya menggunakan produk sebanyak satu atau dua. Jika

tidak, akan timbul kesulitan untuk responden memberikan tanggapan terhadap produk tersebut.

4) Metode HUT tidak cocok apabila ingin menguji banyak sampel.

5) Metode HUT ini sangat mahal, terutama apabila jumlah produk yang diberikan lebih banyak daripada yang disediakan pada uji di laboratorium.

6) Apabila jumlah responden yang digunakan lebih sedikit dari central location test atau tes di laboratorium, maka informasi yang diperoleh dari uji ini menjadi terbatas.


(18)

III. METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini merupakan bagian dari Program SawitA yaitu suatu program kerjasama antara PT. SMART TBK dan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Program ini merupakan suatu program yang dibuat untuk mengatasi KVA di Indonesia dengan menggunakan produk minyak sawit sebagai sumber vitamin A. Keseluruhan penelitian dilakukan pada bulan April hingga Desember 2011, di Desa Sinarsari dan kampus IPB Dramaga, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan daerah berdasarkan pemilihan yang disarankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, sebagai kecamatan yang memiliki banyak penduduk dari keluarga pra sejahtera.

B. ALAT DAN BAHAN

Pada penelitian ini digunakan alat-alat yang menunjang sosialisasi dari produk SawitA. Alat-alat bantu tersebut berupa brosur yang berisi tata cara penggunaan produk SawitA. Selain itu dilampirkan pula manfaat yang akan diperoleh bagi konsumen setelah mengkonsumsi SawitA. Kuesioner juga dibutuhkan untuk melakukan wawancara terhadap responden sebagai bentuk pendekatan kepada target responden yang dituju. Kuesioner yang digunakan merupakan adaptasi dari penelitian Waysima (β011) mengenai “Peran Ibu pada Perilaku Makan Ikan Laut Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Jepara dan Kabupten Grobogan, Jawa Tengah” serta kuesioner dari Program SawitA.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua produk yang berbasis minyak sawit dengan nama SawitA. Produk SawitA diproduksi oleh tim produksi Program SawitA, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Jenis produk yang digunakan adalah dua produk SawitA tumis, yaitu minyak sawit asli (CPO) dan minyak sawit merah tanpa fraksinasi (MSMTF). Sesuai namanya, yaitu SawitA tumis, penggunaan produk ini disarankan untuk masakan yang ditumis. Metode yang digunakan yaitu Home Use Test.

C. PENGAMBILAN DATA

Pada penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada responden yang dipandu dengan kuesioner. Pengambilan data primer dilakukan dengan tahapan tertentu. Sementara itu, data sekunder berupa data kependudukan wilayah Bogor yang diperoleh dari Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga dan pemerintah Kabupaten Bogor. Pengambilan data primer dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Pembuatan Kuesioner

Kuesioner merupakan serangkaian pertanyaan dan pernyataan penjabaran dari tujuan penelitian yang diajukan kepada responden. Kuesioner digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara, pengambilan data atau sebagai alat pengumpulan data. Wawancara dilakukan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti sehingga mempermudah responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Identitas responden didapat dari kuesioner yang berasal dari Program SawitA. Kuesioner pertama dilakukan sebelum kegiatan sosialisasi Program SawitA dilakukan. Kuesioner setelah sosialisasi diberikan setelah dua bulan pemberian produk. Kuesioner mengenai sikap dan perilaku


(19)

produk, dan pemakaian produk secara aktual. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ada yang bersifat tertutup dan ada yang bersifat terbuka yang tidak terstruktur.

2. Pengujian Kuesioner

Pengujian kuesioner dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan kuesioner yang akan digunakan. Dalam banyak situasi, dikehendaki data atau fakta yang diperoleh dari sebuah penelitian memiliki tingkat kesahihan yang baik. Oleh karena itu, pengujian kuesioner dilakukan pada sampel di luar responden penelitian. Sampel yang digunakan pada pengujian kuesioner ini harus memiliki karakteristik yang serupa dengan responden penelitian. Responden yang digunakan dalam uji kuesioner ini sebanyak delapan orang yang mewakili anggota keluarga yaitu ibu, anak, dan bapak. Keluarga tersebut juga berasal dari RW 02 Desa Sinarsari dan mereka termasuk dalam daftar penerima dan pengguna produk SawitA tetapi tidak termasuk dalam responden penelitian.

3. Pengujian Reliabilitas dan Validitas Kuesioner

Validitas menurut Azwar (1997) didefinisikan sebagai seberapa cermat suatu alat tes melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen dinyatakan valid (sah) apabila instrumen tersebut betul-betul mengukur apa yang seharusnya diukur (Idrus 2002). Uji validasi dilakukan dengan mengkorelasikan skor masing-masing pertanyaan dengan skor total suatu variabel. Korelasi antara pertanyaan dapat diukur dengan menggunakan salah satu teknik korelasi product moment, yaitu:

R =

Keterangan:

X = Skor pada soal yang ingin diukur Y = Skor total dari masing-masing soal N = Jumlah pengamatan

R = Indeks validitas

Uji validasi menggunakan analisis korelasi dengan software SPSS versi 17.0 dengan korelasi Rank Spearman. Kriteria kekuatan hubungan antara dua variabel antara lain apabila nilai r=0 maka tidak ada korelasi antara dua variabel, apabila R>0-0,25 maka korelasinya sangat lemah, apabila R>0,25-0,5 maka korelasinya cukup, apabila R>0,5-0,75 maka korelasinya kuat, apabila R>0,75-0,99 maka korelasinya sangat kuat dan apabila R=1 maka korelasinya sempurna (Sarwono 2006).

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Azwar 1997). Setiap alat pengukur seharusnya memberikan hasil pengukuran relatif konsisten dari waktu ke waktu. Realibilitas kuesioner diuji dengan test-retest. Uji meminta responden untuk mengisi kuesioner, dan dalam selang waktu 10 hari kemudian responden diminta untuk mengisi kembali kuesioner yang sama. Selanjutnya jawaban para responden dibandingkan dan dianalisis sehingga diketahui bagian-bagian yang harus diperbaiki. Nilai reliabilitas diukur dari koefisien korelasi atau nilai r antara total skor pengujian pertama dengan total skor pada pengujian berikutnya. Bila koefisien korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel.


(20)

D. PEMILIHAN RESPONDEN

Metode yang digunakan dalam pemilihan responden adalah metode Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti sehingga tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk dipilih dalam suatu populasi. Pemilihan responden dimulai dari penunjukkan Kecamatan Dramaga oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, sebagai salah satu kecamatan yang memiliki banyak penduduk dari keluarga pra sejahtera dan banyak yang mengalami KVA. Selain itu, pemilihan responden dilakukan berdasarkan pertimbangan peneliti yaitu dengan menyesuaikan responden yang akan digunakan dengan tujuan penelitian. Responden diminta untuk menyatakan ketersediaannya mengikuti program SawitA selama dua bulan dan bersedia menjadi responden pada penelitian ini. Pada Kecamatan Dramaga terdapat lebih dari 2.500 keluarga pra sejahtera. Salah satu desa yang berada pada Kecamatan Dramaga adalah Desa Sinarsari. Berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk pra sejahtera cukup mendominasi di Desa Sinarsari, yaitu sebanyak 545 kepala keluarga. Penduduk pra sejahtera tersebut kurang memiliki akses dalam memperoleh informasi mengenai kesehatan dan kesulitan dalam memperoleh fasilitas-fasilitas kesehatan yang dapat menunjang perbaikan hidup mereka. Hal ini membuat pemilihan responden pada Desa Sinarsari RT 02 dan RT 03, RW 02 merupakan langkah yang tepat untuk membantu masyarakat memperoleh kesehatan yang lebih baik. Responden yang terpilih hanya berasal dari satu RW karena dinilai karakteristik penduduk antar RW memiliki karakteristik yang serupa, sehingga cukup mengambil satu RW saja.

Responden yang dipilih berasal dari keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan apabila memiliki anak minimal berusia sekolah dasar (minimal 9 tahun) sebanyak 101 orang. Berdasarkan American Standard Testing Material (Resurreccion 1998) diperlukan minimal 50 responden untuk setiap produk. Penelitian ini menggunakan dua produk, maka dari itu jumlah responden yang digunakan sebanyak 100 orang. Pada penelitian ini total responden yang digunakan sebanyak 101 orang. Anak-anak yang menjadi responden berusia sekolah dasar, mulai dari umur 9 tahun, yang dinilai sudah dapat mengerti pola komunikasi lisan. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan panduan kuesioner sehingga dapat dipastikan responden mengerti maksud dari pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud. Proporsi ibu, ayah, dan anak tidak seimbang tetapi memenuhi standar yang diharuskan yaitu sebanyak 100 responden. Para responden tersebut adalah mereka yang mau mengikuti program ini dari awal hingga akhir, tanpa paksaan, dan telah menandatangi Letter of Concern yang diajukan.

E. TAHAPAN PENELITIAN

1) Tahap Sosialisasi

Produk SawitA merupakan produk baruyang belum dikenal masyarakat. Perlunya sosialisasi mengenai manfaat dan cara penggunaan produk agar masyarakat dapat memahami dengan benar mengenai produk ini. Sosialisasi produk SawitA dilakukan di tempat yang strategis, seperti di posyandu atau balai desa. Sosialisasi dilakukan sebanyak tiga kali selama dua bulan, yaitu pada awal, tengah, dan akhir kegiatan Program SawitA.

Kegiatan sosialisasi pertama dilakukan sebelum pemberian produk SawitA ke responden berupa wawancara dengan kuesioner tentang kelapa sawit, produk dan manfaatnya. Selanjutnya sosialisasi pengetahuan umum mengenai vitamin A dan KVA, pengenalan produk, manfaat dan cara pemakaian produk, kemudian disusul dengan pemberian produk SawitA ke responden. Sosialisasi kedua dilaksanakan pada akhir bulan pertama, dimana responden telah menggunakan produk SawitA selama satu bulan. Pada


(21)

lalu tinjauan ulang mengenai penggunaan produk SawitA selama satu bulan ke belakang. Selain itu, dilakukan kegiatan tukar pendapat dan tukar pengalaman tentang penggunaan produk SawitA. Setelah kegiatan sosialisasi kedua, dilakukan pergantian pemberian produk dari produk CPO menjadi produk MSMTF.

Sosialisasi ketiga, dilakukan pada akhir bulan kedua. Pada tahap tersebut dilakukan sosialisasi mengenai tinjauan ulang produk kedua, yaitu produk SawitA MSMTF. Selain itu, dilakukan demo memasak dengan menggunakan produk SawitA, seperti memasak sop ceker ayam yang diberi produk SawitA. Permainan-permainan interaktif juga dilakukan agar pengetahuan mengenai produk dan manfaat produk tetap diingat para responden. Pada sosialisasi ketiga, terdapat lomba memasak dengan menggunakan produk SawitA bagi seluruh responden yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Pada tahap ini, responden menciptakan beragam resep kreatif dengan menggunakan produk SawitA yang dapat diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Pemenang pada lomba ini mendapatkan hadiah menarik sehingga menimbulkan semangat dan meningkatkan antusiasme responden untuk berkontribusi dalam kegiatan ini.

2) Tahap Pemberian Produk

Setelah kegiatan sosialisasi awal, produk SawitA mulai dibagikan dan dikonsumsi responden. Penggunaan produk SawitA dilakukan di rumah mereka sendiri tanpa ada kontrol langsung dari peneliti, oleh karena itu produk SawitA disajikan dalam kondisi aktual. Uji ini dinamakan Home Use Test, dimana pengujian dilakukan di rumah responden. Ada dua sampel produk SawitA yang digunakan yaitu produk SawitA tumis MSA dan produk SawitA tumis MSMTF. Pengujian menggunakan dua sampel sesuai saran Resurreccion (1998), karena jika semakin banyak sampel yang diuji akan semakin rumit bagi responden dan membutuhkan waktu pengujian yang lebih lama.

Sampel pertama, produk MSA didistribusikan ke masing-masing rumah responden. Cara penggunaan produk SawitA yang disarankan dengan menambahkan pada makanan matang atau menggunakannya sebagai pengganti minyak dalam tumisan. Responden boleh menggunakan dengan cara yang berbeda, tidak harus sesuai dengan yang disarankan. Hal ini untuk melihat variasi cara penggunaan dan cara yang paling sering digunakan responden. Satu bulan berikutnya didistribusikan sampel kedua yaitu produk MSMTF. Produk dikemas dalam botol 140 ml, dimana satu keluarga mendapatkan satu botol per minggu. Disarankan agar responden mendapatkan produk sebanyak 2ml/orang/hari sehingga dalam satu minggu masing-masing responden akan mendapatkan 14 ml/minggu. Deskripsi Produk

Seperti yang tercantum pada Laporan Akhir Program SawitA (Zakaria et al. 2011), sebagian CPO yang diperoleh dari PT. SMART Tbk Jakarta dikemas dalam botol sebagai minyak tumis dan sebagian lainnya diproses sebagai MSMTF. Produksi produk SawitA dilaksanakan di Techno Park IPB dengan nomor pendaftaran P-IRT No 207320101871. Pada Tabel 8 dapat dilihat karakteristik CPO berdasarkan analisis kimia.


(22)

Tabel 8. Karakteristik CPO dan MSMTF Jenis

Minyak

Rata-rata bilangan asam (g NaOH/g minyak)

Rata-rata asam lemak bebas

(%)

Rata-rata bilangan iod

Bilangan peroksida (meq

peroksida/kg)

CPO I 0,014 9,66 - 0

CPO II 0,019 12,90 - 0

CPO III 0,008 5,425 49,79 0

CPO hanya dinetralisasi

0,007 4,42 50,86 0

MSMTF 0,006 4,055 48,62 0

Sumber: Zakaria et al. 2011

Kadar asam lemak bebas sangat bervariasi tetapi pada semua batch tidak mengandung peroksida. Hal ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan dan distribusi CPO tidak terjadi oksidasi lemak. Sesuai dengan hasil penelitian Puspitasari 2008, keberadaan karotenoid yang tinggi bersifat sebagai antioksidan. Analisis logam berat dilakukan di laboratorium analisis Departemen Teknologi Pertanian (TIN). Hasil analisis menunjukkan kadar logam berat yang terdapat pada CPO, CPO hanya netralisasi dan MSMTF tidak berbeda dan secara keseluruhan berada jauh di bawah standar logam berat SNI 19-7030-2004 untuk minyak makan. Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil analisis logam berat pada CPO dan MSMTF pada produk SawitA.

Tabel 9. Hasil analisis logam berat Produk SawitA

Parameter (mg/kg) Hasil Pemeriksaan

CPO Netralisasi MSMTF

Timbal (Pb) <0,030 <0,030 <0,030

Air raksa (Hg) <0,001 <0,001 <0,001

Cadmium (Cd) <0,005 <0,005 <0,005

Crom Heksavalent (Cr6+) <0,011 <0,011 <0,011

Crom total <0,011 <0,011 <0,011

Arsen (As) <0,002 <0,002 <0,002

Tembaga (Cu) <0,015 <0,015 <0,015

Kadar air (% b/b) 1,85 0,96 1,03

Sumber: Zakaria et al. 2011

Keamanan produk SawitA ditunjang oleh kadar bilangan peroksida yang dianalisis tidak terdeteksi. Asam lemak bebas juga tidak berbahaya bagi konsumen karena pada dasarnya, semua lemak yang dikonsumsi manusia akan tercerna dan diserap dalam bentuk asam lemak bebas.


(23)

3) Tahap Monitoring

Satu minggu sekali dilakukan monitoring mengenai pemakaian produk SawitA pada responden, pemberian produk SawitA dan juga penguatan informasi mengenai produk SawitA kepada responden. Hal ini mengingat pengujian dilakukan di rumah responden tanpa adanya kontrol dari peneliti secara langsung saat pemakaian produk. Selain frekuensi penggunaan, juga dilihat cara penggunaan produk. Pada bulan kedua, monitoring mengenai produk SawitA dan penguatan informasi produk dilakukan dua minggu sekali. Pada saat melakukan wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berupa intensitas penggunaan produk, cara mengkonsumsi produk dan penerimaan para responden dari atribut-atribut yang ditanyakan. Pertanyaan dibuat dengan bahasa sehari-hari sehingga mudah dimengerti oleh responden.

F. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Perhatian utama dari metode HUT adalah mengukur penerimaan produk secara keseluruhan (Stone & Sidel 1994). Oleh karena itu digunakan analisis univariat dimana analisis dilakukan per variabel. Variabel-variabel yang digunakan seperti karakteristik responden yaitu umur, jenis kelamin, status dalam keluarga, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pola asuh makan keluarga, pengetahuan responden mengenai vitamin A dan pola makan sehat, sikap terhadap mengkonsumsi produk SawitA. Selain itu, dilihat pula pengetahuan responden sebelum dan setelah diberikan penyuluhan mengenai minyak sawit dan manfaatnya serta cara penggunaan dan konsumsi produk SawitA. Konsumsi produk SawitA dilihat berdasarkan frekuensi penggunaan, jenis makanan, jenis masakan berdasarkan pengolahan dan kesan mengkonsumsi produk SawitA.

Pada analisis atribut dari produk SawitA, responden mengidentifikasikan atribut-atribut pada produk yang mengganggu responden pada saat mengkonsumsi produk. Data-data yang didapatkan dari metode ini sebagian besar merupakan hasil wawancara dari para responden. Wawancara dilakukan karena responden perlu bimbingan dalam pengisian kuesioner. Untuk melihat perbedaan atau hubungan antara dua variabel digunakan analisis bivariat atau analisis korelasi. Pada kuesioner yang digunakan, masing-masing variabel dihubungkan dengan sikap terhadap konsumsi produk SawitA dan perilaku responden mengkonsumsi produk SawitA.

Adanya korelasi antara variabel tersebut dilihat dari nilai koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi antara +1 sampai dengan -1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Kriteria kekuatan hubungan antara dua variabel antara lain apabila nilai r=0 maka tidak ada korelasi antara dua variabel, apabila r>0-0,25 maka korelasinya sangat lemah, apabila r>0,25-0,5 maka korelasinya cukup, apabila r>0,5-0,75 maka korelasinya kuat, apabila r>0,75-0,99 maka korelasinya sangat kuat dan apabila r=1 maka korelasinya sempurna (Sarwono 2006).


(24)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS

Pengujian kuesioner diawali dengan pengujian draft kuesioner kepada 8 orang warga Desa Sinarsari, yaitu 3 orang ibu, 3 orang bapak dan 2 orang anak. Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah kalimat yang disusun dalam kuesioner dapat dipahami dengan benar oleh responden. Berdasarkan uji yang dilakukan, diperlukan perbaikan pada poin-poin kuesioner ini. Pada beberapa poin seperti pengetahuan tentang pola makan sehat dan sikap kognitif diperlukan perbaikan baik dari segi tata bahasa atau pemilihan kata yang tepat, dan juga penyampaian pertanyaan yang tepat agar maksud dari pertanyaan tersebut dapat dimengerti oleh responden.

Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat negatif seperti “Bapak memperbolehkan anak jajan apabila anak tidak menyukai makanan yang dihidangkan di rumah” pada komponen sikap kognitif perlu lebih ditekankan pada responden sehingga tidak keliru mengartikan pertanyaan yang diajukan. Pada bagian dari pengetahuan responden tentang pola makan sehat, pernyataan “Sayuran mentah selalu lebih baik daripada sayuran olahan.” dihilangkan karena menimbulkan kebingungan pada responden.

Setelah perbaikan kalimat-kalimat dalam kuesioner, kemudian dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas kuesioner. Dari hasil pengujian reliabilitas kuesioner, diperoleh koefisien korelasi dari masing-masing variabel sebagaimana tercantum pada Tabel 10. Demikian juga hasil pengujian validitas dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner

Item Nilai r

(Sperman)

Nilai Validasi (Spearman)

Pola asuh keluarga 0.725* -0,470 – 0,886**

Pengetahuan tentang kesehatan 0.711* 0,455 – 0,779*

Pengetahuan tentang pola makan sehat 0,439 0,130 – 0,813*

Sikap kognitif 0,073 0 – 0,655

Sikap afektif -0,028 0,257 – 0,339

Kecenderungan perilaku -0,266 0,540- 0,756*

B. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor terletak di Propinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas 298.838.304 Ha. Batas strategis dari Kabupaten Bogor ini antara lain, sebelah utara berbatasan dengan kota Depok, sebelah Barat dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, dan sebelah tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005. Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng


(25)

(pemekaran Kecamatan Leuliwiang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran kecamatan Bojong Gede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea).

Kabupaten Bogor terletak pada ketinggian 190 m sampai 330 m dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Kabupaten Bogor adalah 21,8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin muson barat. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah) di bagian selatan dan tipe B (basah) di bagian utara (Irianto & Surmaini 2000).

Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyatakan bahwa Kabupaten Bogor merupakan kabupaten terbesar di Propinsi Jawa Barat dan banyak penduduknya yang termasuk keluarga pra sejahtera. Dalam bidang perekonomian, laju perekonomian Kabupaten Bogor sebesar 4,05% pada tahun 2009 yang merupakan penurunan di tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,58 % pada tahun 2008 (BPS Kabupaten Bogor 2009). Sektor lapangan usaha dikelompokkan ke dalam kategori sektor primer (pertanian, pertambangan, dan penggalian), sektor sekunder seperti industri pengolahan, listrik, gas, air minum serta bangunan, dan sektor tersier seperti perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan, komunikasi, keuangan, persewaan, jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Dimana sektor sekunder mengungguli sektor lainnya dalam tahun 2007-2009 (BKKBN 2009).

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebanyak 5.058.538 jiwa yang terdiri atas 2.446.251 jiwa laki-laki dan 2.316.958 jiwa perempuan. Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3,16% atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Perbandingan antara Jumlah Angkatan Kerja (JAK) dengan penduduk berumur 15 tahun lebih disebut dengan Partisipasi Angkatan Kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki-laki 70,35%, perempuan 38,86% dan secara total 55,24% (BPS Kabupaten Bogor 2010).

Pada tahun 2009, jumlah SD/MI Negri ada sebanyak 1.550 dengan jumlah guru 8.899 orang. SD/MI swasta berjumlah 688. Adapun SLTP/MTS Negri berjumlah 146 dengan jumlah guru 2.782 orang, SLTP/MTS Swasta ada 601 dengan jumlah guru 8.259 orang. Sedangkan untuk jenjang SLTA/MA/SMK ada sebanyak 44 SLTA Negri dengan jumlah guru 469 orang dan SLTA/MA/SMK Swasta berjumlah 360 orang dengan jumlah guru 4.897 orang. Pada Tabel 11 dapat dilihat jumlah penduduk yang masih bersekolah.


(26)

Tabel 11. Penduduk 7-24 tahun yang masih sekolah menurut jenis kelamin di Kabupaten Bogor tahun 2009

Kelompok umur

(tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah

7-12 274.859 269.665 544.524

13-15 112.143 93.519 205.662

15-18 66.378 53.563 119.941

19-24 11.129 11.194 22.323

25+ 1.639 1.023 2.662

Kabupaten Bogor 464.509 428.964 895.112

Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2010

2. Kecamatan Dramaga

Kecamatan Dramaga merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Bogordengan luas wilayah sebesar 2.437.636 Ha. Kecamatan Dramaga merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciomas. Batas wilayah Kecamatan Dramaga adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciomas, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bogor Barat. Kecamatan Dramaga termasuk dalam dataran bergelombang dengan ketinggian 500 m dpl. Dari segi administratif, Kecamatan Dramaga terdiri atas 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT dan 20.371 KK. Desa-desa yang terdapat di Kecamatan Dramaga antara lain Desa babakan, Ciherang, Cikarawang, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinarsari, Sukadamai, dan Sukawening

Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga pada tahun 2009 untuk laki-laki adalah sebanyak 47.434 jiwa dan perempuan sebanyak 44.968 jiwa dengan total sebanyak 92.402 jiwa. Mata pencaharian penduduk berada di beragam sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, buruh, ABRI/TNI, dan PNS. Sebanyak 47,01% penduduk memiliki pekerjaan sebagai buruh tani. Tingkat pendidikan di Kecamatan Dramaga masih termasuk rendah, dimana sebanyak 41,97% penduduk tidak tamat SD, 31,88% penduduk tamat SD, 12,87% penduduk tamat SMP, 10,39% tamat SMA, diploma hanya sebanyak 1,13% dan sarjana hanya sebesar 1,75% (Anonim 2011a). Pada Tabel 12 dapat dilihat jumlah penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan tingkat kesejahteraannya.

Tabel 12. Jumlah Penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan tingkat kesejahteraannya

Kelompok penduduk Jumlah (jiwa)

Keluarga pra sejahtera 7.220

Keluarga sejahtera I 2.986

Keluarga sejahtera II 3.786

Keluarga sejahtera III 493

Keluarga sejahtera III plus 136

Total 14.621

Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2010

Kurangnya lapangan pekerjaan membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga memenuhi kebutuhan tambahan untuk menunjang kesehatan mereka.Pembangunan infrastruktur dan juga pengembangan sumber daya manusia kerap dilakukan di Kecamatan Dramaga untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.


(27)

3. Desa Sinarsari

Desa Sinarsari merupakan pemekaran dari Desa Neglasari pada tahun 1985 yang memiliki luas wilayah sebesar 172,24 Ha. Jumlah penduduk Desa Sinarsari sebanyak 8.446 jiwa yang terdiri atas 4.318 jiwa laki-laki dan 4.128 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 2.018 KK. Sementara itu, jumlah keluarga miskin (Gakin) sebanyak 586 KK dengan (29%). Batas administratif Desa Sinarsari yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Dramaga, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciherang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukawening, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Neglasari dan Kecamatan Ciampea. Pada Gambar 4 dapat dilihat peta Desa Sinarsari.

Gambar 4. Peta Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Sinarsari secara umum berupa daratan dan lembah/rawa yang berada pada ketinggian antara 196 m sampai dengan 200 m dpl dengan suhu rata-rata berkisar antara 22-β8˚C. Desa Sinarsari terdiri atas dua dusun, empat RW, dan 22 RT. Orbitasi dan waktu tempuh dari ibukota kecamatan adalah 2 km2 dengan waktu tempuh 12 menit dan waktu tempuh dari ibukota kabupaten adalah 35 km2 dengan waktu tempuh 60 menit (Anonim 2011b). Mata pencaharian penduduk di Desa Sinarsari juga beragam. Pada Tabel 13, dapat dilihat jenis pekerjaan penduduk di Desa Sinarsari dan jumlahnya.

Tabel 13. Mata pencaharian penduduk Desa Sinarsari

Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

Karyawan swasta 1600

Buruh 800

Pedagang 250

Petani 300

Wirausaha 250

TNI/Polri 10

Sumber : Anonim 2011b

Pada Desa Sinarsari, mata pencaharian terbesar adalah sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 1.600 orang. Jumlah terbanyak kedua yaitu buruh. Pekerjaan buruh dapat berupa buruh tani atau buruh lepas, seperti sebagai kuli bangunan, perbaikan alat-alat rumah


(1)

Lampiran 4. Lanjutan

No. Skor komponen sikap kognitif

Skor komponen sikap afektif

Skor komponen sikap kecenderungan perilaku

77. 44,44444 93,33333 60

78. 66,66667 90 73,33333

79. 100 90 73,33333

80. 44,44444 86,66667 66,66667

81. 77,77778 100 66,66667

82. 100 83,33333 66,66667

83. 88,88889 73,33333 53,33333

84. 11,11111 86,66667 53,33333

85. 77,77778 90 53,33333

86. 100 80 66,66667

87. 88,88889 93,33333 73,33333

88. 100 86,66667 73,33333

89. 100 90 73,33333

90. 88,88889 60 66,66667

91. 100 93,33333 100

92. 100 80 73,33333

93. 66,66667 90 73,33333

94. 100 80 73,33333

95. 100 80 73,33333

96. 55,55556 50 33,33333

97. 44,44444 56,66667 53,33333

98. 66,66667 90 73,33333

99. 100 90 73,33333

100. 100 80 66,66667


(2)

Lampiran 5. Sebaran responden berdasarkan alasan menggunakan produk SawitA

Item CPO MSMTF

n % n %

Alasan menggunakan SawitA

1. Sehat 27 16,83 30 29,7

2. Suka 52 51,49 52 51,49

3. Kurang suka 12 11,88 15 14,85

4. Tidak suka 4 3,96 4 3,96

5. Tidak tahu 6 2,97 0 0

Total 101 100 101 100

Lampiran 6. Sebaran responden berdasarkan penggunaan produk SawitA untuk konsumsi

Item CPO MSMTF

n % n %

Makanan pokok

1. Nasi 53 52,48 80 79,21

2. Mie 26 25,74 22 21,78

Lauk pauk

1. Tumis sayur 67 66,34 59 58,42

2. Tempe 29 28,71 31 30,69

3. Tahu 9 8,91 15 14,85

4. Telur 35 34,65 37 36,63

5. Ayam, ikan 22 21,78 23 22,77

6. Bakwan 10 9,90 6 5,94

7. Kue 0 0 1 0,99

Camilan

1. Roti 2 1,98 2 1,98

2. Gorengan 2 1,98 5 4,95

Minuman

1. Sereal/susu 3 2,97 2 1,98

Total 258 255,45 283 280,2

Alasan digunakan pada masakan tertentu:

1. Enak 42 41,58 60 59,41

2. Sudah disediakan 15 14,85 9 8,91 3. Mengikuti instruksi 16 15,84 20 19,81

4. Bervitamin 17 16,83 11 10,89

5. Mudah 11 10,89 2 1,98


(3)

Lampiran 7. Sebaran responden berdasarkan jenis masakan yang diaplikasikan

Jenis Masakan CPO MSMTF

n % n %

Rebusan 10 9,90 9 8,91

Tumisan 86 85,15 92 91,09

Gorengan 37 36,63 31 30,69

Lainnya 1 0,99 0 0

Total 134 132,67 132 130,69

Alasan memilih cara tersebut

1. Enak 67 66,34 75 74,26

2. Mudah 9 8,91 10 9,90

3. Sudah disediakan 8 7,92 13 12,87

4. Mengikuti instruksi 17 16,83 16 15,84

Total 101 100 101 100

Lampiran 8. Sebaran responden berdasarkan alasan kesukaan terhadap produk SawitA

Item n %

CPO Alasan lebih suka:

1. Gurih 1 0,99

2. Lebih kental 5 4,95

3. Lebih kuning 5 4,95

4. Baunya khas 1 0,99

5. Terasa seperti gajih 1 0,99

Total 13 12,87

Alasan tidak suka:

1. Kental 19 18,81

2. Bau 29 28,71

3. Getir 8 6,93

4. Tidak enak 10 9,9

5. Bergajih 7 6,93

Total 73 72,28

MSMTF Alasan lebih suka:

1. Bau tidak menyengat 21 20,79

2. Lebih encer 28 27,72

3. Lebih enak 29 28,71

Total 78 77,28

Alasan tidak suka:

1. Lebih encer 5 4,95

2. Bau minyak 1 0,99

3. Tidak suka 2 1,98

4. Warna kurang kuning 2 1,98


(4)

Lampiran 9. Sebaran responden berdasarkan jenis makanan yang menggunakan produk SawitA

Item n %

Makanan pokok:

1. Nasi 20 19,80

2. Mie 20 19,80

3. Kentang 2 1,98

Total 42 41,58

Lauk pauk:

1. Telur 16 15,84

2. Ikan 24 23,76

3. Ayam 10 9,9

4. Tempe 32 31,68

5. Tahu 14 13,86

6. Bakwan 2 1,98

Total 98 97,03

Sayur

1. Sayur sop 11 10,89

2. Capcay 3 2,97

3. Sayur kentang 9 8,91

4. Sayur jamur 6 5,94

5. Sayur lodeh 3 2,97

6. Sayur bayam 6 5,94

7. Sayur asam 2 1,98

8. Kangkung 10 9,9

9. Tumis tauge 3 2,97

10. Sayuran 3 2,97

11. Pecel 2 1,98

Total 58 57,43

Lampiran 10.Analisis korelasi antara karakteristik sosiodemografi dengan pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan tentang pola makan sehat

n = 101

Variabel Pola asuh Pengetahuan

kesehatan

Pengetahuan Pola Makan

Umur -0.004 0.049 0.016

Jenis Kelamin -0.026 -0.098 -0.026

Lama Pendidikan 0.182* 0.003 -0.019

Pendapatan 0.095 0.057 0.185*

Lampiran 11. Analisis korelasi antara karakteristik sosiodemografi dengan sikap dan perilaku konsumen

n = 101

Variabel Sikap kognitif Sikap afektif Kecenderungan perilaku

Sikap responden


(5)

Lampiran 12.Analisis korelasi antara pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan tentang pola makan sehat dengan sikap dan perilaku konsumen

n = 101

Variabel Pola asuh Pengetahuan kesehatan Pengetahuan pola makan

Sikap kognitif 0.127 0.566** 0.104

Sikap afektif -0.063 0.224* -0.054

Kecenderungan perilaku

0.051 0.073 -0.021

Sikap responden 0.153 0.493** 0.113

Frekuensi -0.057 -0.046 -0.001

Lampiran 13. Sebaran responden berdasarkan pola asuh keluarga

No. Item Sering

(%)

Kadang-kadang (%)

Jarang (%)

Tidak Pernah

(%)

1. Sarapan bersama 32,67 27,72 20,79 18,82

2. Makan siang bersama 19,82 21,78 25,74 33,66

3. Makan malam bersama 38,61 22,77 18,82 19,80

4. Bapak memperhatikan makanan anak 53,47 19,81 10,89 15,84 5. Ibu memperhatikan makanan anak 86,14 7,92 2,97 2,97 6. Ibu menyediakan masakan yang disukai 67,33 24,75 3,96 3,96 7. Ibu menyuruh menghabiskan makanan 87,13 5,94 2,97 3,96 8. Bapak menyuruh menghabiskan makanan 57,43 20,79 12,87 8,91

9. Ibu menegur anak 68,32 19,80 6,93 4,95

10. Bapak menegur anak 44,55 22,78 21,78 10,89

11. Ibu memperbolehkan anak jajan 17,82 19,80 19,80 42,57 12. Bapak memperbolehkan anak jajan 15,84 22,78 23,76 37,62


(6)

Vendryana Ayu Larasati. F24070103. Studi Hubungan Sikap Dan Perilaku Mengkonsumsi Produk Minyak Sawit Di Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Feri Kusnandar dan Waysima. 2012

RINGKASAN

Kekurangan Vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang dapat menyebabkan masalah penglihatan hingga kebutaan, terutama bagi anak-anak dan balita. Sekitar 10% kasus orang buta di negara berkembang termasuk Indonesia disebabkan oleh KVA (Khomsan 2004). Prinsip dasar untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A di Indonesia adalah menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami, misalnya mengkonsumsi sayur-sayuran, minyak nabati, seperti minyak sawit asli.

Minyak Sawit Asli (MSA) merupakan minyak yang dihasilkan dari daging buah kelapa sawit. MSA mengandung karotenoid sehingga berwarna jingga-kemerahan. Selain mengandung vitamin A, MSA juga mengandung vitamin E. Pemanfaatan minyak sawit yang berasal dari kelapa sawit di Indonesia masih terbatas dalam bentuk minyak goreng. Minyak sawit asli yang digunakan pada industri minyak goreng selama ini telah mengalami proses pemucatan sehingga merusak pigmen karotenoid, dimana terjadi penghancuran karotenoid secara besar-besaran untuk membuat warna minyak goreng menjadi jernih. Proses ini juga mempengaruhi kandungan vitamin E, dimana jumlahnya sangat berkurang setelah proses pemucatan (Zakaria et al. 2011). Pemanfaatan minyak sawit dalam bentuk minyak makan yang masih mengandung vitamin A dan E dilakukan dengan menciptakan produk yang bernama SawitA. Produk ini diciptakan sebagai bentuk solusi dari permasalahan KVA di Indonesia.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis sikap dan perilaku mengkonsumsi produk SawitA pada keluarga di Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu, sosialisasi, pembagian produk dan monitoring. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu, mengetahui pandangan responden terhadap manfaat minyak sawit dan produknya, mengidentifikasi sikap dan perilaku mengkonsumsi produk SawitA, mengidentifikasi produk SawitA yang lebih diterima di keluarga responden dan menganalisis hubungan sikap dan perilaku responden mengkonsumsi produk SawitA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi yang berkali-kali tentang kelapa sawit, produk dan manfaatnya ke responden dapat meningkatkan pengetahuan responden. Penerimaan responden untuk mengkonsumsi produk minyak sawit tinggi. Kecenderungan responden untuk mengkonsumsi produk minyak sawit di kemudian hari menunjukkan hasil yang cukup baik. Sebagian besar responden mengkonsumsi produk minyak sawit setiap hari. Tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek sosiodemografi dengan pola asuh keluarga, pengetahuan tentang kesehatan dan pola makan sehat serta dengan sikap dan perilaku responden mengkonsumsi produk minyak sawit, kecuali ada sedikit hubungan positif responden berjenis kelamin laki-laki dengan kecenderungan perilaku mengkonsumsi produk minyak sawit.

Hubungan yang signifikan dan kuat terjadi antara pengetahuan tentang kesehatan dengan sikap kognitif responden dan sikap responden terhadap mengkonsumsi produk minyak sawit. Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap mengkonsumsi produk minyak sawit dengan kecenderungan perilaku untuk mengkonsumsi produk minyak sawit di masa depan (cukup kuat), sikap afektif (kuat) dan sikap kognitif (kuat). Hubungan yang signifikan terjadi antara frekuensi penggunaan produk minyak sawit dengan kecenderungan mengkonsumsi produk minyak sawit